Perjalanan ke daerah asal Mayra memerlukan waktu sekitar tiga jam perjalanan dengan bis. Setelah keluar dari rumah Jaya, Mayra bergegas menuju taxi online yang memang sudah dipesannya sebelum keluar rumah.Sepanjang perjalanan, Mayra memejamkan mata, berusaha merafalkan doa yang dia masih hafal. Semata-mata agar pikirannya yang kalut bisa lebih tenang."Ibu!" teriak Mayra lirih ketika melihat sang ibu duduk terpekur di samping tempat tidur ayahnya."May! Kamu sudah datang, May?""Iya, Bu. Bagaimana keadaan ayah, Bu?""Sudah lebih baik, tetapi kita tidak boleh lengah, May.""Kau pasti lelah sekali! Maaf, Ibu menganggu tidurmu, May!""Ibu bicara apa? Mayra tidak ada masalah, Bu. Ibu yang harus beristirahat."Mayra melihat wajah ibunya yang terlihat kuyu dan lelah. Badan ibunya terlihat lebih kurus dibandingkan waktu Mayra bertemu keluarganya terakhir kali."Bu, kenapa ayah dirawat di kamar ini?" tanya Mayra. Memindai kamar perawatan ayahnya. Terlihat dua ranjang yang masih kosong, tidak
"Tuan Jaya?" desis Mayra lirih ketika melihat siapa yang memanggilnya.Jaya segera berlari menghampiri Mayra yang hendak masuk ke dalam mobil."Tidak perlu masuk, May!" kata Jaya tegas."Kenapa, Tuan?" tanya Mayra polos. Padahal tadi dia sudah memutar akalnya agar bisa segera keluar dari situasi yang cukup menyulitkan, tetapi ketika Jaya memintanya untuk pergi, kenapa dia masih menanyakannya? Dasar Mayra bodoh! tegur suara hatinya jauh di dalam sana.Mayra juga sekilas melihat bagaimana sikap kedua pria berbadan kekar yang menghadangnya tadi. Kenapa mereka hanya diam saja? Dari gestur mereka, bisa dikatakan bahwa dua orang pria itu merasa segan terhadap Jaya."Pergilah kalian. Bilang kepada ibu Ratu bahwa Mayra tidak akan bertemu dengan beliau!""Dan juga kepada anda, Nona Martha!" ucap Jaya kepada wanita berpakaian modis yang keluar dari mobil."Tolong sampaikan kepada ibu agar jangan coba mengganggu Mayra. Aku tidak akan tinggal diam!" Setelah mengatakan itu, Jaya menarik tangan May
Hembusan angin pagi menerpa wajah Mayra yang masih terpaku dengan pernyataan yang keluar dari bibir Jaya."Maaf, Tuan. Anda harus beristirahat. Saya permisi dulu!" kata Mayra cepat. Dia harus segera kembali ke tempat ayah dan ibunya sebelum Jaya melantur semakin jauh.Jaya menarik tangan Mayra yang melewatinya dan mendekatkan tubuhnya. Mayra kembali panik, dan melihat sekeliling mereka dengan sudut penglihatannya. Jantungnya bertalu-talu dengan keras. Lebih dominan karena takut ada orang yang melihat posisi mereka. Meskipun profesinya sebagai kupu-kupu malam, hal itu hanyalah sebagai pekerjaan saja. Inilah sifat asli Mayra. Dia akan kaku ketika berinteraksi sedikit mesra di depan umum."Tuan, jangan begini! Tidak enak jika dilihat orang!" kata Mayra akhirnya.Jaya tetap bergeming, raut wajahnya kembali dingin tidak memperdulikan perkataan Mayra."Begini, Tuan Jaya. Kita akan bicara. Tapi ijinkan saya untuk ke kamar ayah saya dulu. Tiga jam saja! Kemudian kita akan bertemu di restoran
Mayra tetap menatap wajah Jaya dengan teguh. Tekadnya sudah bulat. Dia tidak akan menerima Jaya. Lagipula, apa yang Jaya lihat dari diri Mayra?Dia hanya seorang Kupu-Kupu Malam. Hanya seorang yang memberi kepuasan saja. Tidak lebih. Abaikan kelainan Jaya, Mayra bukan menitikberatkan pada hal itu. Satu hal yang pasti, banyak rencana yang ada di dalam benak Mayra dan Jaya bukan salah satu dari rencana itu."Terima kasih untuk minumannya, Tuan Jaya. Saya permisi dulu!" pamit Mayra yang diabaikan oleh Jaya. Bahkan Jaya masih menatap kosong jauh di belakang Mayra. Seolah-olah menganggap Mayra tidak ada di sana. Mayra menghela nafas panjang. Dia tidak peduli. Pasti setelah ini semua, Jaya akan baik-baik saja. Mayra yakin akan hal itu. Keluarganya lebih membutuhkan Mayra saat ini. Keberadaan seorang Jaya Mahendra akan membuat pikirannya lebih terbebani lagi.Setelah meninggalkan Jaya yang masih terlihat patah hati, Mayra berjalan perlahan menuju rumah sakit. Mayra memang sengaja tidak naik
Mata Mayra masih terpejam tetapi kesadarannya sudah kembali. Dia ingat, tadi ada yang membekapnya dengan saputangan. Pasti ada cairan pembius pada saputangan itu. Pasti begitu. Meskipun matanya terpejam, Mayra tetap merasakan situasi di sekitarnya. Bau kayu yang terasa asing menyergap indera penciumannya. Terasa hening. Tidak ada satu suarapun yang terdengar. Mayra membuka matanya segera. Satu hal yang dilihatnya adalah pakaiannya. Masih utuh. Tidak ada koyakan dimanapun, menandakan tidak ada yang menjamah tubuhnya. Mayra menyentil dahinya sendiri. Apa yang kau harapkan, Mayra? Toh, kamu tidak punya kehormatan ataupun semacamnya. Batin Mayra menegur di dalam sana. Membuat Mayra tersenyum mengiyakan. Benar! Kalaupun ada pria yang melakukan hal buruk kepadanya, itu bukan masalah besar! Dia sudah ternoda sejak lama. Jadi, tambahan satu noda lagi seharusnya tidak menjadi beban.Kamar yang ditempati Mayra bernuansakan kayu yang pekat. Mungkin kalau tidak dalam kondisi seperti ini, pasti M
Jaya dengan fokus meneliti layar di hadapannya. Kamera pengawas yang ada di jalanan masih memperlihatkan sosok Mayra ketika keluar dari Restaurant. Bahkan Mayra masih terlihat di layar monitor ketika dia berjalan dan berhenti sejenak untuk menerima telepon."Gadis bodoh! Kenapa tidak naik taxi saja?" gumam Jaya merutuki Mayra yang terlihat berjalan santai sambil merenung.Mayra terlihat menyusuri jalan sepi dan masuk ke sebuah jalan sempit yang tidak terlihat oleh kamera. Tidak ada satupun kamera yang bisa memperlihatkan apa yang terjadi di jalan tersebut. Hanya itu yang bisa Jaya temukan."Ada yang mempermainkanku! Ini pasti ulah ibu!" seru Jaya. Dia berdiri tetapi kemudian kembali lagi mengawasi layar di depannya. Mayra yang tengah berlari menarik perhatiannya, dan juga beberapa pria yang seperti menanti gadis itu. Terlihat dari mereka yang siap menyongsong kedatangan Mayra dan langsung menyambutnya dengan sebuah kain. Setelah itu gelap dan layar mulai menunjukkan serabut kecil-keci
Mayra mendengar keributan di luar tetapi dia lebih fokus kepada rasa sakitnya. Begitu terdengar kegaduhan di luar, Kanaya melepaskan penjepit besi itu dan berlari ke luar kamar. Kesempatan bagi Mayra untuk melarikan diri. Dia melepaskan semua penjepit besi itu dan meringis perih. Untungnya satu tangan luput dari kekejaman penjepit besi milik ibu Jaya itu. Mayra membuka pintu dengan cepat. Masih terdengar suara keributan di luar, tetapi sepertinya area dalam rumah tidak terjamah. Malah cenderung sepi. Sambil setengah berlari, Mayra menuruni anak tangga rumah yang dijadikan tempatnya tadi dikurung. Dia harus bergegas, jangan sampai tertangkap lagi. Mayra berjanji, setelah selamat dari semua ini, dia akan pindah dari kota tempatnya mengais pendapatan. Tidak mengapa kehilangan pekerjaan, asalkan nyawanya selamat. Itu prioritas Mayra saat ini."Mau kemana, Nona Kecil?" Sebuah suara mengejutkan Mayra yang bergegas menuju arah luar rumah. Tanpa memperdulikan suara itu, Mayra tetap berjalan
Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda merupakan pasangan suami istri dari hasil perjodohan, tetapi rasa cinta juga menguat seiring dengan bertambahnya usia pernikahan mereka. Kepiawaian Bastian Mahendra dalam berbisnis berbanding lurus dengan kelihaian Kanaya Arinda dalam melihat prospek usaha di masa depan. Sepak terjang pasangan ini sudah tersiar sampai ke seluruh negeri. Pasti ada saja orang yang tidak senang dengan kesuksesan keluarga Mahendra. Beberapa orang bahkan menyewa preman atau penjahat kawakan untuk bisa menganggu keluarga Mahendra."Sial, kita terlambat!" Jaya menggeram kesal ketika rumah yang ditujunya sudah kosong. Hanya ada tanaman hias yang berserakan sebagai tanda adanya bekas perkelahian. "Saya akan menyelidikinya, Tuan!""Pasti mereka membawa ibu!" Jaya memandang seputar halaman dengan seksama. Kosong melompong, hanya hembusan angin saja yang terasa sejuk menerpa wajah Jaya."Tuan, saya menemukan ponsel Nyonya besar. Di dalam juga kosong, Tuan!" kata Andrian menyera
Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka