Caine bersama beberapa prajurit yang selamat berhasil menjauh dari desa itu dengan napas yang terengah-engah. Kakinya terasa begitu berat seolah seluruh energinya telah terserap habis. Tubuhnya nyaris tidak mampu lagi menapak tanah, dan pikirannya berkabut antara kenyataan dan ilusi. Sesekali, dia merasa darahnya tersedot perlahan dari tubuhnya, meninggalkannya dalam kehampaan yang semakin pekat.
Beberapa prajurit di belakangnya tertatih-tatih, luka mereka menganga dan darah mengalir tanpa henti. Nafas mereka tersendat, tetapi mereka tetap berjalan, bertahan demi mencapai tempat yang aman. Seorang prajurit meminta izin untuk beristirahat. Awalnya, Caine menolak. Dia tahu mereka tidak memiliki banyak waktu. Jika mereka berhenti, mereka mungkin tidak akan sampai di tempat Elian dengan selamat. Tapi ketika melihat kondisi para prajurit yang semakin parah, dia tidak punya pilihan lain. "Baiklah," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Mereka memilih sebuaTidak. Tidak. Tidak. Suara Elian bergetar, memantul di ruangan yang hening. Tangannya mengguncang tubuh Caine yang semakin dingin, seolah berharap itu bisa membangunkannya. Tapi Caine tetap diam. Napasnya tak ada. Dadanya tak lagi naik-turun. “Ah… tidak… tolong… Caine…” Tangisnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tangan Elian berusaha mencari denyut nadi di leher Caine, namun ia tak merasakan apa pun. Kepanikan merayapi seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat. Ethan, yang berdiri di dekatnya, perlahan meraih pergelangan tangan Caine, mencari denyut nadinya. Wajahnya menegang saat ia menyadari kebenarannya, Caine sudah tidak bernyawa. “Ethan, panggil Damien! Dia… dia pasti bisa menyembuhkannya! Sekarang juga!” Namun, Ethan tidak bergerak. Ia hanya berdiri di tempatnya, tatapannya redup dan penuh kesedihan. “Kenapa kau diam saja? Hei, ETHAN!” Elian berteriak, matanya membelalak dengan emosi yang meled
Damien dengan hati-hati memindahkan tubuh Caine ke ranjang di sebelah Elian. Gerakannya perlahan, seolah takut melukai pemuda itu lebih jauh. Setelah memastikan posisi Caine nyaman, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajah Caine yang sebelumnya pucat seperti mayat kini tampak lebih baik seperti seseorang yang sedang tertidur, bukan lagi raga tanpa nyawa. Napasnya mulai stabil, dada tipisnya naik turun dalam ritme yang tenang. Damien menghela napas lega. "Dia pasti akan segera sadar," ucapnya pelan, seakan lebih meyakinkan dirinya sendiri. Setelah memastikan kondisi Caine, ia beralih ke Elian. Tubuh pemuda itu masih dingin, napasnya nyaris tak terdengar. Luka-luka di tubuhnya telah ditangani, tetapi wajahnya tetap pucat. Damien duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, seakan mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan sekecil apa pun. "Kau terlalu keras kepala untuk menyerah, bukan?" gumamnya lirih. Namun, Elian tetap diam. Ethan yang sejak
Caine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya sedikit menyipit. Napasnya masih terasa berat, tetapi tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk tubuhnya seperti sebelumnya. Saat pikirannya mulai jernih, ingatan tentang pertempuran di perbatasan langsung menghantamnya. Serangan mendadak, pasukan Azrael dan Pangeran Kedua, penyelidikan tentang praktik sihir terlarang di desa terpencil… dan— Matanya melebar. Elian. Jantungnya berdegup cepat. Seingatnya, dia seharusnya sudah mati. Tubuhnya hampir hancur karena serangan mereka, tetapi… “Elian…” gumamnya pelan. Pintu tiba-tiba terbuka. Caine refleks menoleh dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu. Lucien Silvercrest. Tatapan pria itu tajam, seolah mampu menembus pikirannya. Tidak ada emosi berlebihan di wajahnya, tetapi auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sesak. Caine langsung berusaha bangkit,
Caelum berjalan menyusuri koridor istana yang cukup ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka menundukkan kepala dengan hormat saat melewatinya, tetapi ia tak terlalu memperhatikannya. Langkahnya tetap stabil, meskipun pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan. Beberapa waktu lalu, Gavier telah mengirim pesan kepada Pangeran Pertama untuk menyampaikan permintaan pertemuan. Tak butuh waktu lama bagi Kaelian untuk memberikan jawaban, ia setuju untuk makan siang bersama. Oleh karena itu, kini Caelum berjalan menuju taman pribadi milik kakaknya, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Ketika Caelum tiba, ia melihat sosok Kaelian duduk dengan tenang di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat. Sikapnya tetap seperti biasa tenang, penuh wibawa, tetapi memiliki aura yang tidak bisa diremehkan. "Apakah Kakak sudah menunggu lama?" tanya Caelum sambil mendekat. Kaelian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis sebel
Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya. "Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe
"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan. Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. Deng
Malam semakin larut, bulan semakin tinggi, dan kediaman Silvercrest semakin sepi. Dalam kamar yang temaram hanya diterangi oleh cahaya lilin yang samar, Elian terbaring diam di ranjangnya. Sendirian, sunyi, dan menakutkan. Perlahan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Rasa sesak menghimpit dadanya, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Pandangannya kabur, dan kepalanya berdengung, mungkin karena terlalu lama tertidur. Ia mencoba menggerakkan jarinya, namun tubuhnya terasa mati rasa. Ia berusaha untuk duduk, tetapi tubuhnya terasa berat. Seakan ada sesuatu yang menahannya. Matanya menyusuri ruangan, mencoba memahami situasi. ‘Sudah malam,’ gumamnya dalam hati. ‘Apa yang terjadi?’ Sekelebat gambaran tentang Caine yang tengah sekarat muncul di pikirannya. Tubuh penuh luka, darah mengalir dari pelipisnya, napasnya tersengal di antara kepalan tangannya yang berlumuran merah. ‘Caine...’ bisiknya dengan bibir bergetar. Ketakutan mul
Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara
Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m
Malam mulai merayap pelan, membawa serta udara dingin dan bayangan panjang di lorong-lorong kediaman Silvercrest. Lentera-lentera mulai dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang temaram. Di antara pelayan yang lalu lalang, Ethan berjalan cepat, menyusuri koridor batu yang mulai sepi. Di tangannya ada nampan kecil berisi selembar catatan dari kepala keluarga Silvercrest. Hari ini Elian diharuskan hadir dalam makan malam keluarga. Dengan langkah ringan tapi hati-hati, Ethan sampai di depan pintu kamar tuannya. Ia mengetuk pelan, “Tuan muda, waktunya makan malam. Tuan Lucien ingin Anda hadir.” Ia sempat menunduk sebentar, mendengarkan. Biasanya, Elian menjawab walau hanya dengan dengusan pelan atau ucapan singkat dari balik pintu. Tapi kali ini… tidak ada. Dahi Ethan berkerut. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara gerakan, desahan napas, apa pun. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan. Ia menunggu beberapa detik, lalu ke
Sore itu datang pelan-pelan, menyusup melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara di kamar Elian terasa tenang, hampir terlalu tenang, seolah seluruh dunia sedang menunggu sesuatu. Ketenangan yang terasa mencekam. Lelah menyelimutinya seperti kabut, bukan karena aktivitas fisik yang berat, tapi karena pergulatan batin yang terus menghantui sejak hari-hari terakhir ini. Setiap keputusan yang diambil, setiap langkah yang diambil, rasanya semakin membawa dirinya lebih jauh dari kedamaian yang pernah dirasakannya. Ia duduk di ranjang, punggung bersandar ke sandaran kayu yang terasa keras dan dingin, membiarkan kepalanya terjatuh pelan ke belakang. Pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih redup dari biasanya, seolah seluruh ruangan ikut merasakan betapa hampa hatinya. Langit sore di luar seharusnya indah, berwarna oranye keemasan dengan awan yang menggumpal pelan, seperti lukisan yang bergerak. Tapi Elian terlalu letih untuk menikmatinya.
Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?
Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata
Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na
Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se