Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya.
"Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan. Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. Deng
Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat. Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh
Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup. Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah.“Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan.Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan.“Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau m
Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.“Ini belum selesai…”Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.“Siapa kau?” piki
Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.
Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu
Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan. Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. Deng
"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya. "Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe
Caelum berjalan menyusuri koridor istana yang cukup ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka menundukkan kepala dengan hormat saat melewatinya, tetapi ia tak terlalu memperhatikannya. Langkahnya tetap stabil, meskipun pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan. Beberapa waktu lalu, Gavier telah mengirim pesan kepada Pangeran Pertama untuk menyampaikan permintaan pertemuan. Tak butuh waktu lama bagi Kaelian untuk memberikan jawaban, ia setuju untuk makan siang bersama. Oleh karena itu, kini Caelum berjalan menuju taman pribadi milik kakaknya, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Ketika Caelum tiba, ia melihat sosok Kaelian duduk dengan tenang di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat. Sikapnya tetap seperti biasa tenang, penuh wibawa, tetapi memiliki aura yang tidak bisa diremehkan. "Apakah Kakak sudah menunggu lama?" tanya Caelum sambil mendekat. Kaelian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis sebel
Caine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya sedikit menyipit. Napasnya masih terasa berat, tetapi tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk tubuhnya seperti sebelumnya. Saat pikirannya mulai jernih, ingatan tentang pertempuran di perbatasan langsung menghantamnya. Serangan mendadak, pasukan Azrael dan Pangeran Kedua, penyelidikan tentang praktik sihir terlarang di desa terpencil… dan— Matanya melebar. Elian. Jantungnya berdegup cepat. Seingatnya, dia seharusnya sudah mati. Tubuhnya hampir hancur karena serangan mereka, tetapi… “Elian…” gumamnya pelan. Pintu tiba-tiba terbuka. Caine refleks menoleh dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu. Lucien Silvercrest. Tatapan pria itu tajam, seolah mampu menembus pikirannya. Tidak ada emosi berlebihan di wajahnya, tetapi auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sesak. Caine langsung berusaha bangkit,
Damien dengan hati-hati memindahkan tubuh Caine ke ranjang di sebelah Elian. Gerakannya perlahan, seolah takut melukai pemuda itu lebih jauh. Setelah memastikan posisi Caine nyaman, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajah Caine yang sebelumnya pucat seperti mayat kini tampak lebih baik seperti seseorang yang sedang tertidur, bukan lagi raga tanpa nyawa. Napasnya mulai stabil, dada tipisnya naik turun dalam ritme yang tenang. Damien menghela napas lega. "Dia pasti akan segera sadar," ucapnya pelan, seakan lebih meyakinkan dirinya sendiri. Setelah memastikan kondisi Caine, ia beralih ke Elian. Tubuh pemuda itu masih dingin, napasnya nyaris tak terdengar. Luka-luka di tubuhnya telah ditangani, tetapi wajahnya tetap pucat. Damien duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, seakan mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan sekecil apa pun. "Kau terlalu keras kepala untuk menyerah, bukan?" gumamnya lirih. Namun, Elian tetap diam. Ethan yang sejak
Tidak. Tidak. Tidak. Suara Elian bergetar, memantul di ruangan yang hening. Tangannya mengguncang tubuh Caine yang semakin dingin, seolah berharap itu bisa membangunkannya. Tapi Caine tetap diam. Napasnya tak ada. Dadanya tak lagi naik-turun. “Ah… tidak… tolong… Caine…” Tangisnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tangan Elian berusaha mencari denyut nadi di leher Caine, namun ia tak merasakan apa pun. Kepanikan merayapi seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat. Ethan, yang berdiri di dekatnya, perlahan meraih pergelangan tangan Caine, mencari denyut nadinya. Wajahnya menegang saat ia menyadari kebenarannya, Caine sudah tidak bernyawa. “Ethan, panggil Damien! Dia… dia pasti bisa menyembuhkannya! Sekarang juga!” Namun, Ethan tidak bergerak. Ia hanya berdiri di tempatnya, tatapannya redup dan penuh kesedihan. “Kenapa kau diam saja? Hei, ETHAN!” Elian berteriak, matanya membelalak dengan emosi yang meled
Caine bersama beberapa prajurit yang selamat berhasil menjauh dari desa itu dengan napas yang terengah-engah. Kakinya terasa begitu berat seolah seluruh energinya telah terserap habis. Tubuhnya nyaris tidak mampu lagi menapak tanah, dan pikirannya berkabut antara kenyataan dan ilusi. Sesekali, dia merasa darahnya tersedot perlahan dari tubuhnya, meninggalkannya dalam kehampaan yang semakin pekat. Beberapa prajurit di belakangnya tertatih-tatih, luka mereka menganga dan darah mengalir tanpa henti. Nafas mereka tersendat, tetapi mereka tetap berjalan, bertahan demi mencapai tempat yang aman. Seorang prajurit meminta izin untuk beristirahat. Awalnya, Caine menolak. Dia tahu mereka tidak memiliki banyak waktu. Jika mereka berhenti, mereka mungkin tidak akan sampai di tempat Elian dengan selamat. Tapi ketika melihat kondisi para prajurit yang semakin parah, dia tidak punya pilihan lain. "Baiklah," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Mereka memilih sebua
Caine berlari dengan napas terengah-engah, setiap tarikan udara terasa seperti pisau yang menyayat paru-parunya. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, membasahi pakaiannya yang robek, meninggalkan jejak samar di tanah. Tapi dia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tidak ketika maut terasa begitu dekat di belakangnya. Prajurit yang tersisa di sisinya juga dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka berhasil kabur dari tempat itu, tapi entah sihir apa yang terakhir kali mengenainya, tubuhnya terasa berat, seakan-akan ada rantai tak kasat mata yang mengekangnya. Kepalanya dipenuhi suara-suara aneh bisikan samar yang tidak bisa dia pahami, kadang terdengar seperti tawa sinis, kadang seperti jeritan putus asa. Pandangannya berbayang sesekali, membuatnya hampir tersandung beberapa kali. Sebuah kutukan, mungkin. Dan jika dia tidak segera menemui Elian, kutukan ini bisa membunuhnya sebelum musuh berhasil menangkapnya. Langit semakin gelap, dan bayangan malam seakan menga