Pagi itu, Elian bangun lebih awal dari biasanya. Cahaya lembut matahari pagi menerobos tirai kamarnya, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Ia menghela napas panjang, lalu segera bersiap-siap untuk perjalanan ke akademi bersama Damien. Mengenakan pakaian yang sudah dipersiapkan oleh Ethan, ia memandang dirinya di cermin, memastikan semuanya rapi.
Di luar kamar, Damien sudah menunggu di depan rumah. Ayah mereka, Lucien, berdiri dengan tangan terlipat, menatap kedua putranya dengan campuran kebanggaan dan kekhawatiran. Ibu mereka, Elysia, memeluk Elian dan Damien bergantian, memberikan doa dan pesan agar mereka berhati-hati. Ronan, kakak pertama mereka, tersenyum sambil menepuk pundak Damien. "Jaga adikmu baik-baik," katanya tegas. Ethan dan Caine sudah menyiapkan kereta kuda. Caine, seperti biasa, tampak tenang meskipun ada ketegangan samar di matanya. Sementara itu, Ethan memastikan semua barang sudah dimuat dengan rapi. Damien berElian duduk termenung di atas ranjangnya, memandangi langit-langit kamar yang kosong. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Suara Ethan dan Caine yang sedang sibuk membereskan barang bawaan di ruangan sebelah terdengar samar-samar, tapi itu hanya membuatnya semakin bosan. Ia melirik ke arah pintu, pikirannya mulai dipenuhi keinginan untuk keluar dan menjelajahi tempat baru ini. “Aku tidak bisa hanya duduk diam di sini,” gumam Elian. Dengan langkah mantap, ia mengenakan jubah panjang hitam yang sederhana namun elegan, memastikan bahwa penampilannya tidak akan terlalu menarik perhatian. Tanpa memberi tahu Ethan maupun Caine, ia keluar dari kamar asrama dan mulai menyusuri lorong-lorong akademi. Akademi tempat ia berada adalah salah satu institusi pendidikan terbesar di wilayah itu. Bangunan-bangunannya megah, dengan aula dan koridor yang dihiasi ukiran indah. Akademi ini dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing dengan fokus yang berbeda. Terdapat Akademi Kedokt
Elian mengamati wajahnya lebih dekat. Ingatan samar-samar mulai muncul di pikirannya, sebuah bayangan dari masa lalunya yang ia coba lupakan. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Gadis itu tampak bingung, lalu menggeleng perlahan. "Saya tidak yakin, Tuan. Saya baru pertama kali melihat Anda." Elian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, meskipun hatinya yakin bahwa ia pernah bertemu dengannya di suatu tempat. “Siapa namamu?” Gadis itu menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, “Nama saya Lyanna… Lyanna Veridienne.” Nama itu menyalakan kilatan ingatan di benak Elian. Kini ia tahu mengapa gadis itu terasa begitu familiar. Lyanna adalah seorang wanita yang, dalam kehidupannya yang lalu, dikenal sebagai dokter luar biasa. Keahliannya dalam pengobatan begitu diakui hingga ia menjadi salah satu orang yang dihormati di akademi. Namun, perjalanan Lyanna penuh tragedi. Ia bergabung dengan
Elian duduk di kursi kayu berukir dalam kamar asramanya yang redup. Lampu kecil di meja hanya memberi penerangan samar, mempertegas bayangan di wajahnya. Sebuah buku terbuka di atas meja, tetapi pikirannya mengembara. Lyanna Veridienne, nama itu terus terulang di benaknya. Ada sesuatu pada gadis itu. Di seberang ruangan, Caine berdiri tegap, menunggu perintah. Elian akhirnya menghela napas pelan sebelum membuka suara. “Caine, aku ingin kau menyelidiki sesuatu untukku,” ucapnya dengan nada tenang namun penuh kewibawaan. Caine langsung mencondongkan tubuhnya sedikit, menunjukkan kesiapannya. “Tentu, Tuan muda. Apa yang perlu saya lakukan?” “Cari tahu tentang keluarga Lyanna Veridienne,” kata Elian, menatap Caine dengan serius. “Aku ingin tahu siapa mereka, terutama adiknya. Fokuskan perhatianmu pada penyakit yang dideritanya.” Caine sedikit mengernyit, tapi ia tidak bertanya. Ia hanya mengangguk, memastikan perintah itu akan dijalankan
Suasana di kantin akademi masih ramai dengan gelak tawa dan percakapan para siswa. Namun, di sudut ruangan, suasana antara Elian, Lyanna, Damien, dan Lyra terasa berbeda. Lyra mencoba menyusup ke dalam pembicaraan dengan pertanyaan yang tampaknya acak tetapi diarahkan pada Elian. “Jadi, Elian, berapa usiamu sebenarnya?” Elian memiringkan kepalanya sedikit, menatap Lyra dengan sorot mata datar. Jemarinya mengetuk meja pelan, seperti mencari cara untuk mengakhiri pembicaraan itu. Elian mengangkat alis tanpa banyak reaksi. Tatapannya dingin, seperti tak ingin repot-repot menjawab. Namun, ia akhirnya membuka suara dengan nada datar, “Delapan belas.” Lyra tersenyum kecil, mencoba memancing percakapan lebih jauh. Sebenarnya, Lyra tidak hanya terpesona oleh wajah tampan Elian atau sikap dinginnya. Ada sesuatu dalam aura pemuda itu sesuatu yang membuatnya merasa tertantang dan penasaran. Dia yakin, jika bisa mendekati Elian, ia akan mendapatkan lebih dari sekad
Malam di asrama terasa sunyi, hanya sesekali suara angin malam menggoyang daun jendela yang tertutup rapat. Elian berbaring di ranjang sempit yang harus ia bagi dengan Damien. Matanya memandang langit-langit kamar asrama tanpa tujuan, pikirannya terombang-ambing di antara kebingungan dan harapan. Sementara itu, Damien duduk di meja kecil di sudut kamar, membaca tumpukan dokumen yang sepertinya tiada habisnya. “Elian,” Damien memulai tanpa menoleh dari dokumen yang ia baca, “kau tidak bisa tidur lagi, ya?” Elian hanya menghela napas panjang sebagai jawaban. Ia menggeser posisinya sedikit agar lebih nyaman, meskipun ranjang itu terasa terlalu sempit untuk dua orang. Damien berhenti membaca sejenak, menatap Elian dengan ujung matanya. “Kau kelihatan lelah. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Elian terdiam, berpikir apakah ia harus melibatkan Damien dalam kekhawatirannya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Damien, kau tahu tentang
Langit-langit kamar masih sama seperti tadi malam tenang, tak bergerak, tapi penuh dengan pikiran yang membebani Elian. Ia berbaring telentang, matanya terpaku pada bayangan samar yang terbentuk dari cahaya lilin yang mulai meredup. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dengan gerakan cepat, ia berbalik tengkurap, membenamkan wajahnya dalam bantal, dan menghela napas panjang yang terdengar seperti keluhan. “Haaaaa...” Suaranya serak, penuh frustasi. Di sudut kamar, Damien sedang duduk di kursi, matanya fokus pada dokumen yang menumpuk di depannya. Ia hanya menoleh sekilas pada Elian, tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa sepatah kata. Elian, yang kini kehilangan tenaga untuk merenung lebih jauh, membiarkan matanya terpejam. Pikiran yang berputar perlahan menghilang, digantikan oleh kegelapan yang menenangkan. Tidur mulai menyapanya, membawa dia menuju mimpi yang aneh namun terasa begitu nyata.
Elian duduk di bangku kayu di sudut kedai kecil, memperhatikan Damien yang dengan teliti mengoleskan salep di punggung tangan kirinya. Rasa gatal yang tadi begitu menyiksa perlahan mereda, meski keanehan yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Damien menyelesaikan pekerjaannya dengan hati-hati, kemudian duduk kembali di kursi di seberang Elian. “Sudah lebih baik?” tanya Damien sambil menutup kembali salep itu. Elian mengangguk, meskipun pikirannya masih penuh pertanyaan tentang kilatan cahaya yang ia lihat di retakan luka tadi. Sebelum ia sempat mengutarakan isi pikirannya, sesuatu di luar menarik perhatiannya. Ia melihat sosok yang dikenalnya berlari dengan tergesa-gesa, melewati kerumunan di jalanan kota. “Bukankah itu Lyanna?” tanya Elian, menunjuk ke arah sosok gadis yang hampir menghilang di tikungan. Damien menoleh, pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Elian. Ia mengangguk. “Ya, itu dia. Apa yang membuatnya terburu-buru seperti
Adrian menatap Damien dengan alis terangkat. "Sindrom Artereus? Tidak mungkin. Anak ini sehat-sehat saja. Dia hanya kelelahan dan mengalami sedikit demam." Kata-kata Adrian membuat ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang canggung. Damien menoleh ke arah Elian dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tampak panik, meskipun berusaha menyembunyikannya. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang aneh terjadi, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Kemudian, dia memandang ke arah Elian yang duduk diam di sofa, wajahnya masih pucat. "Sebenarnya, di ruangan ini yang terlihat seperti pasien adalah kau, Elian," katanya dengan nada mencela namun penuh perhatian. Elian tersenyum tipis, tawa pelannya terdengar seperti upaya untuk mengusir kekhawatiran. "Aku baik-baik saja," katanya, meskipun gelombang mual semakin tak tertahankan. Ia berusaha keras menjaga sikapnya tetap tenang, tidak ingin ada yang menyadari kelemahannya. Adrian mengangguk
Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam
Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj
Darah mengering di pahanya, meninggalkan bekas lengket dan dingin. Elian menggeliat pelan, mencoba duduk dengan menyandarkan tubuh pada dinding batu yang kasar. Udara di ruangan itu begitu lembap dan pengap, membuat paru-parunya terasa sempit setiap kali ia menarik napas. Rasa nyeri di dada kadang datang dan pergi seperti tamu tak diundang. Tapi untuk saat ini, ia masih bisa menahannya. Rasa sakit di pahanyalah yang justru lebih menyiksa. Luka yang menganga itu belum tertutup, dan setiap kali ia bergerak sedikit saja, denyutnya seperti ribuan jarum menusuk bersamaan. Terbatuk. Napasnya pendek dan terputus. Ada rasa logam yang menempel di lidahnya, darah. Ia tahu tubuhnya sedang melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Tapi satu-satunya keberuntungannya, racun itu bekerja perlahan. Masih ada waktu… meski ia tak tahu seberapa lama. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini…" pikirnya sambil mengamati sekeliling. Tak ada jendela, hanya pintu be
Rasa sakit itu seperti api yang menjalar. Dimulai dari luka di paha kirinya lalu menyebar cepat, membakar syaraf, merambat naik ke perut, punggung, dan menjalari tulang belakang. Rasanya seperti daging yang mengelupas pelan setiap kali ia bernapas. Elian menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangannya yang kini telah bebas setelah berjam-jam menggerogoti tali dengan luka yang menganga terkulai lemah di lantai. Ia tidak lagi bisa duduk, tidak bisa merangkak. Ia hanya merebahkan tubuhnya di lantai kotor, tubuhnya bergetar hebat, seperti seseorang yang sedang meregang nyawa dalam diam. Nafasnya putus-putus. Setiap tarikan udara bagai bara yang menyambar paru-paru. Kegelapan menyelimutinya begitu pekat, seolah matanya tak lagi berfungsi. Bau darah kering, tanah lembap, dan sesuatu yang busuk menggantung di udara. Tidak ada suara selain detak jantungnya sendiri dan sesekali, tetesan air dari langit-langit yang jatuh ke genangan tak kasatmata di lantai. Langit-langit pen
Hening. Elian duduk di kegelapan yang begitu pekat hingga matanya tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang terpejam atau tidak. Satu-satunya yang bisa ia dengar adalah suara napasnya sendiri, tersengal, terputus-putus, seakan tubuhnya menolak udara. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas perlahan melalui hidung, lalu menghembuskannya dengan lirih. Tapi setiap kali ia mencoba, rasa sakit dari dada dan pergelangan tangannya membuat napas itu terganggu. Tangannya masih terikat erat dan kasar. Sesekali ia merasakan cairan hangat merembes di pergelangan, mungkin darah. Tapi ia bahkan tak peduli. Entah sudah berapa lama sejak Azrael terakhir datang. Beberapa jam? Sehari? Elian tak tahu. Di tempat ini, waktu tidak berjalan seperti biasanya. Tidak ada siang, tidak ada malam. Hanya keabadian dalam kesakitan. Haruskah ia menghela napas lega karena Azrael belum kembali? Tidak. Justru sebaliknya. Ketidakhadiran Azrael adalah ta
Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara
Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m