“Aku haus!”Liz merasakan hembusan nafas yang semakin cepat hingga membuat tenggorokannya sekering gurun pasir. Gadis itu merasakan sensasi panas menjalar di tubuhnya, namun anehnya bukan rasa panas ketika musim panas tiba. Rasa panas ini membuat seluruh indranya bangkit dan dia membutuhkan sesuatu selain air dan kipas untuk mendinginkan tubuh.Dia membutuhkan sesuatu. Sesuatu yang terlarang.Ini pasti ulah Granny, batin Liz. Dia sengaja melakukannya. Dia tahu aku menyukai Josiah jadi dia memberikanku sup yang sudah dicampur dengan sesuatu. Astaga, aku harus apa?Liz merasakan seluruh sendi kakinya lemah dan tak bisa berdiri saat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Josiah. Bagaimanapun juga, dia masih bisa mengumpulkan kesadarannya. Mereka berdua sama-sama minum, jadi artinya Josiah mengalami apa yang dia alami. Dia harus bisa menahan diri. Harus!“Kamu mau ke mana?” Josiah menarik tangan Liz, membuat gadis itu terjatuh tepat ke pangkuannya.Liz menelan ludahnya dengan susah payah
Tunggu!Liz mengernyit, Josiah masih menciumnya tanpa terputus. Kenapa ada dipan? Kenapa ada benda ini di lumbung? Dan dia segera menyadari semua ini memang sudah diatur secara apik oleh Sophia. Neneknya itu tahu, ketika dia mengunci pintu, maka tak ada pilihan lain yang menjadi tempat tujuan mereka selain lumbung. Dan itulah alasan kenapa ada benda ini di sini lengkap dengan satu buah selimutnya.Pikiran Liz kembali terjaga saat Josiah mencecap bibirnya sangat dalam, lalu menciumi pipi dan keningnya, turun ke lehernya dan berhenti di sana selama beberapa waktu untuk mencium betapa ranumnya kulit Liz. Josiah menanggalkan pakaian tidur Liz dengan buru-buru sementara bibirnya masih tetap berada di leher Liz.Dan begitu selesai, dia mencampakkan pakaian Liz begitu saja di lantai lumbung lalu menanggalkan pakaiannya sendiri. Liz terpesona oleh cara piawai Josiah saat dia membuka kemejanya secepat kilat. Dan sekarang, saat tubuh Josiah tidak dibalut apa pun, Liz merasakan dentuman jantung
Leo tertawa mendengar pertanyaan Keenan. Memang bodoh, pikirnya. Sebelumnya Leo sangat terpukau oleh ketegasan dan semua hal yang melekat dalam identitas Keenan. Namun siapa yang menyangka semua itu berubah saat dirinya bertemu dengan Emmy? Ternyata, Keenan tidak sempurna seperti bayangannya. Ada kekurangan yang amat besar dalam diri pria itu, yaitu sama sekali tidak peka.Dan sekarang dia mempertanyakan kedekatannya dengan Emmy? Apakah dia sama sekali tidak percaya pada gadis itu?“Tuan, aku tidak akan menyukai Emmy. Itu tidak mungkin.”“Kamu memanggilnya lagi dengan hanya mengatakan ‘Emmy’,” sahut Keenan, seringaian di wajahnya timbul sejenak. “Kamu mempermainkanku?”“Aku tidak berani, Tuan,” sahut Leo tenang. Ini agak rumit dan aku yakin Tuan tidak mau percaya begitu saja.”“Katakan saja!”Leo menghargai semua hari-harinya yang sudah berlalu dalam pengawasan Keenan. Ketika dia sempat terpisah dari Josiah dan semua orang merisak dan merendahkannya, Keenan lah yang muncul dan mengulu
“Sekarang, apa rencanamu?” Diane menyodorkan segelas wine pada Isa ketika mereka duduk santai di belakang rumah. Isa terlihat menyelonjorkan tubuhnya di atas kursi santai, melipat kedua tangannya di bawah kepala dan tersenyum.“Biarkan Keenan tenang sebentar saja, Mom,” sahutnya. “Yang pasti, kalimat itu adalah penanda kalau dia tidak akan mengabaikanku.”Diane tertawa kecil, lalu mengangguk bangga. “Kita memang membutuhkannya. Kamu tahu ayahmu sekarang tidak bisa apa-apa selain tinggal di tempat tidur. Kita harus mengandalkan seseorang.”“Yah. Itu sebabnya aku mengatakan perasaanku padanya saat di makam. Aku ingin menghantui Keenan dengan ungkapan perasaanku.”“Dan dia setuju.” Diane tertawa kecil. “Aku tidak menyangka puteri kecilku sekarang sudah dewasa dan bisa diandalkan.”“Tenang saja, Mom. Aku tidak akan melepaskan Keenan, juga tidak akan menyerah sampai dia mengatakan ya padaku dan menikahiku. Aku akan membuat diriku seolah sangat menderita agar dia tidak bisa mengabaikanku s
“Kenapa? Apa nenek belum bangun?”Emmy yang mendengar gedoran keras di pintu kamar perlahan-lahan berjalan sambil meraba dinding. Dia berhenti di samping Liz yang mengayun gagang pintu dengan kasar sambil sesekali mendengarnya berdecak.“Nenek?” Emmy ikut mengetuk, lalu menempel daun telinganya ke pintu. Anehnya, ruangan kamar Sophia terasa senyap seperti tidak ada orang di dalam.“Tidak bisa.” Liz mulai cemas. “Aku haru membukanya dengan paksa.”Emmy juga mulai takut. Sejak semalam, dia tidak mendengar gerakan apa pun di kamar Sophia walau kamar mereka bersebelahan. Padahal, Emmy bisa dibilang lama sekali baru tertidur. Tapi anehnya dia bahkan tidak mendengar suara pintu kamar ditutup.“Padahal nenek bilang tadi malam dia akan mengantar sup untukmu.” Dia kembali membawa sebuah linggis di tangannya.“Sup? Sup apa?”Astaga, aku salah bicara, batin Liz. “Kata nenek untuk membuatmu tidur nyenyak,” sahutnya, karena itulah yang dikatakan Sophia.“Nenek tidak memberiku apa pun,” aku Emmy. “
“Leo, jemput aku di kampusku!” perintah Lily.“Baik. Aku juga hendak ke sana.”Dia buru-buru keluar dari kelasnya begitu mendapat pesan dari Josiah yang mengatakan kalau Sophia meninggal. Suasana hatinya sudah buruk karena semua hal yang dialami Emmy dan sekarang ditambah masalah lain. Penolong Emmy pergi meninggalkan mereka.Ini pasti lelucon Tuhan, desis Lily begitu dia berdiri disamping gerbang masuk kampus. Dia menaungi matanya dari silau matahari, sesekali mengatur nafasnya yang memburu cepat. Kenapa harus terjadi? Kenapa semua orang yang dekat dengan Emmy satu per satu meninggalkannya?Keenan, Dorothy, dan sekarang Sophia.Memikirkan Emmy akan menangis hebat membuat bola mata Lily basah. Emmy pasti merasa sangat terpukul dengan kepergian Sophia yang hanya berselang dua hari dengan Dorothy. Ini benar-benar skenario yang buruk.“Lily?”Lily melihat Axel menepikan mobilnya. Astaga, kenapa harus sekarang? pikir Lily. Dirinya sendiri sedang menghindari Axel karena menurut pada perin
“Kalian jawab aku.” Axel memohon. “Apa yang terjadi pada Emmy? Kenapa dia?”“Kenapa?” Josiah menyeringai. “Kenapa tidak kamu tanyakan saja masalah ini pada sahabatmu itu? Wanita licik itu pasti tahu alasannya!”“Wanita licik? Maksudmu Isa?” “Tepat sekali. Pulang dan tanyakan padanya apa yang terjadi pada Emmy. Kami memiliki hal penting lain di sini, jadi aku berharap kamu bisa meninggalkan rumah ini segera.”Axel menggeleng, tidak yakin untuk bertanya pada Isa. Sementara tatapannya terus terarah pada Emmy, dua buah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Orang tua Liz, serta beberapa keluarga lainnya datang untuk mengurus pemakaman Sophia setelah kematiannya dikabarkan oleh Liz.“Axel, apa yang kamu lakukan di sini?”Malory Leonora, seorang pria berusia akhir lima puluhan menatap Axel dengan heran. Dia adalah ayah Liz, dan cukup mengejutkan ketika Axel menyadari dia adalah salah satu kenalan bisnis ayahnya.“Paman Malo, ini rumah Paman?”“Tidak.” Malory menggeleng. “Rumah ibuku. Sebag
“Bagaimana, ada ide?”Leo berada di bawah bayang-bayang rembulan ketika dia berbicara berdua saja dengan Josiah. Keduanya meninggalkan kediaman Liz karena orang tuanya menginap di sana. Emmy masih tinggal karena Liz bersikukuh untuk memiliki teman, dan Lily pulang ditemani Axel.Josiah hanya diam. Di tangannya, dia memainkan pemantik dengan tatapan kosong, tapi Leo tahu Josiah sedang berpikir. Rencana mereka adalah memberikan pelajaran pada Isa. Emmy memang meminta untuk mengakhiri semuanya, namun siapa yang dia ajak bernegosiasi? Mana pernah Josiah melepas mangsanya begitu saja?Jangan harap Josiah meloloskan Isa begitu saja. Wanita sepertinya, kalau tidak diberi pelajaran maka dia akan menganggap semua hal bisa dia dapatkan sesuka hati. Juga, dia tidak akan tahu apa yang dia lakukan selama ini adalah salah.Josiah memang setuju untuk mengeluarkan Emmy dari kota ini. Tapi melepaskan Isa? Tidak, nanti dulu.“Kita harus melakukannya tanpa sepengetahuan Keenan.” Josiah memadamkan api pe