Zain menarik kasar tangan Zara, membuat Zara merasa sangat kesal karenanya. Azhar yang melihatnya pun merasa sangat kesal, karena Zain yang bisa-bisanya berlaku kasar terhadap Zara.
Dengan cepatnya, Azhar menahan tangan Zain sehingga membuat Zain tak bisa berkutik. Mereka saling melempar pandangan kebencian, tak membiarkan masing-masing dari mereka melakukan apa pun.
"Lepaskan tangan Zara!" bentak Azhar, yang tidak bisa melihat Zara diperlakukan kasar seperti itu.
Zain memandangnya dengan sinis, "Apa pedulimu?"
"Aku sangat peduli dengannya!"
"Tapi aku sama sekali tidak peduli denganmu!" bentak Zain, membuat Azhar tak bisa berkutik.
Dengan kasar, Zain melepaskan tangan Azhar yang menahannya, membuatnya terlepas dari genggaman tangannya.
Mereka saling melempar pandangan kebencian, karena masing-masing dari mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Zara.
Zara yang melihat perseteruan antara mereka, menjadi sangat geram dengan sosok Zain.
"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan! Jangan macam-macam dengan Azhar, atau aku akan membencimu!" bentak Zara, sontak membuat Zain mendelik kaget mendengarnya.
"Apa maksudmu, Zara? Kau menggertak aku, demi seseorang yang bernama Azhar? Siapa dia, sampai bisa membuat posisiku terancam?"
Merasa tertantang, Zara yang masih setengah sadar segera memeluk lengan kiri Azhar.
"Dia pacarku!"
DEG!
Mendengar Zara mengatakan hal itu, sontak membuat Zain merasa kesal sendiri dengan keadaan.
'Beraninya dia merebut posisiku!' batin Zain, yang posisinya sudah sangat terancam.
Zara menarik lengan tangan Azhar, untuk menjauh dari hadapan Zain. Mereka pergi, tanpa sepatah kata lagi.
Kejadian itu masih teringat jelas di benak Zara, bahkan ketika ia sudah menghabiskan beberapa botol alkohol sekalipun.
Hal itu yang masih membuatnya kesal, karena kejadian itu memaksanya mengatakan hal yang tidak perlu ia katakan tentang Azhar.
"Kenapa aku bilang Azhar itu pacarku? Aku dan dia hanya sebatas teman yang saling memerlukan!" gumam Zara, lalu kembali menenggak gelas ke sekian yang sudah ia minum.
GLEK ... GLEK ... GLEK ....
Alkohol itu mengalir ke tenggorokan Zara, sampai tak terasa lagi rasa pahit dari alkohol tersebut.
Dari ujung pintu masuk, terlihat Zain yang sudah memperhitungkan keberadaan Zara. Ia sudah tahu, kalau Zara pasti akan kembali lagi ke tempat ini. Dengan cepat, ia pun menghampirinya dan segera menarik lengannya.
Hal itu sontak membuat Zara terkejut.
"Ada apa, sih?!" bentak Zara, yang masih belum sadar kalau itu adalah Zain.
"Kembali denganku, sekarang!"
Samar-samar masih terdengar suara yang tak asing di telinganya, yang tak lain adalah suara Zain. Zara berusaha mendelikkan matanya di hadapan Zain, walau ia sudah tidak bisa melihat secara jelas.
"Apa masalahmu?" Zara menantang keras Zain, karena ketidaksukaannya pada Zain.
"Jangan siksa dirimu seperti ini, Zara! Aku sangat peduli denganmu!"
Zara memutar bola matanya searah jarum jam, "Aku saja tidak peduli dengan diriku sendiri. Untuk apa kau memedulikan aku?"
Ucapan Zara menjadi tamparan keras bagi Zain, yang sudah sangat tidak bisa berkutik lagi.
Di tengah perbincangan mereka, seseorang bernama Azhar pun kembali muncul memandangi mereka dari kejauhan.
'Apa aku harus melakukannya?' batinnya bimbang.
Walaupun bimbang, Azhar tetap melangkah untuk berhadapan dengan Zain. Lagi dan lagi, Zain merasa sangat terusik dengan kehadiran Azhar di antara dirinya dan juga Zara.
Wajah Zain seketika menjadi merah padam, ketika melihat sosok Azhar di hadapannya.
"Mau apa lagi kau di sini?" tanya Zain dengan nada sinis menukik.
Azhar berusaha untuk tenang, "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Mau apa kau di sini bersama pacarku?" tanya balik Azhar, sontak membuat Zain semakin geram saja padanya.
"Jangan mengada-ada! Zara bukanlah pacarmu!"
"Kau sudah mendengarnya langsung dari Zara kemarin, bukan?"
Mata Zain semakin mendelik, "Aku tidak percaya dengan omong kosong kalian! Jangan membuat cerita yang tidak benar!"
"Aku tidak membuat cerita! Aku dan Zara memang berpacaran! Jangan pernah kau usik Zara lagi, atau kau akan mengetahui akibat dari perbuatanmu!" gertak Azhar, membuat Zain semakin geram saja mendengarnya.
Karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, Zain pun hanya bisa menunjuk kasar ke arah Azhar, lalu pergi dari hadapan mereka.
Situasi kembali kondusif, dengan Azhar yang sudah berhasil mengusir Zain dari sana.
Azhar memandang dalam ke arah Zara yang sudah hampir kehilangan kesadarannya, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Ya, tidak ada yang dia lakukan padaku."
Mendengar hal itu, Azhar menjadi sangat tenang. Namun, seketika perasaan tenang itu berubah menjadi keresahan. Airbud yang ia pakai pada telinganya, berbunyi dengan sangat jelas.
"Buat dia menjadi semabuk mungkin!"
Terdengar suara dari airbud yang ia gunakan, membuatnya merasa sangat bimbang dengan keadaan. Dalam lubuk hati yang terdalam, ia sama sekali tidak ingin melakukannya. Namun, keadaan memaksanya untuk melakukan hal yang diperintahkan oleh orang tersebut.
Rasa bersalah terus muncul dalam hatinya, tetapi keadaan yang sudah memaksanya untuk melakukan hal seperti ini.
'Maafkan aku, Zara. Kau sudah tidak bisa membantuku untuk membayar tagihan rumah sakit adikku lagi. Sekarang, aku jadi berbalik menyerang kamu, karena aku sangat membutuhkan uang. Percayalah, ini adalah perintah seseorang dan bukan keinginanku!' batin Azhar, yang sangat tidak tega melakukan hal yang akan ia lakukan pada Zara sesaat lagi.
"Azhar, temani aku minum! Aku ingin melampiaskan semuanya!" pinta Zara, yang memang menjadikan Azhar sebagai tempat ia menumpahkan perasaannya.
"Baiklah."
Karena sudah sesuai dengan apa yang menjadi rencananya, Azhar pun menurut dengan permintaan Zara. Ia menemani Zara untuk menenggak habis alkohol yang ada, dengan bertujuan untuk membuat Zara menjadi sangat mabuk.
Hal itu ia lakukan, agar bisa menjalankan rencana yang dibuat orang yang menyuruhnya melakukannya.
Ketika suasana sudah mulai tak terkendali, Azhar memeriksa dengan benar keadaan Zara. Ia memerhatikan sorot mata Zara, yang sepertinya sudah mulai kehilangan cahayanya. Sekarang, dapat dipastikan bahwa Zara sudah kehilangan kesadarannya.
"Zara," panggilnya, tetapi Zara sama sekali tidak meresponnya.
Zara sudah tertidur di atas meja bar, karena sudah kehilangan kesadarannya. Suatu hal yang sudah sangat sesuai dengan apa yang direncanakan mereka.
"Aku sudah menyiapkan sebuah ruangan. Kau bawalah dia ke sana!"
Suara itu terdengar lagi di telinga Azhar. Perintah selanjutnya yang akan Azhar jalani dari orang yang memonitor di belakang layar.
Mendadak hati Azhar menjadi goyah, saking tak bisanya ia berkhianat pada sahabatnya sendiri.
'Sudah banyak pertolongan yang kau berikan, tetapi aku sangat terdesak! Kalau bukan seperti ini, aku pasti tidak akan bisa membayar tagihan rumah sakit adikku! Maafkan aku, Zara!' batin Azhar yang sudah tidak bisa mengelak lagi dari takdir yang harus ia jalani.
"Cepat! Obat itu sudah bereaksi pada Zeo!"
Rencana yang sampai melibatkan Zeo, sungguh merupakan rencana keji yang hanya akan dilakukan oleh seseorang.Ya! Siapa lagi kalau bukan pasangan Yuki dan juga Ren. Mereka adalah dalang di balik rencana yang lebih kejam lagi dari sebelumnya.Belum puas mereka melihat bisnis keluarga Latulini hancur, sampai membuat pemimpinnya kehilangan nyawanya. Belum cukup puas, mereka juga bermain api pada Zara yang merupakan pewaris satu-satunya dari Latulini Group.Ren menyunggingkan senyumannya, "Biar pemimpin Abraham Group tahu, kelakuan busuk dari Latulini Group! Bukan hanya orang tuanya saja yang melakukan korupsi, tetapi putrinya bahkan berani tidur dengan putra dari pemimpin Abraham Group!"Mendengar ucapan Ren, Azhar hanya bisa menelan salivanya. Ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong temannya itu. Ia hanya bisa berpangku tangan dengan Ren dan juga Yuki, tentang biaya operasi untuk adiknya.Dengan tekad yang sudah bulat, Azhar memapah tubuh Zara ke tempat yang sudah disediakan oleh
Sinar matahari memaksa masuk ke dalam celah gorden, menyinari mata indah milik Zara. Perlahan Zara membuka matanya, kemudian tersadar dengan ruangan yang sama sekali berbeda dengan ruangan kamarnya.Pandangannya ia edarkan ke sekeliling ruangan, dan membulat seketika saat melihat Zeo yang bertelanjang dada di sebelah tempat ia tertidur.Pemandangan absurd ini membuatnya sangat terkejut, sampai pipinya memerah seketika."Ah!!" pekiknya yang sangat terkejut dengan pemandangan tersebut.Karena mendengar teriakan yang cukup keras, Zeo pun sampai terbangun dari tidurnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, sembari berusaha menyanggah kepalanya yang masih berat efek obat perangsang yang sengaja diberikan Ren padanya.Zeo menoleh ke arah Zara yang berada di sebelahnya, dengan pandangan yang sinis."Jangan berteriak di telingaku!" bentak Zeo kesal, saking sakitnya telinganya karena mendengar teriakan yang absurd dari Zara.Zara mendelikkan matanya, karena ia tak percaya ada sosok Zeo di sebe
Kabar burung tentang penangkapan Zara merebak seketika. Para staf berbondong-bondong mendemo perusahaan Latulini Group, tempat mereka sebelumnya bernaung. Namun apa daya, tidak ada yang bisa menjawab semua keluh-kesah mereka tentang pembayaran upah yang belum tuntas.Kedua pemimpin Latulini Group sudah tiada, dan pewarisnya pun sudah masuk ke dalam jeruji besi. Sia-sia belaka mereka melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Latulini Group. Tak ada yang bisa menampung aspirasi mereka, karena sudah tidak ada lagi cikal-bakal penerus Latulini Group.Zain yang melihat kerumunan aksi tersebut, hanya bisa menelan salivanya. Tak disangka, kehancuran Latulini Group akan menjadi separah ini."Untuk apa mereka melakukannya? Kenapa parah sekali yang mereka perbuat?" gumamnya, yang tak menyangka dengan apa yang para staf Latulini Group lakukan.Satu-satunya orang yang tidak terima penangkapan Zara, adalah Zain. Namun, pada saat hari di mana pengadilan itu berlangsung, Zain tidak tahu-menau dan b
Zain melangkah cepat menemui staf kepolisian yang ada di ruangannya. Butuh usaha besar untuk bisa sampai ke tempat staf tersebut, karena jarak lapas dan kantor staf yang cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.Zain sudah berhadapan dengan staf yang mengantarkannya menuju lapas Zara, dan ia memandangnya dengan sinis.Menyadari kedatangan Zain, staf tersebut pun segera bangkit dari tempatnya untuk menyamai tinggi Zain."Sudah selesai berkunjung, Tuan Muda? Cepat sekali? Padahal, masih ada sisa waktu 2 menit."Tak mau berbasa-basi, Zain menggebrak meja yang berada di antara mereka."Berikan aku catatan jaminan untuk kebebasan Latulini! Aku ingin dia bebas secepatnya!" ujarnya, sontak membuat para staf yang mendengar ucapannya mendelik terkejut karenanya."A-apa yang anda maksud, Tuan Muda?" tanya staf yang tak mengerti dengan maksud Zain.Mata Zain semakin menajam, "Aku ingin membayar jaminan kebebasan Zara Latulini! Kau tidak tuli, bukan?" bentaknya, sontak membuat para staf sema
Bayangan Zain terlihat dengan jelas, memantul pada kaca jendela mobilnya. Zara hanya bisa memandangnya dari pantulan kaca, karena ia tidak sanggup untuk melihat Zain yang begitu baik padanya.'Zain sudah begitu baik padaku, tetapi kenapa aku malah merasa tidak enak padanya?' batin Zara, yang tidak ingin merasa cuma-cuma menerima uluran tangan dari Zain."Zara, bisa kita bicara sebentar?" panggil Zain, Zara terkejut lalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk berbicara dengan Zain.Zara membalikkan tubuhnya ke arah Zain dan memandangnya, "Kau ingin kita membahas tentang apa?" tantang Zara, yang merasa hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membalas perlakuan baik Zain terhadapnya sekarang."Tentang kabar burung itu, apakah benar kau menjebak Zeo untuk melakukan hal yang tidak baik?" tanyanya.Zara sudah menduga, pertanyaan semacam ini pasti akan terlontar dari mulut Zain."Tidak, semua itu tidak benar."Zain mendelik bingung, "Walau tidak benar, apakah kau dan Zeo sudah ...." Ia tak sanggu
Hari sudah semakin sore, Zain sudah selesai melakukan tugasnya dengan baik dan benar.Zara mengantarkannya sampai depan pintu rumah. Melihat Zain yang ada di hadapannya, ternyata cukup membuat hati Zara menjadi tidak keruan.'Dia sebenarnya baik, tetapi aku tidak bisa terus berada di sisinya. Aku harus pergi, aku tidak bisa bersama dengan orang sebaik dirinya,' batin Zara yang sudah tidak mau memikirkan tentang perasaannya lagi terhadap Zain.Walaupun berat, Zara pasti akan melakukannya sebisa yang ia mampu.Pandangan mereka saling bertemu, membuat Zain merasa tidak ingin meninggalkan Zara sendiri di sini."Apa kau butuh sesuatu?" tanya Zain sebelum pergi dari hadapan Zara.Zara menggeleng kecil, "Tidak. Pulanglah sebelum malam tiba."Karena sudah merasa terusir, Zain pun memakai jas hitamnya dan langsung berbalik dari hadapan Zara."Gunakan telepon genggam yang ada di atas meja kamar. Aku sudah persiapkan khusus untukmu, jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa hubungi aku," ucapnya tan
Zain sudah sampai di kota tempat kediamannya. Karena sudah terlanjur tersulut dengan apa yang dikatakan Zara tentang Azhar, Zain pun bergegas mencari keberadaan Azhar.Belum sempat beristirahat dan belum sempat kembali ke rumah, Zain langsung pergi mencari apartemen yang Azhar tempati. Dengan berbekal informasi dari orang yang ia percaya, ia bergegas menuju ke lokasi yang sudah diinformasikan rekannya itu.'Mau macam-macam dengan Zara? Kekasih macam apa dia?' batin Zain, yang tak terima dengan apa yang Zain lakukan pada Zara.Mobilnya sudah terparkir rapi di basement apartemen, tempat Azhar tinggal. Ia bergegas melangkah menuju ruangan kamar pada lantai yang sudah diinformasikan, dengan langkah yang jenjang.Zain dengan cepat mencapai lift, kemudian menekan angka 10 pada tombol yang berada di sebelah kiri pintu masuk lift. Pintu tertutup, Zain pun menunggu lift sampai pada tempat tujuannya.Amarahnya sudah meledak-ledak, ia bahkan tidak sanggup jika harus menahannya lagi kali ini.'Ji
Suasana menjadi nampak tegang, karena tidak ada yang mengeluarkan suara selain sang Kakek. Orang yang dituakan di keluarga ini, dan orang yang sangat dihormati mereka.Mata Kakek semakin menajam menatap ke arah Zain, "Kenapa aku tidak melihatmu di kantor Abraham Group, sore ini?" tanya Kakek lagi, semakin membuat Zain merasa gugup.Memang, setelah jam makan siang Zain sudah meluncur menuju ke Latulini Group. Kemudian, ia bergegas untuk menuju ke arah lapas tempat Zara ditahan. Ia tidak mengetahui kalau kakeknya akan datang sore ini, sehingga ia langsung pergi ketika pekerjaannya selesai."Aku pergi ke tempat sahabatku, Kek.""Ke tempat sahabatmu? Siapa sahabatmu?" bidik Kakeknya, membuat Zain semakin takut untuk menjawabnya.Zeo yang melihat kelakuan sepupunya itu, menjadi sangat muak dengan dirinya.'Beraninya dia hanya diam ketika ditanya Kakek,' batin Zeo, yang merasa Zain tidak memiliki adab ketika berhadapan dengan Kakek mereka."Aku sudah tahu semua yang kau lakukan hari ini. Ja
Karena sudah menyetujui apa yang Zeo inginkan, Zara pun akhirnya berkemas untuk segera tinggal di kediaman keluarga Abraham. Tentu saja bersama dengan Nara. Namun, Zara hanya memiliki waktu selama 2 bulan, untuk kemudian meninggalkan Nara sendiri dengan di bawah asuhan keluarga Abraham.Keesokan harinya, asisten pribadi Zeo kembali ke kediaman Zara di pinggir kota. Ia menjemput mereka, untuk segera menuju ke kediaman keluarga Abraham."Silakan masuk, Nona," ucap sang asisten.Zara mengangguk kecil, kemudian menggandeng tangan Nara untuk masuk ke dalam mobil tersebut.Nara hanya bisa mengikuti Zara, walaupun sebenarnya ia sangat penasaran mau pergi ke mana mereka sebenarnya.Sepanjang jalan, Nara melihat-lihat pemandangan di sekitar mereka. Ini adalah pertama kalinya Nara naik ke dalam mobil, yang terlihat sangat mewah. Biasanya, Zara membawa Nara menggunakan bus umum yang melintas melewati kediaman mereka."Ini pertama kalinya aku naik mobil semewah ini," batin Nara yang sangat senang
Nyonya Erracs memandang kedatangan Zeo dengan tidak percaya. "Bagaimana mungkin anak kecil ini adalah putramu?" tanyanya dengan nada yang sangat mengejek.Dio pun memandangnya dengan sinis. "Benar sekali! Nara Latulini tidak punya Ayah! Dia bajingan!" teriaknya yang benar-benar sangat membenci Nara.PLAK!Tanpa pikir panjang, Tuan Erracs menampar putranya dengan spontan, sampai putranya terhempas ke atas lantai. Ia memandang Ayahnya dengan sangat tidak percaya, karena Ayahnya yang telah melakukan hal itu padanya."Kenapa ayah menamparku?" tanyanya tak terima dengan perlakuan Ayahnya kepadanya.Wajah Tuan Erracs mendadak berubah, menjadi sangat sinis kepada putranya. "Beraninya kau membuat keributan di hadapan Tuan Muda Abraham!" bentaknya, putranya sama sekali tidak mengetahui apa yang dimaksud dirinya.Tuan Erracs tersenyum tak enak di hadapan Zeo. "Maaf sudah mempermalukan diri kami di hadapan anda, Presdir Zeo!" ucapnya tak enak.Zeo menyunggingkan senyumnya di hadapannya. "Nampakn
Nara kembali sadar atas kelakuannya. "Aku minta maaf, Ibu. Aku tidak akan melakukannya lagi," ujarnya, membuat Zara lekas membalikkan tubuhnya dan memeluk Nara dengan erat."Ibu minta maaf, Nara," ujarnya dengan air mata yang tidak bisa tertahan."Aku hampir saja lupa. Meskipun aku bisa menghidupinya, tetapi aku tidak bisa memberikan keluarga yang lengkap untuknya," batin Zara yang merasa sangat sedih memikirkannya.Suara langkah kaki yang sangat angkuh, terdengar dari arah luar rumah mereka. Nara sangat waspada, karena hanya ia yang bisa melindungi ibunya, walaupun ia masih sangat muda.BRAK!Orang angkuh itu membuka dengan kasar pintu rumah kediaman Zara. Mereka berdiri dengan sinis, di hadapan Zara dan juga Nara.Dio dan orang tuanya datang ke kediaman Zara. Mereka sangat tidak terima, ketika putra kesayangan mereka dipukuli oleh Nara.Dio menunjuk dengan kasar ke arah Nara. "Dia yang telah memukulku!" ujarnya dengan sinis, membuat Nara juga memandangnya dengan sinis.Melihat ada p
Saat ini di kantin Taman Kanak-kanak Imperial, terlihat dua anak perempuan sedang berusaha mendekati seorang anak lelaki yang sudah lebih dulu mengantre makanan di hadapan mereka.Mereka membawa tempat makan mereka, dan berusaha untuk berdiri di belakang anak lelaki yang tampan itu."Nara, aku ingin berdiri di belakangmu!" ujar salah satu dari mereka yang lebih dulu berdiri di belakang Nara, anak laki-laki yang tampan itu."Tidak, Nara adalah milikku! Aku yang harus berdiri di belakangnya!" protes teman sebelahnya, yang sangat posesif dengan Nara.Padahal, mereka masih berumur 6 tahun, tetapi mereka sudah bisa merasakan ketertarikan terhadap lawan jenisnya sendiri.Nara hanya bisa memandangnya dengan senyuman manis, dengan dua orang gadis itu yang terus memperebutkan posisi berdiri di dekat Nara.Seorang anak lelaki yang berdiri di belakang dua gadis ini, merasa sangat kesal karena kedua gadis ini yang selalu memperebutkan Nara, dan selalu mengidolakan sosok Nara. Hal itu sangat membu
Zeo menghela napasnya, karena tidak bisa lagi membantah ucapan nenek tua itu."Baiklah, Nek."Neneknya nampak tersenyum. "Kau harus baik padanya, karena Nenek lihat dia sangat baik padamu dan juga pada Nenek. Dia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah, untuk memberikan Nenek oleh-oleh dari Amerika. Bukankah dia sangat baik? Dia juga membelikanmu sebuah oleh-oleh khusus," ujarnya yang selalu mengangkat derajat Lily di hadapan Zeo.Lily yang mendengarnya, hanya bisa tersenyum di hadapan Zeo. Ia merasa tidak buruk juga untuk mendekati keluarganya lebih dulu, sebelum mendekati orang yang ia incar.Zeo memandang Lily ketus. "Aku tidak butuh oleh-oleh," ketusnya, sontak membuat neneknya bingung karena tidak mendengar sepenuhnya ucapan Zeo, sementara Lily hanya bisa memandangnya dengan sendu."Kau bilang apa tadi, Zeo?" tanya sang Nenek."Tidak. Aku sedang ada pekerjaan lain, Nek. Aku akan menemaninya ketika sudah selesai dengan pekerjaanku," ujar Zeo, setidaknya membuat neneknya sedikit se
Seorang wanita cantik bertubuh aduhai, mendatangi kantor Zeo dengan sangat berani. Langkahnya sangat jenjang, seperti sudah biasa mendatangi tempat ini.Ia menuju ke arah resepsionis. Resepsionis tersebut menyadari kedatangan wanita ini, dan segera menutup buku yang sedang ia teliti."Ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa sang resepsionis dengan sangat sopan, ditambah senyuman di wajahnya.Wanita ini membenarkan kacamata hitam yang ia kenakan. "Aku ingin bertemu Zeo," ujarnya."Oh, direktur Zeo sedang melakukan pertemuan dengan Anchor Grup, Nona. Anda bisa menunggu di ruang tunggu, sampai pertemuan itu selesai," ujarnya, membuat wanita ini sedikit kesal mendengarnya.Wanita ini menurunkan kacamatanya dan menatap sinis ke arah resepsionis itu. "Belum pernah ada yang menolakku!" bentaknya dengan tegas, sang resepsionis mendadak ketakutan karena ekspresi yang dikeluarkan wanita ini.Dengan tubuh yang gemetar, sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Zeo. "Se-sebelah sini, Nona."Wanita
Tubuhnya seketika gemetar, air matanya mengalir dengan derasnya tanpa ada dekat, karena tak percaya dengan hasil pemeriksaan."Bodohnya aku, kenapa aku sampai tidak tahu hal seperti ini? Aku tidak tahu alat apa ini, dan tidak bisa menggunakannya. Ketika aku sadar bahwa ini adalah alat untuk memeriksa kehamilan, aku baru tersadar kalau ternyata diriku tengah mengandung anak dari orang yang sama sekali tidak aku inginkan!" gumamnya, meratapi pengetahuannya yang sangat terbatas.Karena kesibukan orang tuanya, hal-hal semacam ini sama sekali tidak pernah diajarkan oleh orang tuanya. Mereka tidak sempat memberikan edukasi, mengenai hal-hal yang menyangkut kehamilan."Bukankah kami hanya satu kali melakukannya? Mengapa bisa sampai hamil seperti ini? Apa yang salah? Kenapa bisa sampai secepat ini?" Zara masih tidak bisa menerima takdirnya.TOK ... TOK ... TOK ....Terdengar suara ketukan pintu, membuat Zara menghentikan ucapan dan juga tangisannya. Ia tidak ingin siapa pun mengetahui permasa
Beberapa waktu menunggu, bus yang ditunggu Zara pun tiba. Ia bergegas masuk ke dalamnya, dengan Ren yang segera membuntuti bus itu dari belakang.Zara naik ke atasnya dan duduk pada kursi yang tersedia. Waktu yang ia perlukan untuk bisa sampai ke tempat tujuan adalah sekitar setengah jam.Tidak ada kemacetan lalu lintas di tempatnya ini. Hanya ada hutan dan pepohonan yang terlihat di pinggir kiri dan kanan jalanan menuju ke arah pinggir kota.Zara sangat menikmati pemandangan dari jendela bus tersebut. Ia memandangi pohon yang hijau, membuat rasa sakit kepalanya sedikit hilang karenanya."Apa ini adalah gejala stres? Kenapa ketika melihat tanaman dan pepohonan hijau, aku merasa sangat tenang?" batin Zara, yang merasa sangat tenang melihat pepohonan tersebut.Setengah jam sudah berlalu, bus yang mengantarkan Zara akhirnya tiba di pinggir kota dekat kediamannya. Bus itu berhenti tepat di tempat pemberhentian bus pada pinggir kota. Selebihnya, Zara biasa berjalan kaki untuk membeli bahan
Tatapannya berubah menajam, logikanya kembali lagi pada pikirannya."Apa yang salah? Setelah di Italia pun, aku masih bisa menghubunginya. Apa yang membuatmu merasa begitu sedih?" gumamnya yang merasa sangat bingung dengan kelakuan anehnya itu.Pesawat itu pun segera lepas landas, membawa Zain menuju ke negara yang ingin ia tuju. Sementara itu Zara hanya bisa cemas, karena ia sama sekali tidak bisa menghubungi Zain."Dia tidak bisa dihubungi. Apa dia sedang menuju ke Italia sekarang? Aku berharap, perjalanannya lancar sampai ke tempat tujuan."Zara hanya bisa berharap, sesuatu yang buruk tidak akan terjadi pada Zain saat dalam perjalanan menuju Italia.***Satu bulan berlalu setelah kepergian Zain ke Italia. Tak ada sedikit pun komunikasi yang terjalin antara Zain dan juga Zara. Hal itu karena Zara sama sekali tidak ingin membuat Zain merasa kesulitan lagi.Zara menyadari karena dirinya, Zain mendapatkan hukuman yang ia jalani saat ini.Kepergian Zain ke Italia sudah membuktikan bahwa