Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Langit Moza Hotel’s berkilauan dengan semburat lampu-lampu kota, seperti berlian yang tercecer di atas beludru malam.Laura baru saja selesai bekerja, tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya terus berputar, menyusun langkah demi langkah untuk menghadapi pertemuan ini.Dengan gerakan anggun yang terlatih, ia merapikan rambutnya, cermin di depannya memantulkan sosok yang tegar meski menyimpan badai di dalam dada.Di restoran hotel, Louis menunggunya dengan kesabaran yang terlihat rapuh, seperti benang yang hampir putus.Laura akhirnya duduk di depan Louis. Wajahnya tenang, namun matanya menyiratkan emosi yang berlapis, seperti lukisan yang penuh misteri.“Aku pikir kau sudah pulang,” ucapnya, suaranya lembut, tetapi ada serpihan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.“Bagaimana mungkin aku pulang, sementara aku masih penasaran tiba-tiba kau pergi dan membuat semua orang bingung,” jawab Louis, suaranya rendah tetapi tegas, seperti angin malam yang
Di sudut muram sebuah bar yang remang-remang, milik Kevin, sahabat lamanya, Smith terkapar seperti kapal karam di lautan sunyi.Kepalanya bersandar berat di atas meja kayu yang penuh dengan goresan waktu, sementara botol-botol kosong berdiri seperti nisan keputusasaan di hadapannya.Aroma alkohol bercampur asap rokok melingkupi ruangan, membungkus segala luka tak terlihat."Di mana kau, Laura?" desah Smith, suaranya pecah seperti gelas yang dilempar ke lantai. "Sudah dua bulan kau pergi meninggalkanku." Ucapannya mengalun, tenggelam dalam nada-nada mabuk yang menyayat telinga.Kevin menghela napas panjang, nadanya lebih letih daripada marah. "Jika sudah dua bulan berlalu, itu artinya istrimu tak ingin kembali padamu, Smith." Ucapannya terdengar seperti kapak yang menghantam pohon rapuh, santai tapi penuh kepastian.Smith mendongak perlahan, matanya kabur seperti kaca berembun. "Shut up, Kevin. Dia hanya sedang ingin mempermainkanku," gumamnya, tatapan sayu menusuk wajah Kevin.Kevin t
Smith membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seperti pintu tua yang engselnya berkarat.Cahaya redup dari jendela menyelinap masuk, menciptakan bayangan-bayangan samar di kamar yang sunyi.Ia menyandarkan punggungnya pada dashboard tempat tidur, membiarkan kesadarannya bangkit perlahan dari kabut tidur. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang dingin, sebuah pemberitahuan mencuri perhatiannya.Pesan dari Stella. Kalimat sederhana yang mengajaknya bertemu, dibumbui dengan kata-kata rindu yang terasa kosong dan hampa.Smith memijat batang hidungnya dengan jari-jari yang gemetar, seolah ingin menghapus bayangan Stella dari pikirannya. Ia menghela napas panjang, seperti mengusir beban yang menekan dadanya.“Kevin benar,” gumamnya, suaranya nyaris tak lebih dari bisikan yang tenggelam di udara. “Aku tidak perlu memikirkan Stella lagi. Karena milikku yang sebenarnya adalah Laura.”Ia mengabaikan pesan itu, membiarkan layar ponselnya kembali padam seperti lilin yang kehabisa
Smith duduk di atas sofa, tubuhnya terkulai lemas seperti boneka yang kehilangan tali pengendali.Jari-jarinya yang lelah memijat batang hidungnya berulang kali, seolah mencoba meredam dentuman ketegangan yang terus menggema di kepalanya.Punggungnya menyandar pada sofa, sementara napas panjangnya meluncur keluar seperti desah angin malam yang lesu.“Sangat tidak mungkin jika Laura sudah menikah lagi di luar sana,” gumamnya, suaranya pelan namun sarat dengan rasa tidak percaya.Kedua tangannya mengepal, jemarinya mengeras seperti ingin menggenggam kenyataan pahit yang terus menghantuinya. “Bahkan menikah denganku pun karena terpaksa. Dia tidak mudah jatuh cinta, aku tahu itu,” lanjutnya, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.Ia kembali menghela napas panjang, seperti seseorang yang mencoba menarik beban dari dadanya, tetapi hanya menemukan lebih banyak kesedihan yang tersisa.Tangannya terulur meraih ponselnya yang dingin, perangkat kecil itu kini menjadi satu-satunya je
“Kau tinggal di sini, Laura?” tanya Louis, suaranya rendah namun mengandung nada kekhawatiran saat ia menatap bangunan kecil di depannya.Laura mengangguk pelan, senyum tipisnya menyembunyikan rasa lelah yang terselip di balik matanya. “Ya. Aku tinggal di sini setelah pergi dari rumah Smith. Meskipun kecil, tapi tempat ini sangat nyaman. Jangan khawatir.”Louis menahan napas, tatapannya menyapu setiap sudut kost sederhana itu. Dindingnya memudar, lantainya sedikit retak, namun ada kehangatan tersendiri yang terpancar dari tempat tersebut, seolah Laura telah mencurahkan seluruh hatinya ke dalam setiap sudut.Meski begitu, baginya, ruangan ini terasa seperti kotak sempit yang menyesakkan, jauh dari kemewahan dan ruang luas yang biasa ia tinggali.“Baiklah,” akhirnya Louis berkata, menekan perasaan yang bergelut di dadanya. “Aku akan kembali, Laura.”Namun, suara lembut Laura menghentikannya. “Louis?” Ia memanggil, suaranya terdengar seperti bisikan angin malam yang membawa keraguan. “Ja
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Vincent, suaranya sarat dengan ketegangan, sementara matanya menatap Louis dengan sorot tajam yang seperti menyelidik hingga ke dasar jiwanya.Louis menghela napas panjang, sorot matanya datar namun mengandung gelombang emosi yang ia sembunyikan.“Hanya insting saja. Bukankah dia memang selalu mencari cara untuk mengakhiri pernikahannya dengan Smith? Jangan memaksanya untuk kembali, Dad,” ucapnya dengan nada yang berusaha terdengar tenang, meskipun ada kerikil kecil yang menggoreskan luka di setiap katanya.Vincent membuang muka, matanya beralih ke sudut ruangan yang hening, seolah enggan menerima kenyataan yang Louis coba ungkapkan.“Kau tidak tahu apa-apa, Louis,” balasnya dingin, seperti mencoba menutupi gemuruh hatinya sendiri.“Aku tahu, Dad,” tukas Louis, suaranya semakin dalam, penuh dengan tekad yang tak bisa dibendung. “Aku tahu kau ingin memisahkan Smith dengan Stella. Tapi jangan mengorbankan Laura. Dia tidak mencintai Smith, Dad!”"
Jam di dinding berdetak dengan irama yang menekan, menunjuk tepat pukul sembilan pagi.Ruang kerja Smith, yang biasanya tenang, mendadak terusik oleh suara pintu yang terbuka tanpa aba-aba. Louis melangkah masuk dengan langkah tegas, namun menyimpan keraguan di sudut hatinya.Smith, yang tengah merapikan dokumen dengan gerakan metodis, mengangkat kepalanya perlahan, pandangannya bersinggungan dengan wajah identik adiknya.Sorot matanya datar, seolah Louis hanyalah gangguan kecil dalam rutinitasnya yang monoton. “Ada apa?” tanyanya, nadanya dingin seperti embun pagi yang menusuk kulit.Louis terdiam, hanya berdiri mematung di tempatnya. Dalam hatinya, suara janji pada Laura menggema bagai mantra yang mengikat. ‘Aku sudah berjanji pada Laura untuk tidak memberitahu keberadaannya,’ ucapnya dalam batinnya yang bergetar.Smith kembali menunduk, jemarinya sibuk merapikan tumpukan kertas. “Jika tidak ada kepentingan, sebaiknya keluar dari ruanganku,” ujarnya tajam tanpa menoleh sedikit pun.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Smith melangkah dengan langkah berat menuju ruangan ayahnya.Pintu ruangan itu terasa lebih besar dari biasanya, seolah menjadi penghalang terakhir antara dirinya dan pengampunan yang ia harapkan.Ia membuka pintu perlahan, memperlihatkan Vincent yang duduk dengan tubuh tegap di balik mejanya, sorot matanya setenang samudra, namun sedingin gunung es.Smith berdiri tegak di depan ayahnya, tubuhnya terasa kecil di hadapan figur yang tampak tak tergoyahkan. “Beri aku waktu, Dad,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, namun sarat dengan permohonan.Vincent menaikkan satu alisnya, tatapannya tajam, menembus hingga ke dasar hati Smith. “Apa?” tanyanya dengan nada datar, seolah tidak memahami, atau mungkin tidak ingin memahami, permohonan itu.Smith menghela napas kasar, suara itu menggema di ruang yang sepi. “Beri aku waktu untuk membuktikan bahwa aku akan menemukan keberadaan Laura,” katanya, kali ini dengan nada yang lebih tegas, meskipun tetap terseli
“Ya. Tentu saja aku sangat serius dan yakin,” Smith menganggukkan kepalanya, tatapannya jatuh pada wajah Laura yang teduh namun penuh tanda tanya.Ia kemudian menggenggam tangan Laura, telapak tangannya terasa hangat, namun jemarinya sedikit bergetar, mencerminkan gugup yang tak ia tunjukkan di wajahnya.Smith menghela napas panjang, udara yang diembuskannya terasa seperti beban berat yang dilepaskan.“Mengharapkan yang tidak jelas tidak akan menemukan ujungnya, Laura. Sementara aku … aku harus mencari yang terbaik dalam hidupku,” katanya, suaranya merendah, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri sekaligus kepada Laura.Smith menelan salivanya perlahan, tenggorokannya terasa kering. “Aku tidak pernah seyakin ini pada diriku sendiri, Laura. Aku … bahkan saat menjalin hubungan dengan Stella pun selalu ada saja keraguan dalam diriku.”Laura mengangkat alisnya, senyum tipis merekah di bibirnya, seolah ucapan itu berhasil menyentuh hatinya meski ia tak ingin menunjukkannya.“Lalu,
Hari ini adalah hari Minggu. Sinar mentari yang lembut menyelinap melalui dedaunan pohon besar di halaman rumah megah keluarga Vincent, memberikan kesan damai yang bertolak belakang dengan debaran di hati Laura.Langkah mereka terasa berat saat mendekati pintu utama, meskipun tangan Smith menggenggamnya dengan kokoh, memberikan rasa aman yang nyaris tak terungkapkan.“Smith?” panggil Laura dengan nada lembut namun penuh keraguan, tangannya sedikit menarik lengan pria itu.Smith menoleh, matanya menatap Laura dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya seolah membungkus kegelisahan Laura dengan ketenangan.“Apakah ibumu ada di dalam?” tanya Laura, suaranya hampir tenggelam dalam udara sore yang hangat. Ada kilatan was-was di matanya, mengingat setiap kata tajam yang pernah dilemparkan Maria, ibu mertuanya, seperti belati yang menggores harga dirinya tanpa ampun.Smith mengeratkan genggamannya, menatap Laura dengan tatapan yang seol
"Apa yang kau inginkan, Laura?" Smith kembali bertanya, suaranya serak namun penuh kesungguhan.Ia duduk tegak di sudut ruangan, memperhatikan Laura yang sibuk memasukkan sisa-sisa pakaian ke dalam koper.Laura menghentikan gerakannya sejenak, menghela napas panjang seperti mencoba meredam sesuatu di dalam hatinya."Apa kau belum bosan menanyakan apa yang aku inginkan, Smith?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan udara di kamar itu.Smith menggeleng perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. "Tidak," jawabnya tegas, namun lembut."Aku tidak akan bosan menanyakan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau baru memberiku satu perintah."Laura tertawa kecil, suara itu seperti melodi lembut yang memecah ketegangan di antara mereka. "Berhentilah menanyakan hal itu padaku, Smith. Jika aku menginginkan sesuatu, aku pasti akan memberitahumu.""Sungguh?" Mata Smith berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang paling ia dambakan.
“Apa?” seru Laura dengan suara terkejut, tubuhnya berputar cepat ke arah Smith, sementara matanya membesar seperti bulan purnama di langit gelap.Smith hanya mengerutkan keningnya, tampak bingung melihat ekspresi Laura yang terkejut seolah mendengar hal yang mustahil. Wajahnya tetap tenang, meski ada sedikit senyuman kecil yang terselip di sudut bibirnya.“Ada apa, Laura? Bukankah kita ini sepasang suami istri? Apa salahnya jika kita tidur dalam satu kamar?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh keyakinan, seperti angin lembut yang menyapu dedaunan tanpa meminta izin.“A-aku tahu,” sahut Laura terbata-bata, rona merah tipis mulai merayap di pipinya.“Hanya saja, selama ini kita tidak pernah tidur dalam satu kamar, Smith!” protesnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, seolah berusaha menyembunyikan kegugupannya.Smith terkekeh kecil, suara itu serupa gurauan kecil dari ombak yang berbisik pada pantai. “Ya, tapi mulai detik ini, kita akan tidur dalam satu kamar,” ucapnya sambil m
“Aku harus berpamitan terlebih dahulu pada Rafael dan karyawan di sana. Walau bagaimanapun, aku sudah bekerja di sana selama dua bulan lamanya,” ucap Laura, memecah keheningan yang telah menggantung di antara mereka selama hampir lima menit.Suaranya terdengar lembut, tetapi ada sesuatu di baliknya—sebuah kenangan yang enggan ia lepaskan begitu saja.Smith menerbitkan senyum, kali ini lebih lebar dari biasanya, seperti matahari yang menembus awan tebal.Kata-kata Laura barusan membangkitkan harapan dalam dirinya, membuat dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang hangat.Itu berarti Laura mau kembali padanya. Tanpa ragu, ia mengangguk cepat, penuh semangat yang sulit disembunyikan.“Ya. Aku akan menemanimu ke sana untuk berpamitan,” ucapnya, nadanya mengandung kegembiraan yang hampir seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.“Huh?” Laura menoleh dengan alis terangkat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Bukankah kau tidak ingin orang lain tahu tentang pernikahan kita?” tanyanya dengan
Brugh!Suara berat menggema di ruang tamu saat Smith meletakkan boneka sebesar tubuh manusia dewasa di atas sofa. Laura tersentak, matanya membulat, tubuhnya seolah membeku sesaat.“Astaga, Smith,” gumamnya dengan napas tercekat. Tatapannya terpaku pada boneka itu, sebuah mahakarya berbulu lembut yang tampak terlalu besar untuk ruangan mereka, seperti raksasa yang salah tempat.“Aku pikir kau bercanda akan membeli boneka sebesar ini,” ucap Laura akhirnya, suaranya terdengar antara tak percaya dan terhibur. Mulutnya menganga lebar, seolah tak mampu menampung kejutan yang baru saja terjadi.Smith menaikkan satu alis dengan gaya khasnya, ekspresinya mencampurkan keangkuhan dan kebanggaan.“Apa maksudmu, Laura? Bahkan aku bisa memberimu yang lebih besar dari ini. Hanya saja, di toko itu hanya ini yang paling besar,” ujarnya sambil mengusap pelan ujung jaketnya, seolah ingin menegaskan bahwa ini hanyalah hal kecil yang bisa ia lakukan.Laura mendesah pelan, namun hatinya tersentuh. Ada ras
"Keinginan yang sangat di luar nalar. Bisa-bisanya dia meminta boneka sebesar manusia," gumam Smith dengan nada jengkel, langkahnya terdengar berat menghentak lantai keramik mall yang berkilauan seperti kaca yang membingkai langit.Mall itu terletak tak jauh dari rumah sakit, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya belakangan ini.Vicky—asisten pribadinya yang baru, menggantikan Laura yang telah pergi meninggalkan dirinya seperti angin yang enggan singgah—akhirnya tiba untuk membantunya mengangkat boneka jumbo itu.Wanita muda itu mengenakan blazer hitam yang rapi, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang meniti tali di atas jurang.“Warna apa yang diinginkan Nyonya, Tuan?” tanyanya dengan nada sopan, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang halus.Smith berhenti sejenak, keningnya berkerut. Ia lupa menanyakan hal sepenting warna boneka itu. Dalam pikirannya, Laura, yang dulu selalu begitu detil, kini terasa jauh seperti mimpi yang memudar saat pagi me
Waktu telah merangkak menuju angka tujuh pagi, membawa serta sinar matahari lembut yang merambat masuk melalui celah tirai.Laura membuka matanya perlahan, membiarkan dunia nyata kembali mengisi kesadarannya. Ia menoleh ke arah sofa tempat Smith biasanya beristirahat, namun hanya menemukan kekosongan di sana.“Ke mana dia? Bukankah semalam dia baru tidur pukul dua pagi?” gumamnya pelan, sambil mengucek matanya yang masih terasa berat.Belum sempat ia menebak lebih jauh, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Smith yang keluar dengan rambut basah dan wajah segar.Ia duduk di samping Laura, menyuguhkan senyum kecil yang menghangatkan udara di antara mereka.“Selamat pagi,” sapanya, suaranya serak namun menenangkan, seperti melodi pagi yang akrab.Laura menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Pagi. Apa kau sudah sarapan?” tanyanya lembut, pandangannya menelusuri garis-garis kelelahan samar di wajah pria itu.Smith menggeleng sambil menyisir rambutnya dengan jari. “Kau ingin keluar s
“Memangnya kau mengharapkan kehadirannya?” tanya Laura dengan pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang bercampur antara rasa ingin tahu dan keengganan untuk mendengar jawabannya.Smith menyunggingkan senyum kecil, tetapi senyum itu lebih mirip bayangan kabur dari sebuah perasaan yang tak terjelaskan.Tersenyum pasi, ia merasa pertanyaan itu seperti anak panah yang melesat tepat ke dalam pikirannya.“Ya. Aku sangat mengharapkan kehadirannya,” ucapnya dengan nada yang penuh keyakinan. “Justru pernah terbesit dalam otakku untuk menghamilimu agar kau tetap menjadi istriku.”“Huh?” Mata Laura melebar, wajahnya memancarkan kebingungan yang nyata. Ia menatap Smith seakan-akan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang benar-benar gila.Smith menatapnya dalam-dalam, matanya seperti danau yang tenang namun menyimpan rahasia di bawah permukaannya.“Ya. Saat usia pernikahan kita hampir mendekati satu bulan. Saat makan malam di malam Valentine itu. Aku berniat akan bercinta denganmu sepulang d