Malam di asrama terasa sunyi, hanya sesekali suara angin malam menggoyang daun jendela yang tertutup rapat. Elian berbaring di ranjang sempit yang harus ia bagi dengan Damien. Matanya memandang langit-langit kamar asrama tanpa tujuan, pikirannya terombang-ambing di antara kebingungan dan harapan. Sementara itu, Damien duduk di meja kecil di sudut kamar, membaca tumpukan dokumen yang sepertinya tiada habisnya.
“Elian,” Damien memulai tanpa menoleh dari dokumen yang ia baca, “kau tidak bisa tidur lagi, ya?” Elian hanya menghela napas panjang sebagai jawaban. Ia menggeser posisinya sedikit agar lebih nyaman, meskipun ranjang itu terasa terlalu sempit untuk dua orang. Damien berhenti membaca sejenak, menatap Elian dengan ujung matanya. “Kau kelihatan lelah. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Elian terdiam, berpikir apakah ia harus melibatkan Damien dalam kekhawatirannya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Damien, kau tahu tentangLangit-langit kamar masih sama seperti tadi malam tenang, tak bergerak, tapi penuh dengan pikiran yang membebani Elian. Ia berbaring telentang, matanya terpaku pada bayangan samar yang terbentuk dari cahaya lilin yang mulai meredup. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dengan gerakan cepat, ia berbalik tengkurap, membenamkan wajahnya dalam bantal, dan menghela napas panjang yang terdengar seperti keluhan. “Haaaaa...” Suaranya serak, penuh frustasi. Di sudut kamar, Damien sedang duduk di kursi, matanya fokus pada dokumen yang menumpuk di depannya. Ia hanya menoleh sekilas pada Elian, tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa sepatah kata. Elian, yang kini kehilangan tenaga untuk merenung lebih jauh, membiarkan matanya terpejam. Pikiran yang berputar perlahan menghilang, digantikan oleh kegelapan yang menenangkan. Tidur mulai menyapanya, membawa dia menuju mimpi yang aneh namun terasa begitu nyata.
Elian duduk di bangku kayu di sudut kedai kecil, memperhatikan Damien yang dengan teliti mengoleskan salep di punggung tangan kirinya. Rasa gatal yang tadi begitu menyiksa perlahan mereda, meski keanehan yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Damien menyelesaikan pekerjaannya dengan hati-hati, kemudian duduk kembali di kursi di seberang Elian. “Sudah lebih baik?” tanya Damien sambil menutup kembali salep itu. Elian mengangguk, meskipun pikirannya masih penuh pertanyaan tentang kilatan cahaya yang ia lihat di retakan luka tadi. Sebelum ia sempat mengutarakan isi pikirannya, sesuatu di luar menarik perhatiannya. Ia melihat sosok yang dikenalnya berlari dengan tergesa-gesa, melewati kerumunan di jalanan kota. “Bukankah itu Lyanna?” tanya Elian, menunjuk ke arah sosok gadis yang hampir menghilang di tikungan. Damien menoleh, pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Elian. Ia mengangguk. “Ya, itu dia. Apa yang membuatnya terburu-buru seperti
Adrian menatap Damien dengan alis terangkat. "Sindrom Artereus? Tidak mungkin. Anak ini sehat-sehat saja. Dia hanya kelelahan dan mengalami sedikit demam." Kata-kata Adrian membuat ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang canggung. Damien menoleh ke arah Elian dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tampak panik, meskipun berusaha menyembunyikannya. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang aneh terjadi, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Kemudian, dia memandang ke arah Elian yang duduk diam di sofa, wajahnya masih pucat. "Sebenarnya, di ruangan ini yang terlihat seperti pasien adalah kau, Elian," katanya dengan nada mencela namun penuh perhatian. Elian tersenyum tipis, tawa pelannya terdengar seperti upaya untuk mengusir kekhawatiran. "Aku baik-baik saja," katanya, meskipun gelombang mual semakin tak tertahankan. Ia berusaha keras menjaga sikapnya tetap tenang, tidak ingin ada yang menyadari kelemahannya. Adrian mengangguk
Malam itu terasa panjang dan melelahkan bagi Damien dan Ethan. Keduanya hampir tidak tidur semalaman, sibuk menjaga Elian yang terbaring tak berdaya. Demam Elian naik turun sepanjang malam, membuat mereka bergantian membasahi kain dengan air dingin untuk menurunkan suhunya. Meski tubuh mereka lelah, pikiran mereka tak henti-hentinya dipenuhi kekhawatiran. “Tuan, Anda juga butuh istirahat,” kata Ethan pelan sambil meletakkan kain basah di dahi Elian. “Saya bisa menjaganya.” Damien menggeleng, matanya tetap terpaku pada Elian yang sesekali menggeliat gelisah. “Tidak, Ethan. Aku tidak bisa. Aku tidak akan tenang kalau tidak mengawasinya sendiri.” Ethan menghela napas, tahu bahwa keras kepala Damien takkan mudah diubah. Damien duduk di kursi dekat ranjang Elian, kepalanya tertunduk, dan tangan kirinya mengusap wajahnya yang lelah. Dalam hatinya, ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tak mampu melindungi adiknya lebih baik. Ketika fajar mulai me
Langkah Damien terasa berat, seolah tiap jejaknya membawa beban tak terlihat. Pertanyaan tentang kebenaran yang ia temukan terus menggema di benaknya, menyeretnya ke dalam jurang kekhawatiran yang semakin dalam. Informasi yang baru saja ia dapatkan dari arsip perpustakaan terlalu sulit untuk diabaikan, meski ia ingin meyakinkan dirinya bahwa semua itu salah. Setiap bukti mengarah pada satu kesimpulan yang membuat dadanya sesak. Elian adalah seorang penyihir murni. Namun, Damien tidak ingin menyerah pada fakta itu begitu saja. "Mungkin aku salah menafsirkan," bisiknya pada diri sendiri. "Tidak mungkin Elian... tidak mungkin dia..." Damien menghentikan langkahnya berdiri terbaku, mengusap wajahnya dan tertawa pelan menertawakan dirinya sendiri. Tawanya getir tidak ada kebahagian disana. Setibanya di depan pintu kamar, Damien mendorongnya perlahan. Ia menemukan Elian telah bangun, duduk di tepi tempat tidur dengan tubuh yang masih tampak lemah. Tatapan kosong Elian
Hening menyelimuti kamar asrama setelah Elian menghabiskan suapan terakhirnya. Damien, yang duduk di kursi di dekat tempat tidur, tampak sibuk dengan pisau di tangannya. Dengan gerakan terampil, ia mengupas apel, membuang kulitnya yang tipis sebelum memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia menaruh satu potongan di piring kecil di hadapan Elian, lalu mengambil sepotong untuk dirinya sendiri. Elian memandangi potongan apel itu sesaat sebelum mengambilnya. Ia menggigitnya perlahan, menikmati rasa segarnya di tengah pikirannya yang kacau. Sejak tadi, Damien belum mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya kakaknya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sama seperti dirinya. Suasana sunyi itu bukanlah sesuatu yang tak biasa di antara mereka. Namun, kali ini ada sesuatu yang menggantung di udara, perasaan tak terucapkan yang membebani keduanya. Elian menatap Damien yang tampak serius, matanya terpaku pada apel yang sedang dikupasnya. Mungkin ini saatnya untuk bicara.
Pagi itu, langit cerah di atas akademi, namun tidak ada yang dapat menenangkan kegelisahan yang melingkupi Elian. Udara yang sejuk seakan tidak mampu mengusir kegelisahan yang tumbuh dalam dirinya. Ia duduk di bangku taman, matanya memandangi jalan setapak yang berkelok, namun pikirannya tetap jauh melayang, terjebak dalam kebingungannya sendiri. Mimpi yang ia alami, dengan cahaya emas yang memenuhi tangannya, masih membayangi dirinya. Apa artinya itu? Mengapa ia merasa begitu kuat dan penuh perasaan meski tak memahami maknanya? Damien mendekat dengan langkah cepat, wajahnya tampak penuh kekhawatiran yang terselubung. Langkahnya terkesan terburu-buru, seolah ia berusaha menghindari sesuatu. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menyempatkan diri untuk mengambil jubah hitam yang tergantung di kursi sebelahnya, lalu menyerahkannya pada Elian dengan tangan yang agak gemetar. "Bagaimana keadaanmu?" Damien akhirnya bertanya, suaranya terdengar tegang dan sedikit dipaksak
Elian menatap kakaknya dengan kebingungan. Ia bisa melihat kepanikan yang terpancar jelas dari wajah Damien, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Damien terduduk di kursi tua yang berdebu, tangannya masih erat menggenggam tangan Elian, seolah takut kehilangan sesuatu yang berharga. Nafasnya terdengar berat, pikirannya tampak berkecamuk dalam kebingungan yang sulit dijelaskan. "Kak, apa yang terjadi?" tanya Elian dengan suara pelan namun penuh dengan ketegangan. Damien mengangkat wajahnya, menatap Elian dengan mata yang penuh kegelisahan. Tangannya sedikit gemetar, dan napasnya tercekat, seolah ada sesuatu yang berat menindih dadanya. "Elian... dengar aku baik-baik. Jangan pernah tunjukkan kekuatanmu ini kepada siapapun. Apa kamu mengerti?" suaranya tegas, hampir memerintah. "Dan jangan pernah menggunakannya kecuali dalam keadaan yang benar-benar darurat." Elian masih menatap Damien dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Apa maksudmu, Kak? Tolong jela
Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam
Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj
Darah mengering di pahanya, meninggalkan bekas lengket dan dingin. Elian menggeliat pelan, mencoba duduk dengan menyandarkan tubuh pada dinding batu yang kasar. Udara di ruangan itu begitu lembap dan pengap, membuat paru-parunya terasa sempit setiap kali ia menarik napas. Rasa nyeri di dada kadang datang dan pergi seperti tamu tak diundang. Tapi untuk saat ini, ia masih bisa menahannya. Rasa sakit di pahanyalah yang justru lebih menyiksa. Luka yang menganga itu belum tertutup, dan setiap kali ia bergerak sedikit saja, denyutnya seperti ribuan jarum menusuk bersamaan. Terbatuk. Napasnya pendek dan terputus. Ada rasa logam yang menempel di lidahnya, darah. Ia tahu tubuhnya sedang melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Tapi satu-satunya keberuntungannya, racun itu bekerja perlahan. Masih ada waktu… meski ia tak tahu seberapa lama. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini…" pikirnya sambil mengamati sekeliling. Tak ada jendela, hanya pintu be
Rasa sakit itu seperti api yang menjalar. Dimulai dari luka di paha kirinya lalu menyebar cepat, membakar syaraf, merambat naik ke perut, punggung, dan menjalari tulang belakang. Rasanya seperti daging yang mengelupas pelan setiap kali ia bernapas. Elian menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangannya yang kini telah bebas setelah berjam-jam menggerogoti tali dengan luka yang menganga terkulai lemah di lantai. Ia tidak lagi bisa duduk, tidak bisa merangkak. Ia hanya merebahkan tubuhnya di lantai kotor, tubuhnya bergetar hebat, seperti seseorang yang sedang meregang nyawa dalam diam. Nafasnya putus-putus. Setiap tarikan udara bagai bara yang menyambar paru-paru. Kegelapan menyelimutinya begitu pekat, seolah matanya tak lagi berfungsi. Bau darah kering, tanah lembap, dan sesuatu yang busuk menggantung di udara. Tidak ada suara selain detak jantungnya sendiri dan sesekali, tetesan air dari langit-langit yang jatuh ke genangan tak kasatmata di lantai. Langit-langit pen
Hening. Elian duduk di kegelapan yang begitu pekat hingga matanya tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang terpejam atau tidak. Satu-satunya yang bisa ia dengar adalah suara napasnya sendiri, tersengal, terputus-putus, seakan tubuhnya menolak udara. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas perlahan melalui hidung, lalu menghembuskannya dengan lirih. Tapi setiap kali ia mencoba, rasa sakit dari dada dan pergelangan tangannya membuat napas itu terganggu. Tangannya masih terikat erat dan kasar. Sesekali ia merasakan cairan hangat merembes di pergelangan, mungkin darah. Tapi ia bahkan tak peduli. Entah sudah berapa lama sejak Azrael terakhir datang. Beberapa jam? Sehari? Elian tak tahu. Di tempat ini, waktu tidak berjalan seperti biasanya. Tidak ada siang, tidak ada malam. Hanya keabadian dalam kesakitan. Haruskah ia menghela napas lega karena Azrael belum kembali? Tidak. Justru sebaliknya. Ketidakhadiran Azrael adalah ta
Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara
Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m