Hari ketiga, Emmy mulai merasakan seluruh tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia terlalu lemah bahkan untuk sekedar membuka kelopak matanya. Tubuhnya rebah di atas lantai, di atas sebuah tikar kecil seukuran tubuhnya.Bahkan selama tiga hari dia tidak muncul, tidak ada seorang pun yang mencarinya?Kenapa kehidupanku sesakit ini?Ketika pintu terbuka, Emmy memaksa diri untuk membuka matanya yang berat. Awalnya semua terasa seperti bayangan semu, namun seiring dengan kembalinya kesadarannya, bayangan itu semakin nampak jelas.Keenan berdiri di sana. Dia tidak memperlihatkan sisi kasihannya pada Emmy dan Emmypun tidak membutuhkannya.“Kamu akan meminta maaf untuk kesalahan yang kamu lakukan?” tanya Keenan. Suara bariton rendahnya terdengar sangat khas dan dingin.Emmy memutar tubuhnya, dia menatap langit-langit ruangan kecil itu. Sebuah lengkungan kecil terlukis di sana. “Pergilah,” kata Emmy pelan.“Kamu tetap berkeras?”“Karena aku tidak salah, maka aku akan berkeras.”“Kamu konyol. Untuk a
“Siapkan makanan tinggi nutrisi untuk Emmy.” Keenan menemui Madam Carla dan Madam Karen. “Usahakan makanan itu gampang dia cerna.”Madam Karen mengangguk, dia tersenyum. “Dibalik sikap dingin ini selalu ada sebuah kejutan.” Dan Madam Carla ikut tertawa.“Jangan beritahu Emmy soal ini,” kata Keenan lagi, mengabaikan ejekan kedua asisten rumah tangganya. “Aku akan kembali ke kamar.”“Baik Tuan.”“Apa yang terjadi padamu?” Lily membuka kembali pembicaraan diantara keduanya setelah Emmy melahap habis dua buah apel yang dibawanya.Seharusnya dia membawa buah itu ke rumah sakit dan Lily sudah menyerahkan buah tangannya pada Madam Carla. Tapi Emmy menyerobot begitu saja, melahapnya tanpa mencuci terlebih dahulu seperti yang biasa dia lakukan. ‘Kesehatan itu mahal’, itu yang selalu dikatakan oleh Emmy.Dan sekarang dia bahkan seperti seseorang yang belum makan selama tiga hari!“Hei, pelan-pelan. Perutmu akan sakit kalau kamu makan buru-buru seperti ini,” kata Lily lagi.Dan ketika Emmy terse
“Ini semua untukku?” tanya Emmy ketika Madam Carla dan Madam Karen menyiapkan banyak makanan untuk Emmy di meja makan.Bayang-bayang senja sudah merentang, malam akan segera tiba. Setelah Lily kembali, dia sudah mandi dan berendam dalam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Tubuh Emmy kembali segar dan dia tentu saja lapar.Dan dia tertegun dengan ada banyaknya makanan yang tersedia di atas meja.Madam Karen tersenyum, lalu mengangguk. “Tuan Keenan khusus memerintahkan kami untuk memasak semua makanan ini, Nona.”“Tidak mungkin.” Emmy mendesis. “Kalian sudah melihat bagaimana dia memperlakukanku. Tidak mungkin dia meminta kalian memasak ini semua.”Kedua asisten rumah tangganya tersenyum, lalu membimbing Emmy duduk. “Makanlah, Nona. Kamu pasti sudah sangat lapar.”Ketika keduanya hendak meninggalkan Emmy, gadis itu berseru. “Di mana Keenan?”“Tuan Keenan ada di kamarnya. Dia bilang sedang mengerjakan sesuatu dan tidak bisa diganggu.”“Dia sudah makan malam?”Madam Karen
Apa yang ku harapkan dari seorang gadis yang sudah ku perlakukan dengan kasar? Berharap dia akan tersenyum dan menemaniku bicara? Bukankah sudah sangat luar biasa ketika dia menyisihkan waktu untuk mengurusku di saat aku baru saja menyiksanya?Keenan mendesah, menatap langit-langit kamar dengan begitu banyak pertanyaan dalam kepalanya. Dia tidak tahu bagaimana dengan Emmy, namun Keenan sama sekali tidak bisa tidur selama dia menghukum Emmy di basement.Dia terus memikirkan Emmy bahkan ketika dia berada di kantor, melakukan pertemuan dengan klien penting. Setiap harinya dia hanya memikirkan Emmy.Keenan masih belum mengerti kenapa Emmy begitu memaksa diri. Seandainya Emmy mengatakan maaf, masalah ini tidak akan berkepanjangan. Tapi gadis itu terlalu keras kepala dan Keenan hanya ingin mengajarinya.Di meja makan, Emmy berniat makan dengan santai, namun dia malah mendengar bisikan-bisikan yang memintanya untuk cepat-cepat menyudahi makan malamnya dan kembali naik untuk memeriksa Keenan.
Setelah memastikan dia sudah mengecek demam Keenan, Emmy meregangkan tubuhnya yang kaku karena semalam dia tidur di kursi. Dia terus mengawasi Keenan, beruntung setelah pemberian ibuprofen, demam Keenan langsung turun dengan cepat.Emmy membereskan semua peralatan yang dipakainya untuk merawat Keenan, membawanya turun dan kedua asisten rumah tangganya sudah terlihat bekerja.“Tuan Keenan sakit?” Madam Carla langsung mengambil alih barang-barang yang dibawa Emmy.Emmy mengangguk. Dia meregangkan lehernya yang kaku, lalu menatap kedua asisten rumah tangganya. “Biar aku yang memasak untuk Keenan,” kata Emmy. “Kalian bisa mengerjakan yang lain.”Walau tubuhnya meminta untuk istirahat, Emmy tetap memaksa diri untuk menyediakan yang terbaik untuk Keenan. Tapi ketika dia sedang memasak, Isa tanpa diduga-duga muncul. Seperti biasa, dengan segala arogansi yang Isa miliki, dia duduk seolah dia memang istri sah Keenan dan nyonya rumah yang sesungguhnya.“Mana Keenan?” tanya Isa.Emmy memilih tid
Isa sedang duduk di sisi Keenan, ketika dia mendapat pesan dari orang yang diperintahkannya untuk mengikuti Emmy. Gadis itu menghela nafasnya, diam-diam melirik Keenan yang sedang bersandar di tempat tidur.Pria itu terlihat sibuk menggeser-geser tabnya, sesekali keningnya mengerut membaca laporan-laporan yang dikirim Leo lewat emailnya. Isa menegakkan punggungnya, melirik sekali lagi.“Kamu tidak ingin istirahat?” tanya Isa.“Aku masih harus memeriksa beberapa laporan penting,” sahut Keenan tanpa melihat Isa sekalipun.Keenan selalu seperti itu padanya. Dia tidak pernah menatap wajahnya saat bicara, tidak pernah melihatnya setajam dia melihat Emmy. Padanya, Keenan bicara seadanya, dengan bahasa klise dan kalimat yang selalu diakhiri tanda seru.Dan Isa tahu Keenan tidak seperti itu pada Emmy. Ya, dia memang selalu melakukan hal-hal yang membuat Emmy tersiksa. Tapi mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan Keenan yang sesungguhnya. Dia terpaksa dan menyesal ketika dia menyakiti Emmy
Air semakin naik hingga menenggelamkan wajah Emmy. Ketakutan dan putus asa menguar dari tubuhnya. Cairan bening transparan itu benar-benar memenuhi bath up, merendam seluruh tubuhnya dan dia bisa melihat wajah mengerikan Keenan dari sana.Emmy tidak takut kematian. Namun sejak dulu air adalah musuhnya. Hal itu dimulai saat Isa mendorongnya ke dalam sebuah bekas kolam galian yang dipenuhi air saat usianya enam tahun. Emmy bertarung mempertahankan nyawanya waktu itu dan dia cukup berhasil saat ada beberapa anak sekolah melintas dari sana.Salah seorang melompat ke dalam dan menarik rambutnya, menyeretnya ke tepi dan memberi nafas buatan padanya. Pertolongan itu tiba tepat waktu dan Emmy selamat.Sekarang, dia kembali diperhadapkan dengan situasi yang sama. Bahkan kali ini suaminya sendirilah yang melakukannya. Emmy telentang tak berdaya, kedua tangannya hanya bisa merengkuh pakaian Keenan, memukul-mukul tubuh pria itu agar akal sehatnya kembali.Emmy mulai tersengal ketika dia tidak bi
Lidah Keenan bergerak, membelah dan memberikan seluruh kenikmatan dunia pada Emmy. Kuku-kuku Emmy menancap di punggung Keenan, terkesiap dan mendesah pelan saat Keenan membelai kulit lehernya.Dan dia nyaris meringis ketika Keenan mengecup lehernya pelan namun penuh keintiman. Bak tersengat listrik, Emmy menekuk jemari kakinya ke lantai dan berusaha menekannya di sana. Gadis itu seolah diterbangkan ke angkasa.Dulu, saat pertemuan pertama, Emmy dalam kondisi lumpuh dan tidak begitu menyadari jika Keenan benar-benar menarik. Dan sekarang, dalam dekapan tubuh yang sepenuhnya sadar, Emmy mulai merasakan Keenan sungguh-sungguh mematikan.“Ssstt!” Dorothy mendorong Cecilia ketika dia mengintip ke dalam kamar mandi, dia malah menemukan cucunya bercumbu. Dengan melakukan isyarat, dia menyeret Cecilia yang merengut karena belum sempat melihat apa yang dilihat Dorothy.Dan ketika Keenan mendengar suara pintu ditutup, dia membuka matanya, melirik sebentar ke pintu kamar mandi sebelum tatapannya
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany