Calvin meraih tangan Diandra, saat itu juga wanita berparas cantik mematung. "Tolong dengerin gue, Ket. Sumpah, lu gak ganggu dan gue gak keberatan antar lu ke sini," terang Calvin meyakinkan. "Termasuk ajak lu ke pelaminan," gumam Calvin pelan."Hah?!" "Hehehe ... gak, skip aja," ucap Calvin sambil mengusap tengkuknya. "Terus, tadi Koko bilang enggak bisa tidur karena aku. Memangnya aku ngapain sampe bikin Koko enggak bisa tidur?""Ish! Kan, gue bilang, skip aja. Gak ada apa-apa, kok. Lu gak ngapa-ngapain gue juga. Hanya belum bisa tidur aja jadi mending liat bintang-bintang di atas sana." Calvin menunjuk ke langit. "Mau dilanjut?" tanya Diandra. "Iya, sepertinya. Gue belum ngantuk juga. Tidur, gih!" Calvin menyuruh Diandra."Enggaklah, aku belum ngantuk," ucap Diandra dengan seulas senyum dan pandangan yang tertunduk. Calvin melihat Diandra yang semakin cantik di malam pertama mereka dipertemukan kembali setelah kurang lebih empat tahun tidak bersua meski hanya melalui virtual
Calvin dan Diandra telah menemukan tempat kost yang cukup nyaman dengan halaman yang luas, kendaraan pun lebih leluasa masuk dan keluar. Scurity langsung menghampiri, menyambut mobil hitam yang masuk ke halaman kost. "Selamat pagi, Mas, Mbak," sapa scurity. "Pagi, Pak. Apakah masih ada tempat kost yang kosong?" tanya Calvin. "Ada, Mas. Mari, saya antar menemui ibu kostnya," ucap scurity itu dengan ramah. Calvin dan Diandra mengikuti scurity yang berjalan lebih dulu. Mereka di ajak masuk ke gerbang yang terpisah, meski ada dalam satu lingkungan. Rumah yang cukup nyaman dua lantai, saat ini terlihat wanita paruh baya menuruni anak tangga dan tersenyum ketika sudah ada di hadapan Calvin juga Diandra. "Pagi, Bu. Ada yang mau mencari kost," terang scurity yang usianya sekitar dua puluh delapan tahun."Boleh, untuk Mas atau Mbak-nya?" "Untuk Keket, Bu." Calvin menjawab. Ibu kost itu tersenyum melihat Calvin dan Diandra yang terkesan kaku. "Baik, ayok, ikut saya!" Calvin dan Diandr
Sepasang mata Diandra begitu lekat melihat pasangan yang tidak lain suaminya bersama sang majikannya dulu. Mereka tampak akrab dan sama sekali tidak ada rasa canggung malah terkesan romantis. Hingga akhirnya Dewa menghilang ketika ia menuruni eskalator menuju lantai bawah. "Ket? Keket? Lu kenapa?" tanya Calvin. "Hah?" Diandra terperanjat. "Lu ngeliatin siapa? Kok, sampe segitunya? Ada yang lu kenal?" "Enggak, enggak ada yang aku kenal, Ko. Hanya melihat rame-rame di atas sana." Diandra menunjuk pada lantai atas yang tidak lain bagian permainan. "Oh, lu mau main timezone?" tanya Calvin. "Ayok!" ajak Calvin meski ia belum mendapatkan ijin dari Diandra. "Eh, tapi, Ko––" "Ayok!" Tangan kanan Calvin menarik Diandra, sedangkan di tangan kirinya mengambil dua pasang sepatu heels. Calvin menyerahkan sepatu itu pada kasir toko untuk dibayar, kemudian ia berjalan menuju eskalator agar sampai di tempat permainan. "Mau main apa?" tanya Calvin saat mereka sudah ada di area permainan."Ter
Percakapan mereka harus berakhir ketika karyawati butik menghampiri Diandra dan Calvin dengan membawa beberapa pasang outfit untuk ke kantor. "Permisi Mas Calvin." Calvin dan Diandra yang sedang mengobrol, pun, kini melihat ke arah sumber suara. Ternyata karyawati butik itu sudah ada di hadapan mereka. "Saya membawakan tiga outfit yang Mas request. Bisa dilihat dulu bahan dan modelnya, kalau kurang suka nanti saya carikan lagi," ucap karyawati tersebut dengan ramah. Calvin meraihnya dan memberikan pada Diandra. "Lu mau yang mana?" Diandra melihat outifit yang kini sudah ada di pangkuannya. Calvin melihat ekspresi Diandra yang terlihat kebingungan. "Lu suka atau enggak outfitnya?" Calvin kembali bertanya."Bentar, Koko. Aku lagi membandingkan mana yang mau aku pilih," jawab Diandra tanpa melihat Calvin."Hey? Lihat gue," pinta Calvin dan Diandra pun mendongak menatap wajah Calvin. "Gue cuma tanya, lu suka outift itu atau enggak?" Calvin mengangkat satu alisnya. "Iya aku suka, ak
Diandra telah menempati kost baru. Tidak terasa sudah satu Minggu ia berada di sana. Dewa seolah tidak peduli, bahkan ketika Diandra mengambil baju-bajunya, pun, Dewa tidak ada di rumah. Tidak ada usaha Dewa untuk mencari istrinya. Meski Diandra meninggalkan alamat kost barunya itu. Bahkan, sekadar telepon atau pesan singkat pun tidak ada. Mentari pagi ini begitu hangat menelusup ventilasi kamar. Diandra yang baru selesai mandi kini telah memakai outfit pemberian dari Calvin. Ia bercermin dan seketika itu juga bibirnya tersenyum simpul. Diandra duduk di depan meja rias sembari memoles wajahnya dengan make up dan menyisir rambut panjangnya. Kini waktu telah menunjuk ke angka tujuh, itu tandanya Diandra harus segera ke tempat kerja. "Pagi, Mbak Catherine ... udah mau berangkat, ya?" Salah seorang penghuni kost menyapanya. "Pagi, Mbak. Iya, nih. Takut telat." "Mbak Catherine, maaf, boleh ganggu waktunya sebentar enggak?" Diandra melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya
Diandra semakin kesal karena sudah hampir jam istirahat selesai, Calvin belum juga datang. "Permisi!" Terdengar seorang laki-laki memanggil sambil mengetuk pintu ruang kerja Diandra. "Silahkan masuk!" Diandra menjawab dari dalam. Pintu itu pun terbuka, terlihat seorang laki-laki yang memakai jaket salah satu jasa pengendara online. Ia berjalan menghampiri Diandra dengan membawakan satu dus berukuran sedang dalam plastik. "Saya membawakan pesanan atas nama Mbak Catherine." Laki-laki itu memberikan plastik itu pada Diandra."Dari siapa, Mas?" "Sebentar saya cek." Laki-laki itu melihat kembali ponselnya dan tertera satu nama. "Dari Mas Calvin, Mbak." "Oh, baiklah. Terima kasih, Mas." Diandra tersenyum."Sama-sama, Mbak. Saya permisi." Laki-laki itu mengangguk, lalu beranjak pergi setelah tugasnya selesai. Masih ada waktu sekitar dua puluh menit, Diandra membuka kotak yang ada dalam plastik putih. Rupanya menu makan siang rice box di dalamnya dengan potongan daging dan sayur yang
Hari-hari Diandra semakin berwarna. Ia sudah jauh lebih baik dan tentu saja lebih cantik karena merasa sudah tidak memiliki lagi beban di hatinya. Beban dulu ketika ia masih bersama Dewa yang suka berselingkuh dan juga kasar. Ditambah, ia diperhatikan oleh Calvin yang memang menyayanginya. Liburan kali ini, Diandra memutuskan untuk pergi ke salon sekadar memanjakan tubuhnya dari aktivitas kantor yang cukup membuatnya kelelahan. Namun, ketika ia hendak berangkat, pintu kostnya ada yang mengetuk. Diandra pun berjalan dan membuka handle pintu kamar. "Koko?" gumam Diandra saat melihat Calvin sudah berada di hadapannya dengan setelan santai tetapi tetap rapi dan tampan malam ini. "Lu mau ke mana?" tanya Calvin. "Aku mau––em––" Ucapan Diandra terjeda, ia begitu malu untuk mengutarakan kemana dirinya akan pergi. "Aku mau ke salon." Diandra bergumam sambil merundukkan pandangan. "Gue anter, ya?" "Eh, enggak usah, Ko." "Hmmm ... udah ada yang antar pasti?" tebak Calvin dengan raut wajah
Langit hitam pekat oleh awan mendung malam ini. Angin yang semakin dingin menusuk tulang mengharuskan Calvin mengajak Diandra pulang. Mobil melaju kencang, tidak ada ocehan-ocehan dari bibir Diandra. Hanya wajah kecewa yang terlihat sekelebat dari kaca spion mobil, karena Calvin harus fokus ke jalan. Di tengah perjalanan, hujan turun sangat lebat. Sial, jalan untuk ke kost Diandra ditutup dan bertuliskan menerangkan adanya longsor yang menutupi jalanan tersebut. "Hubungi saja Ibu kost lu, Ket. Ini pasti akan lama pengerjaannya karena malam ini juga hujan masih turun sangat lebat," ucap Calvin ketika mobilnya berhenti. "Tapi aku tidur di mana?" "Apartemen gue." "Apa?" "Tenang aja, ada nyokap gue. Gak akan terjadi apa-apa, kok." "Oh ...." Calvin tersenyum sedangkan Diandra langsung mengirim pesan singkat pada ibu kostnya. Calvin memutar arah mobil ketika Diandra sudah memberikan kabar pada ibu kostnya. Kost Diandra memang cukup ketat. Di atas jam sepuluh malam, pintu gerbang ak
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian