Hari sudah menjelang sore saat Lily bangun di tempat tidur. Dengan malas dia berguling, merasakan kepalanya terasa seperti dipukul gada. Gadis itu memegang kepalanya selagi dia berguling, lalu tangannya turun memegang perutnya begitu mendengar bunyi yang tak karuan.Dia lapar dan kepalanya sakit.Lily menendang selimut yang membalut tubuhnya. Setengah sadar, dia turun dari tempat tidur, menggosok matanya untuk pergi ke kamar mandi. Namun tiba-tiba dia terantuk cukup keras hingga membuatnya jatuh.Sambil memegang jidatnya yang memerah, Lily membuka matanya lebar-lebar, terkejut karena sisi kanan ruangan kamar tidurnya bukanlah kamar mandi. “Bagaimana bisa kamar mandiku pindah?” gumamnya bingung.Lily menggeleng, mengusir kekacauan yang tercipta di kepalanya. Saat itulah dia menyadari kalau pakaian yang dia gunakan pun bukan miliknya. Lily terkesiap, memeriksa dirinya dan juga ruangan tempatnya tidur.Tidak. Ini sungguh bukan kamarnya. Dia tidak mengenakan pakaiannya dan tidak tidur di
“Aku jarang berada di rumah.” Leo melempar jasnya ke atas sofa lalu duduk di sana sementara Ivy masih berdiri dengan kaku di ambang pintu. “Itu sebabnya aku memintamu menjadi asistenku di rumah.”Ivy melangkah pelan, mengamati apartemen Leo yang mewah. Ini adalah apartemen terbaik yang pernah dia lihat. Dengan balkon yang langsung berhadapan dengan pemandangan kota yang indah, Ivy bertaruh kalau pemandangan malam hari akan lebih indah dari semua ini.“Maksudmu pelayan, bukan?” Ivy berdiri di hadapan Leo.“Kamu mau menganggap dirimu pelayan?”Jika gaji yang dia dapat pantas, tidak masalah menyebut dirinya pelayan. Ivy tidak terlalu mempermasalahkan sebutan itu. Yang dia kejar untuk sekarang adalah uang yang banyak untuk biaya wisuda dan juga untuk membeli obat-obatan untuk ibunya yang jumlahnya tidak sedikit.“Berapa gaji yang kamu tawarkan?”“Kamu berani juga,” sindir Leo.“Manusia hidup membutuhkan uang. Aku hanya bicara blak-blakan,” sahut Ivy.“Sepuluh kali lipat dari yang kamu dap
“Kamu sendirian lagi?”Emmy menurunkan kaca mata hitamnya ketika dia menoleh, Josiah dan Leo tersenyum menyapanya. Gadis itu cukup enggan begitu bertemu keduanya karena masalah selalu saja muncul ketika mereka bertemu.Dia buru-buru mengemas ponsel dan buku yang bahkan tidak dibacanya tanpa bicara sedikit pun. Josiah menyambar ponsel Emmy dari tangan gadis itu, dengan santai duduk di sisinya dan Leo melakukan hal yang sama.Kini Emmy diapit oleh keduanya dengan perasaan bingung dan marah.“Berikan ponselku,” kata Emmy dingin.“Leo sudah menceritakan semuanya padaku. Itu alasan kenapa kamu berada di sini sekarang?” tanya Josiah tanpa menghiraukan permintaan Emmy.Emmy melirik Leo, mendapati pria itu hanya tersenyum. “Aku ada di sana saat makan siang itu terjadi.”Tarikan nafas Emmy adalah tanda jika dia sedang sangat lelah. “Kalian ada di mana-mana sepertinya,” gumam Emmy, memilih untuk kembali duduk dengan santai.Toh hubungannya dengan Keenan memang sedang bermasalah. Dia tidak mau c
Josiah mengernyit, kemungkinan yang terlontar dari mulut Emmy sedikit tidak masuk akal. Masalahnya, Simone yang selama ini berpura-pura sebagai suami dan ayah yang baik di dalam rumah itu juga berusaha mencari Nikky. Jika Nikky ada di sana, mungkinkah Simone tidak mengetahuinya?“Masuk akal,” gumam Leo, instingnya pun mengatakan hal yang sama.“Aku rasa tidak.” Josiah menatap keduanya. “Ingat, di dalam rumah itu masih ada Tuan Simone. Apa mungkin Diane menempatkan ibu Emmy di sana? Adakah tempat yang luput dari pengawasannya?”Emmy mengernyit, berusaha mengingat-ingat. Ketika masih tinggal di sana, Emmy ingat sekali kalau Simone suka berkeliaran di rumah. Dia bisa ada di dapur, tiba-tiba detik berikutnya sudah ada di taman belakang, lalu pindah ke balkon.Bahkan pernah sekali Emmy bertemu dengan Simone di dalam gudang dengam mata bengkak seperti habis menangis. Dulu, Emmy pikir Simone hanya sedang mabuk karena dia menemukan beberapa keleng alkohol di sana. Sekarang Emmy sadar, kalau s
Labil bukan berarti dia bisa menghabiskan waktu bersama pria lain. Awalnya Keenan merasa bersalah, namun begitu mendengar ucapan Isa, tiba-tiba dia merasa kalau Emmy seharusnya tidak melakukan semua itu.Ya, Emmy sama sekali tidak mengindahkan permintaannya untuk menjaga jarak dari Josiah. Buktinya, dia masih bersama-sama dengan pria itu hampir di setiap pertemuan. Apa yang sebenarnya dicari Josiah dari Emmy? Kenapa dia mendekati wanita yang sudah menikah?Begitu Axel tiba, hal pertama yang dilihatnya adalah posisi duduk Keenan dan Isa, yang berseberangan dengan meja Emmy dan juga Lily. Alih-alih menemui Lily langsung, dia malah menarik tangan Keenan dan membawanya ke luar ruangan.“Ada apa ini semua?” Axel menatapnya bingung. “Kenapa kamu bersama Isa?”“Aku juga tidak tahu kalau Emmy akan datang ke acara ini,” sahut Keenan pendek.“Walaupun Emmy tidak datang, apakah seharusnya kamu berpasangan dengan Isa? Keenan, kamu sudah menikah dan sudah ku bilang berkali-kali padamu, jaga jarakm
“Aku juga akan pulang,” kata Emmy, berbisik pada Josiah.“Oh. Aku juga baru akan mengatakannya. Ayo, kita pulang juga.”Emmy mengangguk, melirik Keenan dari kejauhan ketika pria itu sibuk bicara dengan beberapa orang penting di sana.“Ingin menyapanya lebih dulu?” tanya Josiah.“Tidak.” Emmy menggeleng. “Aku mau langsung pulang saja.”Keduanya berjalan bersisian menuju tempat parkir. Emmy kembali berbalik, berharap Keenan muncul untuk mengejarnya dan mengajaknya pulang bersama. Tapi hingga Josiah membunyikan klaksonnya, Emmy bahkan tidak melihat pria itu.“Ayo masuk, aku akan mengantarmu.”*Tubuh Lily terhuyung ketika Axel membawanya berjalan-jalan di taman kecil sepanjang aliran sungai. Gadis itu memeluk pagar pembatas, rasa pusing dan mual akibat pengaruh alkohol membuatnya tidak nyaman.Setelah menenangkan diri agar mualnya tidak terlalu parah, Lily duduk begitu saja di lantai. Tangisan gadis itu pecah, sesenggukan dengan kepala menunduk pada tiang pembatas. Axel membiarkannya. Di
Emmy masih menatap langit-langit kamarnya walau dia sudah mendengar suara pintu ditutup. Dia tidak bergerak sama sekali karena tamparan itu sungguh mempengaruhi batinnya. Walau Emmy sudah pernah merasakan kerasnya tangan Keenan, namun tamparan ini jauh lebih menyakitkan.Dulu Emmy belum memiliki perasaan apa pun pada Keenan, tapi sekarang situasinya berbeda. Dia sudah jatuh cinta pada pria itu, pada pria yang mengatakan padanya beberapa minggu yang lalu kalau dia ingin hidup bersama selamanya.Kali ini, dia terluka sangat dalam hingga Emmy bahkan merasa dirinya tak bisa bernafas. Tangisannya pecah dalam keheningan malam. Sambil menutup kedua bola matanya dengan lengan, dia menangis sesenggukan dan amat terdengar pilu.Sementara itu, di kamarnya, Louis menyandarkan tubuhnya dengan lemah di ambang pintu begitu dia masuk. Dalam gelap gulita, dia bisa merasakan tangannya gemetar sangat hebat. Louis menggenggam tangannya sendiri, berusaha menelan penyesalan yang membuatnya sesak nafas.Tid
“Maaf, Isa. Tapi sepertinya aku tidak bisa makan siang bersamamu.”Isa mengernyit, mendadak merasakan nada bicara Keenan terdengar sangat enggan ketika mereka bicara lewat telepon. Ada apa ini? Semalam, semuanya baik-baik saja, tak ada masalah. Kenapa Keenan bisa berubah dalam sekejap?“Kamu sakit?” tanya Isa khawatir.Keenan menggeleng, duduk di sofa kamar dengan tirai yang masih tertutup dan lampu yang padam. “Hanya merasa tidak nyaman.”“Kamu sudah minum obat?”Keenan tidak sakit, setidaknya bukan fisiknya. Namun hatinya lah yang gelisah setelah tak sengaja menampar Emmy lagi tadi malam. Dia tidak bisa tidur, semalaman hanya duduk di sofa sambil menenggak alkohol.Bahkan hingga jarum jam sudah menunjukkan angka delapan pagi, bisa-bisanya Keenan tidak tergerak, sekalipun untuk beranjak ke kamar mandi. Rasanya pria itu benar-benar sangat kesal pada dirinya sendiri dan Emmy sampai-sampai dia tidak bisa mengontrol emosinya.Keenan mendesah, menenggak lagi alkoholnya. “Maaf, Isa. Aku bu