turut berduka cita untuk abuela ( ⚈̥̥̥̥̥́⌢⚈̥̥̥̥̥̀)
“Sayang, apa sayap kamu patah?” tanya El sembari membantu Livy-nya memilah bahan makanan di minimarket terdekat.“Hah? Sayap apa? Ini maksud Kakak?” Polosnya lagi Livy menunjukkan sayap ayam dalam keranjang.El mendesah lelah menepuk keningnya. “Bukan itu! Tapi sayap kamu, aku rasa kamu ini bidadari yang jatuh ke bumi.” Mendengar celotehan random sang suami, Livy melongo, melebarkan kelopak dan geleng-geleng kepala. Lantas kembali berjalan mencari bahan makanan yang bisa disimpan dalam jangka waktu lama.“Kamu terlalu baik. Untuk apa repot melakukan ini? Ayahmu itu menolak kita, menghinamu dan sekongkol dengan Sonia untuk melenyapkan nyawa anak kita. Tapi kamu …” El mengangkat kedua tangan dan menengadahkannya.Bahkan pria ini berpindah posisi tepat di depan Livy, El berjalan mundur demi mengamati paras ayu sang istri. Sejenak, ia menahan langkah kaki, menatap lekat kedua manik coklat yang jernih nan meneduhkan.“Aku yakin, kamu bukan wanita biasa. Yah, aku menikahi bidadari. Pantas k
“Sayang, badanku pegal, bisa bantu pijat?!” seruan El terdengar cukup nyaring dari kamar mandi. “Bisa, sebentar ya,” sahut Livy, segera datang dan melepas seluruh pakaian.Setibanya di mansion, pasangan ini memilih ke kamar untuk membersihkan diri sekaligus istirahat. El sengaja masuk lebih dulu, mempersiapkan air hangat dalam jacuzzi.“Ayo masuk, kita sudah lama tidak melakukan ini, benar ‘kan?” Tangan lebar El terulur, siap membawa Livy berendam.“Hu’um.” Livy mengangguk, lantas turut berendam, ia duduk tepat menghadap sang suami, tangannya bergerak memijat pundak, lengan lalu dada bidang.Wanita ini tahu suaminya sedang menahan kesedihan, lihat saja El memejam mata dengan punggung menyandar. Seusai menerima kabar duka, lelaki ini segera pulang ke Madrid, pagi hari baru tiba, dan seharian belum istirahat, dapat dibayangkan rasa lelah bercampur asa.“Boleh aku minta sesuatu?” El menunduk memperhatikan air muka serius sang istri. “Jangan temui keluarga angkatmu, baik boleh tapi bukan
“Livy? Kamu tidak apa-apa, Nak? Astaga maaf karena Mommy terlalu lama di dalam.” Nyonya Torres sesenggukan sembari menggenggam kedua tangan menantunya. Tidak bisa dibayangkan jika kendaraan itu menabrak Livy dan Alessandro. Wanita paruh baya ini enggan kehilangan orang terkasih lagi.“Aku … baik-baik saja Mom, Al juga. Tapi …” Livy tampak menggigit bibir bawahnya.Ia melirik ruang operasi yang tertutup rapat. Pikirannya terfokus pada satu titik saja, yaitu Tuan Fabregas.Iris coklatnya menyaksikan secara langsung mobil yang melaju cepat menubruk raga ringkih nan rapuh. Hingga ayah angkatnya terjatuh dan tidak sadarkan diri. Bukannya menolong, ibu muda ini tegugu di tempat, napasnya terasa sesak bahkan ia tersungkur di atas jalan.Hasil peninjauan sementara petugas keamanan, Tuan Fabregas dinilai lalai. Sebab, setelah turun dari mobil tidak langsung menutup pintu dan menepi, malah diam sembari menatapi bangunan di seberangnya.“Ayahmu pasti baik-baik saja Nak, jangan cemas Ok?” Nyonya
“Anak itu pasti hanya cari muka, penjilat handal,” sinis Tuan Fabregas.Perawat seta dokter saling pandang mendengar ucapan pria yang baru saja siuman. Merasa tak enak hati, dan perlu menjelaskan lebih lanjut. Dokter menceritakan semuanya, termasuk keadaan Livy yang sedang menyusui memaksa untuk donor darah.Saat itu juga pria paruh baya mengetahui cucu dari anak angkatnya selamat. Apa pria ini senang? Tidak! Tuan Fabregas menganggap bayi yang dilahirkan Livy, sebuah kesialan hingga kondisi keluarganya hancur.“Kalau begitu kami pamit, permisi Tuan.” Dokter dan perawat bergegas keluar dari ICU.“Hem, terima kasih dokter.”Sedangkan di dalam ruangan, Tuan Fabregas nampak memikirkan deretan kalimat yang disampaikan dokter jaga. Ia tidak percaya, dirinya dan Livy memiliki golongan darah yang sama, padahal dengan Sonia saja berbeda. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri, sebab mengingat kejadian belakangan ini. Bahkan tujuannya gagal akibat kecelakaan, padahal ia berniat menemui pengurus p
“Livyata, dia … argh, sebenarnya apa yang ada di pikirannya?” desah El berulang kali mengatur napas yang memburu.Di Swiss tepatnya Kota Zurich, El tengah susah payah menelan saliva, lantaran rasa rindunya kian menggunung tak terhingga. Sejak tadi, ia menahan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bukan karena minum alkohol atau obat perangsang.Akan tetapi penampilan Livy-nya pada layar laptop, sangat … menggoda sisi primitif sebagai seorang pria. Jakun El naik turun, bagian bawah tubuhnya menegang sempurna, sial tidak bisa mendapatkan pelepasan saat ini juga.El bingung, entah sial atau beruntung memerintah adik bungsunya untuk mengekor dan menempel pada sang istri. Sekarang, ia sendiri kesulitan jauh dari mansion. Seandainya bisa, pasti detik ini juga El bertolak ke Madrid. [Sayang?]El memicingkan mata, telinganya didekatkan pada ponsel. Suara yang dirindukan selama beberapa hari ini terdengar merdu dan … tersimpan luka di dalamnya.[Apa kamu mendengarku? Halo Kak?]Akhirnya,
“Kak El?!” pekik Livy.Wanita ini membuka matanya, ia melirik jam, waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Di luar masih gelap, suhu udara dingin, tetapi tubuhnya berkeringat sebesar biji jagung. Bahkan degup jantungnya kian cepat karena … “Huh, hanya mimpi buruk, mungkin aku terlalu memikirkan Kak El,” gumam Livy, kembali menarik selimut, menenggelamkan diri di bawah kain tebal itu.Namun, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk cukup keras. Bukan Estefania, sebab adik iparnya berbaring tepat di sisi Livy. Ia menurunkan kaki ke lantai, tidak lupa memakai sandal bulu berwarna merah muda. Entah mengapa tangannya mendadak tremor, sulit menggapai knop pintu.Sebelum membuka pintu, Livy sempat menoleh pada dua orang di atas ranjang, mereka sama sekali tidak terganggu. Ia memutar knop dan pintu perlahan terbuka. Livy mengerutkan kening, kerongkongannya terasa mengering tak berlendir lagi, napasnya pun terasa sakit. Ia melihat ibu mertua dirangkul oleh Emilia, wajah wanita paruh baya itu mer
“Dari sekian banyak anak perempuan, apa alasanmu memberiku rekomendasi anak itu?” desak Tuan Fabregas tepat di hadapan wanita berambut putih serta kulit keriput.Di tengah kondisinya belum stabil, pria paruh baya nekat pergi dari rumah sakit. Sebab, keingintahuannya sangatlah tinggi mengenai masa lalu Livy. Bahkan dalam perjalanan menuju Barcelona, Tuan Fabregas hampir dilarikan ke rumah sakit. Napasnya sesak, keringat dingin serta jantung berdebar tak karuan diselingi panas menjalar pada punggung.“Apa gadis itu anaknya Sonja? Katakan yang sejujurnya!” tuntutnya lagi tak ingin kehilangan waktu, sebab petugas panti memberi waktu kurang dari setengah jam.“Sonja? Di mana dia? Kasihan wanita itu, dia tidak gila … dia dibunuh, ya dibunuh,” desis wanita sepuh sembari mengayun punggung di kursi.“Ck, Sonja itu depresi, dia bunuh diri bukan dibunuh!” desis pria ini mengepalkan tangan keriputnya.Tuan Fabregas yakin kekasihnya itu mengalami gangguan jiwa karena dirinya tidak bisa bertanggun
“Ba-bagaimana mungkin? Dia bukan anakku? Aku hidup dengannya selama 30 tahun.” Tuan Fabregas gemetaran, sekujur tubuhnya memanas, terkejut membaca hasil tes DNA.“Argh!” teriak pria paruh baya ini melempar peralatan makan dari atas meja. Bahkan secara sadar, kedua tungkainya yang sudah tidak bisa berjalan nekat turun dari atas ranjang. Tuan Fabregas mendesis perih saat pecahan keramik menusuk serta menyatat telapak kaki.Namun, ada yang lebih terluka lebih daripada itu. Apa? Tentu saja hatinya, seketika tak berbentuk lagi seusai mengetahui fakta mencengangkan.Paska menerima informasi dari wanita di panti wreda, Tuan Fabregas bergegas kembali ke Madrid. Tidak ke rumah sakit, melainkan pulang ke rumahnya. Di sana, ia mengacak-acak kamar putri kesayangan. Lalu membawa beberapa sampel ke rumah sakit.Setelah menunggu cukup lama, hari ini hasil tes dirinya dan Sonia keluar. Pihak rumah sakit mengirim melalui surel. “Tuan, apa yang Anda lakukan?!” pekik perawat melihat kondisi kamar kacau