Sinar mentari menelusup melalui ventilasi kamar. Calvin masih memejamkan mata setelah salat subuh ia kembali tidur hingga akhirnya terbangun karena tubuhnya terasa panas. Ia turun dari ranjang kemudian berjalan ke dapur karena mencium wangi masakan. "Wangi sekali," ucap Calvin yang ada di pintu menuju dapur. "Eh, ini apa?" Calvin meraih gorengan yang terlihat hangat. Plak!Diandra menepuk punggung tangan Calvin."Aw! Sakiiittt, Ket." Calvin meringis. "Mandi dulu sana! Malah ambil-ambil aja makanan," sengit Diandra. "Ya ellah, timbang satu biji doang, Ket. Mau mandi tapi dingin. Jadi perutnya harus diisi dulu biar enggak masuk angin," ucap Calvin yang membuat Amira tersenyum. "Tante, boleh, ya?" Calvin bertanya pada Amira karena merasa akan ada yang membelanya.Amira mengangguk dengan seulas senyum. Kehadiran Calvin saat ini memang bisa membuat ibu dari anak tunggal ini sedikit terobati dengan kemalangan yang menimpa putri tercintanya."Jangan, pokoknya mandi dulu, jorok, kamu!" Di
Sudah tiga hari Calvin dan Diandra berada di Surabaya. Kini saatnya mereka pulang ke Yogyakarta untuk kembali bekerja. Keduanya berpamitan pada Teo dan Amira. "Aku pamit, ya, Bu." Andra mencium punggung tangan Amira. "Pamit, ya, Yah." Lalu mencium punggung tangan Teo. "Hati-hati, ya, Nak." Amira mendekap hangat tubuh putrinya sebelum ia pergi. Diandra pun mengangguk ketika ada dalam dekap hangat ibunya. "Nak Calvin, Pakde titip Andra, ya?" ucap Teo yang membuat Diandra dan juga Amira melongo. "Pakde percaya sama kamu." "Baik, Pakde. Kalau begitu aku pamit, ya? Pakde, Bude." Calvin mengangguk berpamitan. Kini Diandra dan Calvin telah menaiki mobil hitam meninggalkan rumah di Surabaya. Perlahan tetapi pasti mobil mereka kini sudah tidak terlihat di mata Amira dan Teo. "Mari kita masuk, Bu!" ajak Teo saat mereka masih di depan pagar rumah. "Ayah! Tunggu!" Amira pun ikut mengejar. "Yah, ada yang mau Ibu tanyain sama Ayah," lanjut Amira yang kini berjalan di sampingnya. "Perihal ap
"Ma?" Dengan wajah memelas Calvin memohon pada Leona. "Eh, Mama lupa ada janji sama Om kamu. Nanti dia mengomel kalo Mama telat. Bye!" Leona berjalan dengan langkah tergesa-gesa meninggalkan Calvin yang melongo. Calvin hanya bisa menarik napas dalam dan menghempaskan sekaligus karena kesal. Nalurinya merasa tidak enak melihat Leona yang seolah menghindar untuk mengijinkannya menikahi Diandra. "Giman gue deketin dia? Kalau ijin dari Mama aja gak ada," keluh Calvin. Calvin kembali berjalan dan menaiki tempat tidur. Berulangkali otaknya berpikir bagaimana cara agar ia mendapatkan restu dari orang tuanya. Leona saja tidak mengijinkan, bagaiman dengan papanya? Berulangkali Calvin memejamkan mata tetapi tetap saja tidak bisa. Hingga akhirnya dering ponsel terasa mengganggunya malam ini. Ia pun meraihnya dan menjawab dengan malas."Calvin?" Suara bariton terdengar dari dalam ponsel. "Hem." Calvin masih menjawab malas. "Kamu kenapa? Ada masalah di perusahaan Mamamu?""Gak ada.""Lalu?"
Hubungan Dewa dan Magdalena yang begitu hangat kini seolah dingin. Magdalena yang sibuk dengan perusahaan yang dirintis oleh papanya dan Dewa yang masih mengelola perkebunan. Saat ini Dewa memang tidak terlalu tergoda dengan perempuan. Mungkin karena kesibukannya yang menyita waktu di perkebunan. Atau bahkan dirinya ingin berubah. Malam ini Magdalena lembur dan Dewa hendak menjemputnya tanpa mengabari terlebih dahulu. Satu buket mawar merah sudah ia beli, bibirnya tersenyum kala membayangkan bibir merah istrinya akan merekah ketika ia menjemputnya ke tempat kerja sambil membawakan buket bunga merah. Romantis. Perasaan Dewa benar-benar bahagia. Sudah mendapatkan istri cantik, kaya dan juga baik. Kurang sempurna apa lagi hidupnya? Hingga akhirnya mobil itu terparkir di lobi dasar dengan penerangan remang-remang. Dewa meraih buket mawar merah dan merapikan bajunya. "Lena?" gumam Dewa ketika melihat sosok istrinya terhalang oleh deretan mobil-mobil mewah yang terparkir di sana. Dewa
"Gak baik, loh, kalo berduaan. Apalagi malam-malam begini. Makanya gue datang," ucap Naveen sambil menyeret kursi, lalu duduk. "Sesungguhnya yang ada di antara dua orang dewasa yang berlainan jenis itu biasanya setan," ucap Calvin tidak kalah sengit. "Whohoho ... mana mungkin ada setan ganteng, Om?" "Sudah, diam, kalian! Udah selesai, kan, makannya? Kita pulang!" Diandra mendorong kursinya ke belakang sambil berdiri, wanita itu kini meninggalkan Calvin dan Naveen di dalam restoran. Sementara di dalam sana, ada tatapan sengit dua pasang mata antara Naveen dan Calvin. Hingga akhirnya mereka bangkit dari kursi masing-masing dan sama-sama berjalan menuju mobil. Kini ketiganya sudah ada di mobil. Keadaan hening hingga mobil melesat melintasi perjalanan malam ini. Sekitar setengah jam dan mobil Calvin telah sampai di depan gerbang kost Diandra. "Makasih untuk makan malamnya, ya, Ko?" ucap Diandra ketika ia hendak turun dari mobil. Sementara Naveen sudah keluar lebih dulu dari mobil te
Diandra mulai mengkhawatirkan perasaan Naveen kalau saja pemuda itu benar-benar mencintai dirinya. Usia mereka memang tidak terpaut jauh, tetapi tidak mungkin bagi Diandra kalau sampai laki-laki yang telah ia anggap adik itu berubah menjadi suaminya. Tidak ada yang harusnya ditakuti oleh Diandra pada Naveen, sebab ia laki-laki baik baginya. Hanya saja rasa Diandra dari awal bertemu Naveen tidak lebih dari seorang adik, bukan pasangan. Apakah mungkin perasaan itu akan berubah? "Kamu ngapain di sini, Naveen?" Diandra bertanya lagi ketika mereka benar-benar berdekatan saat ini. "Gue lagi enggak ada tugas, mo temani Tante di sini." "Aku mau pergi," ucap Diandra sambil berjalan menuju kost-an. "Ke mana?" "Kepo!""Ya udah, sama siapa?" "Kepo kuadrat!" "Astaga, Tante!" Naveen menarik lengan Diandra saat janda muda itu hendak masuk kost. "Kamu kenapa, sih, Naveen? Aku mau pergi sama siapapun itu urusanku." "Tapi gue harus tau." "Heh? Sejak kapan kamu harus tau semua urusanku?" "Ck
Pagi yang masih tampak mendung berselimutkan awan tebal, bahkan sang mentari malu-malu menampakkan kehangatannya pagi ini. Mata Diandra seolah-olah sulit terbuka, terasa perih dan juga membengkak perkara semalam. Matanya dipaksa terbuka ketika ada suara notifikasi ponsel. Perlahan tangan Diandra meraih ponsel dan membuka matanya. "Naveen?" [Pasti tidurnya telat. Nangis, kan? Gak usah nangis sebegitunya. Karena dia bukan pacar Tante. Wajar, dong, kalo dia memiliki kekasih? Dia cuma sahabat Tante.] Isi pesan Naveen yang terasa menohok. Memang ada benarnya yang diucapkan pemuda tanggung itu. Ketikkan atau ucapannya memang selalu terkesan menohok, tetapi memang benar adanya. "Ih, anak kecil sotoy! Kamu itu enggak tau kalau aku akan memberikan jawaban tentang perasaanku padanya hari ini. Makanya aku semalam merasa terluka. Merasa menjadi orang yang hanya di-PHP-in, doang!" sengit Diandra sambil mengetik pesan. Namun, sejenak ia kembali chat Naveen dan menelaah lebih dalam. "Benar juga
Keadaan Diandra seketika membaik saat membaca pesan singkat dari Naveen. Ia terlihat cemas dengan pemuda yang sering membuatnya kesal. Saat ini Calvin dan Diandra melesat dalam mobil hitamnya. Tidak ada obrolan, Calvin melihat raut wajah Diandra begitu cemas. Ada rasa cemburu dalam diri Calvin. Terlebih, ia melihat kecemasan pada kekasihnya dan ia juga tidak mengetahui peduli apa yang dipunyai oleh Naveen untuk Diandra. "Ket?" Calvin memecah keheningan. "Iya?" Diandra menjawab, tetapi jemarinya selalu meremas jemari lain yang menunjukkan kalau dirinya sedang gelisah. "Seberapa besar lu mencemaskan Naveen?" Diandra menatap kekasihnya ia melihat ada api cemburu pada Calvin. "Kenapa Koko bertanya seperti itu?" "Jawab aja, sih!" "Iya cemas.""Iya segimana? Sebesar apa?" Diandra mulai tau arah Calvin. Ya, kekasihnya yang baru saja jadian itu sedang cemburu. "Aku mencemaskan dia karena aku menganggap dia adik aku, Ko. Enggak berlebih." "Yakin?" "Iya." "Gak lagi bohongin gue, ka
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian