Hannah berpikir kalau orang tidak waras selalu bertindak tidak masuk akal dan orang-orang masih bisa menerimanya. Itu wajar. Mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Tapi ini, seorang miliuner tampan, berkuasa dan bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan baru saja melontarkan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Kau pasti bercanda!” Hanya itu yang bisa Hannah ucapkan.“Bagian mana dari kalimatku itu yang mengandung candaan, Hannah?”Hannah bahkan lebih terkejut lagi Sebastian tahu namanya. Meski menjadi investor utamanya, tapi Sebastian seringnya bekerja dibalik kursi. Orang-orang bawahannyalah yang sering berinteraksi dengannya.Sebastian menjadi penyandang dana utamanya saat ia berencana membuka butik. Dari sanalah semua berawal. Saat melihat contoh rancangannya Tara tertarik dan ingin dirinya menjadi perancang gaun pengantin mereka.“Tapi itu konyol!” pekiknya dengan mata melebar.Dengan gerakan malas, Sebastian kembali menatap jam tangannya.“Waktumu 15 menit. Lakukan apa pun yang kau inginkan , tapi ancamanku masih berlaku.”Setelah mengatakan kalimat yang rasanya seperti bom yang dijatuhkan diatas kepalanya, Hannah menatap nanar kepergian Sebastian. Lututnya goyah dan ia bisa saja jatuh seandainya tidak berpegangan pada dinding yang sekarang terasa dingin mematikan.Hannah menatap gaun pengantin yang ia rancang sepenuh hati dengan hati terpilin. Seharusnya ini menjadi awal baru untuknya. Seharusnya hari ini orang-orang akan terpukau dengan gaun rancangannya. Seharusnya ….Hanah menggeleng. Tidak. Ini tidak akan terjadi.Dia tidak akan membiarkan mimpinya direbut dengan cara seperti itu, tapi menikah….Sebastian menatap para tamu yang hadir dengan kemarahan tertahan. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Tara memutuskan menghilang saat seperti ini? Sudut matanya menatap gerakan Kit.“Ada apa?” tanyanya pelan.Para tamu memperhatikannya, tapi Sebastian mengabaikannya. Saat ini ada yang jauh lebih penting dari pada sekedar memusingkan tamu yang menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.“Kami tidak menemukan jejaknya, Sir. Sama sekali.”Kalimat Kit menyentak kesadaran Sebastian. Tara merencanakan hal ini sejak jauh hari. Itu berarti Tara sengaja ingin mempermalukannya. Sebastian memejamkan mata guna menekan kemarahannya yang sepertinya siap meledak. Tara tidak akan mendapatkan keinginannya!Tidak ada cara lain. Wanita itu harus membantunya mengatasi situasi ini. Hannah Evans akan menjadi solusi atas semua kekacauan yang terjadi hari ini.“Buat pengumuman, Kit. Pernikahan diundur 1 jam dari waktu yang ditentukan!” Tanpa menunggu jawaban sekretarisnya Sebastian kembali berjalan menuju ruang ganti pengantin, tempat di mana Tara seharusnya dirias.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah tengah memandangi gaun putih panjang yang seharusnya dikenakan Tara.“Mau kubantu membuat keputusan?” tanya Sebastian dingin.Hannah mengernyit bingung.Sebastian merogoh saku celananya.“Hentikan aliran dana ke—““Hentikan!”Teriakan itu berhasil menghentikan kalimat Sebastian.“Ada yang ingin kau katakan?”“Kau benar-benar brengsek!”“Aku pernah mendengar hal itu sebelumnya.”Hannah menarik napas dalam-dalam. Pandangannya yang penuh dendam tertuju pada Sebastian yang terlihat begitu tenang.“Kenapa aku?”“Anggap saja jalan keluar yang tersedia hanya dirimu.”“Aku menginginkan perjanjian jika pernikahan ini dilakukan,” sahut Hannah tegas.Sebastian menarik alisnya, tersenyum mencemooh. “Katakan.”“Aku ingin kita tidur di kamar berbeda dan—“Sebastian mengangkat tangan dan Hannah menghentikan rentetan kalimatnya.“Ada yang harus kau pahami Hannah,” desak Sebastian. “Pernikahan ini bersifat sementara. Hanya 1 tahun. Setelah itu kau bebas dan aku memberikan jaminan penuh atas usaha gaun pengantinmu. Katakan kau ingin membangun tokomu di mana dan aku akan memberikan dana penuh. Surat rumahmu akan dikembalikan begitu kita menikah dan soal kamar terpisah tentu saja kita akan tidur di kamar yang berbeda kecuali keadaan tidak memungkinkan. Apa itu menjawab semua pertanyaanmu?”Kedua alis Hannah bertemu. “Keadaan tidak memungkinkan?”“Pertemuan bisnis, pesta atau apa pun yang membutuhkan publisitas. Setelah 1 tahun kita akan bercerai dan aku akan memberikan tunjangan yang bisa membuatmu membangun toko impianmu. Hutangmu … anggap saja tidak ada.”Betapa mudahnya saat kau memiliki uang, pikir Hannah muram setelah mendengar rentetan kalimat Sebastian. Pria itu dominan dan membuatnya ketakutan tapi setelah semua yang dikatakan Sebastian rasanya hal itu tidak terlalu buruk.“Satu tahun?” tanyanya memastikan.Sebastian mengangguk.“Okke kalau begitu aku setuju. Dan Sebastian, aku menginginkan perjanjian di atas kertas.”Dan di sinilah Hannah. Menatap bangunan mewah menjulang yang langsung membuatnya merasa rendah diri. Gaun pengantin yang ia kenakan seakan mengejeknya. Ia tidak pantas berada di tempat ini. Tempatnya adalah rumah sederhana dengan kamar yang pastinya hanya bisa memuat beberapa orang.“Ayo.”Sebastian berjalan tanpa perlu repot-repot menunggunya. Gaun panjang yang dikenakan Hannah sedikit menyusahkannya. Ia mengangkat ujung gaunnya dan berjalan mengikuti Sebastian. Beberapa pelayan tampak tergopoh-gopoh menghampiri mereka.“Siapkan kamar untuk Hannah,” ucap Sebastian tegas, mengabaikan raut terkejut pelayan yang menyambut kedatangan mereka.Hannah meringis, tersenyum setulus yang bisa ia lakukan. Begitu masuk Hannah langsung dibuat menganga.Rumah Sebastian adalah wujud dari kekuasaan pria itu. Hannah menelan ludah melihat lampu kristal yang menggantung di langit-langit atap ruang tamu. Karpet Persia melapisi tangga melengkung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lantai granit mengkilap yang ia injak mungkin akan menjadi penyebab kematiannya.Semua pertunjukkan kemewahan ini membuat perutnya melilit.“Mrs. Carter.”Sapaan itu menyeret Hannah dari lamunannya. “Hannah saja please,” ucapnya cepat.“Kamar Anda ada di atas, Mrs. Carter.”Hannah hanya mengangguk dan mulai menaiki tangga. Ia mengedarkan pandangan dan sadar kalau Sebastian telah menghilang.“Ini kamar Anda, Mam.”Hannah mengangguk menatap pintu yang dibuka oleh pelayan yang mengikutinya. Begitu ia masuk Hannah kembali meringis melihat kemewahan yang ia dapatkan. Luas kamar ini setidaknya sama luasnya dengan apartemennya.“Kamar tuan tepat disebelah Anda.”“Apa?” pekiknya tanpa sadar.“Tuan berpesan agar kamar Anda berdekatan.’Kenapa harus seperti itu?“Kau tahu Sebastian di mana?”Pelayan itu mengangguk. “Tuan ada di ruang kerjanya, Mam.”Orang macam apa yang bekerja di hari pernikahannya? Tapi Hannah menggeleng. Pria itu membutuhkan waktu bahkan ia sendiri membutuhkan waktu untuk mencerna semua kejadian ini.Siapa sangka ini akan menimpanya? bahkan dalam mimpi paling konyolnya sekalipun, menikah tidak ada dalam prioritas mendesaknya. Terkadang ia berharap ini hanya mimpi tapi saat pandangannya menunduk menatap gaun rancangannya—gaun yang seharusnya dikenakan pengantin lain—ia segera sadar kalau ini bukan mimpi.“Aku ingin sendiri,” bisiknya lelah, nyaris memohon pada pelayan yang terus menungguinya.Pelayan wanita itu mengangguk dan melangkah pergi, meninggalkan Hannah sendirian dan kesepian.Hannah mendekati walk ini closet, berusaha keras mengabaikan deretan baju mahal yang digantung dan bergegas meraih baju santai yang bisa ia kenakan. Pastinya semua pakaian ini untuk Tara mengingat wanita itulah yang seharusnya ada di sini.Hannah baru akan membuka kancing gaunnya saat mendengar pintu kamarnya menjeblak terbuka. Hannah dengan cepat menutupi pundaknya.“Tidak bisa mengetuk pintu lebih dahulu?” ucapnya tajam.Sebastian hanya menatapnya tanpa ekspresi.“Bersiaplah, kita akan melakukan wawancara.""Wawancara?"Hannah menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Sebastian. Lampu sorot membuatnya menyipit. Ia merasa asing dengan semua ini, tapi Sebastian yang duduk nyaman di sampingnya sama sekali tidak terlihat ragu akan apa pun. Pria itu menguasai keadaan.“Apa yang terjadi? Semua orang tahu Tara Dixonlah yang akan menjadi pengantin tapi kami semua dikejutkan dengan kehadiran Hannah Evans. Apa ini semacam kejutan demi publisitas?”Hannah meringis mendengar pertanyaan wartawan wanita yang memakai lipstik merah menyala itu. Publisitas? Apa Sebastian membutuhkannya? Pria itu milliarder dan sejauh yang ia tahu publisitaslah yang mengikuti langkah Sebastian bukan sebaliknya.Hannah menatap Sebastian lewat sudut matanya. Pria itu luar biasa tenang, terkendali dan juga misterius. Andai ia bisa seperti itu, keluh Hannah.“Aku dan Tara memutuskan untuk mengakui perasaan kami masing-masing,” ucap Sebastian tenang. Saat pandangan pria itu tertuju pada Hannah sudut mulutnya terangkat.“Tara menci
Hannah mengigit bibirnya saat menatap kerumunan wartawan dari balik tirai panjang butiknya. Sial! Ia tidak pernah tahu kalau masyarakat begitu tertarik dengan kehidupan pernikahan Sebastian.Hannah menatap jam tangannya. Kenapa Sebastian belum datang?Jawabannya datang saat itu juga. Begitu melihat limusin hitam dan sebuah mobil SUV di belakangnya Hannah langsung tahu kalau bantuannya telah datang. Tanpa sadar Hannah tersenyum dan mendesah lega."Sebastian sudah datang?"Hannah menoleh, menatap rekan kerjanya. "Sepertinya begitu."Beberapa pengawal dengan setelan resmi tampak berjalan mendekati butiknya. Hannah buru-buru membuka pintu untuk mereka.“Sebastian yang mengirim kalian?” tanyanya, begitu menutup pintu di belakang para pria bertubuh kekar dengan tatapan datar tanpa ekspresi itu.“Yes, Mam.”"Dia tidak ikut?"“Tuan Sebastian hanya mengirim kami, Mam. Perintahnya adalah membawa Anda dari sini.”Jadi ia minta tolong pada Sebastian dan para pengawal inilah jawabannya? Kenyataan
“Maaf, anggap saja aku tidak mengatakan apa pun,” ucap Hannah cepat-cepat tanpa berani menatap wajah Sebastian. Hannah mengutuk kebodohannya sendiri. Kenapa ia tidak bisa menahan mulut? “Punya referensi tertentu untuk berbulan madu?”Hannah tersedak makanannya mendengar ucapan Sebastian. Wajahnya panas dan ia yakin memerah. “Apa maksudmu bulan madu?” tanyanya terkejut. Pikirannya mendadak kosong."Kita akan bulan madu," jawabnya sederhana. "Punya tempat yang ingin dikunjungi?"Mulut Hannah kering mendengarnya. “Kita tidak perlu berbulan madu.”“Perlu. Orang-orang akan penasaran kita bulan madu di mana.”Hannah merengut. Ia meletakkan sendoknya agar bisa fokus pada Sebastian. “Katakan saja kita tidak berbulan madu atau kalau perlu katakan kita bulan madu di rumahmu. Terserah.” Membayangkan mereka berada di suatu tempat berduaan saja sudah cukup membuat Hannah merinding.“Tentu saja kita akan pergi,” gumam Sebastian seolah Hannah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebastian mer
Hannah keluar dari mobil dan langsung terkesiap saat melihat keindahan yang menyambutnya. Mulutnya menganga lebar hingga ia takut akan robek. Bagaimana mungkin ada tempat seindah ini?Hannah dengan takjub menatap villa mewah Sebastian. Undakan kerikil kecil menjadi jalan yang harus mereka lewati agar bisa memasuki villa itu. Pohon-pohon rindang, bunga daffodil bahkan pansy terlihat mekar dan menghiasi bagian depan villa.Indah.Kata itu bahkan terlalu remeh untuk mendefinisikan tempat ini.“Ayo.”Hannah mengangguk, tidak sanggup berkata-kata. Ia melepas kaca mata anti suryanya. Sisilia selalu menjadi tempat yang indah tapi inilah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sini. Di sebuah villa mewah dengan kolam renang dan juga pantai pribadi.Sapuan angin lembut menyapu kulitnya yang terbuka. Hannah tersenyum lebar. Terlepas dari keengganannya untuk berbulan madu tempat ini terlalu indah untuk diabaikan.Sebastian menggeser pintu kaca yang membawa mereka memasuki villa. Tempat ini teraw
Hannah pikir kalau sikap Sebastian selama beberapa hari terakhir sudah cukup menyebalkan dan membuatnya ketakutan, tapi ternyata ia salah. Sejak menerima telepon entah dari siapa sikap Sebastian seperti gunung es. Dingin dan berjarak. Pria itu bahkan menganggapnya seperti makhluk tak kasat mata. Oh, mereka makan bersama di meja yang sama tapi sama sekali tidak ada obrolan basa-basi.Pertanyaannya bahkan hanya mengambang di udara. Hannah penasaran. Siapa yang menelepon dan apa yang dikatakan orang itu sampai membuat Sebastian seperti ini? begitu dingin dan kaku.Hannah menatap siluet Sebastian yang sedang duduk sendirian dan sibuk dengan laptopnya. Pria itu bekerja seharian seolah hidupnya akan berubah kacau jika dia tidak menyentuh benda mungil persegi itu barang sekejap.Hannah melepas kain yang melekat di tubuhnya, menyisakan pakaian renang yang ia kenakan. Jika Sebastian memutuskan menjadi patung di tempat seindah ini, Hannah tidak akan mengusiknya. Ia akan menikmati keindahan Sisi
“Aku pergi dulu,” gumam Hannah, menatap Tina yang sejak kedatangan Sebastian tidak pernah melepaskan senyum dari wajahnya. Hannah sampai menahan senyum melihatnya.“Take your time,” balas Tina sumringah.Hannah berjalan, mengabaikan lengan Sebastian yang bertengger di pinggangnya. Ia tahu, pria itu melakukannya karena Tina melihat mereka.Supir membuka pintu mobil dan mereka berdua masuk ke dalam mobil yang sejuk dan menenangkan.“Ada apa?” tanyanya langsung begitu mobil mulai membelah jalan.“Maksudmu?”“Kau tidak mungkin tiba-tiba datang tanpa tujuan Sebastian. Jadi …?” lanjutnya dengan alis terangkat.“Kita akan pergi malam ini ke pesta gala.”“Kenapa mendadak?”Sebastian terlihat tidak nyaman. “Karena sejujurnya aku tidak berencana untuk datang tapi Kit berkeras kalau pesta ini akan berguna untuk pembukaan hotel baru yang akan kami buka.”Sebagai pebisnis di bidang perhotelan yang tersebar di seluruh dunia, Hannah tahu kalau Sebastian akan sangat sibuk. Bisa dikatakan mereka hanya
Tangan hangat yang membelit pinggangnya dan tubuh kekar yang membalut tubuhnyalah yang memungkinkan kenapa ia tidak merasa sakit sama sekali. Sebastian memeluknya seperti bayi yang membutuhkan perlindungan.“Auhhh.”Rintihan rasa sakit itu memaksa Hannah membuka mata. Ia melihat Sebastian meringis. Mengingat panjang tangga dan kerasnya tangga yang mereka lewati tidak mengherankan Sebastian merintih.“Ma-maaf. Ini semua salahku,” bisiknya terbata-bata.Sebastian melepaskan belitan tangannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Hannah dan langsung menyesali kebodohannya. Tentu saja tidak! Siapa yang masih baik-baik saja setelah jatuh berguling dari tangga?Hannah berdiri diikuti Sebastian. Ekspresi pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun padanya. Hannah mengigit bibirnya saat melihat Sebastian memejamkan mata karena kesakitan. Tangannya terulur hendak menyentuh Sebastian namun urung dilakukan saat ingat kalau pria itu kemungkinan tidak akan menyukai sentuhannya.“Maaf,” ujarnya kembali.Seba
“Ini yang kau andalkan untuk membujukku makan?”Hannah mengangguk. “Ini makanan andalanku. Rasanya enak. Cobalah.”Sebastian ragu. Apa yang spesial dari sepiring macaroni selain menambah asupan lemak dalam tubuh? Sebastian menatap Hannah dan makaroninya bergantian. Ekspresinya terlihat tidak meyakinkan.“Sepiring macaroni tidak akan membuat lemak ditubuhmu bertambah Sebastian. Cobalah, kau akan menyukainya.”Godaan itu berhasil membuat lengkungan alis Sebastian meninggi. Ia meraih sendok dan meniru gerakan Hannah yang sudah lebih dahulu menyuap makanannya. Sebastian menyendoknya dengan ragu dan saat makanan berbahan tepung itu menyentuh indra pengecapnya Sebastian menemukan dirinya terkejut.“Bagaimana?” tanya Hannah penasaran. Wanita itu terlihat takut mendengar jawabannya.Sebastian menarik napas. “Enak,” jawabnya.Senyum lebar Hannah adalah hadiahnya. “Kau menyukainya? Sudah kubilang ini masakan andalanku. Aku selalu menyukai makanan ini.”Sebastian tidak membantah. Makanan ini kha
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti