Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan.
Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. DengMalam semakin larut, bulan semakin tinggi, dan kediaman Silvercrest semakin sepi. Dalam kamar yang temaram hanya diterangi oleh cahaya lilin yang samar, Elian terbaring diam di ranjangnya. Sendirian, sunyi, dan menakutkan. Perlahan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Rasa sesak menghimpit dadanya, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Pandangannya kabur, dan kepalanya berdengung, mungkin karena terlalu lama tertidur. Ia mencoba menggerakkan jarinya, namun tubuhnya terasa mati rasa. Ia berusaha untuk duduk, tetapi tubuhnya terasa berat. Seakan ada sesuatu yang menahannya. Matanya menyusuri ruangan, mencoba memahami situasi. ‘Sudah malam,’ gumamnya dalam hati. ‘Apa yang terjadi?’ Sekelebat gambaran tentang Caine yang tengah sekarat muncul di pikirannya. Tubuh penuh luka, darah mengalir dari pelipisnya, napasnya tersengal di antara kepalan tangannya yang berlumuran merah. ‘Caine...’ bisiknya dengan bibir bergetar. Ketakutan mul
Elian berbaring di ranjangnya, berusaha menutup mata. Rasa lelah masih menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tetap berputar, sulit untuk benar-benar terlelap. Nyeri masih terasa di beberapa bagian tubuhnya. Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit, namun kali ini berbeda. Di sampingnya, Caine duduk di bangku kayu, tubuhnya bersandar santai, tetapi matanya terus memperhatikan Elian. Tatapannya kelam, penuh sesuatu yang nyaris menyerupai kemarahan atau mungkin rasa bersalah yang tidak terucapkan. Ada sorot frustasi di sana, seolah ia tengah bertarung dengan pikiran dan perasaan yang enggan ia akui. Suara api dari lilin yang menyala di sudut ruangan sesekali berderak pelan, menciptakan suasana hening yang semakin menekan. "Kau tahu, kau itu tuan yang bodoh, Elian." Suara Caine terdengar tenang, tetapi ada sedikit nada mencemooh di dalamnya. Elian membuka matanya perlahan, menoleh ke arah lelaki itu. Tatapan Caine bukan hanya sekadar lelah, tetapi juga menyimp
Caine menutup matanya di sisi ranjang Elian, bersandar pada kursi empuk milik tuannya. Suara napas Elian terdengar tenang dan teratur, pertanda bahwa ia tertidur pulas setelah sekian lama bergelut dengan kelelahan dan rasa sakit. Caine menghela napas dalam, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan malam yang jarang ia nikmati. Tanpa sadar, kelopak matanya pun semakin berat, hingga akhirnya ia jatuh tertidur dengan posisi duduk. Pintu kamar Elian terbuka perlahan tanpa suara. Ethan masuk dengan langkah hati-hati, matanya langsung menangkap pemandangan dua orang yang tengah tertidur. Ia terdiam sejenak, lalu mendekati Caine yang tertidur dengan posisi duduk yang tampak tidak nyaman. Dengan gerakan lembut, Ethan mengambil selimut tipis dari ujung ranjang dan menyelimutinya, memastikan tubuhnya tetap hangat di malam yang dingin. Setelah itu, Ethan beralih ke sisi Elian. Ia menatap wajah tuannya yang tampak lebih tenang dibanding sebelumnya. Raut wajah Elian yang
Ethan masih duduk di kursinya, matanya menatap lembut ke arah dua sosok yang tertidur di hadapannya. Cahaya lilin yang berpendar redup menciptakan bayangan samar di wajah mereka, seolah mengukir kelembutan dan ketenangan yang jarang terlihat. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, tetapi keheningan ini lebih hangat dibanding malam-malam penuh ketegangan yang mereka lewati. Sesaat, Ethan menghela napas panjang, menikmati momen langka ini. Elian, yang biasanya selalu tampak tegang dan penuh waspada, kini tampak begitu damai. Napasnya teratur, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut yang tertata rapi. Wajahnya yang pucat masih memperlihatkan jejak kelelahan, tetapi setidaknya kali ini, ia bisa beristirahat tanpa beban. Di sisi lain, Caine tertidur dalam posisi duduk. Bahunya sedikit merosot, kepalanya hampir terjatuh ke depan jika bukan karena tangannya yang tersilang di atas perutnya. Ethan bisa melihat jejak kepenatan di wajah pria itu. Mereka semua telah
Dalam sebuah ruangan megah yang dipenuhi pernak-pernik emas dan permadani mahal, Azrael berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan seorang pria muda berambut hitam legam dengan mata tajam berkilat. Leander, Pangeran Kedua Kerajaan Eldoria, mengenakan pakaian megah yang memancarkan aura kekuasaan. Wajahnya tampan, namun sorot matanya dingin dan penuh ketegasan. “Yang Mulia, ada hal mendesak yang perlu saya sampaikan,” Azrael memulai dengan nada hormat, tubuhnya sedikit membungkuk. Meski bibirnya tersenyum ramah, sorot matanya penuh kepuasan tersembunyi. Leander menatapnya dengan ketidaksabaran yang samar-samar, jarinya mengetuk sandaran kursi dengan irama teratur. “Bicaralah, Azrael. Jangan buang waktuku,” perintah Leander dengan suara rendah yang tajam. Ketika kata-kata itu terucap, alis Leander sedikit mengernyit, tanda kejengkelannya yang mulai muncul. Azrael menyeringai tipis, matanya berkilat penuh intrik. Ia menurunkan suaranya, seolah ingin menj
Di dalam ruang kerja megah keluarga Silvercrest, rak-rak buku tinggi menjulang penuh dengan buku-buku tua berlapis emas dan kulit mewah. Aroma kayu tua dan tinta memenuhi udara, menciptakan suasana serius dan penuh wibawa. Di sudut ruangan, api perapian berkobar hangat, namun hawa dingin dan tegang terasa menusuk hingga ke tulang. Pintu besar berlapis ukiran rumit terbuka perlahan, suara deritannya mengoyak keheningan. Azrael melangkah masuk dengan langkah mantap, setiap gerakannya dipenuhi percaya diri dan sikap penuh kemenangan. Senyum tipis terlukis di bibirnya yang pucat, tatapan matanya menyiratkan kepuasan licik. Lucien berdiri tegak di balik meja kerjanya, tangan-tangan kokohnya menggenggam erat tepi meja hingga buku-buku jarinya memutih. Cahaya api perapian memantulkan bayangan kelam pada wajahnya yang penuh ketegangan, mata merah menyala penuh amarah terarah pada sosok saudaranya yang berdiri dengan angkuh di ambang pintu. Hawa panas dari api yang berkob
Caine menggeliat pelan dari tempat duduknya, tubuhnya terasa pegal dan kaku setelah tertidur dalam posisi yang kurang nyaman. Suara kursi berderit pelan saat ia bergerak, menciptakan bunyi yang terdengar jelas di ruangan yang sunyi. Matanya perlahan membuka, mengerjap beberapa kali untuk mengusir kantuk, sementara cahaya pagi yang menyelinap dari balik jendela besar membuat matanya sedikit menyipit. Udara dingin menyentuh kulitnya, membawa aroma teh hangat yang samar namun menenangkan. Di depannya, Elian duduk tenang di tepi ranjang dengan secangkir teh hangat dalam genggamannya, uapnya masih mengepul. "Selamat pagi, Caine," sapa Elian dengan senyum lembut yang terasa begitu menenangkan, uap teh hangat masih mengepul di cangkirnya. Caine mengerjap lagi, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang masih tercecer. Matanya tertuju pada Elian yang tampak santai, kontras dengan kekhawatiran yang memenuhi pikirannya sejak kemarin. Pikirannya berusaha me
Suara detik jam terdengar jelas dalam kesunyian kamar Elian. Udara dingin menusuk, membuat api di perapian berkedip-kedip memancarkan cahaya keemasan yang samar. Elian duduk bersandar di ranjangnya, tatapannya fokus pada meja rendah di depannya yang penuh dengan kertas, peta, dan catatan tentang pergerakan Azrael dan kutukan yang menyebar. Ethan berdiri beberapa langkah di belakangnya, menjaga jarak namun selalu siap menerima perintah. Caine berdiri di sisi lain, sikapnya kaku dengan tangan terlipat di dada. “Aku ingin melihat korban yang masih sadar,” ucap Elian tiba-tiba, memecah kesunyian. Ethan dan Caine saling pandang sebelum Ethan membungkuk hormat. “Tuan Muda, apakah Anda yakin? Korban-korban itu sudah berada dalam tahap kutukan yang parah. Pangeran Pertama dan Tuan Ronan sudah mengamankan mereka dengan pengawasan ketat.” “Itu sebabnya aku harus melihat mereka langsung,” tegas Elian. “Aku ingin memahami apa yang kita hadapi.”
Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara
Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m
Malam mulai merayap pelan, membawa serta udara dingin dan bayangan panjang di lorong-lorong kediaman Silvercrest. Lentera-lentera mulai dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang temaram. Di antara pelayan yang lalu lalang, Ethan berjalan cepat, menyusuri koridor batu yang mulai sepi. Di tangannya ada nampan kecil berisi selembar catatan dari kepala keluarga Silvercrest. Hari ini Elian diharuskan hadir dalam makan malam keluarga. Dengan langkah ringan tapi hati-hati, Ethan sampai di depan pintu kamar tuannya. Ia mengetuk pelan, “Tuan muda, waktunya makan malam. Tuan Lucien ingin Anda hadir.” Ia sempat menunduk sebentar, mendengarkan. Biasanya, Elian menjawab walau hanya dengan dengusan pelan atau ucapan singkat dari balik pintu. Tapi kali ini… tidak ada. Dahi Ethan berkerut. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara gerakan, desahan napas, apa pun. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan. Ia menunggu beberapa detik, lalu ke
Sore itu datang pelan-pelan, menyusup melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara di kamar Elian terasa tenang, hampir terlalu tenang, seolah seluruh dunia sedang menunggu sesuatu. Ketenangan yang terasa mencekam. Lelah menyelimutinya seperti kabut, bukan karena aktivitas fisik yang berat, tapi karena pergulatan batin yang terus menghantui sejak hari-hari terakhir ini. Setiap keputusan yang diambil, setiap langkah yang diambil, rasanya semakin membawa dirinya lebih jauh dari kedamaian yang pernah dirasakannya. Ia duduk di ranjang, punggung bersandar ke sandaran kayu yang terasa keras dan dingin, membiarkan kepalanya terjatuh pelan ke belakang. Pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih redup dari biasanya, seolah seluruh ruangan ikut merasakan betapa hampa hatinya. Langit sore di luar seharusnya indah, berwarna oranye keemasan dengan awan yang menggumpal pelan, seperti lukisan yang bergerak. Tapi Elian terlalu letih untuk menikmatinya.
Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?
Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata
Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na
Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se