Sindiran Pedas Istri Kedua [Kak Tiara nanti datang ya ke pernikahan Nena. Nena sangat menunggu kehadiran Kakak.] Sejenak aku tertegun setelah membaca pesan yang dikirim Nena, adik Hendi satu-satunya. "Ngelamunin apa?" Tiba-tiba Obi sudah duduk di sebelahku. "Ni," Aku menyodorkan ponselku pada Obi. "Oh," komentar Obi singkat lalu melanjutkan berselancar di ponselku. "Emang Nena kapan nikahannya?" "Dua minggu lagi." Obi pun menaruh HP-ku di atas meja. "Kalau nggak mau datang, ya, nggak apa-apa. Kalau mau datang, ya, ayo. Kan ada aku. Tapi, masak sih dari segitu banyaknya orang ntar aku sendiri yang jomblo di sana. Udah punya istri cantik nggak digandeng ke mana-mana, mubazir banget." Obi melirik padaku dengan tatapan menggoda. Aku hanya menanggapi dengan sedikit menyunggingkan senyum. Aku memang dilanda dilema. Di satu sisi, aku menyayangi Nena selayaknya adik sendiri. Dulu kami begitu dekat. Dia yang tidak punya saudara perempuan, sedangkan aku anak tunggal. Kami sangat cepat
Sindiran Pedas Istri Kedua Waktu terus berjalan. Hidup bergulir bagaikan alunan musik yang bersimfoni dengan lirik dan gerak. Iramanya kadang mendayu, kadang cepat, bahkan kadang menghentak tetapi tetap dalam koridor tangga nada. Tetap indah didengar. Hampir satu tahun mahligai pernikahan kami arungi. Semua terasa bagai pengobat luka yang pernah menganga. Segala perhatian, kasih sayang, dan kebaikan Obi seakan menjadi penebus atas segala kekurangan yang sebelumnya ada. Hingga satu kesimpulan kutarik, alasan kenapa sebelumnya aku diberi perjalanan yang suram karena ternyata di depannya telah disiapkan kisah yang jauh lebih benderang. Untuk kesekian kalinya aku berucap, Tuhan sungguh Maha Baik, memberi lebih dari yang kuminta. Hanya satu hal yang masih menjadi pembicaraan ngambang bagi kami. Perihal kekhawatiran Obi pada ibunya. Pekerjaan Obi yang akhir-akhir ini banyak menyita waktu membuat intensitas mengunjungi ibunya semakin berkurang. Tak jarang di hari libur pun Obi masih ber
Sindiran Pedas Istri Kedua "Ibu lagi ke rumah tetangga sebelah. Paling bentar lagi pulang. Aku tinggal dulu, ya!" ujar Obi yang terlihat tidak enak hati. Walaupun begitu dia tetap mengikutiku yang sudah terlebih dahulu melangkah. "Pakai motor aja?" Obi meminta persetujuanku. Aku tanggapi dengan anggukan. Dalam hitungan detik berikutnya, kami bergerak meninggalkan rumah Bu Mai. Sementara Salma terlihat menyibukkan diri dengan ponselnya. "Kamu tadi kok gitu, sih, yang? Aku shock banget, loh sama sikap kamu barusan." Obi sengaja menghentikan motor di tepi jalan, beberapa ratus meter dari rumah yang pernah kuhuni waktu masih bersama Hendi dulu. Pemandangan dari sini memang sangat menakjubkan. Menghabiskan sore di sini akan disuguhi oleh detik-detik matahari turun bersembunyi ke balik bukit. Menyisakan mega-mega jingga yang seakan tengah memayungi tiga bukit yang saling menyambung. Dulu, aku senantiasa mengisi sore dengan duduk di teras samping sambil menyuapi anak-anak makan. Di mas
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kok di sini?" Obi sudah berada di sampingku dan satu tangannya sudah merangkul pundakku. "Udah selesai?" tanyaku yang tidak menyangka Obi akan datang secepat ini. "Nggak jadi," balas Obi. "Eh, Mas Obi, kan, ya?" tanya Bu Nathania kurang yakin. "Iya." Obi berpikir sejenak lalu mengurai tebakan. "Bu Nathania, kan?" "Benar, benar. Nggak nyangka bisa ketemu di sini. Dalam rangka apa, nih? Ada janji ketemuan bisnis?" jawab wanita cantik itu semringah. "Ngajak istri makan." "Oh, jadi, Mbak Tiara ini istri Mas Obi." "Iya. Emang udah kenal?" Obi menatap Bu Nathania dan aku bergantian. Bu Nathania mengangguk. "Udah, dong!" balas Bu Nathania."Udah pernah ketemu beberapa kali sebelumnya," ungkapku. "Bu Nathania ini sepupunya Mas Adrian, Yang," terang Obi padaku "Oh, ya?" Aku menyipitkan mata karena tidak menyangka. Mereka terlihat sangat berbeda. Bu Nathania berwajah cantik dan berkulit putih khas Oriental. Sementara Mas Adrian, meskipun hanya melihat beb
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kenapa, Bi?" Bu Mai sudah berada di belakang Obi. Aku kembali memejam dan menghirup udara dalam-dalam. "Tiara kenapa?" Tiba-tiba lambungku memberontak, aku merasa mual mendengar suara mendayu yang baru saja terlontar dari Salma. Namun, di mataku dia sudah menjelma bak sosok Nadia yang penuh kemunafikan. Yang sengaja bermanja-manja di depan. Namun menikam laksana belati kalau di belakang. Rasanya semua isi perutku mendesak ingin dikeluarkan. Kepingan-kepingan peristiwa bertahun yang lalu satu per satu membentuk formasi di otakku. Entah apa yang terjadi pada diriku hingga harus terkepung dalam lingkaran pahit masa lalu yang sudah lama kukubur. Sesuatu terasa tengah berputar-putar kencang di dalam kepalaku. "Kita ke kamar, ya." Obi segera menyingkirkan laptop dalam pelukanku lalu membopongku ke kamar. Obi membaringkan aku terlentang lalu menumpuk beberapa bantal untuk punggungku bersandar. "Pusing? Tadi udah makan apa belum?" Obi meluruskan kedua kakik
Sindiran Pedas Istri Kedua Kulihat tidak ada perubahan pada ekspresi Obi. Mungkin dia terlalu pandai mengelola perasaannya. Obi kembali meraih tanganku. Menggenggam dengan erat. Sorot matanya sangat lembut menatap. Pelan dia berkata, "Oke, sekarang aku paham. Aku ngerti maksudnya seperti apa. Sayang, maaf. Aku yang salah. Aku tidak peka sama sekali. Aku kira semua telah baik-baik saja. Ternyata, masih ada yang belum benar-benar sembuh pada dirimu. Maafkan aku yang belum sepenuhnya berhasil menyelami jiwamu. " Sorot mata Obi benar-benar menunjukkan rasa bersalah. Dapat kurasakan, tiap kata yang terucap benar-benar berasal dari hatinya. "Tapi tolong, jangan pernah punya pikiran aku akan melakukan hal yang sama seperti Bang Hendi pernah lakukan. Aku dan dia adalah orang yang berbeda. Apa kamu masih meragukan kesungguhan aku? Apa di mata kamu aku seburuk itu? Apakah aku orang yang setega itu? Sayang, tolong buang pikiran itu jauh-jauh!" Obi menatap mataku dengan sorot mata yang sendu
Sindiran Pedas Istri Kedua "Telah lama merasakan lega. Menjalani hari-hari hanya untuk mengejar mimpi serta memberi bahagia untuk orang-orang tercinta. Telah terlalu biasa dengan diri sendiri. Menentukan sendiri apa yang hendak dimiliki. Dunia terasa lepas, tak berbeban!Semua hening dalam tentram. Sekarang, beban-beban baru kembali bermunculan. Mengguncang hati yang telah lama tenang. Satu per satu cerita baru membentang, mengoyak renda yang telah disulam dengan penuh perjuangan.Hati kembali tak tenang, pikiran kembali dihimpit desakan-desakan yang mungkin takkan berkesudahan. Salahkah jalan yang sudah kupilih? Tunas sesal perlahan menyeruak, menyibak mencari udara untuk memberlangsungkan hidup. Kenapa dulu harus memajukan langkah jika jalan di tempat saja jauh lebih baik?Kutahu, pemikiran seperti itu tidak boleh ada. Akan tetapi, aku tak siap sama sekali jika harus kembali mengecap hari-hari yang sama. Hari-hari pernah menjadi kenyataan buruk dalam hidupku. Aku sudah terlanju
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mau ke mana aja hari ini, Sayang?" tanya Obi begitu melewati meja makan. Dia menyempatkan untuk menjawil pipiku lalu dilanjutkan dengan mencubit gemas pipi Rara. Sementara Syira menyodorkan pipi gembulnya untuk dicium oleh Obi. "Lumayan padat hari ini. Dari sekolah ke gudang, ke kantor atau sebaliknya. Terus ada undangan juga dari Mbak Vania, mau ada launching varian baru untuk krim wajah. Tapi semuanya situasional aja, sih. Mana yang sempat aja." "Sayang, ingat, ya, jangan terlalu dipaksakan, jangan kecapekan! Aku ngebiarin kamu tetap melakukan semuanya ini tak lebih untuk menghargai hasil pencapaian kamu selama ini. Bukan untuk mengejar materi lagi. Semua kebutuhan harus tetap aku yang cover. Jadi, lakukan semuanya seenjoy mungkin. Sekiranya bakal menjadi beban pikiran, jangan dilanjut!" "Iya, ingat, kok," jawabku meyakinkan Obi. Kalimat semacam ini hampir tiap pagi diucapkan Obi selama seminggu ini. Terhitung sejak aku mulai beraktifitas normal lagi
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,