Tuuut ... tuuut ....
Sambungan telepon mereka terputus, setelah mendengar suara benturan yang sangat keras. Hal itu membuat Zara merasa sangat kaget ketika mendengar suara yang begitu keras, seperti sedang menghantam benda keras lainnya.
TES!
Seketika air mata Zara menetes dengan derasnya, walau tanpa ia sadari. Walaupun ia tidak mengetahui dengan jelas, tetapi firasatnya mengenai kedua orang tuanya sangatlah tajam.
BRUK!
Barang belanjaan yang sedang ia pegang, mendadak jatuh tercecer ke atas lantai. Barang-barang bermerk yang selalu ia beli ketika ada edisi terbaru, terasa tak berarti lagi saat ini.
Tak hanya barang-barang belanjaannya yang terjatuh, tetapi juga handphone dan dirinya yang ikut tertunduk lemas karenanya.
Semua orang memandang ke arahnya dengan bingung, tetapi sama sekali tidak ada yang berani mendekat ke arahnya yang terlihat sudah sangat hancur saat ini.
"Kenapa harus terjadi denganku?" gumam Zara, yang merasa sangat kesal dengan berita duka ini.
Bukan hanya bisnisnya dan hubungan asmaranya saja yang direnggut, tetapi nyawa kedua orang tuanya pun direnggut takdir.
Yang ada di pikiran Zara hanyalah kehancuran. Bisa saja mereka selamat dari maut yang terjadi.
Dengan sangat kencang, Zara meremas rambut blonde miliknya itu, sampai beberapa helai tercabut saking kencangnya ia meremas rambutnya sendiri. Ia sudah sangat hancur, dan tak bisa melakukan apa pun lagi.
Handphone-nya kembali berdering, dengan lemas Zara pun mengambilnya dan menerima panggilan tersebut.
"Halo," sapanya dengan nada yang lemas.
"Halo, kami dari kepolisian setempat. Apa benar ini Nona Zara Latulini?"
"Ya, saya sendiri."
"Kami menemukan kedua orang tua anda yang mengalami kecelakaan, tepat di pusat kota. Ketika lampu dalam keadaan merah, mereka menerobos lampu merah sehingga membuat adu banteng terjadi. Nyawa mereka ... sudah tidak terselamatkan, dan tewas di tempat dengan keadaan mobil terbakar."
Sakit hati Zara mendengar penjelasan dari polisi yang saat ini bertugas mengamankan lalu lintas.
"Gimana anda tahu nomor telepon saya?" tanya Zara penasaran, karena ia selalu mengganti nomor teleponnya secara berkala, demi menghindari orang yang selalu menerornya.
"Handphone Nyonya Latulini terlempar keluar, sebelum mobil meledak. Saya yang melihatnya, segera mengambilnya dan mengetahui kalau ini adalah Nyonya Latulini."
Zara berpikir sejenak, 'Tak heran juga.'
Tak mau banyak berbincang dengan orang lain, Zara pun mengambil sikap tegas.
"Baiklah, saya akan segera ke sana."
***
Usai mengurus pemakaman kedua orang tuanya, hari-hari Zara terasa sangat membosankan. Tak ada lagi hal yang bisa ia lakukan, selain melepaskan semua kekacauan di hatinya dengan menenggak beberapa botol alkohol.
Sudah satu minggu sejak kepergian mereka. Kini, sisa tabungan Zara pun sudah menipis, tetapi ia masih saja menghamburkan uangnya untuk melepaskan masalah yang ia derita.
Selama seminggu ini, Zain yang merupakan anak dari Yuki dan Ren, selalu mengganggu ketenangan hati Zara. Ia selalu menemui Zara, sampai Zara merasa sangat risih dengannya.
GLEK!
Zara menenggak habis dengan satu kali tenggak, segelas alkohol yang ia pegang. Saat ini, ia sedang berada di salah satu bar favorit tempat ia menghabiskan waktu bersama dengan salah seorang temannya yang bernama Azhar.
Azhar, lelaki yang sudah dianggap sebagai sahabat oleh Zara, yang selalu menemani Zara apa pun keadaannya. Tak jarang Zara juga memberikan bantuan kepadanya berupa uang, untuk menambah biaya pengobatan adiknya yang sedang sakit.
Azhar juga merupakan tempat pelampiasannya, ketika Zara sedang putus cinta dengan Zain. Zara mengaku sudah berpacaran dengan Azhar, sehingga membuat Zain murka dengannya.
Hal itu semata-mata hanya untuk membuat Zain membencinya. Karena campur tangan kedua orang tua Zain, membuat Zara merasa sangat tidak nyaman menjalani asmara bersama dengan Zain.
Zara memandang gelas yang sudah kosong, dengan pandangan yang hampir kabur. Sudah banyak botol kosong berserakan, dan kesadarannya sudah hampir hilang seiring berjalannya waktu.
"Kenapa ini semua terjadi padaku? Apa salahku?" gumam Zara, yang masih menangisi kepergian kedua orang tuanya dan juga hancurnya hidupnya saat ini.
Masih teringat jelas Zain yang datang menemuinya kemarin malam. Kata-katanya pun masih terngiang di pikiran Zara, hanya menambah rasa kesal dan kesengsaraan yang ia derita saja.
Malam itu, Zara sedang dituntun oleh Azhar dan berjalan menyusuri jalanan kota. Cuaca yang dingin, membuat Azhar merasa iba dengan Zara yang sama sekali tidak memakai baju hangat.
"Apa kau memerlukan baju hangat?" tanya Azhar, tetapi kondisi Zara yang setengah sadar tidak menghiraukan pertanyaan Azhar.
Mereka menyusuri jalan, karena Azhar yang sama sekali tidak bisa menyetir mobil milik Zara. Alhasil mereka meninggalkan mobil Zara di bar tersebut, dan berjalan pulang menuju ke rumah Zara.
Dari ujung jalan sana, datanglah sebuah mobil berwarna hitam, dengan merk BMW seri terbaru. Di dalamnya ada Zain yang sudah menatap sinis ke arah Azhar, membuat Azhar merasa sedikit terkejut karena kedatangannya.
Mobil itu berhenti tepat di hadapan Azhar yang sedang memapah Zara. Seorang lelaki bernama Zain keluar dari dalam mobil tersebut, dan berdiri sembari menatap Azhar dengan sinis.
"Lepaskan Zara!" bentak Zain, yang tak terima dengan apa yang ia lihat di hadapannya.
Zara yang masih setengah sadar, memandang sinis ke arah Zain yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
"Kau mau apa lagi, hah? Bukankah hubungan kita sudah lama berakhir?" bentak Zara, Azhar hanya bisa memandang mereka saja.
"Zara, kembalilah padaku! Aku berjanji, aku tidak akan mempersulitmu lagi setelah ini!"
Zara hanya bisa tertawa dengan lepasnya, karena mendengar hal yang sama sekali tidak bisa ia terima.
Keningnya mengerut, "Aku berbicara serius, Zara! Jangan mempermainkanku!" bentak Zain, yang tak ingin dipermainkan oleh Zara.
Mendengar perkataan Zain, Zara lalu memandangnya dengan sinis.
"Bukankah kau yang telah mempermainkan aku? Kenapa sekarang kau yang menuduhku telah mempermainkanmu?"
Suasana memanas, dengan Azhar yang benar-benar tidak bisa berbuat apa pun di hadapan mereka yang sama-sama sedang tersulut emosi.
"Aku begini karena ibuku, Zara! Jangan membuatku kesal karena kesalahan yang bukan merupakan salahku!"
Zara mendelikkan matanya dengan tajam, "Apa katamu? Bukan salahmu? Lantas salah siapa? Apa ini semua salah dan kemauanku?"
"Bukan seperti itu Za--"
"Lantas seperti apa, Zain?!" pangkas Zara, yang sangat tidak senang mendengar yang Zain katakan padanya.
Seketika suasana menjadi hening, ketika Zara berhasil memangkas bantahan Zain. Keringat dingin sudah mulai mengucur dari kening Zain, karena di saat mabuk pun ia tidak bisa memenangkan hati Zara kembali.
'Mungkin memang tiada tempat bagiku lagi di hatinya,' batin Zain, yang merasa sudah berada di batasnya.
Namun, karena rasa cintanya terhadap Zara, Zain tentu saja tidak menyerah semudah itu.
Zain menarik kasar tangan Zara, membuat Zara merasa sangat kesal karenanya. Azhar yang melihatnya pun merasa sangat kesal, karena Zain yang bisa-bisanya berlaku kasar terhadap Zara.Dengan cepatnya, Azhar menahan tangan Zain sehingga membuat Zain tak bisa berkutik. Mereka saling melempar pandangan kebencian, tak membiarkan masing-masing dari mereka melakukan apa pun."Lepaskan tangan Zara!" bentak Azhar, yang tidak bisa melihat Zara diperlakukan kasar seperti itu.Zain memandangnya dengan sinis, "Apa pedulimu?""Aku sangat peduli dengannya!""Tapi aku sama sekali tidak peduli denganmu!" bentak Zain, membuat Azhar tak bisa berkutik.Dengan kasar, Zain melepaskan tangan Azhar yang menahannya, membuatnya terlepas dari genggaman tangannya.Mereka saling melempar pandangan kebencian, karena masing-masing dari mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Zara.Zara yang melihat perseteruan antara mereka, menjadi sangat geram dengan sosok Zain."Aku tidak tahu apa yang kau inginkan! Jangan mac
Rencana yang sampai melibatkan Zeo, sungguh merupakan rencana keji yang hanya akan dilakukan oleh seseorang.Ya! Siapa lagi kalau bukan pasangan Yuki dan juga Ren. Mereka adalah dalang di balik rencana yang lebih kejam lagi dari sebelumnya.Belum puas mereka melihat bisnis keluarga Latulini hancur, sampai membuat pemimpinnya kehilangan nyawanya. Belum cukup puas, mereka juga bermain api pada Zara yang merupakan pewaris satu-satunya dari Latulini Group.Ren menyunggingkan senyumannya, "Biar pemimpin Abraham Group tahu, kelakuan busuk dari Latulini Group! Bukan hanya orang tuanya saja yang melakukan korupsi, tetapi putrinya bahkan berani tidur dengan putra dari pemimpin Abraham Group!"Mendengar ucapan Ren, Azhar hanya bisa menelan salivanya. Ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong temannya itu. Ia hanya bisa berpangku tangan dengan Ren dan juga Yuki, tentang biaya operasi untuk adiknya.Dengan tekad yang sudah bulat, Azhar memapah tubuh Zara ke tempat yang sudah disediakan oleh
Sinar matahari memaksa masuk ke dalam celah gorden, menyinari mata indah milik Zara. Perlahan Zara membuka matanya, kemudian tersadar dengan ruangan yang sama sekali berbeda dengan ruangan kamarnya.Pandangannya ia edarkan ke sekeliling ruangan, dan membulat seketika saat melihat Zeo yang bertelanjang dada di sebelah tempat ia tertidur.Pemandangan absurd ini membuatnya sangat terkejut, sampai pipinya memerah seketika."Ah!!" pekiknya yang sangat terkejut dengan pemandangan tersebut.Karena mendengar teriakan yang cukup keras, Zeo pun sampai terbangun dari tidurnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, sembari berusaha menyanggah kepalanya yang masih berat efek obat perangsang yang sengaja diberikan Ren padanya.Zeo menoleh ke arah Zara yang berada di sebelahnya, dengan pandangan yang sinis."Jangan berteriak di telingaku!" bentak Zeo kesal, saking sakitnya telinganya karena mendengar teriakan yang absurd dari Zara.Zara mendelikkan matanya, karena ia tak percaya ada sosok Zeo di sebe
Kabar burung tentang penangkapan Zara merebak seketika. Para staf berbondong-bondong mendemo perusahaan Latulini Group, tempat mereka sebelumnya bernaung. Namun apa daya, tidak ada yang bisa menjawab semua keluh-kesah mereka tentang pembayaran upah yang belum tuntas.Kedua pemimpin Latulini Group sudah tiada, dan pewarisnya pun sudah masuk ke dalam jeruji besi. Sia-sia belaka mereka melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Latulini Group. Tak ada yang bisa menampung aspirasi mereka, karena sudah tidak ada lagi cikal-bakal penerus Latulini Group.Zain yang melihat kerumunan aksi tersebut, hanya bisa menelan salivanya. Tak disangka, kehancuran Latulini Group akan menjadi separah ini."Untuk apa mereka melakukannya? Kenapa parah sekali yang mereka perbuat?" gumamnya, yang tak menyangka dengan apa yang para staf Latulini Group lakukan.Satu-satunya orang yang tidak terima penangkapan Zara, adalah Zain. Namun, pada saat hari di mana pengadilan itu berlangsung, Zain tidak tahu-menau dan b
Zain melangkah cepat menemui staf kepolisian yang ada di ruangannya. Butuh usaha besar untuk bisa sampai ke tempat staf tersebut, karena jarak lapas dan kantor staf yang cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.Zain sudah berhadapan dengan staf yang mengantarkannya menuju lapas Zara, dan ia memandangnya dengan sinis.Menyadari kedatangan Zain, staf tersebut pun segera bangkit dari tempatnya untuk menyamai tinggi Zain."Sudah selesai berkunjung, Tuan Muda? Cepat sekali? Padahal, masih ada sisa waktu 2 menit."Tak mau berbasa-basi, Zain menggebrak meja yang berada di antara mereka."Berikan aku catatan jaminan untuk kebebasan Latulini! Aku ingin dia bebas secepatnya!" ujarnya, sontak membuat para staf yang mendengar ucapannya mendelik terkejut karenanya."A-apa yang anda maksud, Tuan Muda?" tanya staf yang tak mengerti dengan maksud Zain.Mata Zain semakin menajam, "Aku ingin membayar jaminan kebebasan Zara Latulini! Kau tidak tuli, bukan?" bentaknya, sontak membuat para staf sema
Bayangan Zain terlihat dengan jelas, memantul pada kaca jendela mobilnya. Zara hanya bisa memandangnya dari pantulan kaca, karena ia tidak sanggup untuk melihat Zain yang begitu baik padanya.'Zain sudah begitu baik padaku, tetapi kenapa aku malah merasa tidak enak padanya?' batin Zara, yang tidak ingin merasa cuma-cuma menerima uluran tangan dari Zain."Zara, bisa kita bicara sebentar?" panggil Zain, Zara terkejut lalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk berbicara dengan Zain.Zara membalikkan tubuhnya ke arah Zain dan memandangnya, "Kau ingin kita membahas tentang apa?" tantang Zara, yang merasa hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membalas perlakuan baik Zain terhadapnya sekarang."Tentang kabar burung itu, apakah benar kau menjebak Zeo untuk melakukan hal yang tidak baik?" tanyanya.Zara sudah menduga, pertanyaan semacam ini pasti akan terlontar dari mulut Zain."Tidak, semua itu tidak benar."Zain mendelik bingung, "Walau tidak benar, apakah kau dan Zeo sudah ...." Ia tak sanggu
Hari sudah semakin sore, Zain sudah selesai melakukan tugasnya dengan baik dan benar.Zara mengantarkannya sampai depan pintu rumah. Melihat Zain yang ada di hadapannya, ternyata cukup membuat hati Zara menjadi tidak keruan.'Dia sebenarnya baik, tetapi aku tidak bisa terus berada di sisinya. Aku harus pergi, aku tidak bisa bersama dengan orang sebaik dirinya,' batin Zara yang sudah tidak mau memikirkan tentang perasaannya lagi terhadap Zain.Walaupun berat, Zara pasti akan melakukannya sebisa yang ia mampu.Pandangan mereka saling bertemu, membuat Zain merasa tidak ingin meninggalkan Zara sendiri di sini."Apa kau butuh sesuatu?" tanya Zain sebelum pergi dari hadapan Zara.Zara menggeleng kecil, "Tidak. Pulanglah sebelum malam tiba."Karena sudah merasa terusir, Zain pun memakai jas hitamnya dan langsung berbalik dari hadapan Zara."Gunakan telepon genggam yang ada di atas meja kamar. Aku sudah persiapkan khusus untukmu, jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa hubungi aku," ucapnya tan
Zain sudah sampai di kota tempat kediamannya. Karena sudah terlanjur tersulut dengan apa yang dikatakan Zara tentang Azhar, Zain pun bergegas mencari keberadaan Azhar.Belum sempat beristirahat dan belum sempat kembali ke rumah, Zain langsung pergi mencari apartemen yang Azhar tempati. Dengan berbekal informasi dari orang yang ia percaya, ia bergegas menuju ke lokasi yang sudah diinformasikan rekannya itu.'Mau macam-macam dengan Zara? Kekasih macam apa dia?' batin Zain, yang tak terima dengan apa yang Zain lakukan pada Zara.Mobilnya sudah terparkir rapi di basement apartemen, tempat Azhar tinggal. Ia bergegas melangkah menuju ruangan kamar pada lantai yang sudah diinformasikan, dengan langkah yang jenjang.Zain dengan cepat mencapai lift, kemudian menekan angka 10 pada tombol yang berada di sebelah kiri pintu masuk lift. Pintu tertutup, Zain pun menunggu lift sampai pada tempat tujuannya.Amarahnya sudah meledak-ledak, ia bahkan tidak sanggup jika harus menahannya lagi kali ini.'Ji
Karena sudah menyetujui apa yang Zeo inginkan, Zara pun akhirnya berkemas untuk segera tinggal di kediaman keluarga Abraham. Tentu saja bersama dengan Nara. Namun, Zara hanya memiliki waktu selama 2 bulan, untuk kemudian meninggalkan Nara sendiri dengan di bawah asuhan keluarga Abraham.Keesokan harinya, asisten pribadi Zeo kembali ke kediaman Zara di pinggir kota. Ia menjemput mereka, untuk segera menuju ke kediaman keluarga Abraham."Silakan masuk, Nona," ucap sang asisten.Zara mengangguk kecil, kemudian menggandeng tangan Nara untuk masuk ke dalam mobil tersebut.Nara hanya bisa mengikuti Zara, walaupun sebenarnya ia sangat penasaran mau pergi ke mana mereka sebenarnya.Sepanjang jalan, Nara melihat-lihat pemandangan di sekitar mereka. Ini adalah pertama kalinya Nara naik ke dalam mobil, yang terlihat sangat mewah. Biasanya, Zara membawa Nara menggunakan bus umum yang melintas melewati kediaman mereka."Ini pertama kalinya aku naik mobil semewah ini," batin Nara yang sangat senang
Nyonya Erracs memandang kedatangan Zeo dengan tidak percaya. "Bagaimana mungkin anak kecil ini adalah putramu?" tanyanya dengan nada yang sangat mengejek.Dio pun memandangnya dengan sinis. "Benar sekali! Nara Latulini tidak punya Ayah! Dia bajingan!" teriaknya yang benar-benar sangat membenci Nara.PLAK!Tanpa pikir panjang, Tuan Erracs menampar putranya dengan spontan, sampai putranya terhempas ke atas lantai. Ia memandang Ayahnya dengan sangat tidak percaya, karena Ayahnya yang telah melakukan hal itu padanya."Kenapa ayah menamparku?" tanyanya tak terima dengan perlakuan Ayahnya kepadanya.Wajah Tuan Erracs mendadak berubah, menjadi sangat sinis kepada putranya. "Beraninya kau membuat keributan di hadapan Tuan Muda Abraham!" bentaknya, putranya sama sekali tidak mengetahui apa yang dimaksud dirinya.Tuan Erracs tersenyum tak enak di hadapan Zeo. "Maaf sudah mempermalukan diri kami di hadapan anda, Presdir Zeo!" ucapnya tak enak.Zeo menyunggingkan senyumnya di hadapannya. "Nampakn
Nara kembali sadar atas kelakuannya. "Aku minta maaf, Ibu. Aku tidak akan melakukannya lagi," ujarnya, membuat Zara lekas membalikkan tubuhnya dan memeluk Nara dengan erat."Ibu minta maaf, Nara," ujarnya dengan air mata yang tidak bisa tertahan."Aku hampir saja lupa. Meskipun aku bisa menghidupinya, tetapi aku tidak bisa memberikan keluarga yang lengkap untuknya," batin Zara yang merasa sangat sedih memikirkannya.Suara langkah kaki yang sangat angkuh, terdengar dari arah luar rumah mereka. Nara sangat waspada, karena hanya ia yang bisa melindungi ibunya, walaupun ia masih sangat muda.BRAK!Orang angkuh itu membuka dengan kasar pintu rumah kediaman Zara. Mereka berdiri dengan sinis, di hadapan Zara dan juga Nara.Dio dan orang tuanya datang ke kediaman Zara. Mereka sangat tidak terima, ketika putra kesayangan mereka dipukuli oleh Nara.Dio menunjuk dengan kasar ke arah Nara. "Dia yang telah memukulku!" ujarnya dengan sinis, membuat Nara juga memandangnya dengan sinis.Melihat ada p
Saat ini di kantin Taman Kanak-kanak Imperial, terlihat dua anak perempuan sedang berusaha mendekati seorang anak lelaki yang sudah lebih dulu mengantre makanan di hadapan mereka.Mereka membawa tempat makan mereka, dan berusaha untuk berdiri di belakang anak lelaki yang tampan itu."Nara, aku ingin berdiri di belakangmu!" ujar salah satu dari mereka yang lebih dulu berdiri di belakang Nara, anak laki-laki yang tampan itu."Tidak, Nara adalah milikku! Aku yang harus berdiri di belakangnya!" protes teman sebelahnya, yang sangat posesif dengan Nara.Padahal, mereka masih berumur 6 tahun, tetapi mereka sudah bisa merasakan ketertarikan terhadap lawan jenisnya sendiri.Nara hanya bisa memandangnya dengan senyuman manis, dengan dua orang gadis itu yang terus memperebutkan posisi berdiri di dekat Nara.Seorang anak lelaki yang berdiri di belakang dua gadis ini, merasa sangat kesal karena kedua gadis ini yang selalu memperebutkan Nara, dan selalu mengidolakan sosok Nara. Hal itu sangat membu
Zeo menghela napasnya, karena tidak bisa lagi membantah ucapan nenek tua itu."Baiklah, Nek."Neneknya nampak tersenyum. "Kau harus baik padanya, karena Nenek lihat dia sangat baik padamu dan juga pada Nenek. Dia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah, untuk memberikan Nenek oleh-oleh dari Amerika. Bukankah dia sangat baik? Dia juga membelikanmu sebuah oleh-oleh khusus," ujarnya yang selalu mengangkat derajat Lily di hadapan Zeo.Lily yang mendengarnya, hanya bisa tersenyum di hadapan Zeo. Ia merasa tidak buruk juga untuk mendekati keluarganya lebih dulu, sebelum mendekati orang yang ia incar.Zeo memandang Lily ketus. "Aku tidak butuh oleh-oleh," ketusnya, sontak membuat neneknya bingung karena tidak mendengar sepenuhnya ucapan Zeo, sementara Lily hanya bisa memandangnya dengan sendu."Kau bilang apa tadi, Zeo?" tanya sang Nenek."Tidak. Aku sedang ada pekerjaan lain, Nek. Aku akan menemaninya ketika sudah selesai dengan pekerjaanku," ujar Zeo, setidaknya membuat neneknya sedikit se
Seorang wanita cantik bertubuh aduhai, mendatangi kantor Zeo dengan sangat berani. Langkahnya sangat jenjang, seperti sudah biasa mendatangi tempat ini.Ia menuju ke arah resepsionis. Resepsionis tersebut menyadari kedatangan wanita ini, dan segera menutup buku yang sedang ia teliti."Ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa sang resepsionis dengan sangat sopan, ditambah senyuman di wajahnya.Wanita ini membenarkan kacamata hitam yang ia kenakan. "Aku ingin bertemu Zeo," ujarnya."Oh, direktur Zeo sedang melakukan pertemuan dengan Anchor Grup, Nona. Anda bisa menunggu di ruang tunggu, sampai pertemuan itu selesai," ujarnya, membuat wanita ini sedikit kesal mendengarnya.Wanita ini menurunkan kacamatanya dan menatap sinis ke arah resepsionis itu. "Belum pernah ada yang menolakku!" bentaknya dengan tegas, sang resepsionis mendadak ketakutan karena ekspresi yang dikeluarkan wanita ini.Dengan tubuh yang gemetar, sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Zeo. "Se-sebelah sini, Nona."Wanita
Tubuhnya seketika gemetar, air matanya mengalir dengan derasnya tanpa ada dekat, karena tak percaya dengan hasil pemeriksaan."Bodohnya aku, kenapa aku sampai tidak tahu hal seperti ini? Aku tidak tahu alat apa ini, dan tidak bisa menggunakannya. Ketika aku sadar bahwa ini adalah alat untuk memeriksa kehamilan, aku baru tersadar kalau ternyata diriku tengah mengandung anak dari orang yang sama sekali tidak aku inginkan!" gumamnya, meratapi pengetahuannya yang sangat terbatas.Karena kesibukan orang tuanya, hal-hal semacam ini sama sekali tidak pernah diajarkan oleh orang tuanya. Mereka tidak sempat memberikan edukasi, mengenai hal-hal yang menyangkut kehamilan."Bukankah kami hanya satu kali melakukannya? Mengapa bisa sampai hamil seperti ini? Apa yang salah? Kenapa bisa sampai secepat ini?" Zara masih tidak bisa menerima takdirnya.TOK ... TOK ... TOK ....Terdengar suara ketukan pintu, membuat Zara menghentikan ucapan dan juga tangisannya. Ia tidak ingin siapa pun mengetahui permasa
Beberapa waktu menunggu, bus yang ditunggu Zara pun tiba. Ia bergegas masuk ke dalamnya, dengan Ren yang segera membuntuti bus itu dari belakang.Zara naik ke atasnya dan duduk pada kursi yang tersedia. Waktu yang ia perlukan untuk bisa sampai ke tempat tujuan adalah sekitar setengah jam.Tidak ada kemacetan lalu lintas di tempatnya ini. Hanya ada hutan dan pepohonan yang terlihat di pinggir kiri dan kanan jalanan menuju ke arah pinggir kota.Zara sangat menikmati pemandangan dari jendela bus tersebut. Ia memandangi pohon yang hijau, membuat rasa sakit kepalanya sedikit hilang karenanya."Apa ini adalah gejala stres? Kenapa ketika melihat tanaman dan pepohonan hijau, aku merasa sangat tenang?" batin Zara, yang merasa sangat tenang melihat pepohonan tersebut.Setengah jam sudah berlalu, bus yang mengantarkan Zara akhirnya tiba di pinggir kota dekat kediamannya. Bus itu berhenti tepat di tempat pemberhentian bus pada pinggir kota. Selebihnya, Zara biasa berjalan kaki untuk membeli bahan
Tatapannya berubah menajam, logikanya kembali lagi pada pikirannya."Apa yang salah? Setelah di Italia pun, aku masih bisa menghubunginya. Apa yang membuatmu merasa begitu sedih?" gumamnya yang merasa sangat bingung dengan kelakuan anehnya itu.Pesawat itu pun segera lepas landas, membawa Zain menuju ke negara yang ingin ia tuju. Sementara itu Zara hanya bisa cemas, karena ia sama sekali tidak bisa menghubungi Zain."Dia tidak bisa dihubungi. Apa dia sedang menuju ke Italia sekarang? Aku berharap, perjalanannya lancar sampai ke tempat tujuan."Zara hanya bisa berharap, sesuatu yang buruk tidak akan terjadi pada Zain saat dalam perjalanan menuju Italia.***Satu bulan berlalu setelah kepergian Zain ke Italia. Tak ada sedikit pun komunikasi yang terjalin antara Zain dan juga Zara. Hal itu karena Zara sama sekali tidak ingin membuat Zain merasa kesulitan lagi.Zara menyadari karena dirinya, Zain mendapatkan hukuman yang ia jalani saat ini.Kepergian Zain ke Italia sudah membuktikan bahwa