Hembusan angin pagi menerpa wajah Mayra yang masih terpaku dengan pernyataan yang keluar dari bibir Jaya."Maaf, Tuan. Anda harus beristirahat. Saya permisi dulu!" kata Mayra cepat. Dia harus segera kembali ke tempat ayah dan ibunya sebelum Jaya melantur semakin jauh.Jaya menarik tangan Mayra yang melewatinya dan mendekatkan tubuhnya. Mayra kembali panik, dan melihat sekeliling mereka dengan sudut penglihatannya. Jantungnya bertalu-talu dengan keras. Lebih dominan karena takut ada orang yang melihat posisi mereka. Meskipun profesinya sebagai kupu-kupu malam, hal itu hanyalah sebagai pekerjaan saja. Inilah sifat asli Mayra. Dia akan kaku ketika berinteraksi sedikit mesra di depan umum."Tuan, jangan begini! Tidak enak jika dilihat orang!" kata Mayra akhirnya.Jaya tetap bergeming, raut wajahnya kembali dingin tidak memperdulikan perkataan Mayra."Begini, Tuan Jaya. Kita akan bicara. Tapi ijinkan saya untuk ke kamar ayah saya dulu. Tiga jam saja! Kemudian kita akan bertemu di restoran
Mayra tetap menatap wajah Jaya dengan teguh. Tekadnya sudah bulat. Dia tidak akan menerima Jaya. Lagipula, apa yang Jaya lihat dari diri Mayra?Dia hanya seorang Kupu-Kupu Malam. Hanya seorang yang memberi kepuasan saja. Tidak lebih. Abaikan kelainan Jaya, Mayra bukan menitikberatkan pada hal itu. Satu hal yang pasti, banyak rencana yang ada di dalam benak Mayra dan Jaya bukan salah satu dari rencana itu."Terima kasih untuk minumannya, Tuan Jaya. Saya permisi dulu!" pamit Mayra yang diabaikan oleh Jaya. Bahkan Jaya masih menatap kosong jauh di belakang Mayra. Seolah-olah menganggap Mayra tidak ada di sana. Mayra menghela nafas panjang. Dia tidak peduli. Pasti setelah ini semua, Jaya akan baik-baik saja. Mayra yakin akan hal itu. Keluarganya lebih membutuhkan Mayra saat ini. Keberadaan seorang Jaya Mahendra akan membuat pikirannya lebih terbebani lagi.Setelah meninggalkan Jaya yang masih terlihat patah hati, Mayra berjalan perlahan menuju rumah sakit. Mayra memang sengaja tidak naik
Mata Mayra masih terpejam tetapi kesadarannya sudah kembali. Dia ingat, tadi ada yang membekapnya dengan saputangan. Pasti ada cairan pembius pada saputangan itu. Pasti begitu. Meskipun matanya terpejam, Mayra tetap merasakan situasi di sekitarnya. Bau kayu yang terasa asing menyergap indera penciumannya. Terasa hening. Tidak ada satu suarapun yang terdengar. Mayra membuka matanya segera. Satu hal yang dilihatnya adalah pakaiannya. Masih utuh. Tidak ada koyakan dimanapun, menandakan tidak ada yang menjamah tubuhnya. Mayra menyentil dahinya sendiri. Apa yang kau harapkan, Mayra? Toh, kamu tidak punya kehormatan ataupun semacamnya. Batin Mayra menegur di dalam sana. Membuat Mayra tersenyum mengiyakan. Benar! Kalaupun ada pria yang melakukan hal buruk kepadanya, itu bukan masalah besar! Dia sudah ternoda sejak lama. Jadi, tambahan satu noda lagi seharusnya tidak menjadi beban.Kamar yang ditempati Mayra bernuansakan kayu yang pekat. Mungkin kalau tidak dalam kondisi seperti ini, pasti M
Jaya dengan fokus meneliti layar di hadapannya. Kamera pengawas yang ada di jalanan masih memperlihatkan sosok Mayra ketika keluar dari Restaurant. Bahkan Mayra masih terlihat di layar monitor ketika dia berjalan dan berhenti sejenak untuk menerima telepon."Gadis bodoh! Kenapa tidak naik taxi saja?" gumam Jaya merutuki Mayra yang terlihat berjalan santai sambil merenung.Mayra terlihat menyusuri jalan sepi dan masuk ke sebuah jalan sempit yang tidak terlihat oleh kamera. Tidak ada satupun kamera yang bisa memperlihatkan apa yang terjadi di jalan tersebut. Hanya itu yang bisa Jaya temukan."Ada yang mempermainkanku! Ini pasti ulah ibu!" seru Jaya. Dia berdiri tetapi kemudian kembali lagi mengawasi layar di depannya. Mayra yang tengah berlari menarik perhatiannya, dan juga beberapa pria yang seperti menanti gadis itu. Terlihat dari mereka yang siap menyongsong kedatangan Mayra dan langsung menyambutnya dengan sebuah kain. Setelah itu gelap dan layar mulai menunjukkan serabut kecil-keci
Mayra mendengar keributan di luar tetapi dia lebih fokus kepada rasa sakitnya. Begitu terdengar kegaduhan di luar, Kanaya melepaskan penjepit besi itu dan berlari ke luar kamar. Kesempatan bagi Mayra untuk melarikan diri. Dia melepaskan semua penjepit besi itu dan meringis perih. Untungnya satu tangan luput dari kekejaman penjepit besi milik ibu Jaya itu. Mayra membuka pintu dengan cepat. Masih terdengar suara keributan di luar, tetapi sepertinya area dalam rumah tidak terjamah. Malah cenderung sepi. Sambil setengah berlari, Mayra menuruni anak tangga rumah yang dijadikan tempatnya tadi dikurung. Dia harus bergegas, jangan sampai tertangkap lagi. Mayra berjanji, setelah selamat dari semua ini, dia akan pindah dari kota tempatnya mengais pendapatan. Tidak mengapa kehilangan pekerjaan, asalkan nyawanya selamat. Itu prioritas Mayra saat ini."Mau kemana, Nona Kecil?" Sebuah suara mengejutkan Mayra yang bergegas menuju arah luar rumah. Tanpa memperdulikan suara itu, Mayra tetap berjalan
Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda merupakan pasangan suami istri dari hasil perjodohan, tetapi rasa cinta juga menguat seiring dengan bertambahnya usia pernikahan mereka. Kepiawaian Bastian Mahendra dalam berbisnis berbanding lurus dengan kelihaian Kanaya Arinda dalam melihat prospek usaha di masa depan. Sepak terjang pasangan ini sudah tersiar sampai ke seluruh negeri. Pasti ada saja orang yang tidak senang dengan kesuksesan keluarga Mahendra. Beberapa orang bahkan menyewa preman atau penjahat kawakan untuk bisa menganggu keluarga Mahendra."Sial, kita terlambat!" Jaya menggeram kesal ketika rumah yang ditujunya sudah kosong. Hanya ada tanaman hias yang berserakan sebagai tanda adanya bekas perkelahian. "Saya akan menyelidikinya, Tuan!""Pasti mereka membawa ibu!" Jaya memandang seputar halaman dengan seksama. Kosong melompong, hanya hembusan angin saja yang terasa sejuk menerpa wajah Jaya."Tuan, saya menemukan ponsel Nyonya besar. Di dalam juga kosong, Tuan!" kata Andrian menyera
Jaya mengumpat kesal. Ada kemacetan di jalan yang mereka lalui. "Ada kecelakaan di depan, Tuan. Kita tidak bisa memutar arah!" Andrian mengamati jalanan di depannya dan menggeleng perlahan."Kenapa kau tidak monitor jalan yang akan kita lalui?" sergah Jaya kesal. Pertanyaan yang tidak dijawab oleh Andrian, tetapi ketika dia merasakan tatapan menghunjam yang menembus punggungnya, Andrian merubah pikirannya sendiri. Dia harus menjawab Jaya."Tuan Jaya hanya memberi arahan saja tanpa memberikan tujuannya!" Jawaban Andrian yang membuat Jaya semakin kesal. "Siapkan sepeda motor! Aku akan memakai motor!" Perintah dari nada suara yang tidak bisa dibantah dan harus dilaksanakan. Andrian meraih ponselnya dan menghubungi anak buah yang berada di bawahnya untuk menyediakan sepeda motor. "Sepeda motor akan siap dalam sepuluh menit, Tuan. Kita akan ke bawah pohon Akasia dipojok jalan," kata Andrian."Kita? Tidak! Aku sendiri yang akan ke sana. Kau urus saja disini!" Jaya melihat jamnya tidak
"Mas, aku tidak mau tahu! Aku ingin menjauhkan gadis malam itu dari putra kita!" kata Kanaya Arinda melalui jaringan seluler. Dia masih kesal karena untuk kedua kalinya rencana yang sudah disusunnya gagal."Kau biasanya lebih piawai dalam hal seperti ini, Sayang!" jawab Bastian Mahendra di ujung sambungan. Ketenangan seorang Bastian Mahendra memang tidak diragukan lagi. Bahkan dalam keadaan genting pun, Bastian masih tetap dengan ketenangan yang sama."Aku akan menculik gadis itu dan sedikit menyiksanya!" kata Kanaya beberapa saat kemudian."Usul yang bagus! Bagaimana kalau aku tambahkan bumbu sedikit? Agar kisah ini lebih menarik?" Kemudian Kanaya mendengarkan semua rencana suaminya dengan senang. Senyum yang tersungging di bibirnya sudah menjadi pertanda akan hal itu."Lagipula, aku harus melakukan test kesigapan pada Jaya. Sudah lama dia merasakan kebebasan di luar sana!" Di seberang sambungan, Bastian Mahendra tersenyum. Sungguh sangat misterius di balik pribadinya yang ramah."T