Emmy tiba di kediaman Barat ketika malam sudah merayap. Dia berjalan gontai menyusuri tanaman-tanaman bunga yang sedang bersemi. Biasanya Emmy akan duduk di sana sebentar, sekedar menikmati keindahan tumbuhan itu.Namun kali ini kepala Emmy dipenuhi hal-hal yang membuatnya tidak yakin apakah dirinya harus membenci Simone selamanya atau melepas pengampunan. Fakta yang didengarnya diperkuat oleh dukungan Katherine dan juga Frans.Bahkan saat dia pulang diantar oleh Frans, pria itu berpesan, “Em. Jadilah bijak, Nak. Segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan. Jangan membuat dirimu menyesal terhadap pilihan yang seharusnya bisa kamu pilih sejak sekarang. Kehidupan ini tak akan ada yang tahu ujungnya dan kapan berhentinya. Jangan menunda-nunda kebaikan dalam dirimu.”Kata-kata itu seolah menegaskan agar Emmy tidak boleh terlalu lama membenci Simone. Tapi luka di masa kanak-kanaknya tak bisa disembuhkan begitu saja. Goresan pahit akibat penyiksaan yang dilakukan keluarganya amat membekas, me
Dengan lembut Keenan meletakkan Emmy ke tempat tidur. Dia melihat gadis itu menggeliat, meracau tentang hal-hal yang tidak dimengerti Keenan. Dia mendekatkan telinganya dan Emmy tidak bicara lagi.“Apa apa sebenarnya? Kemana kamu pergi seharian ini?”Emmy membuka matanya perlahan-lahan, mendapati Keenan berada tepat di wajahnya. Gadis itu menggumam, menelengkan kepala untuk terus memperhatikan wajah Keenan. Tiba-tiba saja kedua kelopak matanya berkaca-kaca, hingga buliran-buliran bening meluncur dari ujung matanya.Keenan mengelus pipi Emmy yang panas akibat pengaruh alkohol. Air mata gadis itu dihapusnya dengan lembut dan tatapannya tak pernah beralih dari Emmy. Baru kali ini Keenan merasakan kepedihan dalam tangisan Emmy. Gadis itu menangis tanpa bersuara, membuat jantung Keenan seolah tercabik-cabik.“Kamu bisa mengatakan apa pun padaku,” bisik Keenan. “Jangan khawatir, aku di sini.”Emmy berusaha mengumpulkan sisa realitasnya yang dibabat habis oleh kesedihannya. Dia berusaha dudu
Setelah satu jam berlalu dan keheningan dalam ruangan itu terus bertahan, Emmy tersentak oleh bunyi petir yang menggelegar. Mendadak Emmy berbalik ke arah Keenan dan nyaris berteriak karena ternyata Keenan belum tidur.“A-aku pikir kamu sudah tidur.” Emmy merasakan tubuhnya mendadak gugup dan bergetar oleh tatapan intens Keenan padanya.Tarikan nafas Keenan membuat Emmy merasa lebih gugup. Dia tidak mau mendesak Keenan atau bertanya apa-apa lagi, tidak ingin membuat pria itu merasa tidak nyaman karena dia terlalu banyak bicara. Namun Emmy tak tahu, Keenan sedang berjuang untuk membentengi diri dari keinginannya untuk mencumbu Emmy.Keenan tidak akan bisa bertahan kalau dia terus meladeni Emmy bicara. Dan kalau dia memalingkan wajah menatap gadis itu, Keenan takut segala usahanya akan runtuh dan detik berikutnya malah akan semakin membuat keadaan memburuk. Keenan tidak mau Emmy menganggap dirinya mengambil keuntungan dari keadaannya yang pusing akibat alkohol.Tapi Keenan ingin membica
Kilatan cahaya kembali terlihat, mengirim cahaya terang yang menyelinap dari celah jendela. Hujan menghambur dan suara angin yang bertiup cepat menabrak pepohonan terdengar gemuruh. Emmy masih belum sepenuhnya sadar dengan pertanyaan Keenan ketika petir mengguncang di luar.Satu kilat datang sangat dekat sehingga membuat kamar tidur menyala terang sekian detik bagai diterangi cahaya mercusuar. Lalu tak lama, seluruh kediaman hening tanpa suara, mesin pendingin mati dan mereka hanya bisa mendengar suara amukan badai.“Listriknya padam,” bisik Emmy.“Aku tahu. Para pelayan akan menyalakan mesin,” sahut Keenan.Posisi mereka masih sama, Keenan masih berada di atas tubuhnya. Hanya menunggu beberapa detik, ruangan itu kembali dingin saat mesin pendingin mulai bekerja, menandakan listrik sudah menyala. Emmy menatap Keenan yang masih mencengkeram jemarinya dengan erat.“Kita akan seperti ini terus?” bisik Emmy.“Ya, sampai kamu memberiku jawaban.”“Dan kamu harus menjawab pertanyaanku lebih
Aku melakukannya lagi, batin Emmy setelah dia bangun keesokan harinya. Setelah dia membuka mata, dia mendapati hari sudah sangat siang namun tirai-tirai belum tersibak. Emmy menduga Keenan sengaja melakukannya agar dia bisa tidur dengan lelap.Emmy menjulurkan tangan, mencari kehangatan tubuh Keenan di sebelahnya. Mungkin kesenangan itu tidak perlu berakhir, pikir Emmy. Tapi dia tidak menemukan pria itu di sana dan Emmy berusaha mengumpulkan akal sehatnya.Emmy duduk, merenungi apa yang dilakukannya bersama Keenan lagi semalam. Rasanya sangat sulit menolak pesona pria itu, terlebih ketika pembicaraan mereka mengarah pada hal-hal yang sangat serius. Gadis itu menyapukan jemari di bibirnya, lalu tersenyum.“Dia benar-benar menginginkanku?” gumam Emmy, perasaan senang dalam dirinya tak bisa dibohongi.Tapi Emmy berusaha untuk tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan. Perjalanan mereka masih panjang. Dan selama Isa masih ada diantara mereka, sikap Keenan bisa berubah secepat kilatan cahaya.
Ini mungkin akan menjadi hari yang paling sial dalam hidup Lily. Dia tidak hanya duduk bersama dnegan pria yang dicintainya namun pria itu hanya menatap wanita lain dna bukan diirnya. Sekarang, dia jatuh, tersungkur di lantai dan pakaiannya basah.Lily tidak hanya merasakan malu namun juga sakit hati.“Lily, kamu baik-baik saja?” Riley berdiri untuk membantunya.Namun Lily langsung menepis tangan Riley, dan tertegun saat dia melihat uluran tangan dari pria lain. Lily menengadah, mendapati Axel berdiri di sana, tersenyum manis padanya.“Ayo, biar ku bantu,” kata Axel.Lily belum sepenuhnya sadar saat Axel memapahnya dan membantu Lily mengeringkan wajah yang terkena tumpahan jus. “Aku akan mengurusnya,” kata Axel pada Riley yang terlihat sangat khawatir. “Kalian lanjut saja makan siangnya.”Axel mengambil alih tas belanjaan Lily. Dia menggenggam tangan gadis itu dan menyeretnya pergi dari sana. Sambil berjalan, Lily merasakan buliran bening meluncur dari kelopak matanya. Pandangannya be
Mereka tiba di villa saat matahari hampir terbenam. Menyadari Lily masih tidur, Axel memarkir kendaraannya di dekat pagar pembatas yang terbuat dari susunan batang pohon. Pagar pembatas itu menghadap ke arah Barat dan mereka bisa melihat matahari terbenam dari sana.Axel keluar dari mobil, dengan sangat pelan dan hati-hati menutup pintu. Udara di pegunungan cukup dingin dan dia hanya mengenakan kaus saja. Pria itu mendekat ke pagar, merasakan hidungnya membeku karena suhu udara yang rendah.Dia juga tidak tahu kenapa dia harus mengajak Lily ke sini. Dia hanya ingin menenangkan gadis itu akibat patah hatinya terhadap Riley. Axel ingin menunjukkan pada Lily, dia pun layak untuk dicintai.Dengung konstan ponsel yang bergetar di dalam saku jaket membangunkan Lily. Setengah sadar, gadis itu merogoh-rogoh, mengira kalau itu adalah ponsel miliknya. Tapi karena Lily terlambat mengangkatnya, getar ponsel itu berhenti dan Lily kembali tidur.Tak lama, ponsel Axel mulai bergetar lagi. Dengan per
Axel tidak terlalu terkejut ketika Lily bertanya seperti itu. Dia memang sudah menduga kalau sejak awal Lily tahu perasaannya, namun dia hanya pura-pura. Entah agar mereka tidak canggung, atau karena gadis itu memang tidak siap menerima kenyataan kalau pria lain menyukainya disaat dia menyukai seseorang.Entahlah!“Dan kenapa kamu menyukai Riley?” Axel balik bertanya.“Aku...” Lily diam, namun kedua bola matanya masih menatap wajah Axel.“Aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu di rumah sakit,” ujar Axel pada akhirnya. Dia berdiri dengan tegap dan memilih untuk mengatakannya secara terang-terangan pada Lily.“Aku pikir kamu gadis yang tegas ketika kamu berdiri membela Emmy. Cara bicaramu, suaramu, gestur tubuhmu. Aku sama sekali tidak bisa lupa. Bahkan ketika aku kembali, yang ada dalam ingatanku adalah kamu. Saat itu, aku masih ingin meyakinkan diri kalau aku hanya sekedar mengagumimu saja.”Lily mendengar dengan seksama, menunggu kata demi kata yang terucap dari mulut Axel.