Главная / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 20 DI UJUNG KEHILANGAN

Share

BAB 20 DI UJUNG KEHILANGAN

Aвтор: Rayna Velyse
last update Последнее обновление: 2024-12-23 21:32:04

Pertempuran telah usai. Udara di sekitar mereka dipenuhi aroma anyir darah dan tanah basah yang terguncang oleh kekuatan sihir dan pergerakan makhluk buas tadi. Angin malam berhembus pelan, membawa suara gemerisik dedaunan yang seolah meratap dalam kesunyian

.

Ronan berdiri di tengah bayangan pohon yang menjulang tinggi, napasnya terengah-engah, pedangnya masih berlumuran darah serigala besar yang kini tak bergerak di hadapannya. Matanya yang tajam perlahan beralih ke arah tubuh Elian yang tergeletak di tanah.

"Elian!" seru Ronan, suaranya penuh kepanikan.

Tanpa berpikir dua kali, Ronan menjatuhkan pedangnya dan berlari ke arah Elian yang bersandar lemah di pangkuan Ethan. Damien sudah berlutut di samping Elian, tangan kanannya bersinar lembut dengan cahaya hijau samar, mencoba menghentikan pendarahan menggunakan sihir penyembuh, tapi kerutan di dahinya semakin dalam. “Manaku... tidak cukup,” gumamnya putus asa.

Peluh bercucuran di wajahnya saat ia
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Заблокированная глава

Related chapter

  • Sisa Takdir   BAB 21 PULANG

    Kehampaan menyelimuti rumah besar keluarga Silvercrest. Suasana yang biasanya tenang dan megah kini terasa cemas dan berat, seolah seluruh kediaman itu menahan napas menunggu kedatangan mereka. Lampu-lampu di sepanjang lorong menyala dengan redup, menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Bahkan pelayan yang biasanya sibuk di dapur kini terlihat terdiam, masing-masing menunggu dengan cemas. Terlihat beberapa berlarian terlihat panik. Di ruang utama keluarga Silvercrest, suasana semakin tegang saat langkah kaki mereka semakin mendekat. Elysia, yang sebelumnya duduk di ruang tengah, kini berdiri dengan cemas di ujung tangga, matanya menatap pintu yang terbuka dengan harap-harap cemas. Ketika cahaya biru memudar, Lucien, Ronan, Damien, dan Elian muncul di ruang utama dengan langkah cepat, membawa serta beban yang semakin berat. Lucien terlihat tegang, tubuhnya bergerak cepat, namun hati-hati menahan tubuh Elian yang terkulai dalam pelukannya. Ro

    Последнее обновление : 2024-12-24
  • Sisa Takdir   BAB 22 PENJAGA MALAM

    Adrian sang dokter, akhirnya berhasil menghentikan pendarahan yang mengancam nyawa Elian. Dengan sihir pengobatan yang sangat kuat, darah yang terus merembes keluar akhirnya bisa dihentikan, meskipun luka-luka di punggungnya masih tetap menganga lebar. Sihir itu tidak cukup untuk menyembuhkan luka-luka tersebut secara langsung, karena membutuhkan mana yang jauh lebih besar dan waktu yang panjang. Dengan napas berat dan keringat yang membasahi wajahnya, Adrian mengangkat wajahnya dan menatap Lucien dengan mata penuh kecemasan. "Pendarahan sudah berhenti, tapi lukanya terlalu dalam. Dibutuhkan waktu berhari-hari, mungkin lebih lama untuk benar-banar pulih.” Lucien mengangguk dengan serius, meskipun hatinya diliputi rasa cemas. "Apa yang harus kami lakukan?" "Untuk sementara, yang terpenting adalah menjaga agar luka tidak terbuka kembali. Jangan biarkan dia terlentang, karena itu akan memperburuk luka di punggungnya. Jangan mengenakan pakaian apapun yang b

    Последнее обновление : 2024-12-25
  • Sisa Takdir   BAB 23 BAYANGAN DI BALIK KABUT

    Langit malam yang gelap menemani langkah cepat Ethan yang tengah menyusuri hutan dengan teliti. Awan kelabu menggantung rendah, seakan menambah kegelapan di sekitar pepohonan yang menjulang tinggi. Hawa dingin menusuk kulitnya, dan embusan angin membawa aroma tanah basah serta dedaunan yang hancur di bawah sepatu botnya. Cahaya bulan yang redup memantulkan kilauan samar pada pedang pendek yang terikat di pinggangnya. Bayangan kejadian beberapa jam lalu masih jelas di pikirannya, jeritan Elian, percikan darah, dan punggung tuannya yang lemah saat ia diseret ke dalam kegelapan. Rasa bersalah dan kemarahan membakar di dadanya. "Aku harus menemukan petunjuk..." gumamnya, hampir tak bersuara. Ethan berhenti di dekat batang pohon besar, matanya tajam menelisik jejak samar di tanah yang tampaknya baru saja diinjak seseorang. "Ada seseorang di sini... belum lama ini," bisiknya. Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak belukar membuatnya sigap berdiri. Tangan Ethan

    Последнее обновление : 2024-12-27
  • Sisa Takdir   BAB 24 LANGKAH DI UJUNG KEGELAPAN

    Hening menyelimuti kamar Elian, hanya suara napas Damien yang terdengar saat ia berusaha menenangkan dirinya. Cahaya redup dari lilin di sudut ruangan bergetar pelan, memantulkan bayangan temaram di dinding batu yang dingin. Damien duduk di sisi ranjang, kedua tangannya terkepal erat dipangkuannya. Napasnya terdengar berat setiap kali memandang wajah pucat adiknya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh luka. Meskipun dokter telah memberikan perawatan terbaik, ketakutan masih menghantui benaknya. Damien, sebagai seorang kakak, merasa gagal melindungi adiknya dari nasib buruk ini. Kepalanya tertunduk, tetapi pandangannya tetap terpaku pada tubuh adiknya yang tak berdaya. Setiap helaan napas Elian yang tersendat membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain, Ethan baru saja kembali dari hutan. Pakaian yang ia kenakan kotor, berlumuran debu dan bercak darah kering yang mengeras di ujung lengan bajunya. Pedangnya masih tergenggam erat, terasa berat seperti beban yang me

    Последнее обновление : 2024-12-27
  • Sisa Takdir   BAB 25 BAYANGAN DI ANTARA CAHAYA

    Malam itu, dalam keheningan kamar yang dipenuhi hanya dengan suara napas Elian yang terengah-engah, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi. Saat Damien hampir terlelap di samping ranjang, tubuh Elian yang terbaring di atas bantal menegang, seolah berjuang melawan bayangan-bayangan yang menyeretnya ke dalam kegelapan. Di dalam mimpinya, Elian berada di sebuah hutan yang gelap, dipenuhi pohon-pohon besar yang cabang-cabangnya menyentuh langit. Udara dingin menusuk kulitnya, dan suara-suara aneh bergema dari setiap sudut yang tak terlihat. Langkahnya tergesa-gesa, namun setiap kali ia bergerak, tanah yang diinjak terasa lengket, seolah ada sesuatu yang mengikutinya. Di kejauhan, Elian mendengar suara langkah berat yang semakin mendekat, suara seperti langkah kaki makhluk besar yang menghentak tanah. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, sosok besar muncul. Seekor serigala hitam dengan mata merah menyala muncul dari bayang-bayang, tubuhnya yang kekar dan otot-ototnya

    Последнее обновление : 2024-12-28
  • Sisa Takdir   BAB 26 PERAWATAN DAN KETENANGAN SEJENAK

    Pagi itu, udara sejuk menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma embun dan kesejukan khas pagi hari. Sinar matahari yang lembut menyusup melalui tirai tipis, memantulkan cahaya samar di dinding kamar luas yang dipenuhi keheningan. Namun, di balik keheningan itu, terdengar napas lemah Elian yang masih terbaring tengkurap di ranjangnya. Tubuhnya terlihat pucat, wajahnya sedikit berkeringat, dan luka di tubuhnya masih memancarkan rasa sakit yang mendalam. Adrian, dokter keluarga yang berpengalaman, tengah duduk di tepi ranjang, menatap tubuh lemah Elian dengan sorot mata penuh keprihatinan. Kedua tangannya perlahan terangkat, cahaya lembut berwarna kebiruan memancar dari telapak tangannya, melingkupi luka-luka yang membekas di tubuh Elian. Ritual penyembuhan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya Adrian menurunkan tangannya, menghembuskan napas panjang. Wajahnya tampak lelah, namun masih berusaha memancarkan ketenangan. "Seperti yang ku

    Последнее обновление : 2024-12-29
  • Sisa Takdir   BAB 27 BAYANGAN DALAM KEPATUHAN

    Ruangan itu dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, asapnya berkelok-kelok di udara sebelum lenyap di antara cahaya redup dari lampu gantung berwarna emas. Tirai beludru hitam menutupi jendela besar di salah satu sisi ruangan, menciptakan kesan suram dan rahasia. Di tengah ruangan, duduklah Azrael di sebuah kursi megah berukir naga yang tampak menelan tubuhnya dalam bayangan gelap. Kesan angkuh dan tidak terjamah terpatri pada setiap gerakan tubuhnya, seolah dia adalah kekuatan yang tak dapat diganggu gugat. Di hadapannya berdiri Caine, punggungnya tegap, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, tatapannya kosong. Namun, kedua tangannya mengepal di balik punggungnya, menyembunyikan pergolakan yang berkecamuk di dalam hatinya. Caine merasa setiap detik di bawah tatapan Azrael yang tajam seolah membebani tubuhnya, membuatnya ingin melepaskan diri dari cengkraman ini, namun dia tahu itu mustahil. Azrael adalah pria yang memiliki banyak cara untuk membuat orang terjerat da

    Последнее обновление : 2024-12-30
  • Sisa Takdir   BAB 28 PERMINTAAN DI PAGI HARI

    Damien berjalan cepat menuju halaman belakang kediaman, mencari Ethan yang sedang menata perlengkapan. Suara langkahnya yang terburu-buru menarik perhatian Ethan, yang langsung menegakkan tubuhnya dan menyambut Damien dengan senyuman ringan. Tanpa menunggu lama, Ethan mendekat dan bertanya dengan khawatir. "Tuan Damien, bagaimana keadaan Tuan Muda Elian?" tanya Ethan, suaranya penuh rasa peduli. Damien menoleh, ekspresinya serius namun tidak kehilangan kelembutan. "Kondisinya masih lemah, Ethan. Lukannya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih. Saat ini, dia memerlukan banyak istirahat." Ethan mengangguk, sedikit merasa lega mendengar kabar itu. "Syukurlah. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Damien?" Damien menghela napas pelan sebelum menyampaikan pesan Elian. "Oh… Elian memintaku untuk menyampaikan sesuatu padamu. Dia bilang dia ingin makan kue bunga yang bisa dia makan. Apakah kau bisa mendapatkannya?" Ethan terkejut sejena

    Последнее обновление : 2024-12-31

Latest chapter

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

  • Sisa Takdir   BAB 139

    Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj

  • Sisa Takdir   BAB 138

    Darah mengering di pahanya, meninggalkan bekas lengket dan dingin. Elian menggeliat pelan, mencoba duduk dengan menyandarkan tubuh pada dinding batu yang kasar. Udara di ruangan itu begitu lembap dan pengap, membuat paru-parunya terasa sempit setiap kali ia menarik napas. Rasa nyeri di dada kadang datang dan pergi seperti tamu tak diundang. Tapi untuk saat ini, ia masih bisa menahannya. Rasa sakit di pahanyalah yang justru lebih menyiksa. Luka yang menganga itu belum tertutup, dan setiap kali ia bergerak sedikit saja, denyutnya seperti ribuan jarum menusuk bersamaan. Terbatuk. Napasnya pendek dan terputus. Ada rasa logam yang menempel di lidahnya, darah. Ia tahu tubuhnya sedang melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Tapi satu-satunya keberuntungannya, racun itu bekerja perlahan. Masih ada waktu… meski ia tak tahu seberapa lama. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini…" pikirnya sambil mengamati sekeliling. Tak ada jendela, hanya pintu be

  • Sisa Takdir   BAB 137

    Rasa sakit itu seperti api yang menjalar. Dimulai dari luka di paha kirinya lalu menyebar cepat, membakar syaraf, merambat naik ke perut, punggung, dan menjalari tulang belakang. Rasanya seperti daging yang mengelupas pelan setiap kali ia bernapas. Elian menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangannya yang kini telah bebas setelah berjam-jam menggerogoti tali dengan luka yang menganga terkulai lemah di lantai. Ia tidak lagi bisa duduk, tidak bisa merangkak. Ia hanya merebahkan tubuhnya di lantai kotor, tubuhnya bergetar hebat, seperti seseorang yang sedang meregang nyawa dalam diam. Nafasnya putus-putus. Setiap tarikan udara bagai bara yang menyambar paru-paru. Kegelapan menyelimutinya begitu pekat, seolah matanya tak lagi berfungsi. Bau darah kering, tanah lembap, dan sesuatu yang busuk menggantung di udara. Tidak ada suara selain detak jantungnya sendiri dan sesekali, tetesan air dari langit-langit yang jatuh ke genangan tak kasatmata di lantai. Langit-langit pen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status