Selamat membaca, Bossquee 😘
PART 19
"Gak! Dia bohong. Ibu aku itu cuma Tante Reva dan Om Armand. Mana mungkin ibu aku penampilannya kampungan kayak gini."
"Dinda, sadarlah, Nak. Mau sampai kapan kamu gak mengakui ibu yang sudah mengandung dan melahirkan kamu."
"Diaaam!!!" teriak Dinda dan melayangkan gelas di nakas ke kepala Bu Asih.
"Allahu Akbar," erang Bu Asih sambil memegang pelipisnya.
________
Setelah baca, jangan lupa vote, berikan komentar dan ulasan kamu yaak😘😘
Selamat membaca, Boss PART 20 Orang yang berkerumun tadi, berlari ke arah tepi pembatas. Tentu saja mereka penasaran ingin tahu apa yang terjadi. "Ya Allah, Dinda! Mas Thoriq!" teriakku. Ketika aku hendak melihat ke arah sungai, Mami cepat menahanku. "Jangan! Kamu di sini aja. Kamu aja masih lemes begitu." "Nina! Nina!" panggil Papi, menerobos kerumunan dan langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu gak papa, Nak? Ada yang luka?" Aku menggeleng. "Alhamdulillah gak ada, Pa. Cum
Pelan-pelan aku memberanikan diri berjalan mendekati jendela, untuk memastikan apa yang kulihat tadi. Berkali-kali tenggorokanku bergerak naik turun karena menelan saliva. Kutekan saklar, untuk menyalakan lampu ruang tamu. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendekati jendela. Sedikit lagi tanganku sampai untuk menyentuh korden maroon bercorak bunga-bunga itu. Praaanggg …. "Allahu Akbar!" Bu Asih! Bu Asih! Aku berlari menuju kamar Bu Asih dan mengetuk pintunya. Keringat
PART 22 Praaang. Gubraaak. Mas Thoriq tak hanya sekedar mengancamku. Beberapa benda yang ada di dekatnya dibantingkannya ke lantai, sehingga menimbulkan suara gaduh. "Allahu Akbar, Mas, hentikan! Jangan … awww! Udahlah, Mas!" Seperti tak peduli dengan teriakanku, lelaki itu semakin brutal. Tong sampah di depan toilet pun menjadi sasaran tendangan kemarahannya. "Biar aja. Ini maunya kamu kan? Jangan coba-coba menantang seorang Thoriq!" "Tolooong! Tolooong!" teriakku ketakutan melihat Mas Thoriq mengangkat sebuah vas bunga kecil ke arahku.
Aku kehilangan keseimbangan dan mobil semakin oleng, kemudian menghantam sisi pembatas jalan tol. "ALLAHU AKBAR … ALLAHU AKBAR!" Aku dan Bu Asih terus berteriak panik karena mobil terus turun dari gundukan bukti kecil menuju rumah warga. Berkali-kali aku menginjak rem, namun mobil tetap saja melaju. Bruuuk! Mobil akhirnya berhenti karena menabrak pohon besar. Warga sekitar ramai berbondong-bondong menghampiri mobil kami. Beruntung aku selalu menggunakan sabuk pengaman, sehingga tidak sampai membentur dada. Hanya kepala saja sedikit terantuk pada bagian tengah setir. "Bu Asih! Ibu gak papa?" Aku berusaha membuka seat belt yang melintang di dada. Segera kuraih Alissha yang menangis meraung-raung ke gendonganku. Ya Allah, pelipisnya berdarah
PART 24 Aku menjerit sekuatnya dan sontak langsung memuntahkan isi perut. Tak sanggup melihat darah yang berserakan di lantai. Seekor kucing hitam yang terkoyak perutnya dan dengan leher nyaris putus. "Ada apa, Bu Nina?" tanya Lina, ART yang setengah berlari menemuiku. Aku masih memuntahkan apa yang ada di dalam perutku, sambil menunjuk ke arah kardus mie instan yang terguling. Lina berjalan dan melongokkan kepala ke dalam kardus yang kutunjukkan tadi. "Astaga, apa ini, Bu. Uweekkk … Uweekkk," Lina ikut-ikutan muntah melihat bangkai kucing yang mati mengenaskan tersebut.
Jangan lupa tekan vote ❤ yaaa PART 25 "Kamu itu sebenarnya siapa sih?" "Lo mau tau banget siapa gue? Oke!" Wanita yang suaranya terdengar sangat tidak asing bagiku itu, melepaskan kaca matanya. Kemudian topi lalu masker yang ia kenakan. "Astaghfirullah, elo ....? "Iya ini gue. Napa … lo kaget gue masih hidup? Gue punya seribu nyawa. Jadi gue itu gak akan bisa mati." "Tapi, elo kan uda hanyut di arus deras sungai itu." Dia terus bergerak maju dengan pisau mengayun di sisi pah
"Dindaaa … lepasin anakku," Mungkin karena terkejut dengan teriakan Mas Thoriq, Dinda tampak kehilangan keseimbangan dan …. Buuuggghhh Aaawww ...." ALIISSHAAA …." Aku dan Mas Thoriq berlari menuju balkon, untuk memastikan keadaan Alissha yang terjatuh bersama Dinda. Tangisan kencangnya terdengar hingga ke atas. "Alhamdulillah," Aku mengucap syukur, karena Alissha dalam keadaan baik-baik saja. Kini tengah berada dalam gendonga
Aku beringsut mundur dan terduduk lemas di ranjang yang sudah sangat acak-acakan. Berkali-kali meneguk ludah hingga tenggorokan terasa mengering. "Sekarang cepat bersihkan dirimu lalu pergi dari sini!" usirku tanpa sudi menatap. "Oke!" Mas Thoriq melangkah masuk ke kamar mandi. Tinggallah aku menangis sendiri. Selimut yang diam tak tahu apa-apa, kulemparkan ke lantai. Begitu juga dengan bantal dan guling. Tubuhku jatuh luruh ke lantai. Menangis tersedu dengan memeluk lutut yang menekuk dan membenamkan wajahku. Sebegitu cerobohnya aku bisa sampai terjadi hal seperti ini. Tapi apakah aku yang salah? Sama sekali aku tak menyangka Mas Thoriq tega berbuat demikian. Pintu kamar mandi membuka. Lelaki
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is