Kilatan cahaya kembali terlihat, mengirim cahaya terang yang menyelinap dari celah jendela. Hujan menghambur dan suara angin yang bertiup cepat menabrak pepohonan terdengar gemuruh. Emmy masih belum sepenuhnya sadar dengan pertanyaan Keenan ketika petir mengguncang di luar.Satu kilat datang sangat dekat sehingga membuat kamar tidur menyala terang sekian detik bagai diterangi cahaya mercusuar. Lalu tak lama, seluruh kediaman hening tanpa suara, mesin pendingin mati dan mereka hanya bisa mendengar suara amukan badai.“Listriknya padam,” bisik Emmy.“Aku tahu. Para pelayan akan menyalakan mesin,” sahut Keenan.Posisi mereka masih sama, Keenan masih berada di atas tubuhnya. Hanya menunggu beberapa detik, ruangan itu kembali dingin saat mesin pendingin mulai bekerja, menandakan listrik sudah menyala. Emmy menatap Keenan yang masih mencengkeram jemarinya dengan erat.“Kita akan seperti ini terus?” bisik Emmy.“Ya, sampai kamu memberiku jawaban.”“Dan kamu harus menjawab pertanyaanku lebih
Aku melakukannya lagi, batin Emmy setelah dia bangun keesokan harinya. Setelah dia membuka mata, dia mendapati hari sudah sangat siang namun tirai-tirai belum tersibak. Emmy menduga Keenan sengaja melakukannya agar dia bisa tidur dengan lelap.Emmy menjulurkan tangan, mencari kehangatan tubuh Keenan di sebelahnya. Mungkin kesenangan itu tidak perlu berakhir, pikir Emmy. Tapi dia tidak menemukan pria itu di sana dan Emmy berusaha mengumpulkan akal sehatnya.Emmy duduk, merenungi apa yang dilakukannya bersama Keenan lagi semalam. Rasanya sangat sulit menolak pesona pria itu, terlebih ketika pembicaraan mereka mengarah pada hal-hal yang sangat serius. Gadis itu menyapukan jemari di bibirnya, lalu tersenyum.“Dia benar-benar menginginkanku?” gumam Emmy, perasaan senang dalam dirinya tak bisa dibohongi.Tapi Emmy berusaha untuk tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan. Perjalanan mereka masih panjang. Dan selama Isa masih ada diantara mereka, sikap Keenan bisa berubah secepat kilatan cahaya.
Ini mungkin akan menjadi hari yang paling sial dalam hidup Lily. Dia tidak hanya duduk bersama dnegan pria yang dicintainya namun pria itu hanya menatap wanita lain dna bukan diirnya. Sekarang, dia jatuh, tersungkur di lantai dan pakaiannya basah.Lily tidak hanya merasakan malu namun juga sakit hati.“Lily, kamu baik-baik saja?” Riley berdiri untuk membantunya.Namun Lily langsung menepis tangan Riley, dan tertegun saat dia melihat uluran tangan dari pria lain. Lily menengadah, mendapati Axel berdiri di sana, tersenyum manis padanya.“Ayo, biar ku bantu,” kata Axel.Lily belum sepenuhnya sadar saat Axel memapahnya dan membantu Lily mengeringkan wajah yang terkena tumpahan jus. “Aku akan mengurusnya,” kata Axel pada Riley yang terlihat sangat khawatir. “Kalian lanjut saja makan siangnya.”Axel mengambil alih tas belanjaan Lily. Dia menggenggam tangan gadis itu dan menyeretnya pergi dari sana. Sambil berjalan, Lily merasakan buliran bening meluncur dari kelopak matanya. Pandangannya be
Mereka tiba di villa saat matahari hampir terbenam. Menyadari Lily masih tidur, Axel memarkir kendaraannya di dekat pagar pembatas yang terbuat dari susunan batang pohon. Pagar pembatas itu menghadap ke arah Barat dan mereka bisa melihat matahari terbenam dari sana.Axel keluar dari mobil, dengan sangat pelan dan hati-hati menutup pintu. Udara di pegunungan cukup dingin dan dia hanya mengenakan kaus saja. Pria itu mendekat ke pagar, merasakan hidungnya membeku karena suhu udara yang rendah.Dia juga tidak tahu kenapa dia harus mengajak Lily ke sini. Dia hanya ingin menenangkan gadis itu akibat patah hatinya terhadap Riley. Axel ingin menunjukkan pada Lily, dia pun layak untuk dicintai.Dengung konstan ponsel yang bergetar di dalam saku jaket membangunkan Lily. Setengah sadar, gadis itu merogoh-rogoh, mengira kalau itu adalah ponsel miliknya. Tapi karena Lily terlambat mengangkatnya, getar ponsel itu berhenti dan Lily kembali tidur.Tak lama, ponsel Axel mulai bergetar lagi. Dengan per
Axel tidak terlalu terkejut ketika Lily bertanya seperti itu. Dia memang sudah menduga kalau sejak awal Lily tahu perasaannya, namun dia hanya pura-pura. Entah agar mereka tidak canggung, atau karena gadis itu memang tidak siap menerima kenyataan kalau pria lain menyukainya disaat dia menyukai seseorang.Entahlah!“Dan kenapa kamu menyukai Riley?” Axel balik bertanya.“Aku...” Lily diam, namun kedua bola matanya masih menatap wajah Axel.“Aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu di rumah sakit,” ujar Axel pada akhirnya. Dia berdiri dengan tegap dan memilih untuk mengatakannya secara terang-terangan pada Lily.“Aku pikir kamu gadis yang tegas ketika kamu berdiri membela Emmy. Cara bicaramu, suaramu, gestur tubuhmu. Aku sama sekali tidak bisa lupa. Bahkan ketika aku kembali, yang ada dalam ingatanku adalah kamu. Saat itu, aku masih ingin meyakinkan diri kalau aku hanya sekedar mengagumimu saja.”Lily mendengar dengan seksama, menunggu kata demi kata yang terucap dari mulut Axel.
Emmy mematung, tubuhnya mendadak kaku saat melihat Keenan berdiri bersebelahan dengan Leo. Dari balik kaca mata hitamnya, Emmy bisa merasakan tatapan tajam pria itu membelah jantungnya. Dalam sekejap, perasaan nyaman berganti dengan cemas yang luar biasa.“Kamu takut?” Josiah melirik Emmy.Dengan cepat Emmy mengangguk, namun dia menggeleng lagi. “Tidak. Maksudku...”“Sepertinya kabar mengenai cara Keenan yang tidak pantas memperlakukanmu memang benar.”Emmy melirik lagi, alisnya mengerucut. “Apa katamu barusan?”“Dia memperlakukanmu dengan kasar, bukan?”“Tidak,” Emmy masih bingung. “Sungguh demi apa pun, kenapa kamu mengetahui banyak hal tentang kehidupanku? Tentang Isa, tentang Keenan, kenapa?”Keenan tidak bisa melepas pandangan tajamnya dari keduanya. Dia menjaga agar matanya tidak berkedip, namun semakin dia menatap keduanya, semakin dia merasa Emmy mengacuhkannya. Lihat saja cara gadis itu bicara dengan Josiah. Dia bahkan mengabaikanku?“Emmely Isla.” Akhirnya Keenan tak tahan,
Cahaya keemasan matahari yang hendak kembali ke peraduannya memantul diantara dinding-dinding gedung. Sebagian menyusup keantara rambut Emmy sehingga rambut hitamnya memancar. Dia begitu memukau bermandikan cahaya matahari sore yang hangat, dan Keenan tidak bisa menahan diri untuk tidak mencumbunya.Ketika Keenan menyebut dia adalah istrinya, Emmy memaksa diri untuk menjaga fokusnya. Sungguh, mungkin ini kali pertama Keenan mengatakan di hadapan Emmy langsung. Kedua bola mata gadis itu mengerjap, sedikit kaget namun dia juga merasakan rasa bahagia menjalar dalam dirinya.“Kamu bilang apa?” desis Emmy.“Kamu tidak tuli. Aku tahu kamu mendengarnya,” dengus Keenan.Ketika pria itu berjalan lagi, butuh waktu bagi Emmy untuk benar-benar menyadari kalau Keenan tidak menyangkal. Walau dia tidak mau mengatakan lagi, setidaknya dia tidak berusaha mengelak jika dia memang mengatakan Emmy adalah istrinya.Dan begitu Isa melihat adegan menjijikkan di hadapannya, dia merasakan bubungan amarah meng
Isa masih harus mengumpulkan sisa-sisa akal sehatnya ketika dia melihat kembali Nikky setelah tahun demi tahun berlalu. Isa pikir Nikky sudah mati dilalap oleh api, namun siapa yang menyangka dia bisa melihat kembali wanita itu sekarang.Nikky berada di sana, dengan tatapan nyalang penuh dendam, dia melihatnya dan Diane. Sungguh, ini adalah kartu As yang luar biasa. Dengan keberadaan Nikky, Isa sangat yakin kalau dia akan bisa membuat Emmy terpojok dan mengontrolnya sesuka hati.Bahkan hanya menunjukkan foto wanita itu saja, Isa yakin Emmy akan bertekuk lutut padanya dan memohon. Dia akan meninggalkan Keenan dengan kerelaan hati dan Isa akan bisa mengisi tempat yang seharusnya menjadi miliknya.“Ini... Sungguh...” Isa tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Sembari mengipas wajahnya yang panas akibat rasa senang yang tak terkira, dia menatap Diane dengan tawa yang meledak. “Mom, ini bagus sekali. Ini luar biasa,” katanya.Diane menarik Isa ke dalam peluka