Skandal BabySitter dan Suamiku
(5)
..
"Kenalkan ini Sari, Babysitter baru Arkan," tandasku pada Mas Darma yang sedang sarapan.
Nadia yang juga sedang menyuapi Arkan terkejut, seketika dia mendongak ke arahku. Aku hanya meliriknya sekilas, sebelum mempersilahkan Sari mengambil Arkan dari tangan Nadia.
"Lho ... Kok babysitter lagi? Kan masih ada Nadia?"
Aku tersenyum kecut, lalu mendekat ke arah Nadia. "Nadia? Bukannya dia juga mau jadi nyonya di rumah ini, Mas?"
"Dek ... Sudah lah, kamu hanya salah faham."
Nadia masih menunduk dengan menyuapi Arkan, tapi aku yakin di dalam hatinya sedang memakiku. Biar saja, dia mau jadi aku, kan?
"Kenapa, Mas? Memang seperti itu nyatanya, kan? Tidak masalah jika dia ingin menjadi aku, tapi seluruhnya harus menjadi aku, ya?"
Kulirik sekilas Nadia, dia menghentikan aktifitasnya menyuapi Arkan. Terlihat sekali dia tengah memperhatikan obrolan kami meski tak memandangku dan Mas Darma.
"Nadia ... Kamu mau jadi aku, kan?"
Nadia menggeleng, "sudah ... Jujur saja. Tidak masalah kok. Kamu jadi nyonya di rumah ini, jadi istri Mas Darma, dan juga jadi pemilik rumah ini. Tapi kalau mau jadi aku jangan nanggung-nanggung, ya," kataku lagi dengan penuh penekanan.
Kedua orang yang sedang kasmaran itu memandangku secara bersamaan. "Kenapa? Serius, Mas. Aku tidak masalah kok kalau kalian mau bersama dan menikah secara resmi atas ijinku. Tapi syaratku ya itu, dia harus mau menjadi aku seutuhnya."
"Maksud kamu?"
"Yaa setidaknya dia harus punya penghasilan sepertiku, minimal dua juta lah sehari, tidak susah, kan? Tanya Mbok Nem, semua kebutuhan naik. Kalau cuma mengandalkan penghasilan Mas Darma tak akan cukup. Cukup, sih. Tapi nanti Nadia tidak bisa hidup glamor sepertiku. Perawatan wajahku saja sebulan bisa sejuta lima ratus, lho," kataku sengaja membuat ciut nyali Nadia.
Aku tertawa dalam hati, wajah Nadia terlihat pias. Bisa apa dia? Keahlian BabySitter saja mana bisa dapat penghasilan dua juta sehari? Kecuali kalau dia merawat bayi besar seperti Mas Darma, pasti lima juta sehari saja kecil baginya. Iya, kan?
"Alia ... Sudah cukup. Cukup! Aku lelah, kamu menuduhku terus-menerus. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Nadia. Dia murni hanya pengasuh Arkan, peng-a-suh Ar-kan!"
Lucu sekali, Mas. Hanya demi menutupi kebusukanmu itu, kamu rela merendahkan kekasihmu sendiri.
Ah, kalau aku jadi Nadia, pasti sudah memilih mundur dan lari terbirit-birit dari kehidupan Mas Darma.
Apa dia pikir bisa menggantikan posisiku? Jika bisa, saingi dulu diriku.
"Oh ... Tidak punya hubungan. Baiklah, tidak masalah, kok. Biar saja Sari di sini. Aku lebih ridho Arkan diurus Sari sekarang," ucapku sedikit kesal pada suamiku.
"Sari. Ambil Arkan dan bawa dia ke teras, suapi dia di sana sambil lihat burung," kataku lagi menyuruh Sari.
Dia lantas menggendong Arkan. Mengambil bubur sisanya lalu membawa Arkan sesuai arahanku. Aku hanya tersenyum tipis ketika melihat Nadia menatapku tajam.
Selama bekerja di rumah ini, baru kali ini dia berani menatapku seperti itu. Tak masalah, dia juga sudah mengibarkan bendera untuk menjadi rivalku, kan?
Kita lihat saja, seberapa lama dia mampu bertahan di samping Mas Darma.
Kulenggangkan kakiku meninggalkan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Biar saja, yang terpenting bagiku hanyalah kepuasan dalam hatiku untuk membalas perlakuan buruk mereka.
Aku berdiri di depan cermin besar kamarku. Kulihat tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki, menilik kekurangan serta keburukan yang ada dalam tubuhku.
Rasanya aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Darma, tapi kenapa, dia justru lebih memilih berkhianat dariku dengan pengasuh bayi kami. Padahal, tak hanya soal penampilan, semua pun sudah kuusahakan yang terbaik demi menjadi istri yang layak untuknya.
..
Sudah setengah hari Sari ada di rumah ini, dan itu artinya Nadia sama sekali tidak ada kerjaan. Dia hanya terdiam dan termenung sembari sesekali melihat Arkan yang sedang digendong Sari.
Sengaja, aku mengawasinya secara intens karena ingin melihat gerak-gerik Nadia setelah kuberi pukulan telak untuk bisa menyaingiku. Kulihat saja, seberapa jauh dia mampu menyaingiku.
"Pah, kenapa semua jadi seperti ini? Udah lah, ngaku aja ke istrimu itu kalau kita udah nikah siri sebulan yang lalu. Aku malas direndahkan terus seperti ini." Kudengar samar wanita murahan itu merajuk pada Mas Darma.
Aku hanya bisa meremas dadaku sendiri. Sebulan lalu katanya? Oh, betapa bodohnya aku ini. Telah dibohongi selama berabad-abad tapi tidak tahu.
Tak tahu pasti apa jawaban yang dilontarkan Mas Darma karena mereka hanya berbicara lewat sambungan telepon. Jika seharusnya aku lah yang merajuk karena telah dikhianati, tapi ini malah sund*l itu yang merajuk karena aku telah merendahkannya.
"Bu, saya khawatir, dengan tindakan Ibu ini maka Nadia akan semakin ngelunjak," tutur Mbok Nem mengagetkanku.
Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa begitu, Mbok?"
"Ibu terlalu memberi peluang pada Nadia untuk bisa menggantikan posisi Anda. Apa Anda benar-benar rela jika dia bisa bersanding secara resmi dengan Bapak?"
Mbok Nem selalu mendukungku, bahkan dia juga selalu ada di garda depan jika ada seseorang yang menyakitiku. Ah, syukurlah aku memiliki orang sepertinya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan lagi, Mbok. Pikiranku buntu, aku sama sekali tidak bisa berfikir jernih usai tahu kenyataan pahit soal Mas Darma yang telah berkhianat kepadaku," jawabku lesu, karena memang hatiku terlalu sakit atas pengkhianatan ini.
"Kenapa tidak, Anda memberinya pelajaran selama Bapak tidak ada di rumah?"
Sejenak aku terdiam, memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh Mbok Nem. Benar juga sebenarnya, selama skandal mereka terbongkar aku sama sekali belum memberi pelajaran yang berarti pada Nadia.
Biar saja meskipun dia mengadu pada Mas Darma. Toh, aku memiliki hak penuh kan atas Mas Darma dan seluruh kepunyaannya?
"Mbok, bantu aku, ya," kataku kemudian dengan senyuman lebar di bibir.
Mbok Nem memandangku aneh, seperti mempertanyakan mengenai kata-kataku.
Ya ... Aku baru saja memiliki rencana untuk mempermalukan Nadia. Yaitu dengan mengembalilannya ke yayasan lagi, aku yakin, selain mendapat sanksi dia juga akan malu sampai keubun-ubun.
Skandal BabySitter dan Suamiku(6)..Tak sengaja aku bertemu Nadia, selingkuhan suamiku, yang sedang bersama teman-temannya di sebuah restoran cepat saji. Dia terlihat bahagia bersama temannya, tidak seperti waktu di rumah sebagai Babysitter bayiku."Gil* kamu, Nad. Nggak takut karma apa, ngrebut suami majikanmu," celetuk salah seorang temannya."Hahaha ... Enggak lah. Karma apaan. Justru ini tuh rejeki."Ha? Rejeki katanya? Kenapa mulutnya semenyebalkan itu."Tapi kamu nggak sepadan sama istrinya. Level dia ada jauh di atas kamu," tutur temannya yang lain membuatku tersenyum tipis.Temannya saja sadar diri, kenapa Nadia bisa sepercaya diri itu?"Heh, kamu ngremehin aku? Yang penting itu suaminya doyan sama aku, bukan seberapa tinggi level kami. Itu yang terpenting.""Tapi kalau jadi aku, malu deh kalau nanti diselingkuhin balik sama tuh laki. Nyari gebetan tuh yang sepadan, atau kalau nggak yang belum punya bini
Skandal BabySitter dan Suamiku (7)..Selingkuhan suamiku itu masih terlihat terkejut begitu aku mengatakan soal penjualan rumah ini. Sedangkan Mas Darma juga tak kalah kagetnya dengannya. Apa mereka pikir aku tidak serius dengan gertakanku kemarin? Sepertinya mereka benar-benar butuh pembuktian."Em .. mak-maksud saya. Ke-kenapa mau di jual, Bu? Bukannya rumah ini masih terlihat bagus dan masih nyaman ditinggali?"Aku tersenyum miring mendengar penuturannya. "Ah, kamu ini, Nad. Pandai sekali bicaranya."Kudekati dia yang berada tak jauh dariku dan Mas Darma sembari membawa tas ransel yang sudah kuisi penuh dengan bajunya. Kesabaranku sudah habis, tidak ada gunanya aku memelihara ular sepertinya. Tak hanya ulat berbulu, dia lebih dari itu."Ini, aku sudah baik hati ngemasin seluruh bajumu. Sekarang, kamu tinggal angkat kaki dari rumah ini tanpa harus bersusah payah membereskan barang-barangmu. Aku baik, kan? Sudah memperbolehkan berbagi suam
Skandal BabySitter dan Suamiku(8).."Mbak, ada paket dari Mas Satya," ucap seseorang yang baru saja datang di pintu gerbang itu.Aku menyambutnya hangat karena sejam yang lalu Satya memang mengabari bahwa sebentar lagi akan ada orang suruhannya yang datang untuk mengantarkan paket untukku. Katanya, semua foto yang dia ambil waktu di Bali telah dicetak, dan sekarang telah dikirimkan padaku.Tempo hari, aku baru sempat membawa dua lembar foto saat menangkap basah Mas Darma dan Nadia yang baru pulang honeymoon. Namun kini, semua foto dan bukti perselingkuhannya telah ada di tanganku."Terimakasih, ya," ucapku pada orang itu sembari menerima dua kotak darinya."Satya kirim apa, Dek? Berani ya kamu masih berhubungan dengannya!" kata Mas Darma lantang, membuatku ingin tertawa.Memang, kotoran dipelupuk mata justru tak akan nampak."Oh, kamu penasaran sama isi kotak ini, Mas?" jawabku dengan mendekat ke arahnya, lalu membuka
Skandal BabySitter dan Suamiku(9)..Aku menyandarkan tubuhku di sisi jendela kamar, menatap gelapnya malam tanpa dihiasi bintang-bintang. Entah, karena Tuhan sedang berpihak kepadaku atau hanya sebuah kebetulan saja.Malam semakin larut, semilir angin malam mulai menerobos masuk lewat jendela yang kubuka separuh. Dingin, itu yang sedang kurasakan kini. Tak hanya tubuhku, tapi juga hatiku.Jika biasanya, selalu akan terdengar gelak tawa menggema di rumah ini, tapi sekarang hanya tinggal sebuah kenangan saja. Terlebih kamar ini, saksi bisu perihal cintaku yang mendalam untuk Mas Darma. Semua telah sirna semenjak dia mengkhianatiku.Ingatanku tiba-tiba saja melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu ketika dengan lantangnya aku meneriaki Pak Eko untuk menyeret Nadia untuk keluar dari rumah ini. Gund*k suamiku itu meronta dan berteriak kencang, sedang Mas Darma hanya memandangnya pilu.Aku tersenyum puas, ketika kaki kiri Nadia mela
Skandal BabySitter dan Suamiku (10)..."Saya ingin mengabarkan, kalau istri Pak Darma sedang di rawat di rumah sakit karena baru saja terjadi kecelakaan, Bu. Mungkin sekitar pukul tiga dini hari tadi."Dahiku mengernyit mendengar penuturan kedua polisi itu. "Maaf, saya bicara dengan Siapa, ya? Tolong bisa dipanggilkan Pak Darma agar bisa segera menemui istrinya."Lagi, aku hanya mengernyitkan dahi heran begitu mendengar penuturan polisi yang masih berdiri di depan pintu rumahku. Hari masih sedikit gelap, wajar jika tidak ada banyak orang yang lalu-lalang di depan rumahku."Istrinya, Pak?"Kedua orang polisi itu saling berpandangan lagi, tapi sepertinya mereka menangkap suatu kejanggalan dalam hal ini. Tak hanya mereka, aku pun juga. Sangat merasa janggal dengan kedatangan mereka berdua, terlebih setelah salah satu dari mereka menceritakan mengenai istri dari Mas Darma.Bukankah istrinya itu aku? Lalu, yang dibicarakannya itu?"Pak ... Maaf, apa anda tidak salah alamat?""Lho ... Sala
Skandal BabySitter dan Suamiku (11).."Makasih, ya. Kamu udah mau bantuin aku sejauh ini," ucapku pada Satya setelah dia memberikan pukulan telak pada Mas Darma.Sahabat lamaku itu hanya tersenyum, lalu mencubit pelan pipi Arkan yang telah ada di pangkuanku. Dia terlihat sangat dewasa dan penyayang, sama seperti dulu yang sangat suka pada anak-anak."Tak masalah. Bukankah kita memang harus saling menolong sesama? Toh memang sudah seharusnya seorang sahabat bersikap seperti itu, kan? Terlebih, aku paling tidak suka pada lelaki yang dengan teganya mengkhianati pasangannya."Aku mendesah pelan, andai Mas Darma memiliki pemikiran demikian. Dulu, aku memilih Mas Darma atas dasar rasa sayang yang berlebihan di hatiku. Bisa dibilang aku terlalu cinta buta kepada lelaki itu. Dia berhasil merebut hatiku ketika hubunganku dengan Satya sedang dalam fase terdekat dalam sebuah hubungan. Dia datang dengan segala sayang dan cintanya.Bisa dikatakan, dulu aku memang memiliki rasa pada Satya. Hanya
Skandal BabySitter dan Suamiku (12)..Pov Darma"Maaf, Pak. Ada kartu yang lain?" ucap seorang kasir padaku.Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat jumlah saldo dalam kartu itu. Rasanya isinya masih banyak, tapi kenapa sudah tidak bisa digunakan?"Coba lagi, Mbak. Masa nggak bisa," kataku lagi menyambung.Wanita muda itu mencobanya lagi, tapi jawabannya tetap nihil. Padahal aku sangat membutuhkan kartu itu sekarang.Dengan terpaksa, aku menyerahkan beberapa barang belanjaanku lagi karena kartu yang kubawa tidak bisa digunakan. Sedangkan di luar sana, Nadia sudah mengerucutkan bibir karena telah menungguku terlalu lama.Ya, dia Nadia. Perempuan muda dan cantik yang semula adalah BabySitter anak laki-lakiku dengan Alia, istriku."Mana, Pah?"Kuhela nafasku panjang, kali ini aku kembali gagal memberikan apa yang dia inginkan. Setelah sebelumnya Alia berhasil merebut rumah dan juga mobilku, kini secara tiba-tiba kartuku juga tidak bisa digunakan."Kartunya nggak bisa. Kenapa, ya?" uc
Skandal BabySitter dan Suamiku (13)..Lega sekali rasanya ketika aku bisa mengusir BabySitter tak tahu diri itu dari rumah ini. Biar saja, meski aku harus kehilangan Mas Darma lebih cepat dari yang kuperkirakan. Untuk apa aku memelihara dua orang itu jika mereka saja sama sekali tidak bisa menjaga hatiku.Mas Darma, seorang kepala rumah tangga yang kudambakan akan membawaku hingga ke surga, nyatanya tidak mampu membuatku bahagia meski hanya di dunia saja. Biarlah, jika dia tidak bisa membuatku bahagia setidaknya aku sudah memiliki seorang malaikat kecil yang kelak pasti akan lebih membahagiakanku.Kujatuhkan bobot tubuhku di atas ranjang kamar. Sejam yang lalu Mas Darma dan Nadia baru saja meninggalkan rumah ini tanpa apapun, karena mobil mahal yang sering di kendarai suamiku itu juga tak luput dari barang yang kusita.Biar saja, dulu dia menikahiku juga hanya dengan bermodalkan mobil lama dan perusahaan yang masih dirintis oleh ayahnya. Kini, setelah sukses aku tidak ingin jika apa
Dua tahun kemudian ...."Selamat Alia atas pernikahanmu," ucap Almira dengan memberiku pelukan hangat.Aku tersenyum, dan membalas pelukannya sedang pengantin lelaki yang ada di sampingku pun ikut tersenyum. Kami sedang menjadi raja dan ratu sehari hari ini, dan harapan kami semoga pernikahan ini akan langgeng hingga tua nanti.Ya, hari ini aku menikah. Menikah untuk kedua kalinya setelah pernikahanku yang pertama gagal karena suamiku lebih memilih babysitter anak kami sendiri. Pernikahan keduaku ini pun tak semudah yang dibayangkan, aku sudah melalui banyak sekali hal yang membuatku jatuh bangun hingga akhirnya aku memantapkan hati untuk menikah dengannya."Satya, selamat ya. Semoga kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Alia dan menjadi ayah yang baik untuk Arkan." Lagi, Almira memberi selamat pada kami, terutama pada Satya.Pada akhirnya aku menikah dengan Satya, lelaki yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir ini. Suka duka sudah kami lalui bersama hingga akhirnya kami
"Sudah kubilang, jangan mengumbar cerita masalalu kita kepada oranglain. Aku tidak suka. Lagipula untuk apa kamu menceritakan kisah kita pada Alia? Kita sudah menjadi masalalu, dan aku berhak bahagia juga," tandas Irvan ketus.Aku yang berdiri tak jauh dari mereka bisa mendengar percakapannya dengan sangat jelas. Sengaja, aku ingin mendengar percakapan mereka yang mungkin tak akan diceritakan padaku. Almira adalah sabahat yang baik, Irvan pun demikian. Tak kupungkiri aku pun tidak bisa memihak pada salah satu diantara mereka.Keduanya kuanggap sangat baik meski pada kenyataannya Irvan menyatakan perasaannya padaku. Kupikir ini adalah jalan yang dipilih Tuhan untukku, sebagai pengganti Mas Darma tentunya. Namun jika sekarang kuketahui kenyataan yang seperti ini, apa aku tega untuk bersama Irvan? Sedang tangis Almira saja masih terngiang jelas di kepalaku.Lagipula aku tidak suka dengan sikap Irvan yang seakan menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Dia sudah membohongi Almira
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru
Pertemuanku dengan Irvan benar-benar membuat pikiranku tak bisa kukendalikan. Benar, pikiranku jadi kacau. Bagaimana tidak? Secara terang-terangan dia melamarku setelah perpisahanku dengan Mas Darma baru terjadi.Kuhembuskan nafas dalam, lalu menutup kembali kaca mobil yang sempat kubuka sebelumnya. Hari ini aktivitasku tak terlalu padat, sehingga aku lebih bisa menikmati hari dengan santai.Rencananya setelah ini aku ingin menjalani hariku dengan sangat bahagia. Mengenai Mas Darma dan Nadia aku sudah benar-benar melupakannya dan mengikhlaskan semuanya. Aku yakin di balik ini akan ada balasan yang jauh lebih baik dari apapun.Semua kejadian yang baru saja menimpaku ini memang terasa sangat sakit. Dikhianati oleh orang-orang terdekat seakan aku jatuh ke lembah yang sangat dalam. Orang-orang yang seharusnya menjadi penopang di saat hatiku gundah dan sakit nyatanya hanya bisa menjadi boomerang bagiku. Dengan teganya mereka memporak-porandakan hatiku sedalam ini.Ah, betapa adilnya Tuhan
"Kamu sudah benar-benar mengikhlaskan Darma?" tanya Satya ditengah-tengah kesunyian yang terjadi diantara kami ketika tengah menikmati hidangan di restoran ini.Sejenak aku terdiam, memikirkan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya apakah benar bahwa aku telah mengikhlaskan Mas Darma atau belum. Namun, yang kurasakan kini hatiku memang telah benar-benar tak ada Mas Darma lagi."Iya, sudah.""Kamu tidak menyesal memberikan lelakimu kepada seorang BabySitter?"Aku tertawa setelah temanku itu mengatakan demikian. "Kenapa harus menyesal? Biarkan saja, mungkin memang itu yang dia inginkan, Satya."Satya ikut tertawa, lalu kami melanjutkan makan dengan topik pembicaraan yang lain. Bagiku Satya adalah teman yang sangat setia kepadaku karena dia mau tetap berada di sampingku ketika kondisiku benar-benar sedang terpuruk. Hanya Satya yang membantuku kala itu, ketika Mas Darma tengah terpergok bersama Nadia."Besok aku mau ke rumahmu, ada waktu?" tanya Satya ketika kami telah selesai makan."Ada
[Bukan aku yang menginginkanmu miskin, Mas. Tapi kamu sendiri dengan segala kelakuanmu itu.]Rasanya aku sangat puas ketika bisa melihat Mas Darma seperti ini. Setidaknya kini dia bisa menerima pembalasan atas apa yang sudah dilakukannya padaku.Dengan segenap hati aku membantunya dengan ikut bekerja, tapi ternyata apa yang kulakukan hanyalah sebuah kesalahan. Andai saja waktu dapat diputar, aku tidak ingin kejadian ini terjadi padaku.[Persetan dengan semua itu. Bagiku siapa yang bisa membahagiakanku itu lah yang pantas bersanding denganku]Jantungku berdetak sangat cepat ketika kubaca pesan balasan darinya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu?[Baiklah ... Jalani hidupmu dengan BabySitter itu meski tanpa uang disakumu]Kulempar ponselku asal, lalu kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang kamar. Satu-satunya hal yang mampu membuatku bersemangat hanya satu, Arkan.Saat ini aku hanya ingin melihat Mas Darma hancur dan bisa kembali kejalan yang benar. Atau setidaknya aku ingin meliha