Home / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 17 PEDANG HITAM

Share

BAB 17 PEDANG HITAM

Author: Rayna Velyse
last update Huling Na-update: 2024-12-20 21:17:39

Ethan berdiri di tengah perempatan pasar, napasnya terengah-engah, pandangannya liar mencari sosok tuannya. Udara mulai dingin, senja mulai redup, namun keringat yang mengalir di dahi Ethan malah semakin deras. Tangannya bergetar menggenggam erat sobekan kecil jubah Elian, seolah itu satu-satunya petunjuk yang dapat membawanya langsung ke hadapan Elian.

“Tuan muda!” teriaknya dengan suara serak, menggema di jalanan yang kini nyaris seperti tidak berpenghuni.

Setiap sudut jalan ia periksa, matanya menatap ke setiap penjuru pasar, namun tidak ada satupun jejak Elian. Ethan merasakan dadanya sesak, rasa panik semakin mendesaknya. Tidak mungkin tuannya menghilang begitu saja, tidak tanpa alasan.

“Tidak mungkin ini kebetulan,” pikit Ethan, rahangnya mengeras.

Ethan melangkah kembali ke tempat terakhir ia melihat Elian. Mata hitamnya menatap tanah dengan seksama, berharap menemukan jejak lain yang terlewatkan. Ketika ia berjongkok, sesuatu menarik perha
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Sisa Takdir   BAB 18 JEJAK ANGIN

    Elian masih terduduk lemah, menyandarkan tubuhnya pada dinding dingin dan kasar. Udara di tempat itu begitu lembab, setiap napas yang ia tarik terada berat, seolah dunia berkonspirasi untuk terus menekan tubuhnya yang lemah. Cahaya bulan mulai tampak, menyelimuti celah-celah atap yang bocor, melukiskan bayang-bayang panjang di lantai kayu yang lapuk.“Kenapa rasanya seperti ini?” gumam Elian pelan. Tangannya menyentuh lehernya, merasakan perih dari luka yang baru saja diperban oleh Caine. Tatapan Elian kosong, pikirannya melayang pada setiap langkah dan pilihan yang telah ia buat sejak kebangkitannya. “Apakah aku akan cukup kuat untuk mengubah takdir?” Ia menggertakkan giginya, mengusir keraguan yang terus menghantuinya.Disaat yang sama, Ethan tiba di kediaman Silvercrest dengan wajah penuh kecemasan. Ia menyerahkan kudanya pada salah satu pelayan tanpa berkata apa-apa, lalu segera berlari masuk ke dalam rumah. Napasnya masih terengah, keringat deras membasahi tub

    Huling Na-update : 2024-12-21
  • Sisa Takdir   BAB 19 DI TENGAH KEGELAPAN HUTAN

    Langkah Elian terseok di antara gelapnya hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekitarnya, sepeti dinding-dinding raksasa yang menutup dirinya dari dunia luar. Udara malam semakin menusuk, dinginnya menggigit kulit hingga ke tulang. Jubahnya hilang entah ke mana, tersangkut atau robek di salah satu semak belukar. Sapu tangan putih yang melingkat di lehernya kini berubah merah, menyerap darah yang merembes dari luka sayat di lehernya. Kedua tangannya penuh luka akibat bergesekan dengan kulit kasar pepohonan dan duri-duri liar. Ranting-ranting tajam menggores kakinya hingga terluka, meninggalkan garis-garis merah yang menyengat setiap kali ia bergerak. Pakaian putih yang ia kenakan kini dalam keadaan yang menyedihkan, sobek di sana-sini, kusam, dan basah oleh keringat serta darah. Kakinya tersandung akar pohon yang menjalar, membuat tubuhnya terjerembap ke depan. Kali ini, ia jatuh tepat di atas genangan air yang dingin. Cipratan air mengenai wajah dan tub

    Huling Na-update : 2024-12-22
  • Sisa Takdir   BAB 20 DI UJUNG KEHILANGAN

    Pertempuran telah usai. Udara di sekitar mereka dipenuhi aroma anyir darah dan tanah basah yang terguncang oleh kekuatan sihir dan pergerakan makhluk buas tadi. Angin malam berhembus pelan, membawa suara gemerisik dedaunan yang seolah meratap dalam kesunyian.Ronan berdiri di tengah bayangan pohon yang menjulang tinggi, napasnya terengah-engah, pedangnya masih berlumuran darah serigala besar yang kini tak bergerak di hadapannya. Matanya yang tajam perlahan beralih ke arah tubuh Elian yang tergeletak di tanah."Elian!" seru Ronan, suaranya penuh kepanikan.Tanpa berpikir dua kali, Ronan menjatuhkan pedangnya dan berlari ke arah Elian yang bersandar lemah di pangkuan Ethan. Damien sudah berlutut di samping Elian, tangan kanannya bersinar lembut dengan cahaya hijau samar, mencoba menghentikan pendarahan menggunakan sihir penyembuh, tapi kerutan di dahinya semakin dalam. “Manaku... tidak cukup,” gumamnya putus asa.Peluh bercucuran di wajahnya saat ia

    Huling Na-update : 2024-12-23
  • Sisa Takdir   BAB 21 PULANG

    Kehampaan menyelimuti rumah besar keluarga Silvercrest. Suasana yang biasanya tenang dan megah kini terasa cemas dan berat, seolah seluruh kediaman itu menahan napas menunggu kedatangan mereka. Lampu-lampu di sepanjang lorong menyala dengan redup, menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Bahkan pelayan yang biasanya sibuk di dapur kini terlihat terdiam, masing-masing menunggu dengan cemas. Terlihat beberapa berlarian terlihat panik. Di ruang utama keluarga Silvercrest, suasana semakin tegang saat langkah kaki mereka semakin mendekat. Elysia, yang sebelumnya duduk di ruang tengah, kini berdiri dengan cemas di ujung tangga, matanya menatap pintu yang terbuka dengan harap-harap cemas. Ketika cahaya biru memudar, Lucien, Ronan, Damien, dan Elian muncul di ruang utama dengan langkah cepat, membawa serta beban yang semakin berat. Lucien terlihat tegang, tubuhnya bergerak cepat, namun hati-hati menahan tubuh Elian yang terkulai dalam pelukannya. Ro

    Huling Na-update : 2024-12-24
  • Sisa Takdir   BAB 22 PENJAGA MALAM

    Adrian sang dokter, akhirnya berhasil menghentikan pendarahan yang mengancam nyawa Elian. Dengan sihir pengobatan yang sangat kuat, darah yang terus merembes keluar akhirnya bisa dihentikan, meskipun luka-luka di punggungnya masih tetap menganga lebar. Sihir itu tidak cukup untuk menyembuhkan luka-luka tersebut secara langsung, karena membutuhkan mana yang jauh lebih besar dan waktu yang panjang. Dengan napas berat dan keringat yang membasahi wajahnya, Adrian mengangkat wajahnya dan menatap Lucien dengan mata penuh kecemasan. "Pendarahan sudah berhenti, tapi lukanya terlalu dalam. Dibutuhkan waktu berhari-hari, mungkin lebih lama untuk benar-banar pulih.” Lucien mengangguk dengan serius, meskipun hatinya diliputi rasa cemas. "Apa yang harus kami lakukan?" "Untuk sementara, yang terpenting adalah menjaga agar luka tidak terbuka kembali. Jangan biarkan dia terlentang, karena itu akan memperburuk luka di punggungnya. Jangan mengenakan pakaian apapun yang b

    Huling Na-update : 2024-12-25
  • Sisa Takdir   BAB 23 BAYANGAN DI BALIK KABUT

    Langit malam yang gelap menemani langkah cepat Ethan yang tengah menyusuri hutan dengan teliti. Awan kelabu menggantung rendah, seakan menambah kegelapan di sekitar pepohonan yang menjulang tinggi. Hawa dingin menusuk kulitnya, dan embusan angin membawa aroma tanah basah serta dedaunan yang hancur di bawah sepatu botnya. Cahaya bulan yang redup memantulkan kilauan samar pada pedang pendek yang terikat di pinggangnya. Bayangan kejadian beberapa jam lalu masih jelas di pikirannya, jeritan Elian, percikan darah, dan punggung tuannya yang lemah saat ia diseret ke dalam kegelapan. Rasa bersalah dan kemarahan membakar di dadanya. "Aku harus menemukan petunjuk..." gumamnya, hampir tak bersuara. Ethan berhenti di dekat batang pohon besar, matanya tajam menelisik jejak samar di tanah yang tampaknya baru saja diinjak seseorang. "Ada seseorang di sini... belum lama ini," bisiknya. Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak belukar membuatnya sigap berdiri. Tangan Ethan

    Huling Na-update : 2024-12-27
  • Sisa Takdir   BAB 24 LANGKAH DI UJUNG KEGELAPAN

    Hening menyelimuti kamar Elian, hanya suara napas Damien yang terdengar saat ia berusaha menenangkan dirinya. Cahaya redup dari lilin di sudut ruangan bergetar pelan, memantulkan bayangan temaram di dinding batu yang dingin. Damien duduk di sisi ranjang, kedua tangannya terkepal erat dipangkuannya. Napasnya terdengar berat setiap kali memandang wajah pucat adiknya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh luka. Meskipun dokter telah memberikan perawatan terbaik, ketakutan masih menghantui benaknya. Damien, sebagai seorang kakak, merasa gagal melindungi adiknya dari nasib buruk ini. Kepalanya tertunduk, tetapi pandangannya tetap terpaku pada tubuh adiknya yang tak berdaya. Setiap helaan napas Elian yang tersendat membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain, Ethan baru saja kembali dari hutan. Pakaian yang ia kenakan kotor, berlumuran debu dan bercak darah kering yang mengeras di ujung lengan bajunya. Pedangnya masih tergenggam erat, terasa berat seperti beban yang me

    Huling Na-update : 2024-12-27
  • Sisa Takdir   BAB 25 BAYANGAN DI ANTARA CAHAYA

    Malam itu, dalam keheningan kamar yang dipenuhi hanya dengan suara napas Elian yang terengah-engah, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi. Saat Damien hampir terlelap di samping ranjang, tubuh Elian yang terbaring di atas bantal menegang, seolah berjuang melawan bayangan-bayangan yang menyeretnya ke dalam kegelapan. Di dalam mimpinya, Elian berada di sebuah hutan yang gelap, dipenuhi pohon-pohon besar yang cabang-cabangnya menyentuh langit. Udara dingin menusuk kulitnya, dan suara-suara aneh bergema dari setiap sudut yang tak terlihat. Langkahnya tergesa-gesa, namun setiap kali ia bergerak, tanah yang diinjak terasa lengket, seolah ada sesuatu yang mengikutinya. Di kejauhan, Elian mendengar suara langkah berat yang semakin mendekat, suara seperti langkah kaki makhluk besar yang menghentak tanah. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, sosok besar muncul. Seekor serigala hitam dengan mata merah menyala muncul dari bayang-bayang, tubuhnya yang kekar dan otot-ototnya

    Huling Na-update : 2024-12-28

Pinakabagong kabanata

  • Sisa Takdir   BAB 132

    Sore itu datang pelan-pelan, menyusup melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara di kamar Elian terasa tenang, hampir terlalu tenang, seolah seluruh dunia sedang menunggu sesuatu. Ketenangan yang terasa mencekam. Lelah menyelimutinya seperti kabut, bukan karena aktivitas fisik yang berat, tapi karena pergulatan batin yang terus menghantui sejak hari-hari terakhir ini. Setiap keputusan yang diambil, setiap langkah yang diambil, rasanya semakin membawa dirinya lebih jauh dari kedamaian yang pernah dirasakannya. Ia duduk di ranjang, punggung bersandar ke sandaran kayu yang terasa keras dan dingin, membiarkan kepalanya terjatuh pelan ke belakang. Pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih redup dari biasanya, seolah seluruh ruangan ikut merasakan betapa hampa hatinya. Langit sore di luar seharusnya indah, berwarna oranye keemasan dengan awan yang menggumpal pelan, seperti lukisan yang bergerak. Tapi Elian terlalu letih untuk menikmatinya.

  • Sisa Takdir   BAB 131

    Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?

  • Sisa Takdir   BAB 130

    Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata

  • Sisa Takdir   BAB 129

    Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m

  • Sisa Takdir   BAB 128

    Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na

  • Sisa Takdir   BAB 127

    Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se

  • Sisa Takdir   BAB 126

    Malam telah datang. Cahaya bulan menyelinap redup di balik tirai tebal. Di luar, angin berembus pelan, mengayun pucuk-pucuk pohon dan menyapu rerumputan yang terdiam dalam dingin. Kediaman Pangeran Caelium terasa tenang, terlalu tenang. Elian berdiri di balik jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Malam ini tidak hanya gelap di luar. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, menggelayut seperti kabut. “Kau akan menginap di sini,” kata Caelium tiba-tiba, memecah keheningan. Elian tidak menoleh. “Aku tahu. Tak aman untuk keluar malam ini.” “Kau juga merasa ada yang tidak beres?” Elian mengangguk pelan. “Seolah… sesuatu sedang menunggu,” gumamnya. Caelium berjalan santai ke meja dan menuang dua cangkir teh hangat. Diberikannya satu pada Elian yang masih berdiri di depan jendela. “Duduklah,” ucapnya lembut. “Tak ada gunanya kau menyiksa dirimu sendiri malam ini.” Elian akhirnya berpaling dan d

  • Sisa Takdir   BAB 125

    Setengah roti di piring itu hampir habis ketika percakapan mereka perlahan memasuki arah yang lebih serius. Awalnya hanya obrolan ringan tentang angin musim semi yang mulai membawa harum bunga, lalu beralih pada keadaan dapur istana yang anehnya kini selalu ramai saat malam. Tapi semua berubah saat Elian meletakkan cangkirnya di atas meja, perlahan, dengan tatapan yang mulai berubah tajam. “Saya dengar dari Pangeran Kaelian,” katanya tenang namun penuh maksud, “Bahwa Anda telah turun langsung ke lapangan, mencari beberapa pendukung, termasuk dari rakyat?” Caelium yang duduk bersandar pada sandaran kursinya ikut menurunkan cangkirnya. Suara cangkir beradu pelan dengan piring kecil porselen di bawahnya. “Benar sekali,” jawabnya tanpa ragu, lalu melirik Elian dengan pandangan yang kini jauh lebih dalam. “Beberapa bangsawan telah menyatakan kesediaan untuk mendukungku. Di antaranya Marquis Hestell, Lady Vierra dari Timur, dan tentu saja Lord Alland dari sel

  • Sisa Takdir   BAB 124

    Senja menggantung indah di langit Eldoria, mewarnai ruangan pertemuan dengan semburat keemasan yang temaram. Jendela-jendela tinggi berbingkai kaca patri membiaskan cahaya lembut yang menari di lantai marmer, menciptakan bayangan seperti lukisan yang bergerak perlahan. Aroma teh dan kudapan manis memenuhi udara, menghadirkan kenyamanan langka di tempat yang biasanya penuh tekanan politik. Caelium duduk dengan santai di kursi utama, menyilangkan kaki dan memandang keluar jendela sejenak sebelum menoleh ke Elian, yang duduk di sampingnya. Elian tampak ragu, tangan di pangkuannya diam, tatapannya masih canggung pasca pelukan mendadak tadi. Sementara itu, Ethan dan Caine berdiri di dekat sisi ruangan, namun atas permintaan Caelium sendiri, mereka ikut bergabung duduk di kursi kecil. Teko teh telah disiapkan di atas meja bundar, lengkap dengan berbagai kudapan yang tampaknya terlalu mewah untuk hanya empat orang. “Silakan, Ethan, Caine. Tidak perlu terlalu k

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status