PART 14
POV DINDA
Ini adalah hari penerbangan kami yang pertama. Aku, Karenina, dan Hesti adalah sahabat seangkatan saat sama-sama menempuh pendidikan di Pendidikan Staf Penerbangan dan Pramugari.
Berhubung kami masih pramugari junior, kami hanya memperhatikan cara kerja para senior kami.
Ketika hendak masuk ke toilet, tak sengaja aku menabrak seorang pria.
"Sorry, sorry, Mbak. Saya gak sengaja," ujarnya meminta maaf. "Lho, kamu temennya Nina kan?"
"Iya, Cap. Gak papa. Saya juga tadi gak liat-liat. Asal masuk aja," tukasku pada pria muda dan tampan yang sudah menjadi Captain Pilot. Aku mengetahuinya dari empat garis emas
. . . "Dik, maafin, Mas," mohonnya merintih sambil bersujud memegang kakiku. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" Kuhempaskan tangannya dari kakiku. "Dek! Tolong, maafin Mas. Mas beneran khilaf. Mas janji gak akan mengulanginya lagi. Mas akan tinggalin dia." "Mas Thoriq!" pekik Dinda. "Diam! Ini semua gara-gara kamu. Coba aja kamu gak menggodaku. Mungkin saja ini semua gak akan terjadi," bentak Mas Thoriq kuat. "Apa kau bilang?" Mas Kevin bangkit dari duduknya, lalu melayangkan bogem mentah berkali-kali ke w
PART 16 POV JAYADININGRAT "Selamat siang, Pak Jaya," sapa Manto, seorang juru parkir yang bekerja di rumah makan seberang minimarketku. Saat itu aku hendak berangkat meeting dengan salah satu relasi yang ingin franschaise minimarketku. "Siang juga, Pak Manto. Kelihatannya sedang tidak sehat ya. Kok mukanya pucat sekali?" tanyaku, ketika melihat wajah pria yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan itu pucat. "Ah, tidak apa, Pak Jaya. Memang beberapa hari ini saya kurang sehat," jawabnya seraya menyeka keringat yang menetes di dahi dengan handuk yang dikalungkan di lehernya.
PART 17 Plaaak. Dinda menampar kuat wajah yang sudah dipenuhi luka dan lebam biru itu. "Tega-teganya kamu bicara seperti itu, Mas. Sementara saat ini aku sedang mengandung anakmu." Semua yang ada di ruangan penyidik terperangah. Terlebih aku dan Mas Kevin. "Apa … hamil?" tanya Mas Thoriq. "Ya, aku hamil anakmu, Captain Ahmad Thoriq!" _________
Selamat Membaca🙋 . . Part 18 "Lepasin, Dinda! Kayaknya lo mulai udah gila ya. Lepasiiin!" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman wanita yang sudah seperti kerasukan ini. "Diam lo! Gue bunuh lo sekarang juga. Biar lo tuh gak jadi pengganggu dalam hidup gue dan Mas Thoriq!" Tangannya yang sedari tadi menarik-narik hijab di kepala, lalu turun ke leher. Ternyata Dinda tidak main-main dengan ucapannya. Ia berusaha membunuhku dengan mencekik kuat batang penyanggah antara kepala dan bahu itu, sehingga mataku mendelik merasakan sakit dan napas yang sesak.
Selamat membaca, Bossquee 😘 PART 19 "Gak! Dia bohong. Ibu aku itu cuma Tante Reva dan Om Armand. Mana mungkin ibu aku penampilannya kampungan kayak gini." "Dinda, sadarlah, Nak. Mau sampai kapan kamu gak mengakui ibu yang sudah mengandung dan melahirkan kamu." "Diaaam!!!" teriak Dinda dan melayangkan gelas di nakas ke kepala Bu Asih. "Allahu Akbar," erang Bu Asih sambil memegang pelipisnya. ________
Selamat membaca, Boss PART 20 Orang yang berkerumun tadi, berlari ke arah tepi pembatas. Tentu saja mereka penasaran ingin tahu apa yang terjadi. "Ya Allah, Dinda! Mas Thoriq!" teriakku. Ketika aku hendak melihat ke arah sungai, Mami cepat menahanku. "Jangan! Kamu di sini aja. Kamu aja masih lemes begitu." "Nina! Nina!" panggil Papi, menerobos kerumunan dan langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu gak papa, Nak? Ada yang luka?" Aku menggeleng. "Alhamdulillah gak ada, Pa. Cum
Pelan-pelan aku memberanikan diri berjalan mendekati jendela, untuk memastikan apa yang kulihat tadi. Berkali-kali tenggorokanku bergerak naik turun karena menelan saliva. Kutekan saklar, untuk menyalakan lampu ruang tamu. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendekati jendela. Sedikit lagi tanganku sampai untuk menyentuh korden maroon bercorak bunga-bunga itu. Praaanggg …. "Allahu Akbar!" Bu Asih! Bu Asih! Aku berlari menuju kamar Bu Asih dan mengetuk pintunya. Keringat
PART 22 Praaang. Gubraaak. Mas Thoriq tak hanya sekedar mengancamku. Beberapa benda yang ada di dekatnya dibantingkannya ke lantai, sehingga menimbulkan suara gaduh. "Allahu Akbar, Mas, hentikan! Jangan … awww! Udahlah, Mas!" Seperti tak peduli dengan teriakanku, lelaki itu semakin brutal. Tong sampah di depan toilet pun menjadi sasaran tendangan kemarahannya. "Biar aja. Ini maunya kamu kan? Jangan coba-coba menantang seorang Thoriq!" "Tolooong! Tolooong!" teriakku ketakutan melihat Mas Thoriq mengangkat sebuah vas bunga kecil ke arahku.
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is