Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai, menciptakan garis-garis keemasan yang menari di dinding kamar.Laura membuka matanya perlahan, dunia di sekitarnya masih terasa setengah nyata, seperti mimpi yang belum usai.Ia menoleh ke arah samping, hanya untuk mendapati bahwa Smith sudah tidak ada di sana.Namun, kehadirannya terasa begitu nyata dalam pikirannya. Ingatan semalam menyeruak, membanjiri benaknya seperti ombak yang tak bisa ditahan.Ia teringat bagaimana dirinya hanyut dalam belaian hasrat yang Smith berikan. Sentuhan itu begitu mematikan, seperti listrik halus yang mengalir di kulitnya, membuat tubuh Laura meremang hanya dengan membayangkannya kembali.“Ah! Aku sudah gila,” keluh Laura sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menggenggam erat rambutnya yang kusut, sementara bibir bawahnya tergigit pelan dalam upaya menahan rasa malunya.“Aku sudah seperti wanita murahan... astaga,” gumamnya, suaran
Berkali-kali, pandangan Laura terarah pada Smith, yang begitu sibuk dengan dunia digital dalam genggaman tangannya.Jari-jarinya yang panjang mengetuk layar iPad seperti alunan simfoni kecil, seakan mengabaikan keberadaan wanita di sisinya.Di sudut ruangan, bayangan lampu temaram memeluk keduanya dalam keheningan yang nyaris penuh rahasia. Laura menghela napas—tidak terlalu berat, namun cukup untuk menarik perhatian pria itu.Smith menoleh, sepasang mata kelabu bak laut badai bertemu lembut dengan tatapan Laura yang gelisah.“Ada apa, Laura?” tanyanya, suara bariton yang biasanya tegas kini melembut, seperti aliran sungai di musim semi.Tangannya terulur, menyentuh punggung Laura dengan gerakan yang menyampaikan rasa nyaman tanpa kata-kata.Laura meringis kecil, seolah usapan itu menyingkapkan kerentanan tersembunyi di balik senyumnya yang rapuh. “Apa aku mengganggumu?” suaranya lirih, hampir seperti gumaman angin malam.Smith menaikkan alis, sedikit terkejut. Senyuman tipis muncul d
“Tidak juga.” Suara Smith terdengar tenang, namun memiliki kedalaman yang membuat Laura terdiam sejenak.Matanya yang kelabu menatap wajah Laura, memeriksa setiap ekspresi kecil yang mungkin terlintas di sana, seperti seorang arkeolog yang menggali makna di bawah lapisan waktu.“Huh?” Laura mengernyitkan dahi, kebingungan tersirat dalam suaranya. Pertanyaan itu seolah menggantung di udara, mengisi jeda di antara mereka dengan keheningan yang terasa pekat.Smith tersenyum tipis, senyum yang lebih seperti guratan lembut pada kanvas ketimbang ekspresi yang penuh kegembiraan.Ia meraih tangan Laura, menggenggamnya dengan hangat, jari-jarinya yang kokoh perlahan mengusap punggung tangan wanita itu. Sentuhan itu seperti aliran air yang menenangkan, membawa kehangatan yang sulit untuk diabaikan.“Kau bertanya apakah aku tidak mau cerai denganmu karena takut jabatan itu jatuh pada Louis.” Suaranya terdengar rendah, hampir seperti bisikan rahasia yang hanya untuk Laura seorang. “Jawabannya buk
“Smith?” Suara Laura terdengar lembut namun dipenuhi keresahan. Ia menghela napas panjang, matanya menatap wajah suaminya yang tampak penuh tekad.Smith, dengan alisnya yang sedikit berkerut, masih saja terobsesi menyingkirkan Louis—adik kembarnya yang terus mencoba merebut Laura darinya.“Aku sama sekali tidak tertarik padanya,” ujar Laura, nada suaranya tegas namun lembut, seperti belaian angin pada dedaunan.“Meskipun awalnya dia sangat baik padaku. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkan apa yang sudah dia lakukan di masa lalumu dan juga apa yang mungkin dia lakukan di masa depan.”Smith tetap diam, hanya menatap Laura dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Matanya penuh kekhawatiran, seperti badai yang diam-diam bergemuruh di dalam dirinya.Laura tahu, tatapan itu bukan tentang dirinya—bukan tentang cinta yang ia ragukan—melainkan ketidakpercayaan mendalam terhadap Louis.“Aku tidak berniat mencintainya meskipun dia bersikap baik padaku,” ulang Laura, kali ini dengan lebih tega
“Jika aku mengatakan bahwa aku sudah tidak mencintainya lagi, apa kau akan percaya padaku?” tanya Smith, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Matanya yang tajam menatap dalam-dalam wajah Laura, seolah mencoba membaca isi hatinya.Laura menelan ludahnya, rasanya seperti menelan kerikil tajam. Ia menggeleng pelan, tatapannya jatuh pada genggaman tangan Smith yang terasa hangat, tapi penuh dengan beban yang tak terlihat.“Aku tidak tahu, Smith. Tampaknya kau sangat mencintainya,” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam udara di antara mereka.Smith tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip sebuah luka yang terlalu lelah untuk disembunyikan.Ia meremas tangan Laura, mengusapinya dengan lembut, seperti sedang berusaha mentransfer keyakinan yang ia miliki.“Sebenarnya, aku sempat ragu dengan perasaanku sendiri, Laura,” ucapnya pelan, diiringi helaan napas panjang yang seperti membawa kenangan pahit keluar dari dalam dirinya.“Saat pertama kali Stella tiba di kota ini, aku meninggalkanm
“Kali ini, tolong percayalah,” ucap Smith, suaranya serak dengan nada yang nyaris memohon.Matanya, yang biasanya penuh dengan keteguhan, kini memancarkan kejujuran yang rapuh. “Aku mencintaimu, Laura. Hanya saja, aku bingung mengartikan cinta itu sebab perasaan bersalahku pada Stella.”Laura menatap Smith, matanya lekat pada wajah pria itu meski hatinya masih diguncang oleh pernyataan yang baru saja ia dengar.Kata-kata Smith seperti angin lembut yang membawa aroma bunga di musim semi—manis, namun tak terduga.“Kau akan membuka hati untukku, kan?” tanya Smith dengan nada penuh harap, seperti seorang musafir yang memohon setetes air di tengah gurun pasir.Laura mengangkat wajahnya dengan cepat, senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Menurutmu?” jawabnya, nada suaranya penuh misteri yang membuat Smith terkekeh pelan.Tanpa berkata-kata lagi, Smith mendekat dan mengecup kening Laura dengan lembut, bibirnya meninggalkan jejak hangat yang mengalir hingga ke hatinya.“Ayo pulang,” ucap Smith
“Kau … tidak sedang bercanda, kan?” tanya Smith dengan suara bergetar halus, sorot matanya mencerminkan ketidakpercayaan bercampur dengan keharuan yang sulit dijelaskan.Seolah dunia di sekitarnya menjadi kabur, menyisakan hanya Laura dan pernyataannya yang bergaung dalam benaknya.Laura terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng lembut yang mengisi malam dengan kehangatan. “Tentu saja tidak, Smith.” Senyumnya merekah, menghapus sejenak keraguan di hati Smith.Ia mengalihkan pandangan sesaat, seolah mencari keberanian dari angin malam yang menyapa lembut wajahnya. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu, Smith.” Tatapannya kembali pada Smith, penuh dengan keberanian baru yang telah ia temukan.Smith menatapnya lekat, wajahnya tegas namun terselubung dengan harapan yang tak terkatakan. “Katakan, Laura. Aku di sini mendengarkanmu.”Laura menarik napas dalam, suaranya terdengar lembut namun sarat makna. “Sebenarnya di malam itu, aku sudah ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menerimamu
“Aku harus pergi menemui Rafael. Bisnis kerja sama kami untuk membangun hotel di dekat pantai akan segera direalisasi,” ucap Smith sembari menyantap sarapan paginya.Suaranya terdengar ringan, namun setiap kata mengandung tekad yang mantap, seperti ombak yang tak kenal lelah menyapa tepi pantai.Laura, yang duduk di seberangnya dengan secangkir teh hangat di tangannya, mengangkat pandangannya perlahan.“Tapi, kau akan pulang?” tanyanya lembut, namun matanya menyimpan harapan yang terselubung.“Tentu saja. Aku tidak akan membiarkanmu tidur sendiri, Sayang.”Panggilan itu—Sayang—membuat pipi Laura memanas. Hangatnya menjalar seperti mentari pagi yang menyentuh pipinya untuk pertama kali.Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, mengingat ia tak pernah mendengar panggilan itu sebelumnya dari Smith.“Ada apa? Kenapa diam, hm?” Smith menatapnya dengan senyum tipis, menyadari perubahan ekspresi di wajah Laura. “Kau tidak percaya kalau aku akan pulang?”Laura cepat-cepat menggelengkan kep
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu
Semenjak makan malam di luar itu, Laura sudah tidak pernah lagi bepergia ke luar rumah demi menjaga kehamilannya yang sangat rentan.Namun, Smith tidak mau membuat Laura jadi jenuh berada di rumah. Dia selalu mengadakan kegiatan apa pun supaya Laura tetap merasa senang berada di rumah.Hari ini, Smith sengaja menyuruh para asisten rumah tangga di rumahnya untuk membersihkan satu ruangan yang lama tidak terpakai. Ruangan itu cukup luas, tapi Smith belum pernah menggunakannya sehingga hanya menjadi gudang barang tak terpakai."Kamu mau menggunakannya jadi ruangan apa, Sayang? Ruang kerja baru kah?" tanya Laura pada suaminya.Smith mengulum senyum, dia masih ingin merahasiakan apa yang akan dibuatnya sekarang."Kok malah senyum-senyum, sih? Nyebelih banget ih." Laura mencubit lengan suaminya.Tak lama kemudian, suara klakson yang cukup keras terdengar dari luar. Smith menarik tangan Laura untuk membawanya ke luar sambil melihat apa yang telah dia beli.Saat keluar dari rumah, Laura langs
Hari beganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa satu bulan lagi Laura diperkirakan akan melahirkan anak pertama sekaligus kedua dia dan Smith.Semakin tua kehamilannya, perut Laura semakin membesar dan hal itu membuat Laura jarang bergerak karena berat. Namun, Laura tidak terbiasa jika harus duduk saja, dia meminta Smith untuk mengajaknya jalan-jalan.Setiap pagi, Smith meluangkan waktu untuk menemani Laura jalan-jalan di sekitar area perumahan. Hal tersebut dilakukan supaya persalinan Laura berjalan dengan lancar."Kamu capek?" tanya Smith ketika Laura berhenti sejenak."Tidak, hanya merasa sedikit sakit di pinggang. Tapi tak apa, kata dokter itu hal yang biasa," jawab Laura."Jangan berlagak baik-baik saja, mau sekuat apa pun seorang ibu hamil, sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Banyak rasa sakit dan derita yang dipikulnya," ujar Smith.Smith lalu mengajak Laura untuk istirahat di salah satu kursi yang ada di pinggir jalan, keduanya minum demi melepas dahaga dan mengganti c
Ucapan Stella yang mengatakan bahwa Smith juga akan masuk penjara dan dirinya akan melahirkan tanpa kehadiran Smith masih terngiang di pikiran Laura. Dia takut kalau ucapan itu akan menjadi kenyataan.Ketika sampai di dalam mobil, Laura langsung mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya. Laura sangat cemas karena tahu kalau Stella adalah orang yang licik dan bisa melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya sekalipun Smith tidak memiliki salah."Sayang, lupakan saja, apa yang dia katakan hanya bentuk ungkapan dari segala kekalahannya. Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sisimu. Do'akan aku selalu," ucap Smith dengan tegas."Tentu saja, tapi bagaimana kalau Stella nekad? Zaman sekarang, penjara bukan menjadi tempat paling aman dari kejahatan. "Justru dari dalam sana banyak orang yang bisa bebas melakukan kejahatan jika mereka memiliki uang dan kuasa," tutur Laura.Dia mengutarakan segala kemungkinan yang ada di pikirannya. Hormon kehamilan membuat Laura jadi mudah sekali b
Tok tok tok!Palu diketuk membuat Juan menunduk dengan air mata yang menetes di pipinya. Juan merasa sedih tapi juga sebenarnya lega karena hukumannya tidak terlalu berat.Perasaan itu berbanding terbalik dirasakan oleh Stella yang sebentar lagi mendengar dakwaannya. Stella berpikir kalau Juan saja dijatuhi hukuman selama 5 tahun, bagaimana dengan dirinya yang merupakan otak serta orang yang selama ini tak hentinya melakukan kejahatan kepada Smith."Mana kipas portable milikku? Aku gerah," tanya Stella seraya mengibas-kibaskan tangan ke wajahnya.Belum juga pengacaranya memberikannya, Stella malah sudah dipanggil oleh hakim untuk mengganti Juan duduk di kursi pesakitan. Stella mengambuskan napas berat, dia melangkah maju dengan percaya diri meskipun sebenarnya hatinya sangat takut saat ini."Sayang, aku merasa deg-degan," ucap Smith memegang tangan Laura.Padahal Laura juga sangat gugup sekarang bahkan tangannya mengeluarkan keringat dingin saking gugupnya. Namun, keduanya tetap saling
Tiba masanya pada moment yang ditunggu-tunggu yakni persidangan Stella setelah Smith, Vincent, dan Louis menlewati banyak sekali proses yang tak luput dari halangan dan rintangan.Pagi-pagi sekali, keluarga Smith sudah siap berangkat menuju ke pengadilan. Laura juga ikut, wanita itu hanya ingin menemani serta mendukung suaminya.Sesampainya di sana, Smith, Laura, Louis, dan Vincent yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam melenggang dengan percaya diri menuju ke ruang persidangan. Tak lama kemudian, datang teman-teman Vincent yang merupakan para pengacara untuk mendukung Smith. Mereka siap membela seandainya putusan hakim tak sesuai dengan harapan."Tenang, Smith, para hakim sudah tahu siapa kami dan pasti tidak akan berani macam-macam mengecoh putusan. Lagi pula, kami lihat lawanmu tidak seberapa, kamu pasti menang," ucap salah satu dari pengacara itu."Terima kasih sebelumnya, sungguh kehormatan bagi kami karena mendapat dukungan dari Anda semua. Semoga para hakim bisa seadil-a
Laura terkejut dengan ucapan Vincent barusan. Dia mengambil foto usang tersebut lalu mengamatinya dengan seksama. Vincent mengatakan bahwa dia dan Ferdy--ayah Laura adalah sahabat karib yang sangat dekat. Mereka bukan hanya teman bermain, tapi juga teman dalam membangun bisnis.Ferdy dan Vincent juga selalu merencanakan banyak hal dalam kehidupan mereka dan berjanji akan selalu bersama meski sudah berumah tangga. Jangan sampai membuat tali persahabatan mereka putus."Apa Ayah sungguh-sungguh dengan cerita itu?" tanya Laura. "Aku hanya khawatir kalau Ayah menceritakan cerita bohong demi mengobati luka hatiku," imbuhnya.Vincent tertawa mendengar celotehan Laura, tapi dia paham karena mungkin menantunya itu hanya merasa trauma. Jadi, Vincent harus memakluminya."Tentu saja tidak, Nak. Ayah dan ayahmu memang sedekat itu bahkan apa yang ayah miliki sekarang semuanya ada campur tangannya Ferdy saat dia masih hidup. Kami membangun banyak hal dalam dunia bisnis dan merencanakan perjodohan a