Pov Gilang Aku memasuki kawasan perumahan elit. Rumahku terletak paling ujung. Aku harus melewati empat rumah berpagar tinggi. Aku bahkan tak tahu siapa pemilik rumah-rumah ini. Kami hanya bertemu diacara tertentu. Kalau setiap hari kami tak pernah bertemu atau sekedar saling sapa. Sibuk, salah satu alasan aku tak kenal dengan mereka. Aku sudah berhenti tepat di halaman rumah bernuansa eropa klasik dengan tiang besar dan tinggi. Cat putih menambah kesan elegan dan mewah. Segera aku melangkahkan kaki masuk ke dalam. "Sudah ditunggu di ruang keluarga, den," ucap Bik Darmi ramah. Aku mengangguk lalu berjalan menuju ruangan luas tempat kami bersantai sembari bercerita hangat. Senyum dari mama, papa dan Mbak Sandra menyambut kedatanganku. Segera kusalami tangan mereka satu persatu. "Ada apa, Mbak? Kenapa memintaku segera pulang?" tanyaku seraya menjatuhkan bobot di sofa tepat di samping Mbak Sandra. "Pengennya sih Mbak yang jelasin mumpung lagi bahagia begini. Tapi sepertinya pa
Pov Yasmin Gila! Dia benar-benar wanita gila! Kemarin dengan sombongnya dia melecehkan aku. Dia perlakukan aku bagai seorang pel***r tapi sekarang dia bilang cinta. Astaga! Ini pasti rencana Sandra agar bisa semakin menghancurkan hidupku. "Taksi!" Kulambaikan tangan saat mobil berwarna biru melintas. Seketika mobil itu berhenti. Untung tak ada penumpang di dalamnya. Aku harus segera pulang sebelum Gilang mengikuti. "Ke jalan mawar, Pak." Sopir itu mengangguk lalu melajukan kendaraan roda empat miliknya. Kini aku dapat bernafas lega. Sepanjang jalan kulihat luar jendela. Melihat orang dengan pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Bayangan masa lalu kembali menari-nari dalam kepalaku. Dari mulai kecelakaan papa dan mama hingga membuatku seperti ini. Tuhan seakan terus memberiku cobaan di luar kemampuanku. Kini hidupku semakin rumit. Aku bahkan tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan? Siapa yang bisa kuandalkan. Aku seorang diri menjalani kehidupan yang kejam ini. Tanpa terasa
Perlahan aku ubah posisiku. Duduk dengan punggung bersandar di kepala ranjang. "Maaf sayang, ini bangunin temenku," ucapnya dengan mata fokus ke layar ponsel. Cindy sedang video call entah dengan siapa. Wajahnya dibuat manja dengan tangan melambai mengisyaratkan aku untuk keluar. "Maleslah, kamu aja yang keluar!" Kudorong Cindy yang berada di sampingku. "Ada tamu! Sana!" ucapnya seraya menarik tanganku agar mengikutinya. Dengan langkah gontai aku keluar kamar, meninggalkan Cindy yang masih asyik melakukan panggilan video call. Bahkan kini dia menggantikan posisiku, tidur di atas ranjang setelah bisa mengusirku. Aku berjalan menuju teras. Siapa gerangan tamu yang dimaksud Cindy. Mataku membulat sempurna melihat Farel sudah duduk di kursi di teras depan. Sudut bibirnya ditarik ke atas saat mata kami saling bertemu. "Farel...." "Baru bangun, Yas?" tanyanya sambil menatapku dari kepala hingga ke ujung kaki. Astaga,aku baru sadar jika penampilanku tak karuan. Rambut masih a
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, aku hanya ingin melepas jahitan di pelipismu!" ucap Farel seraya membuka perban yang menempel di pelipis. "Aku hanya takut sakit, makannya aku tutup mata. Kamu itu yang piktor!" kilahku. Sebenarnya aku hanya berbohong untuk menutupi pikiran liar yang berkelana di kepalaku. Aku malu, ini sudah yang kedua kalinya aku berpikir yang tidak-tidak kepada Farel. Farel menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Sikapnya membuat pipiku merona. Malu luar biasa. Perlahan tangan dingin dokter muda itu membuka perban. Aku tersenyum mendapat perhatian dari Farel. Dia datang ke sini hanya untuk mengobatiku dan meminta maaf. Dia jauh berbeda dengan Om Bagas. Sorot matanya penuh dengan ketulusan. Wanita yang akan menjadi istrinya pasti sangat beruntung. Andai saja suamiku seperti dia, pasti aku sangat bahagia. Astaga, apa yang aku pikirkan? Mana mau Farel denganku? Wanita yang tak bisa menjaga mahkotanya. "Jangan lihatin terus, nanti bisa jatuh cinta," uca
Yasmin sudah bersiap dengan celana jeans biru muda dan kemeja berwarna putih. Hari ini dia akan berkerja di sebuah restoran cepat saji. Restoran milik teman Cindy. "Akhirnya kerja juga," ucap Yasmin seraya mengikat rambutnya ke belakang. Yasmin tersenyum melihat pantulan diri di cermin. Tak ada hijab yang menempel di kepalanya. Tempat kerja Yasmin tak mewajibkan karyawannya mengenakan hijab. Itu yang membuat Yasmin semakin bahagia. Hijab adalah sesuatu yang menjadi beban baginya. Karena gaya hidup dan penampilan yang bertolak belakang dengan pakaian muslimah itu. Dia tak ingin dikatakan munafik karena memakai hijab sedang kelakuannya masih tak sejalan. Tiin... Tiin.... Suara klakson motor terdengar nyaring di telinga. "Siapa sih yang berisik? Gendang telinga aku bisa pecah. Astaga!" Yasmin menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Suara klakson motor merusak hari bahagianya. Dua pemilik motor yang berhenti di depan rumah Cindy terus membunyikan klakson. Suara dari k
"Stop!" Farel dan Brian melepas tangan Yasmin serempak. Mereka berdua dia tak berani menatap manik bening Yasmin. "Suwit, yang menang antar aku ke tempat kerja." Brian dan Farel mengangguk lalu melakukan perintah Yasmin. Tangan kanan mereka bersembunyi di balik punggung. Dalam hitungan ketiga mereka memperlihatkan tangan kanan masing-masing. Farel membentuk batu sedang Brian membentuk seperti kertas. Dan Brianlah pemenang dalam suwit kali ini. "Aku sama Brian, Rel." "Oke," Farel menatap Brian lekat. "lo, tolong jaga calon istri gue." Brian mencebikkan bibir mendengar ucapan Farel. Farel menyalakan mesin motor vespa kesayangannya. Tak berapa lama lelaki penuh kharisma itu meninggalkan Yasmin dan Brian. "Ayo naik, bisa telat nanti!" ucap Brian seraya menggerakkan kepala mengisyaratkan Yasmin untuk segera naik ke atas motornya. Kendaraan roda dua milik Brian melaju dengan kecepatan sedang. Kali ini mereka tak lagi melewati jalan tikus karena Yasmin sudah mengenakan helm.
Sudah hampir satu bulan Yasmin bekerja di restoran Riki. Rasa khawatir dah curiga saat pertama kali bertemu atasannya telah hilang. Semenjak Yasmin bekerja, Riki tak pernah mendekat, dia hanya memantau Yasmin dari jauh. Namun niat buruk masih ada di pikirannya. Lelaki berkulit sawo matang itu hanya menunggu waktu yang tepat untuk melakukan rencananya.Sayang Yasmin tak menyadari akan hal itu. Derrrtt... Derrttt.... Yasmin berjalan ke toilet untuk mengangkat panggilan telepon. Untung saja restoran sebentar lagi tutup jadi dia bisa mengangkat telepon tanpa terganggu kedatangan pelanggan. "Bila sayang, aku gak bisa jemput. Kamu gak papa kan pulang sendiri?" tanya Brian dari seberang sana. Yasmin mencebikkan bibir mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Brian. Sudah berulang kali dia meminta Brian tak memanggil sebutan itu tapi tetap saja Brian kekeh memanggil Yasmin dengan sebutan sayang. Pada aakhirnya Yasmin memilih mengalah. "Entar juga dijemput Farel kok," ucap Yasmin seraya
Di saat situasi terjepit Yasmin kembali teringat pesan Farel. Dia berdoa meminta Illahi Robbi menolongnya dari lelaki serigala seperti Riki. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipi putihnya. Seketika rasa menyesal tubuh dalam hatinya. "Kalau Tuhan membantuku, aku janji akan bertobat. Aku janji tak berbuat zina lagi. Aku janji menjadi wanita baik-baik," doa Yasmin dalam hati. Riki berjalan sambil terus memeluk Yasmin. Yasmin mulai pasrah, tubuhnya melemah. Dia diam, tak ada lagi perlawanan darinya. "Akhirnya kamu menyerah, aku tahu kamu juga menginginkan ini, sayang," batin Riki seraya mengendurkan pelukannya. Perlahan Yasmin di dudukan di sofa yang berada di ruangannya. Riki melepas ci*mannya. Melihat Riki sedikit lengah dengan cepat Yasmin mengayunkan kaki ke arah Riki. Satu gerakan tepat mengenai pusaka milik atasannya. Riki meringis kesakitan. Tak membuang kesempatan Yasmin segera berlari keluar. Namun sayang dengan cepat Riki menarik tangan Yasmin hingga dia terjungkal dan
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se