Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai, menciptakan garis-garis keemasan yang menari di dinding kamar.Laura membuka matanya perlahan, dunia di sekitarnya masih terasa setengah nyata, seperti mimpi yang belum usai.Ia menoleh ke arah samping, hanya untuk mendapati bahwa Smith sudah tidak ada di sana.Namun, kehadirannya terasa begitu nyata dalam pikirannya. Ingatan semalam menyeruak, membanjiri benaknya seperti ombak yang tak bisa ditahan.Ia teringat bagaimana dirinya hanyut dalam belaian hasrat yang Smith berikan. Sentuhan itu begitu mematikan, seperti listrik halus yang mengalir di kulitnya, membuat tubuh Laura meremang hanya dengan membayangkannya kembali.“Ah! Aku sudah gila,” keluh Laura sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menggenggam erat rambutnya yang kusut, sementara bibir bawahnya tergigit pelan dalam upaya menahan rasa malunya.“Aku sudah seperti wanita murahan... astaga,” gumamnya, suaran
“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan. Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu.“Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya.“Aku tidak
“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai, menciptakan garis-garis keemasan yang menari di dinding kamar.Laura membuka matanya perlahan, dunia di sekitarnya masih terasa setengah nyata, seperti mimpi yang belum usai.Ia menoleh ke arah samping, hanya untuk mendapati bahwa Smith sudah tidak ada di sana.Namun, kehadirannya terasa begitu nyata dalam pikirannya. Ingatan semalam menyeruak, membanjiri benaknya seperti ombak yang tak bisa ditahan.Ia teringat bagaimana dirinya hanyut dalam belaian hasrat yang Smith berikan. Sentuhan itu begitu mematikan, seperti listrik halus yang mengalir di kulitnya, membuat tubuh Laura meremang hanya dengan membayangkannya kembali.“Ah! Aku sudah gila,” keluh Laura sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menggenggam erat rambutnya yang kusut, sementara bibir bawahnya tergigit pelan dalam upaya menahan rasa malunya.“Aku sudah seperti wanita murahan... astaga,” gumamnya, suaran
Ciuman itu kian memanas, menjelma api yang membakar setiap inci jarak di antara mereka.Smith mengangkat tubuh Laura dengan lembut namun penuh gairah, seperti membawa sebuah harta karun yang tak ternilai.Bibir mereka tetap menyatu, menyulam desir kehangatan di udara, sementara langkah-langkah Smith memimpin mereka menuju ranjang yang seolah menjadi altar penyatuan jiwa.Ia merebahkan tubuh Laura dengan hati-hati, seakan menyentuh porselen yang rapuh.Tatapan matanya yang gelap dan penuh intensitas menelusuri wajah Laura, seperti menatap lukisan yang baru ia temukan setelah bertahun-tahun tersesat.Jakun Smith bergerak naik-turun, menandakan gejolak yang tak mampu ia sembunyikan. Itu membuat jantung Laura berdegup lebih cepat, seakan mematuhi ritme yang diciptakan oleh gairah di antara mereka."Kau tahu? Kita sudah terlalu lama terkurung dalam dinginnya jarak," bisiknya serak, nadanya berat seperti suara badai yang menggema dari kejauhan.Laura mengangguk pelan. Mata cokelatnya yang b
“Ya. Tentu saja aku sangat serius dan yakin,” Smith menganggukkan kepalanya, tatapannya jatuh pada wajah Laura yang teduh namun penuh tanda tanya.Ia kemudian menggenggam tangan Laura, telapak tangannya terasa hangat, namun jemarinya sedikit bergetar, mencerminkan gugup yang tak ia tunjukkan di wajahnya.Smith menghela napas panjang, udara yang diembuskannya terasa seperti beban berat yang dilepaskan.“Mengharapkan yang tidak jelas tidak akan menemukan ujungnya, Laura. Sementara aku … aku harus mencari yang terbaik dalam hidupku,” katanya, suaranya merendah, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri sekaligus kepada Laura.Smith menelan salivanya perlahan, tenggorokannya terasa kering. “Aku tidak pernah seyakin ini pada diriku sendiri, Laura. Aku … bahkan saat menjalin hubungan dengan Stella pun selalu ada saja keraguan dalam diriku.”Laura mengangkat alisnya, senyum tipis merekah di bibirnya, seolah ucapan itu berhasil menyentuh hatinya meski ia tak ingin menunjukkannya.“Lalu,
Hari ini adalah hari Minggu. Sinar mentari yang lembut menyelinap melalui dedaunan pohon besar di halaman rumah megah keluarga Vincent, memberikan kesan damai yang bertolak belakang dengan debaran di hati Laura.Langkah mereka terasa berat saat mendekati pintu utama, meskipun tangan Smith menggenggamnya dengan kokoh, memberikan rasa aman yang nyaris tak terungkapkan.“Smith?” panggil Laura dengan nada lembut namun penuh keraguan, tangannya sedikit menarik lengan pria itu.Smith menoleh, matanya menatap Laura dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya seolah membungkus kegelisahan Laura dengan ketenangan.“Apakah ibumu ada di dalam?” tanya Laura, suaranya hampir tenggelam dalam udara sore yang hangat. Ada kilatan was-was di matanya, mengingat setiap kata tajam yang pernah dilemparkan Maria, ibu mertuanya, seperti belati yang menggores harga dirinya tanpa ampun.Smith mengeratkan genggamannya, menatap Laura dengan tatapan yang seol
"Apa yang kau inginkan, Laura?" Smith kembali bertanya, suaranya serak namun penuh kesungguhan.Ia duduk tegak di sudut ruangan, memperhatikan Laura yang sibuk memasukkan sisa-sisa pakaian ke dalam koper.Laura menghentikan gerakannya sejenak, menghela napas panjang seperti mencoba meredam sesuatu di dalam hatinya."Apa kau belum bosan menanyakan apa yang aku inginkan, Smith?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan udara di kamar itu.Smith menggeleng perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. "Tidak," jawabnya tegas, namun lembut."Aku tidak akan bosan menanyakan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau baru memberiku satu perintah."Laura tertawa kecil, suara itu seperti melodi lembut yang memecah ketegangan di antara mereka. "Berhentilah menanyakan hal itu padaku, Smith. Jika aku menginginkan sesuatu, aku pasti akan memberitahumu.""Sungguh?" Mata Smith berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang paling ia dambakan.
“Apa?” seru Laura dengan suara terkejut, tubuhnya berputar cepat ke arah Smith, sementara matanya membesar seperti bulan purnama di langit gelap.Smith hanya mengerutkan keningnya, tampak bingung melihat ekspresi Laura yang terkejut seolah mendengar hal yang mustahil. Wajahnya tetap tenang, meski ada sedikit senyuman kecil yang terselip di sudut bibirnya.“Ada apa, Laura? Bukankah kita ini sepasang suami istri? Apa salahnya jika kita tidur dalam satu kamar?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh keyakinan, seperti angin lembut yang menyapu dedaunan tanpa meminta izin.“A-aku tahu,” sahut Laura terbata-bata, rona merah tipis mulai merayap di pipinya.“Hanya saja, selama ini kita tidak pernah tidur dalam satu kamar, Smith!” protesnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, seolah berusaha menyembunyikan kegugupannya.Smith terkekeh kecil, suara itu serupa gurauan kecil dari ombak yang berbisik pada pantai. “Ya, tapi mulai detik ini, kita akan tidur dalam satu kamar,” ucapnya sambil m
“Aku harus berpamitan terlebih dahulu pada Rafael dan karyawan di sana. Walau bagaimanapun, aku sudah bekerja di sana selama dua bulan lamanya,” ucap Laura, memecah keheningan yang telah menggantung di antara mereka selama hampir lima menit.Suaranya terdengar lembut, tetapi ada sesuatu di baliknya—sebuah kenangan yang enggan ia lepaskan begitu saja.Smith menerbitkan senyum, kali ini lebih lebar dari biasanya, seperti matahari yang menembus awan tebal.Kata-kata Laura barusan membangkitkan harapan dalam dirinya, membuat dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang hangat.Itu berarti Laura mau kembali padanya. Tanpa ragu, ia mengangguk cepat, penuh semangat yang sulit disembunyikan.“Ya. Aku akan menemanimu ke sana untuk berpamitan,” ucapnya, nadanya mengandung kegembiraan yang hampir seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.“Huh?” Laura menoleh dengan alis terangkat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Bukankah kau tidak ingin orang lain tahu tentang pernikahan kita?” tanyanya dengan
Brugh!Suara berat menggema di ruang tamu saat Smith meletakkan boneka sebesar tubuh manusia dewasa di atas sofa. Laura tersentak, matanya membulat, tubuhnya seolah membeku sesaat.“Astaga, Smith,” gumamnya dengan napas tercekat. Tatapannya terpaku pada boneka itu, sebuah mahakarya berbulu lembut yang tampak terlalu besar untuk ruangan mereka, seperti raksasa yang salah tempat.“Aku pikir kau bercanda akan membeli boneka sebesar ini,” ucap Laura akhirnya, suaranya terdengar antara tak percaya dan terhibur. Mulutnya menganga lebar, seolah tak mampu menampung kejutan yang baru saja terjadi.Smith menaikkan satu alis dengan gaya khasnya, ekspresinya mencampurkan keangkuhan dan kebanggaan.“Apa maksudmu, Laura? Bahkan aku bisa memberimu yang lebih besar dari ini. Hanya saja, di toko itu hanya ini yang paling besar,” ujarnya sambil mengusap pelan ujung jaketnya, seolah ingin menegaskan bahwa ini hanyalah hal kecil yang bisa ia lakukan.Laura mendesah pelan, namun hatinya tersentuh. Ada ras
"Keinginan yang sangat di luar nalar. Bisa-bisanya dia meminta boneka sebesar manusia," gumam Smith dengan nada jengkel, langkahnya terdengar berat menghentak lantai keramik mall yang berkilauan seperti kaca yang membingkai langit.Mall itu terletak tak jauh dari rumah sakit, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya belakangan ini.Vicky—asisten pribadinya yang baru, menggantikan Laura yang telah pergi meninggalkan dirinya seperti angin yang enggan singgah—akhirnya tiba untuk membantunya mengangkat boneka jumbo itu.Wanita muda itu mengenakan blazer hitam yang rapi, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang meniti tali di atas jurang.“Warna apa yang diinginkan Nyonya, Tuan?” tanyanya dengan nada sopan, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang halus.Smith berhenti sejenak, keningnya berkerut. Ia lupa menanyakan hal sepenting warna boneka itu. Dalam pikirannya, Laura, yang dulu selalu begitu detil, kini terasa jauh seperti mimpi yang memudar saat pagi me