“Aku tidak mau pulang,” gumam Lily, ditengah-tengah mabuknya.Axel mengantung tas Lily ke lehernya dan menggendong gadis itu di punggung, membawanya keluar menembus padatnya manusia. Axel berhenti, dia mendongak untuk bisa mendengar Lily lebih jelas.“Apa katamu?”“Aku tidak mau pulang,” gumam Lily lagi.“Jadi ke mana kita sekarang? Kemana aku harus mengantarmu?”Lily bergumam lagi, kali ini suaranya nyaris tak terdengar dan membuat Axel kembali memalingkan wajah pada Lily. Kepala gadis itu terkulai lemas di lehernya dan ketika Axel memalingkan wajah, hidung mereka nyaris bersentuhan.Axel menelan ludahnya dengan susah payah. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa merasakan hembusan nafas Lily di wajahnya, yang membangkitkan sensasi menyengat bak sekujur tubuhnya dialiri listrik. Axel berdehem pelan, berusaha menghalau bayangan-bayangan liar yang tiba-tiba melintas.Bagi Axel yang sudah sering mengunjungi bar dan kelab malam, dia sudah sering bertemu dan melihat wanita dengan pakaian mini
Emmy berubah jadi gadis yang pendiam, setidaknya itu yang dilihat Keenan selama beberapa hari ini. Emmy tidak menyapanya, tidak bicara dengannya, tapi setiap pagi selalu menyediakan sarapan. Gadis itu selalu saja menghindar ke taman saat Keenan turun, lalu mendadak masuk ke rumah saat Keenan keluar rumah.Mereka nyaris jarang bertemu walau berada dalam satu atap yang sama, dan anehnya, Emmy lebih banyak menghabiskan waktunya bersama para pelayan di rumahnya –belajar membuat selai dan juga roti.Emmy memang sengaja melakukannya. Keenan perlu tahu, kalau perbuatan pria itu menyakiti hatinya. Setelah menyediakan roti panggang dengan isian selai strobery yang baru dibuatnya, Emmy melangkah menuju taman karena dia tahu Keenan akan turun.Dia berlama-lama dekat undakan tanah yang baru saja digemburkan oleh tukang kebun. Setelah semalam diguyur oleh hujan, tanah berubah menjadi sangat lembek dan aroma segar langsung menyengat hidungnya.Kelopak-kelopak mawar terlihat menunduk karena masih ba
Wajah Isa penuh lebam ketika dia menatap dirinya dalam pantulan cermin raksasa di kamar toilet rumah sakit. Dokter mengatakan kalau wajahnya tak perlu diperban dan akan sembuh dalam beberapa hari, namun bekasnya mungkin akan tinggal selama beberapa minggu.Tak masalah, Isa malah menyukai kesimpulan itu. Setidaknya selama itu dia akan bisa memanfaatkan situasi untuk merebut perhatian Keenan. Jika meringis sedikit saja, Keenan pasti akan melompat menemuinya.Dia tersenyum menyeringai, begitu menikmati sensasi sakit di wajahnya yang membawanya pada kemenangan. Mudah sekali menyulut amarah Emmy. Dia hanya perlu mengarang hal yang tidak nyata dan membubuhinya dengan olok-olok khas miliknya, dan boom, emosi Emmy meledak.“Ah, kehidupan ini sangat indah. Menyenangkan sekali saat aku tahu bahwa semesta ini mendukungku,” katanya dengan tawa yang tertahan.Begitu dia keluar, Keenan masih di sana, menunggunya dengan wajah harap-harap cemas. Pria itu langsung menemuinya begitu dia keluar, dan Isa
Pesan yang dikirim Keenan ke ponselnya membuat Leo berhenti untuk mengerjakan beberapa proyek perusahaan yang sedang diperiksanya. Leo membuka kaca matanya, membaca pesan yang dikirim Keenan padanya dengan lamat-lamat.“Mereka yang hendak makan bersama, kenapa aku harus ke sana?” Dia mengernyit heran.Detik berikutnya, Keenan mengirim alamat padanya. Leo segera menutup laptop dan menyusun kertas-kertas yang berserak di mejanya menjadi satu tumpukan acak. Dia tahu, kalau Keenan sudah mengirim alamat seperti yang barusan dia lakukan, tak ada alasan baginya untuk menolak.Daripada harus mendengar ocehan Keenan sepanjang hari hingga beberapa minggu ke depan, lebih baik dia melakukannya.Leo memacu SUV-nya menuju restoran yang diperintahkan Keenan. Begitu masuk, Leo mendapati restoran itu sepi pengunjung. Salah satu pegawai restoran menghadangnya, dan berkata, “Maaf Tuan. Restoran sudah full booking.”Makan siang juga harus semegah ini? pikir Leo. Dia berdehem, menunjukkan identitasnya pad
Suara rendah Leo benar-benar membius Ivy. Ketika Leo mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit, dia merasakan getaran luar biasa yang membuat dia takut setengah mati. Aura Leo yang dingin dan misterius membuat Ivy seolah-olah sedang berhadapan dengan salah satu tokoh mafia yang sering dilihatnya di drama-drama.“Dengar,” bisik Leo di telinganya. “Jika kamu benar-benar ingin hidup, lakukan apa yang ku perintahkan. Berikan bubuk itu padaku.”Dengan tangan gemetar, Ivy mengeluarkan bubuk dari dalam sakunya lalu menyerahkannya pada Leo.“Bagus,” desis Leo, tepat di wajah Ivy. “Sekarang, ambilkan anggur yang sama persis dan antarkan ke ruangan Tuan Keenan sekarang juga.”“T-tapi...”“Tak ada tapi-tapi, Ivy Winter,” kata Leo seraya membaca papan nama yang melekat di dada Ivy. “Jika kamu melakukan apa yang ku perintahkan, aku akan menjamin kehidupanmu dengan nyawaku sendiri. Kalau tidak, maka besok kamu akan menjadi judul berita di seantero negeri ini.”Seringaian tajam itu membuat nyali
Hari sudah menjelang sore saat Lily bangun di tempat tidur. Dengan malas dia berguling, merasakan kepalanya terasa seperti dipukul gada. Gadis itu memegang kepalanya selagi dia berguling, lalu tangannya turun memegang perutnya begitu mendengar bunyi yang tak karuan.Dia lapar dan kepalanya sakit.Lily menendang selimut yang membalut tubuhnya. Setengah sadar, dia turun dari tempat tidur, menggosok matanya untuk pergi ke kamar mandi. Namun tiba-tiba dia terantuk cukup keras hingga membuatnya jatuh.Sambil memegang jidatnya yang memerah, Lily membuka matanya lebar-lebar, terkejut karena sisi kanan ruangan kamar tidurnya bukanlah kamar mandi. “Bagaimana bisa kamar mandiku pindah?” gumamnya bingung.Lily menggeleng, mengusir kekacauan yang tercipta di kepalanya. Saat itulah dia menyadari kalau pakaian yang dia gunakan pun bukan miliknya. Lily terkesiap, memeriksa dirinya dan juga ruangan tempatnya tidur.Tidak. Ini sungguh bukan kamarnya. Dia tidak mengenakan pakaiannya dan tidak tidur di
“Aku jarang berada di rumah.” Leo melempar jasnya ke atas sofa lalu duduk di sana sementara Ivy masih berdiri dengan kaku di ambang pintu. “Itu sebabnya aku memintamu menjadi asistenku di rumah.”Ivy melangkah pelan, mengamati apartemen Leo yang mewah. Ini adalah apartemen terbaik yang pernah dia lihat. Dengan balkon yang langsung berhadapan dengan pemandangan kota yang indah, Ivy bertaruh kalau pemandangan malam hari akan lebih indah dari semua ini.“Maksudmu pelayan, bukan?” Ivy berdiri di hadapan Leo.“Kamu mau menganggap dirimu pelayan?”Jika gaji yang dia dapat pantas, tidak masalah menyebut dirinya pelayan. Ivy tidak terlalu mempermasalahkan sebutan itu. Yang dia kejar untuk sekarang adalah uang yang banyak untuk biaya wisuda dan juga untuk membeli obat-obatan untuk ibunya yang jumlahnya tidak sedikit.“Berapa gaji yang kamu tawarkan?”“Kamu berani juga,” sindir Leo.“Manusia hidup membutuhkan uang. Aku hanya bicara blak-blakan,” sahut Ivy.“Sepuluh kali lipat dari yang kamu dap
“Kamu sendirian lagi?”Emmy menurunkan kaca mata hitamnya ketika dia menoleh, Josiah dan Leo tersenyum menyapanya. Gadis itu cukup enggan begitu bertemu keduanya karena masalah selalu saja muncul ketika mereka bertemu.Dia buru-buru mengemas ponsel dan buku yang bahkan tidak dibacanya tanpa bicara sedikit pun. Josiah menyambar ponsel Emmy dari tangan gadis itu, dengan santai duduk di sisinya dan Leo melakukan hal yang sama.Kini Emmy diapit oleh keduanya dengan perasaan bingung dan marah.“Berikan ponselku,” kata Emmy dingin.“Leo sudah menceritakan semuanya padaku. Itu alasan kenapa kamu berada di sini sekarang?” tanya Josiah tanpa menghiraukan permintaan Emmy.Emmy melirik Leo, mendapati pria itu hanya tersenyum. “Aku ada di sana saat makan siang itu terjadi.”Tarikan nafas Emmy adalah tanda jika dia sedang sangat lelah. “Kalian ada di mana-mana sepertinya,” gumam Emmy, memilih untuk kembali duduk dengan santai.Toh hubungannya dengan Keenan memang sedang bermasalah. Dia tidak mau c
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany