Emmy berubah jadi gadis yang pendiam, setidaknya itu yang dilihat Keenan selama beberapa hari ini. Emmy tidak menyapanya, tidak bicara dengannya, tapi setiap pagi selalu menyediakan sarapan. Gadis itu selalu saja menghindar ke taman saat Keenan turun, lalu mendadak masuk ke rumah saat Keenan keluar rumah.Mereka nyaris jarang bertemu walau berada dalam satu atap yang sama, dan anehnya, Emmy lebih banyak menghabiskan waktunya bersama para pelayan di rumahnya –belajar membuat selai dan juga roti.Emmy memang sengaja melakukannya. Keenan perlu tahu, kalau perbuatan pria itu menyakiti hatinya. Setelah menyediakan roti panggang dengan isian selai strobery yang baru dibuatnya, Emmy melangkah menuju taman karena dia tahu Keenan akan turun.Dia berlama-lama dekat undakan tanah yang baru saja digemburkan oleh tukang kebun. Setelah semalam diguyur oleh hujan, tanah berubah menjadi sangat lembek dan aroma segar langsung menyengat hidungnya.Kelopak-kelopak mawar terlihat menunduk karena masih ba
Wajah Isa penuh lebam ketika dia menatap dirinya dalam pantulan cermin raksasa di kamar toilet rumah sakit. Dokter mengatakan kalau wajahnya tak perlu diperban dan akan sembuh dalam beberapa hari, namun bekasnya mungkin akan tinggal selama beberapa minggu.Tak masalah, Isa malah menyukai kesimpulan itu. Setidaknya selama itu dia akan bisa memanfaatkan situasi untuk merebut perhatian Keenan. Jika meringis sedikit saja, Keenan pasti akan melompat menemuinya.Dia tersenyum menyeringai, begitu menikmati sensasi sakit di wajahnya yang membawanya pada kemenangan. Mudah sekali menyulut amarah Emmy. Dia hanya perlu mengarang hal yang tidak nyata dan membubuhinya dengan olok-olok khas miliknya, dan boom, emosi Emmy meledak.“Ah, kehidupan ini sangat indah. Menyenangkan sekali saat aku tahu bahwa semesta ini mendukungku,” katanya dengan tawa yang tertahan.Begitu dia keluar, Keenan masih di sana, menunggunya dengan wajah harap-harap cemas. Pria itu langsung menemuinya begitu dia keluar, dan Isa
Pesan yang dikirim Keenan ke ponselnya membuat Leo berhenti untuk mengerjakan beberapa proyek perusahaan yang sedang diperiksanya. Leo membuka kaca matanya, membaca pesan yang dikirim Keenan padanya dengan lamat-lamat.“Mereka yang hendak makan bersama, kenapa aku harus ke sana?” Dia mengernyit heran.Detik berikutnya, Keenan mengirim alamat padanya. Leo segera menutup laptop dan menyusun kertas-kertas yang berserak di mejanya menjadi satu tumpukan acak. Dia tahu, kalau Keenan sudah mengirim alamat seperti yang barusan dia lakukan, tak ada alasan baginya untuk menolak.Daripada harus mendengar ocehan Keenan sepanjang hari hingga beberapa minggu ke depan, lebih baik dia melakukannya.Leo memacu SUV-nya menuju restoran yang diperintahkan Keenan. Begitu masuk, Leo mendapati restoran itu sepi pengunjung. Salah satu pegawai restoran menghadangnya, dan berkata, “Maaf Tuan. Restoran sudah full booking.”Makan siang juga harus semegah ini? pikir Leo. Dia berdehem, menunjukkan identitasnya pad
Suara rendah Leo benar-benar membius Ivy. Ketika Leo mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit, dia merasakan getaran luar biasa yang membuat dia takut setengah mati. Aura Leo yang dingin dan misterius membuat Ivy seolah-olah sedang berhadapan dengan salah satu tokoh mafia yang sering dilihatnya di drama-drama.“Dengar,” bisik Leo di telinganya. “Jika kamu benar-benar ingin hidup, lakukan apa yang ku perintahkan. Berikan bubuk itu padaku.”Dengan tangan gemetar, Ivy mengeluarkan bubuk dari dalam sakunya lalu menyerahkannya pada Leo.“Bagus,” desis Leo, tepat di wajah Ivy. “Sekarang, ambilkan anggur yang sama persis dan antarkan ke ruangan Tuan Keenan sekarang juga.”“T-tapi...”“Tak ada tapi-tapi, Ivy Winter,” kata Leo seraya membaca papan nama yang melekat di dada Ivy. “Jika kamu melakukan apa yang ku perintahkan, aku akan menjamin kehidupanmu dengan nyawaku sendiri. Kalau tidak, maka besok kamu akan menjadi judul berita di seantero negeri ini.”Seringaian tajam itu membuat nyali
Hari sudah menjelang sore saat Lily bangun di tempat tidur. Dengan malas dia berguling, merasakan kepalanya terasa seperti dipukul gada. Gadis itu memegang kepalanya selagi dia berguling, lalu tangannya turun memegang perutnya begitu mendengar bunyi yang tak karuan.Dia lapar dan kepalanya sakit.Lily menendang selimut yang membalut tubuhnya. Setengah sadar, dia turun dari tempat tidur, menggosok matanya untuk pergi ke kamar mandi. Namun tiba-tiba dia terantuk cukup keras hingga membuatnya jatuh.Sambil memegang jidatnya yang memerah, Lily membuka matanya lebar-lebar, terkejut karena sisi kanan ruangan kamar tidurnya bukanlah kamar mandi. “Bagaimana bisa kamar mandiku pindah?” gumamnya bingung.Lily menggeleng, mengusir kekacauan yang tercipta di kepalanya. Saat itulah dia menyadari kalau pakaian yang dia gunakan pun bukan miliknya. Lily terkesiap, memeriksa dirinya dan juga ruangan tempatnya tidur.Tidak. Ini sungguh bukan kamarnya. Dia tidak mengenakan pakaiannya dan tidak tidur di
“Aku jarang berada di rumah.” Leo melempar jasnya ke atas sofa lalu duduk di sana sementara Ivy masih berdiri dengan kaku di ambang pintu. “Itu sebabnya aku memintamu menjadi asistenku di rumah.”Ivy melangkah pelan, mengamati apartemen Leo yang mewah. Ini adalah apartemen terbaik yang pernah dia lihat. Dengan balkon yang langsung berhadapan dengan pemandangan kota yang indah, Ivy bertaruh kalau pemandangan malam hari akan lebih indah dari semua ini.“Maksudmu pelayan, bukan?” Ivy berdiri di hadapan Leo.“Kamu mau menganggap dirimu pelayan?”Jika gaji yang dia dapat pantas, tidak masalah menyebut dirinya pelayan. Ivy tidak terlalu mempermasalahkan sebutan itu. Yang dia kejar untuk sekarang adalah uang yang banyak untuk biaya wisuda dan juga untuk membeli obat-obatan untuk ibunya yang jumlahnya tidak sedikit.“Berapa gaji yang kamu tawarkan?”“Kamu berani juga,” sindir Leo.“Manusia hidup membutuhkan uang. Aku hanya bicara blak-blakan,” sahut Ivy.“Sepuluh kali lipat dari yang kamu dap
“Kamu sendirian lagi?”Emmy menurunkan kaca mata hitamnya ketika dia menoleh, Josiah dan Leo tersenyum menyapanya. Gadis itu cukup enggan begitu bertemu keduanya karena masalah selalu saja muncul ketika mereka bertemu.Dia buru-buru mengemas ponsel dan buku yang bahkan tidak dibacanya tanpa bicara sedikit pun. Josiah menyambar ponsel Emmy dari tangan gadis itu, dengan santai duduk di sisinya dan Leo melakukan hal yang sama.Kini Emmy diapit oleh keduanya dengan perasaan bingung dan marah.“Berikan ponselku,” kata Emmy dingin.“Leo sudah menceritakan semuanya padaku. Itu alasan kenapa kamu berada di sini sekarang?” tanya Josiah tanpa menghiraukan permintaan Emmy.Emmy melirik Leo, mendapati pria itu hanya tersenyum. “Aku ada di sana saat makan siang itu terjadi.”Tarikan nafas Emmy adalah tanda jika dia sedang sangat lelah. “Kalian ada di mana-mana sepertinya,” gumam Emmy, memilih untuk kembali duduk dengan santai.Toh hubungannya dengan Keenan memang sedang bermasalah. Dia tidak mau c
Josiah mengernyit, kemungkinan yang terlontar dari mulut Emmy sedikit tidak masuk akal. Masalahnya, Simone yang selama ini berpura-pura sebagai suami dan ayah yang baik di dalam rumah itu juga berusaha mencari Nikky. Jika Nikky ada di sana, mungkinkah Simone tidak mengetahuinya?“Masuk akal,” gumam Leo, instingnya pun mengatakan hal yang sama.“Aku rasa tidak.” Josiah menatap keduanya. “Ingat, di dalam rumah itu masih ada Tuan Simone. Apa mungkin Diane menempatkan ibu Emmy di sana? Adakah tempat yang luput dari pengawasannya?”Emmy mengernyit, berusaha mengingat-ingat. Ketika masih tinggal di sana, Emmy ingat sekali kalau Simone suka berkeliaran di rumah. Dia bisa ada di dapur, tiba-tiba detik berikutnya sudah ada di taman belakang, lalu pindah ke balkon.Bahkan pernah sekali Emmy bertemu dengan Simone di dalam gudang dengam mata bengkak seperti habis menangis. Dulu, Emmy pikir Simone hanya sedang mabuk karena dia menemukan beberapa keleng alkohol di sana. Sekarang Emmy sadar, kalau s