Emmy menoleh, mendapati Josiah berdiri di sana. Yang paling membuat Emmy bingung adalah keberadaan Leo yang sejatinya adalah asisten pribadi Keenan. Apa hubungan keduanya? Kenapa Emmy malah merasa Leo terlalu dekat pada Josiah?Keduanya mendekati Emmy, dan tanpa aba-aba apa pun, perampok yang menodongkan senjata perlahan menjauhkan benda itu dari kepala Emmy. Angin berhembus menerbangkan daun-daun yang mengering hingga berserak di atas tanah. Seolah yang berdiri di hadapannya adalah sosok yang menakutkan, ketiganya langsung lari terbirit-birit meninggalkan Emmy sebelum gadis itu menyadarinya.“Kenapa kamu ada di segala tempat?” Kening Emmy mengernyit.Josiah tersenyum. “Seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Kenapa kamu ada di segala tempat? Dan, ini sudah hampir tengah malam.” Josiah menunjukkan jam tangannya pada Emmy. “Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah suamimu sungguh-sungguh memberimu izin?”Emmy mengabaikan pertanyaan itu. Kini tatapannya beralih pada Leo yang sedari tadi di
Seharusnya suhu udara akan semakin menurun seiring dengan malam yang semakin pekat. Namun hingga harum jam menunjuk angka hampir mendekati satu dini hari, Emmy malah merasa suasana di sekitarnya semakin panas.Keenan dan Josiah berdiri berhadap-hadapan, dengan dada sama-sama membusung dan arogansi yang merebak di udara. Emmy melirik Leo yang sejak tadi malah berdiri dengan santai, seolah dia sudah menunggu adegan ini dan menikmatinya ketika sudah terjadi.“Leo.” Emmy melotot. “Hentikan mereka,” bisik gadis itu.Leo menggeleng, mencondongkan wajah ke arah Emmy lalu berbisik, “Ini menyenangkan. Apakah kamu tidak ingin melihat adegan ini, Nona?”Mata Emmy membulat kesal. Leo ternyata tak bisa diandalkan. Sekarang, pria itu bahkan menyilangkan tangan di dada dengan santai, menegaskan diri kalau dia benar-benar tidak berniat memisahkan Keenan dan Josiah.“Aku akan ikut dengan Keenan,” ujar Emmy pada akhirnya. “Kalian pulanglah.”“Apa dia melakukan hal kasar padamu, Em?” Josiah menahan tang
Duduk menyendiri di sudut ruangan kamar yang gelap gulita, Emmy merasakan air matanya tak berhenti mengalir sejak tadi. Ada perasaan sakit yang mengganjal ketika dia tahu Keenan tidak benar-benar menginginkannya. Mungkin, pria itu bersikap baik selama beberapa hari untuk menyenangkan Dorothy, atau kedua orang tuanya.Bodohnya, Emmy tertipu. Sungguh, Emmy merasakan gejolak emosi yang berkobar dalam dirinya. Bisa-bisanya aku meleleh oleh karena pengakuannya? batin Emmy. Dan semua sentuhannya, ciumannya, itu hanya bagian dari rencananya?Karena Emmy yakin. Jika Keenan sungguh-sungguh padanya, maka dia tidak akan mudah dipengaruhi oleh siapa pun, termasuk Isa.Badai yang mengancam tampaknya mulai tiba menjelang pagi hari dengan begitu dahsyat. Emmy berharap badai itu bertahan lama karena dia menyukainya. Sensasi berisik yang diciptakannya mampu membuat tangisan Emmy tak terdengar dan dia akan leluasa menumpahkan kepedihan hatinya.Pikiran Emmy kembali pada Josiah. Tiba-tiba saja pria itu
Emmy meneguk cairan hitam kental di gelas keramik putihnya dengan hati-hati, meniup uap panas untuk mengurasi resiko mulutnya akan terbakar. Sudah dua hari sejak kejadian malam itu dan kehidupannya seolah kembali mundur ke pertemuan awal dengan Keenan.Mereka sudah pisah kamar dan Keenan sama sekali tidak bicara. Entah apa yang dipikirkan pria itu dan kenapa dia sangat mudah digesek, Emmy tidak mengerti.Emmy tidak merasa salah. Jika Keenan mempersoalkan pertemuan kebetulannya dengan Josiah, maka Emmy pun tak bisa menahan asumsi liar Keenan. Emmy sudah menjelaskannya dengan jujur, dia bahkan tidak menambah atau mengurangi setiap detail kejadian pertemuannya dengan Josiah. Jika Keenan tidak percaya, maka itu adalah urusannya.Emmy melirik Lily yang sedang bicara. Mereka berdua duduk di beranda belakang rumah Lily, menghadap ke arah danau buatan. Lily duduk dengan postur tubuh sempurna di kursi kayu sambil bercerita panjang lebar.Karena Emmy tak bisa tidur selama dua malam terakhir, di
“Hentikan!” Emmy menahan tangan Lily ketika gadis itu meneguk alkohol lagi dari gelasnya.Hentakan musik hingar bingar terdengar memekakkan telinga, membuat Emmy merasa tidak nyaman berada di dalam ruangan yang dipadati oleh lautan orang itu. Semakin malam, bar semakin dipadati oleh orang-orang yang datang entah dari mana.Wajah Lily sudah sepenuhnya memerah. Sejak Riley kembali dari kediamannya, Lily langsung mengajak Emmy ke bar dan mereka sudah berada di sana selama berjam-jam. Walau sudah mengabari Keenan –entah pria itu membaca pesannya atau tidak-, tetap saja Emmy merasa terlalu takut untuk pulang terlalu malam.Emmy mengambil ponselnya dari dalam tas lalu mengirim pesan pada Axel. Tidak ada orang selain pria itu yang terlintas di benak Emmy. Hanya Axel yang dekat dengan Lily akhir-akhir ini dan tak mungkin Emmy meminta Paman Frans untuk menjemput Lily.Bisa-bisa, mereka berdua akan mendapat amukan kasar.Sementara itu, Axel dan Keenan baru saja mengakhiri meeting via video call
“Aku tidak mau pulang,” gumam Lily, ditengah-tengah mabuknya.Axel mengantung tas Lily ke lehernya dan menggendong gadis itu di punggung, membawanya keluar menembus padatnya manusia. Axel berhenti, dia mendongak untuk bisa mendengar Lily lebih jelas.“Apa katamu?”“Aku tidak mau pulang,” gumam Lily lagi.“Jadi ke mana kita sekarang? Kemana aku harus mengantarmu?”Lily bergumam lagi, kali ini suaranya nyaris tak terdengar dan membuat Axel kembali memalingkan wajah pada Lily. Kepala gadis itu terkulai lemas di lehernya dan ketika Axel memalingkan wajah, hidung mereka nyaris bersentuhan.Axel menelan ludahnya dengan susah payah. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa merasakan hembusan nafas Lily di wajahnya, yang membangkitkan sensasi menyengat bak sekujur tubuhnya dialiri listrik. Axel berdehem pelan, berusaha menghalau bayangan-bayangan liar yang tiba-tiba melintas.Bagi Axel yang sudah sering mengunjungi bar dan kelab malam, dia sudah sering bertemu dan melihat wanita dengan pakaian mini
Emmy berubah jadi gadis yang pendiam, setidaknya itu yang dilihat Keenan selama beberapa hari ini. Emmy tidak menyapanya, tidak bicara dengannya, tapi setiap pagi selalu menyediakan sarapan. Gadis itu selalu saja menghindar ke taman saat Keenan turun, lalu mendadak masuk ke rumah saat Keenan keluar rumah.Mereka nyaris jarang bertemu walau berada dalam satu atap yang sama, dan anehnya, Emmy lebih banyak menghabiskan waktunya bersama para pelayan di rumahnya –belajar membuat selai dan juga roti.Emmy memang sengaja melakukannya. Keenan perlu tahu, kalau perbuatan pria itu menyakiti hatinya. Setelah menyediakan roti panggang dengan isian selai strobery yang baru dibuatnya, Emmy melangkah menuju taman karena dia tahu Keenan akan turun.Dia berlama-lama dekat undakan tanah yang baru saja digemburkan oleh tukang kebun. Setelah semalam diguyur oleh hujan, tanah berubah menjadi sangat lembek dan aroma segar langsung menyengat hidungnya.Kelopak-kelopak mawar terlihat menunduk karena masih ba
Wajah Isa penuh lebam ketika dia menatap dirinya dalam pantulan cermin raksasa di kamar toilet rumah sakit. Dokter mengatakan kalau wajahnya tak perlu diperban dan akan sembuh dalam beberapa hari, namun bekasnya mungkin akan tinggal selama beberapa minggu.Tak masalah, Isa malah menyukai kesimpulan itu. Setidaknya selama itu dia akan bisa memanfaatkan situasi untuk merebut perhatian Keenan. Jika meringis sedikit saja, Keenan pasti akan melompat menemuinya.Dia tersenyum menyeringai, begitu menikmati sensasi sakit di wajahnya yang membawanya pada kemenangan. Mudah sekali menyulut amarah Emmy. Dia hanya perlu mengarang hal yang tidak nyata dan membubuhinya dengan olok-olok khas miliknya, dan boom, emosi Emmy meledak.“Ah, kehidupan ini sangat indah. Menyenangkan sekali saat aku tahu bahwa semesta ini mendukungku,” katanya dengan tawa yang tertahan.Begitu dia keluar, Keenan masih di sana, menunggunya dengan wajah harap-harap cemas. Pria itu langsung menemuinya begitu dia keluar, dan Isa