Ethan berdiri di tengah perempatan pasar, napasnya terengah-engah, pandangannya liar mencari sosok tuannya. Udara mulai dingin, senja mulai redup, namun keringat yang mengalir di dahi Ethan malah semakin deras. Tangannya bergetar menggenggam erat sobekan kecil jubah Elian, seolah itu satu-satunya petunjuk yang dapat membawanya langsung ke hadapan Elian.
“Tuan muda!” teriaknya dengan suara serak, menggema di jalanan yang kini nyaris seperti tidak berpenghuni.Setiap sudut jalan ia periksa, matanya menatap ke setiap penjuru pasar, namun tidak ada satupun jejak Elian. Ethan merasakan dadanya sesak, rasa panik semakin mendesaknya. Tidak mungkin tuannya menghilang begitu saja, tidak tanpa alasan.“Tidak mungkin ini kebetulan,” pikit Ethan, rahangnya mengeras.Ethan melangkah kembali ke tempat terakhir ia melihat Elian. Mata hitamnya menatap tanah dengan seksama, berharap menemukan jejak lain yang terlewatkan. Ketika ia berjongkok, sesuatu menarik perhaElian masih terduduk lemah, menyandarkan tubuhnya pada dinding dingin dan kasar. Udara di tempat itu begitu lembab, setiap napas yang ia tarik terada berat, seolah dunia berkonspirasi untuk terus menekan tubuhnya yang lemah. Cahaya bulan mulai tampak, menyelimuti celah-celah atap yang bocor, melukiskan bayang-bayang panjang di lantai kayu yang lapuk.“Kenapa rasanya seperti ini?” gumam Elian pelan. Tangannya menyentuh lehernya, merasakan perih dari luka yang baru saja diperban oleh Caine. Tatapan Elian kosong, pikirannya melayang pada setiap langkah dan pilihan yang telah ia buat sejak kebangkitannya. “Apakah aku akan cukup kuat untuk mengubah takdir?” Ia menggertakkan giginya, mengusir keraguan yang terus menghantuinya.Disaat yang sama, Ethan tiba di kediaman Silvercrest dengan wajah penuh kecemasan. Ia menyerahkan kudanya pada salah satu pelayan tanpa berkata apa-apa, lalu segera berlari masuk ke dalam rumah. Napasnya masih terengah, keringat deras membasahi tub
Langkah Elian terseok di antara gelapnya hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekitarnya, sepeti dinding-dinding raksasa yang menutup dirinya dari dunia luar. Udara malam semakin menusuk, dinginnya menggigit kulit hingga ke tulang. Jubahnya hilang entah ke mana, tersangkut atau robek di salah satu semak belukar. Sapu tangan putih yang melingkat di lehernya kini berubah merah, menyerap darah yang merembes dari luka sayat di lehernya. Kedua tangannya penuh luka akibat bergesekan dengan kulit kasar pepohonan dan duri-duri liar. Ranting-ranting tajam menggores kakinya hingga terluka, meninggalkan garis-garis merah yang menyengat setiap kali ia bergerak. Pakaian putih yang ia kenakan kini dalam keadaan yang menyedihkan, sobek di sana-sini, kusam, dan basah oleh keringat serta darah. Kakinya tersandung akar pohon yang menjalar, membuat tubuhnya terjerembap ke depan. Kali ini, ia jatuh tepat di atas genangan air yang dingin. Cipratan air mengenai wajah dan tub
Pertempuran telah usai. Udara di sekitar mereka dipenuhi aroma anyir darah dan tanah basah yang terguncang oleh kekuatan sihir dan pergerakan makhluk buas tadi. Angin malam berhembus pelan, membawa suara gemerisik dedaunan yang seolah meratap dalam kesunyian.Ronan berdiri di tengah bayangan pohon yang menjulang tinggi, napasnya terengah-engah, pedangnya masih berlumuran darah serigala besar yang kini tak bergerak di hadapannya. Matanya yang tajam perlahan beralih ke arah tubuh Elian yang tergeletak di tanah."Elian!" seru Ronan, suaranya penuh kepanikan.Tanpa berpikir dua kali, Ronan menjatuhkan pedangnya dan berlari ke arah Elian yang bersandar lemah di pangkuan Ethan. Damien sudah berlutut di samping Elian, tangan kanannya bersinar lembut dengan cahaya hijau samar, mencoba menghentikan pendarahan menggunakan sihir penyembuh, tapi kerutan di dahinya semakin dalam. “Manaku... tidak cukup,” gumamnya putus asa.Peluh bercucuran di wajahnya saat ia
Kehampaan menyelimuti rumah besar keluarga Silvercrest. Suasana yang biasanya tenang dan megah kini terasa cemas dan berat, seolah seluruh kediaman itu menahan napas menunggu kedatangan mereka. Lampu-lampu di sepanjang lorong menyala dengan redup, menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Bahkan pelayan yang biasanya sibuk di dapur kini terlihat terdiam, masing-masing menunggu dengan cemas. Terlihat beberapa berlarian terlihat panik. Di ruang utama keluarga Silvercrest, suasana semakin tegang saat langkah kaki mereka semakin mendekat. Elysia, yang sebelumnya duduk di ruang tengah, kini berdiri dengan cemas di ujung tangga, matanya menatap pintu yang terbuka dengan harap-harap cemas. Ketika cahaya biru memudar, Lucien, Ronan, Damien, dan Elian muncul di ruang utama dengan langkah cepat, membawa serta beban yang semakin berat. Lucien terlihat tegang, tubuhnya bergerak cepat, namun hati-hati menahan tubuh Elian yang terkulai dalam pelukannya. Ro
Adrian sang dokter, akhirnya berhasil menghentikan pendarahan yang mengancam nyawa Elian. Dengan sihir pengobatan yang sangat kuat, darah yang terus merembes keluar akhirnya bisa dihentikan, meskipun luka-luka di punggungnya masih tetap menganga lebar. Sihir itu tidak cukup untuk menyembuhkan luka-luka tersebut secara langsung, karena membutuhkan mana yang jauh lebih besar dan waktu yang panjang. Dengan napas berat dan keringat yang membasahi wajahnya, Adrian mengangkat wajahnya dan menatap Lucien dengan mata penuh kecemasan. "Pendarahan sudah berhenti, tapi lukanya terlalu dalam. Dibutuhkan waktu berhari-hari, mungkin lebih lama untuk benar-banar pulih.” Lucien mengangguk dengan serius, meskipun hatinya diliputi rasa cemas. "Apa yang harus kami lakukan?" "Untuk sementara, yang terpenting adalah menjaga agar luka tidak terbuka kembali. Jangan biarkan dia terlentang, karena itu akan memperburuk luka di punggungnya. Jangan mengenakan pakaian apapun yang b
Langit malam yang gelap menemani langkah cepat Ethan yang tengah menyusuri hutan dengan teliti. Awan kelabu menggantung rendah, seakan menambah kegelapan di sekitar pepohonan yang menjulang tinggi. Hawa dingin menusuk kulitnya, dan embusan angin membawa aroma tanah basah serta dedaunan yang hancur di bawah sepatu botnya. Cahaya bulan yang redup memantulkan kilauan samar pada pedang pendek yang terikat di pinggangnya. Bayangan kejadian beberapa jam lalu masih jelas di pikirannya, jeritan Elian, percikan darah, dan punggung tuannya yang lemah saat ia diseret ke dalam kegelapan. Rasa bersalah dan kemarahan membakar di dadanya. "Aku harus menemukan petunjuk..." gumamnya, hampir tak bersuara. Ethan berhenti di dekat batang pohon besar, matanya tajam menelisik jejak samar di tanah yang tampaknya baru saja diinjak seseorang. "Ada seseorang di sini... belum lama ini," bisiknya. Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak belukar membuatnya sigap berdiri. Tangan Ethan
Hening menyelimuti kamar Elian, hanya suara napas Damien yang terdengar saat ia berusaha menenangkan dirinya. Cahaya redup dari lilin di sudut ruangan bergetar pelan, memantulkan bayangan temaram di dinding batu yang dingin. Damien duduk di sisi ranjang, kedua tangannya terkepal erat dipangkuannya. Napasnya terdengar berat setiap kali memandang wajah pucat adiknya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh luka. Meskipun dokter telah memberikan perawatan terbaik, ketakutan masih menghantui benaknya. Damien, sebagai seorang kakak, merasa gagal melindungi adiknya dari nasib buruk ini. Kepalanya tertunduk, tetapi pandangannya tetap terpaku pada tubuh adiknya yang tak berdaya. Setiap helaan napas Elian yang tersendat membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain, Ethan baru saja kembali dari hutan. Pakaian yang ia kenakan kotor, berlumuran debu dan bercak darah kering yang mengeras di ujung lengan bajunya. Pedangnya masih tergenggam erat, terasa berat seperti beban yang me
Malam itu, dalam keheningan kamar yang dipenuhi hanya dengan suara napas Elian yang terengah-engah, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi. Saat Damien hampir terlelap di samping ranjang, tubuh Elian yang terbaring di atas bantal menegang, seolah berjuang melawan bayangan-bayangan yang menyeretnya ke dalam kegelapan. Di dalam mimpinya, Elian berada di sebuah hutan yang gelap, dipenuhi pohon-pohon besar yang cabang-cabangnya menyentuh langit. Udara dingin menusuk kulitnya, dan suara-suara aneh bergema dari setiap sudut yang tak terlihat. Langkahnya tergesa-gesa, namun setiap kali ia bergerak, tanah yang diinjak terasa lengket, seolah ada sesuatu yang mengikutinya. Di kejauhan, Elian mendengar suara langkah berat yang semakin mendekat, suara seperti langkah kaki makhluk besar yang menghentak tanah. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, sosok besar muncul. Seekor serigala hitam dengan mata merah menyala muncul dari bayang-bayang, tubuhnya yang kekar dan otot-ototnya
Elian merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya, membenamkan wajahnya ke bantal yang empuk. Rasa lelah menguasainya sepenuhnya, seolah seluruh energi telah terkuras dari tubuhnya. Pandangannya kosong, tatapannya kemudian beralih ke jendela besar di sisi kamar. Cahaya matahari yang terik menandakan bahwa waktu sudah beranjak siang. Ia mendesah berat, membiarkan pikirannya berkelana dalam hening. "Bagaimana aku harus membuat Caine melaporkan kegiatanku pada Azrael?" gumamnya lirih ke ruangan kosong di sekitarnya. Nada suaranya terdengar putus asa. "Aku sangat lelah," tambahnya pelan. Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Ethan, pelayan setianya, masuk dengan langkah tenang sambil membawa baskom berisi air hangat dan kain bersih. Tatapannya penuh perhatian saat ia mendekati Elian. "Tuan Muda, Anda terlihat sangat lelah. Izinkan saya membantu Anda membersihkan diri," ujar Ethan sambil menaruh baskom di meja kecil di samping ranjang. Elian h
Hari semakin siang, dan sinar matahari yang terik menambah intensitas suasana di arena latihan keluarga Silvercrest. Suara dentingan logam dan langkah kaki prajurit yang sebelumnya berlatih mulai mereda. Semua perhatian kini tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan di tengah arena: Ronan dan Caine. Ketegangan terasa seperti udara panas yang menguar, membuat suasana semakin mendidih. Ronan, dengan tubuhnya yang kokoh dan mata yang penuh percaya diri, berdiri di tengah arena. Ia memutar pedang kayu di tangannya, memandang Caine dengan senyum menantang. “Caine, kau selalu punya mulut yang tajam. Sekarang buktikan dengan pedangmu,” ujarnya. Caine, yang lebih tenang dan penuh perhitungan, mengangkat pedangnya sambil tersenyum jahil. “Tentu, Tuan Ronan. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat Anda kecewa.” “Kita lihat saja siapa yang lebih baik,” balas Ronan sambil mengambil posisi bertarung. Elian mencoba menyela, suaranya terden
Pagi menyapa kediaman keluarga Silvercrest dengan sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman keluarga. Elian membuka matanya perlahan, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Ia menarik napas panjang, merasakan energi pagi yang segar mengalir ke tubuhnya. Hari ini, ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Elian turun dari tempat tidur, melangkah ke arah lemari, dan memilih pakaian yang lebih sederhana – sebuah kemeja putih bersih dengan celana panjang cokelat muda yang nyaman. Tidak ada mantel atau ornamen mewah seperti biasanya. Ia menginginkan kebebasan, sesuatu yang jarang ia rasakan sebagai anggota keluarga Silvercrest. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana hari ini akan berbeda. Saat ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ethan masuk dengan senyum khasnya, membawa nampan berisi sarapan ringan. “Tuan Muda, saya membawakan teh
Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela perpustakaan, memantulkan bayangan samar pada rak-rak buku yang menjulai tinggi. Aroma buku tua bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Elian duduk terbungkus selimut, tubuhnya sedikit gemetar, meski napasnya perlahan mulai teratur. Caine, yang setia di sisinya, memandang tuan mudanya dengan tatapan penuh perhatian. “Tuan Muda, apakah Anda merasa lebih baik?” tanya Caine dengan lembut, suaranya seperti angin yang membawa ketenangan. Elian mengangguk lemah, mencoba menguasai dirinya. “Aku hanya butuh waktu,” jawab Elian pelan, hampir seperti bisikan. Namun, matanya yang biasanya tenang masih menyiratkan bayangan ketakutan. Caine mengangguk memahami. Dengan hati-hati, ia menuntun Elian untuk kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Duduklah di sini, Tuan Muda. Saya akan menyalakan sedikit cahaya agar ruangan ini tidak terlalu gelap.” Elian tidak berkata apa-apa, hanya memperhatikan
Cahaya keemasan matahari sore menembus jendela besar di perpustakaan keluarga Silvercrest. Debu-debu halus melayang-layang di udara, seperti menari dalam diam. Elian duduk di kursi berlapis kain beludru biru tua di dekat jendela, tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat pudar. Angin sore yang lembut menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Langit di luar perlahan berubah warna, dari jingga keungu-unguan, menandakan senja yang hampir berakhir. Caine berdiri tegap di luar pintu perpustakaan, setia menjaga. Ethan, yang biasanya menemani Elian, sedang sibuk dengan urusan lain, meninggalkan suasana hening di ruangan yang penuh rak-rak tinggi berisi buku-buku berharga. Elian menghela napas panjang, matanya melayang ke langit yang mulai menggelap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian ini, meskipun hatinya terasa berat. Buku yang ada di tangannya tidak lagi menarik perhatiannya. Se
Hari itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, menyelimuti kediaman Silvercrest dengan bayangan samar. Hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah, menambah kesan tenang. Di halaman utama yang luas, sebuah kereta kuda hitam berornamen perak berhenti dengan anggun. Keberadaan kereta itu menandai akhir dari kunjungan seseorang yang telah membawa kehadiran penuh teka-teki ke dalam keluarga Silvercrest. Azrael, dengan jubah gelap khasnya, berdiri di dekat kereta. Tubuhnya tegak, matanya tajam, namun wajahnya menampilkan senyuman yang sulit diartikan. Di sekitarnya, keluarga Silvercrest berkumpul untuk melepasnya dengan kehangatan yang tulus. Suasana ini terasa seperti momen kekeluargaan yang biasa, namun di balik senyuman dan sapaan sopan, tersembunyi lapisan emosi dan motif yang lebih dalam. Lucien maju selangkah, menatap adiknya dengan senyum kecil yang tulus. “Azrael, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kesini. Aku harap kau tidak merasa b
Ruangan kerja Lucien memancarkan kehangatan yang kontras dengan langit kelabu di luar jendela besar. Meja kayu besar di depannya dipenuhi dokumen dan beberapa buku yang tertata rapi. Dinding ruangan dihiasi lukisan keluarga Silvercrest, memberikan sentuhan elegan namun penuh kehangatan. Lucien duduk di balik meja kerjanya dengan postur yang santai, tetapi tatapan matanya tetap memancarkan wibawa seorang kepala keluarga. Ia tengah memeriksa dokumen penting ketika suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Tok… Tok… Tok… “Masuk,” ucap Lucien, menutup dokumen di tangannya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Azrael yang melangkah masuk dengan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah meski sorot matanya sulit diterjemahkan. Ia membawa aura misterius yang selalu menyertainya, sesuatu yang membuat orang lain merasa ingin tahu namun waspada. Mata Lucien mengamati adiknya sesaat lebih lam, mencari tanda-tanda di bal
Pintu kamar Elian tertutup pelan di belakang Azrael dan Caine. Langkah kaki mereka menggema pelan di sepanjang koridor panjang yang dingin. Azrael berjalan santai dengan tangan di belakang punggungnya, sementara Caine mengikuti setengah langkah di belakang, menjaga jarak yang sopan namun tidak terlalu dekat. Suasana di antara mereka terasa sunyi, namun ketegangan samar menggantung di udara. Setelah beberapa saat berjalan tanpa suara, Azrael akhirnya berbicara, memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu Elian?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya lembut, hampir kasual, tetapi dengan nada yang menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Ia tidak menoleh, hanya terus memandang lurus ke depan. Caine melirik sekilas ke arah Azrael sebelum menjawab hati-hati, "Saya belum bisa memberi tanggapan, Tuan." Azrael meliriknya dengan sudut matanya, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. "Hmm... Aku rasa dia sedikit berubah. Dia menjadi lebih... sulit dipahami." Cai
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela besar di kamar Elian, memantulkan rona keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara terasa segar, namun suasana di dalam kamar terasa sunyi dan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Ethan dengan hati-hati mengganti perban di punggung Elian, tangannya bergerak terampil meski ada semburat kekhawatiran di matanya. "Apakah masih terasa sakit, Tuan Muda?" tanya Ethan dengan suara lembutnya. Elian, yang duduk membelakangi Ethan, menggeleng pelan. Rambut hitamnya yang jatuh sedikit menutupi wajah pucatnya. "Aku baik-baik saja, Ethan." jawabnya singkat, meskipun ekspresinya jelas mencerminkan rasa sakit. Ethan menyelesaikan tugasnya dengan sigap, merapikan perban dan memastikan semuanya terpasang sempurna. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. Tok... tok... tok... "Masuk," ujar Elian tanpa menoleh. Pintu kamar t