Diandra mulai mengkhawatirkan perasaan Naveen kalau saja pemuda itu benar-benar mencintai dirinya. Usia mereka memang tidak terpaut jauh, tetapi tidak mungkin bagi Diandra kalau sampai laki-laki yang telah ia anggap adik itu berubah menjadi suaminya. Tidak ada yang harusnya ditakuti oleh Diandra pada Naveen, sebab ia laki-laki baik baginya. Hanya saja rasa Diandra dari awal bertemu Naveen tidak lebih dari seorang adik, bukan pasangan. Apakah mungkin perasaan itu akan berubah? "Kamu ngapain di sini, Naveen?" Diandra bertanya lagi ketika mereka benar-benar berdekatan saat ini. "Gue lagi enggak ada tugas, mo temani Tante di sini." "Aku mau pergi," ucap Diandra sambil berjalan menuju kost-an. "Ke mana?" "Kepo!""Ya udah, sama siapa?" "Kepo kuadrat!" "Astaga, Tante!" Naveen menarik lengan Diandra saat janda muda itu hendak masuk kost. "Kamu kenapa, sih, Naveen? Aku mau pergi sama siapapun itu urusanku." "Tapi gue harus tau." "Heh? Sejak kapan kamu harus tau semua urusanku?" "Ck
Pagi yang masih tampak mendung berselimutkan awan tebal, bahkan sang mentari malu-malu menampakkan kehangatannya pagi ini. Mata Diandra seolah-olah sulit terbuka, terasa perih dan juga membengkak perkara semalam. Matanya dipaksa terbuka ketika ada suara notifikasi ponsel. Perlahan tangan Diandra meraih ponsel dan membuka matanya. "Naveen?" [Pasti tidurnya telat. Nangis, kan? Gak usah nangis sebegitunya. Karena dia bukan pacar Tante. Wajar, dong, kalo dia memiliki kekasih? Dia cuma sahabat Tante.] Isi pesan Naveen yang terasa menohok. Memang ada benarnya yang diucapkan pemuda tanggung itu. Ketikkan atau ucapannya memang selalu terkesan menohok, tetapi memang benar adanya. "Ih, anak kecil sotoy! Kamu itu enggak tau kalau aku akan memberikan jawaban tentang perasaanku padanya hari ini. Makanya aku semalam merasa terluka. Merasa menjadi orang yang hanya di-PHP-in, doang!" sengit Diandra sambil mengetik pesan. Namun, sejenak ia kembali chat Naveen dan menelaah lebih dalam. "Benar juga
Keadaan Diandra seketika membaik saat membaca pesan singkat dari Naveen. Ia terlihat cemas dengan pemuda yang sering membuatnya kesal. Saat ini Calvin dan Diandra melesat dalam mobil hitamnya. Tidak ada obrolan, Calvin melihat raut wajah Diandra begitu cemas. Ada rasa cemburu dalam diri Calvin. Terlebih, ia melihat kecemasan pada kekasihnya dan ia juga tidak mengetahui peduli apa yang dipunyai oleh Naveen untuk Diandra. "Ket?" Calvin memecah keheningan. "Iya?" Diandra menjawab, tetapi jemarinya selalu meremas jemari lain yang menunjukkan kalau dirinya sedang gelisah. "Seberapa besar lu mencemaskan Naveen?" Diandra menatap kekasihnya ia melihat ada api cemburu pada Calvin. "Kenapa Koko bertanya seperti itu?" "Jawab aja, sih!" "Iya cemas.""Iya segimana? Sebesar apa?" Diandra mulai tau arah Calvin. Ya, kekasihnya yang baru saja jadian itu sedang cemburu. "Aku mencemaskan dia karena aku menganggap dia adik aku, Ko. Enggak berlebih." "Yakin?" "Iya." "Gak lagi bohongin gue, ka
Semakin hari hubungan antara Dewa dan Magdalena semakin tidak baik. Apalagi Magdalena mulai sering membanding-bandingkan penghasilannya dengan Dewa. Tentu saja hal itu menyakitkan bagi Dewa, ia merasa tidak dihargai oleh istrinya. Padahal, dulu Andra tidak seperti ini. Berapa pun uang yang aku kasih selalu ia terima tanpa banyak bertanya. Batin Dewa saat Magdalena mengungkit masalah harta. "Stop! Cukup kamu rendahkan aku sampe sini, Lena. Aku sudah capek bekerja, panas-panasan. Sedangkan kamu? Kerja di tempat ber-AC, mana tau rasa bekerja keras itu seperti apa?" "Heh! Kamu pikir bekerja di kantor itu enggak pakek otak? Kerja di kantor itu enggak bikin stres? Wajar, dong, kalau aku mengeluh tentang pendapatan kamu yang tidak seberapa dari hasil kebun yang seharusnya melimpah? Atau, jangan-jangan kamu––" Magdalena melirik dengan penuh selidik. "Apa? Mau curiga sama aku?" Dewa tidak terima. "Bisa saja, kan? Hasilnya kamu pakek main di luar?" Dewa menyeringai. "Kamu berpikir sepert
Dewa tersenyum saat menatap Diandra, tetapi senyum hangat itu hanya sekelebat dan berubah menjadi dingin ketika melihat sosok laki-laki yang ada di samping Diandra."Apa kabarmu, Diandra?" Dewa sebisa mungkin menahan rasa kesal yang ada di hatinya. "Baik." "Kamu mau ke mana?" Dewa kembali bertanya. "Aku mau––" ucap Diandra terhenti karena Calvin yang menyala. "Kami mau pergi untuk meminta restu pada orang tua." Calvin menjawab sedikit kesal karena ia mengenal wajah Dewa. Tatapan Dewa kini tertuju pada Calvin. Ia menatap sengit saat mendengar orang lain yang menjawab pertanyaannya. "Siap kamu? Aku sedang bertanya pada Diandra, bukan padamu!" sengit Dewa yang dari dulu memang seperti itu. "Koko udah menjawab, Mas. Kami memang akan pergi untuk meminta restu pada orang tuanya." Diandra menjelaskan. Sontak, tatapan Dewa kini kembali pada Diandra. "Restu? Untuk apa?" Dewa menyipitkan mata. Tatapan Dewa seolah mengintimidasi Diandra. Padahal, ia bukan lagi suaminya yang memiliki hak
Waktu terus bergulir. Status Diandra di perusahaan pun semakin tersebar. Status janda yang sebenarnya sudah cukup lama kini kembali mencuat ketika Dewa yang lagi-lagi datang ke perusahaan tempat Diandra bekerja. Sial, banyak juga karyawati yang malah berprasangka buruk padanya. "Awas, yang suka dijemput suami atau pacarnya. Kalian jaga baik-baik." Ucapan seorang karyawati cukup menggores di hati Diandra. "Heh! Maksud kalian apa?" Srirahayu yang sedang duduk anteng pun akhirnya berdiri, ia tidak terima dengan ucapan karyawati tersebut. "Eh, ada yang nyahut. Padahal bukan nyindir Mbak, loh," jawab karyawati itu dengan tingkah menyebalkan. "Enggak usah sindir-sindir begitu, deh. Kalian hanya iri dengan temenku, toh?" "Iri? Apa yang mau diiriin dari janda, sih, Mbak?" "Jaga ucapanmu!" Srirahayu melangkah bermaksud ingin memberikan pelajaran pada karyawati tersebut. Namun, Diandra lebih cepat menarik tangannya hingga langkah Srirahayu terhenti. "Mbak, jangan," pinta Diandra sambil m
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian