PART: 33
Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku.
“Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.”
***
Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar?
Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik.
Sebelum aku memuntahkan is
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is