"Keinginan yang sangat di luar nalar. Bisa-bisanya dia meminta boneka sebesar manusia," gumam Smith dengan nada jengkel, langkahnya terdengar berat menghentak lantai keramik mall yang berkilauan seperti kaca yang membingkai langit.Mall itu terletak tak jauh dari rumah sakit, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya belakangan ini.Vicky—asisten pribadinya yang baru, menggantikan Laura yang telah pergi meninggalkan dirinya seperti angin yang enggan singgah—akhirnya tiba untuk membantunya mengangkat boneka jumbo itu.Wanita muda itu mengenakan blazer hitam yang rapi, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang meniti tali di atas jurang.“Warna apa yang diinginkan Nyonya, Tuan?” tanyanya dengan nada sopan, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang halus.Smith berhenti sejenak, keningnya berkerut. Ia lupa menanyakan hal sepenting warna boneka itu. Dalam pikirannya, Laura, yang dulu selalu begitu detil, kini terasa jauh seperti mimpi yang memudar saat pagi me
Brugh!Suara berat menggema di ruang tamu saat Smith meletakkan boneka sebesar tubuh manusia dewasa di atas sofa. Laura tersentak, matanya membulat, tubuhnya seolah membeku sesaat.“Astaga, Smith,” gumamnya dengan napas tercekat. Tatapannya terpaku pada boneka itu, sebuah mahakarya berbulu lembut yang tampak terlalu besar untuk ruangan mereka, seperti raksasa yang salah tempat.“Aku pikir kau bercanda akan membeli boneka sebesar ini,” ucap Laura akhirnya, suaranya terdengar antara tak percaya dan terhibur. Mulutnya menganga lebar, seolah tak mampu menampung kejutan yang baru saja terjadi.Smith menaikkan satu alis dengan gaya khasnya, ekspresinya mencampurkan keangkuhan dan kebanggaan.“Apa maksudmu, Laura? Bahkan aku bisa memberimu yang lebih besar dari ini. Hanya saja, di toko itu hanya ini yang paling besar,” ujarnya sambil mengusap pelan ujung jaketnya, seolah ingin menegaskan bahwa ini hanyalah hal kecil yang bisa ia lakukan.Laura mendesah pelan, namun hatinya tersentuh. Ada ras
“Aku harus berpamitan terlebih dahulu pada Rafael dan karyawan di sana. Walau bagaimanapun, aku sudah bekerja di sana selama dua bulan lamanya,” ucap Laura, memecah keheningan yang telah menggantung di antara mereka selama hampir lima menit.Suaranya terdengar lembut, tetapi ada sesuatu di baliknya—sebuah kenangan yang enggan ia lepaskan begitu saja.Smith menerbitkan senyum, kali ini lebih lebar dari biasanya, seperti matahari yang menembus awan tebal.Kata-kata Laura barusan membangkitkan harapan dalam dirinya, membuat dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang hangat.Itu berarti Laura mau kembali padanya. Tanpa ragu, ia mengangguk cepat, penuh semangat yang sulit disembunyikan.“Ya. Aku akan menemanimu ke sana untuk berpamitan,” ucapnya, nadanya mengandung kegembiraan yang hampir seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.“Huh?” Laura menoleh dengan alis terangkat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Bukankah kau tidak ingin orang lain tahu tentang pernikahan kita?” tanyanya dengan
“Apa?” seru Laura dengan suara terkejut, tubuhnya berputar cepat ke arah Smith, sementara matanya membesar seperti bulan purnama di langit gelap.Smith hanya mengerutkan keningnya, tampak bingung melihat ekspresi Laura yang terkejut seolah mendengar hal yang mustahil. Wajahnya tetap tenang, meski ada sedikit senyuman kecil yang terselip di sudut bibirnya.“Ada apa, Laura? Bukankah kita ini sepasang suami istri? Apa salahnya jika kita tidur dalam satu kamar?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh keyakinan, seperti angin lembut yang menyapu dedaunan tanpa meminta izin.“A-aku tahu,” sahut Laura terbata-bata, rona merah tipis mulai merayap di pipinya.“Hanya saja, selama ini kita tidak pernah tidur dalam satu kamar, Smith!” protesnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, seolah berusaha menyembunyikan kegugupannya.Smith terkekeh kecil, suara itu serupa gurauan kecil dari ombak yang berbisik pada pantai. “Ya, tapi mulai detik ini, kita akan tidur dalam satu kamar,” ucapnya sambil m
"Apa yang kau inginkan, Laura?" Smith kembali bertanya, suaranya serak namun penuh kesungguhan.Ia duduk tegak di sudut ruangan, memperhatikan Laura yang sibuk memasukkan sisa-sisa pakaian ke dalam koper.Laura menghentikan gerakannya sejenak, menghela napas panjang seperti mencoba meredam sesuatu di dalam hatinya."Apa kau belum bosan menanyakan apa yang aku inginkan, Smith?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan udara di kamar itu.Smith menggeleng perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. "Tidak," jawabnya tegas, namun lembut."Aku tidak akan bosan menanyakan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau baru memberiku satu perintah."Laura tertawa kecil, suara itu seperti melodi lembut yang memecah ketegangan di antara mereka. "Berhentilah menanyakan hal itu padaku, Smith. Jika aku menginginkan sesuatu, aku pasti akan memberitahumu.""Sungguh?" Mata Smith berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang paling ia dambakan.
Hari ini adalah hari Minggu. Sinar mentari yang lembut menyelinap melalui dedaunan pohon besar di halaman rumah megah keluarga Vincent, memberikan kesan damai yang bertolak belakang dengan debaran di hati Laura.Langkah mereka terasa berat saat mendekati pintu utama, meskipun tangan Smith menggenggamnya dengan kokoh, memberikan rasa aman yang nyaris tak terungkapkan.“Smith?” panggil Laura dengan nada lembut namun penuh keraguan, tangannya sedikit menarik lengan pria itu.Smith menoleh, matanya menatap Laura dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya seolah membungkus kegelisahan Laura dengan ketenangan.“Apakah ibumu ada di dalam?” tanya Laura, suaranya hampir tenggelam dalam udara sore yang hangat. Ada kilatan was-was di matanya, mengingat setiap kata tajam yang pernah dilemparkan Maria, ibu mertuanya, seperti belati yang menggores harga dirinya tanpa ampun.Smith mengeratkan genggamannya, menatap Laura dengan tatapan yang seol
“Ya. Tentu saja aku sangat serius dan yakin,” Smith menganggukkan kepalanya, tatapannya jatuh pada wajah Laura yang teduh namun penuh tanda tanya.Ia kemudian menggenggam tangan Laura, telapak tangannya terasa hangat, namun jemarinya sedikit bergetar, mencerminkan gugup yang tak ia tunjukkan di wajahnya.Smith menghela napas panjang, udara yang diembuskannya terasa seperti beban berat yang dilepaskan.“Mengharapkan yang tidak jelas tidak akan menemukan ujungnya, Laura. Sementara aku … aku harus mencari yang terbaik dalam hidupku,” katanya, suaranya merendah, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri sekaligus kepada Laura.Smith menelan salivanya perlahan, tenggorokannya terasa kering. “Aku tidak pernah seyakin ini pada diriku sendiri, Laura. Aku … bahkan saat menjalin hubungan dengan Stella pun selalu ada saja keraguan dalam diriku.”Laura mengangkat alisnya, senyum tipis merekah di bibirnya, seolah ucapan itu berhasil menyentuh hatinya meski ia tak ingin menunjukkannya.“Lalu,
Ciuman itu kian memanas, menjelma api yang membakar setiap inci jarak di antara mereka.Smith mengangkat tubuh Laura dengan lembut namun penuh gairah, seperti membawa sebuah harta karun yang tak ternilai.Bibir mereka tetap menyatu, menyulam desir kehangatan di udara, sementara langkah-langkah Smith memimpin mereka menuju ranjang yang seolah menjadi altar penyatuan jiwa.Ia merebahkan tubuh Laura dengan hati-hati, seakan menyentuh porselen yang rapuh.Tatapan matanya yang gelap dan penuh intensitas menelusuri wajah Laura, seperti menatap lukisan yang baru ia temukan setelah bertahun-tahun tersesat.Jakun Smith bergerak naik-turun, menandakan gejolak yang tak mampu ia sembunyikan. Itu membuat jantung Laura berdegup lebih cepat, seakan mematuhi ritme yang diciptakan oleh gairah di antara mereka."Kau tahu? Kita sudah terlalu lama terkurung dalam dinginnya jarak," bisiknya serak, nadanya berat seperti suara badai yang menggema dari kejauhan.Laura mengangguk pelan. Mata cokelatnya yang b
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu
Semenjak makan malam di luar itu, Laura sudah tidak pernah lagi bepergia ke luar rumah demi menjaga kehamilannya yang sangat rentan.Namun, Smith tidak mau membuat Laura jadi jenuh berada di rumah. Dia selalu mengadakan kegiatan apa pun supaya Laura tetap merasa senang berada di rumah.Hari ini, Smith sengaja menyuruh para asisten rumah tangga di rumahnya untuk membersihkan satu ruangan yang lama tidak terpakai. Ruangan itu cukup luas, tapi Smith belum pernah menggunakannya sehingga hanya menjadi gudang barang tak terpakai."Kamu mau menggunakannya jadi ruangan apa, Sayang? Ruang kerja baru kah?" tanya Laura pada suaminya.Smith mengulum senyum, dia masih ingin merahasiakan apa yang akan dibuatnya sekarang."Kok malah senyum-senyum, sih? Nyebelih banget ih." Laura mencubit lengan suaminya.Tak lama kemudian, suara klakson yang cukup keras terdengar dari luar. Smith menarik tangan Laura untuk membawanya ke luar sambil melihat apa yang telah dia beli.Saat keluar dari rumah, Laura langs
Hari beganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa satu bulan lagi Laura diperkirakan akan melahirkan anak pertama sekaligus kedua dia dan Smith.Semakin tua kehamilannya, perut Laura semakin membesar dan hal itu membuat Laura jarang bergerak karena berat. Namun, Laura tidak terbiasa jika harus duduk saja, dia meminta Smith untuk mengajaknya jalan-jalan.Setiap pagi, Smith meluangkan waktu untuk menemani Laura jalan-jalan di sekitar area perumahan. Hal tersebut dilakukan supaya persalinan Laura berjalan dengan lancar."Kamu capek?" tanya Smith ketika Laura berhenti sejenak."Tidak, hanya merasa sedikit sakit di pinggang. Tapi tak apa, kata dokter itu hal yang biasa," jawab Laura."Jangan berlagak baik-baik saja, mau sekuat apa pun seorang ibu hamil, sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Banyak rasa sakit dan derita yang dipikulnya," ujar Smith.Smith lalu mengajak Laura untuk istirahat di salah satu kursi yang ada di pinggir jalan, keduanya minum demi melepas dahaga dan mengganti c
Ucapan Stella yang mengatakan bahwa Smith juga akan masuk penjara dan dirinya akan melahirkan tanpa kehadiran Smith masih terngiang di pikiran Laura. Dia takut kalau ucapan itu akan menjadi kenyataan.Ketika sampai di dalam mobil, Laura langsung mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya. Laura sangat cemas karena tahu kalau Stella adalah orang yang licik dan bisa melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya sekalipun Smith tidak memiliki salah."Sayang, lupakan saja, apa yang dia katakan hanya bentuk ungkapan dari segala kekalahannya. Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sisimu. Do'akan aku selalu," ucap Smith dengan tegas."Tentu saja, tapi bagaimana kalau Stella nekad? Zaman sekarang, penjara bukan menjadi tempat paling aman dari kejahatan. "Justru dari dalam sana banyak orang yang bisa bebas melakukan kejahatan jika mereka memiliki uang dan kuasa," tutur Laura.Dia mengutarakan segala kemungkinan yang ada di pikirannya. Hormon kehamilan membuat Laura jadi mudah sekali b
Tok tok tok!Palu diketuk membuat Juan menunduk dengan air mata yang menetes di pipinya. Juan merasa sedih tapi juga sebenarnya lega karena hukumannya tidak terlalu berat.Perasaan itu berbanding terbalik dirasakan oleh Stella yang sebentar lagi mendengar dakwaannya. Stella berpikir kalau Juan saja dijatuhi hukuman selama 5 tahun, bagaimana dengan dirinya yang merupakan otak serta orang yang selama ini tak hentinya melakukan kejahatan kepada Smith."Mana kipas portable milikku? Aku gerah," tanya Stella seraya mengibas-kibaskan tangan ke wajahnya.Belum juga pengacaranya memberikannya, Stella malah sudah dipanggil oleh hakim untuk mengganti Juan duduk di kursi pesakitan. Stella mengambuskan napas berat, dia melangkah maju dengan percaya diri meskipun sebenarnya hatinya sangat takut saat ini."Sayang, aku merasa deg-degan," ucap Smith memegang tangan Laura.Padahal Laura juga sangat gugup sekarang bahkan tangannya mengeluarkan keringat dingin saking gugupnya. Namun, keduanya tetap saling
Tiba masanya pada moment yang ditunggu-tunggu yakni persidangan Stella setelah Smith, Vincent, dan Louis menlewati banyak sekali proses yang tak luput dari halangan dan rintangan.Pagi-pagi sekali, keluarga Smith sudah siap berangkat menuju ke pengadilan. Laura juga ikut, wanita itu hanya ingin menemani serta mendukung suaminya.Sesampainya di sana, Smith, Laura, Louis, dan Vincent yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam melenggang dengan percaya diri menuju ke ruang persidangan. Tak lama kemudian, datang teman-teman Vincent yang merupakan para pengacara untuk mendukung Smith. Mereka siap membela seandainya putusan hakim tak sesuai dengan harapan."Tenang, Smith, para hakim sudah tahu siapa kami dan pasti tidak akan berani macam-macam mengecoh putusan. Lagi pula, kami lihat lawanmu tidak seberapa, kamu pasti menang," ucap salah satu dari pengacara itu."Terima kasih sebelumnya, sungguh kehormatan bagi kami karena mendapat dukungan dari Anda semua. Semoga para hakim bisa seadil-a
Laura terkejut dengan ucapan Vincent barusan. Dia mengambil foto usang tersebut lalu mengamatinya dengan seksama. Vincent mengatakan bahwa dia dan Ferdy--ayah Laura adalah sahabat karib yang sangat dekat. Mereka bukan hanya teman bermain, tapi juga teman dalam membangun bisnis.Ferdy dan Vincent juga selalu merencanakan banyak hal dalam kehidupan mereka dan berjanji akan selalu bersama meski sudah berumah tangga. Jangan sampai membuat tali persahabatan mereka putus."Apa Ayah sungguh-sungguh dengan cerita itu?" tanya Laura. "Aku hanya khawatir kalau Ayah menceritakan cerita bohong demi mengobati luka hatiku," imbuhnya.Vincent tertawa mendengar celotehan Laura, tapi dia paham karena mungkin menantunya itu hanya merasa trauma. Jadi, Vincent harus memakluminya."Tentu saja tidak, Nak. Ayah dan ayahmu memang sedekat itu bahkan apa yang ayah miliki sekarang semuanya ada campur tangannya Ferdy saat dia masih hidup. Kami membangun banyak hal dalam dunia bisnis dan merencanakan perjodohan a