Lana menatap dengan mata terbelalak ketika dia melihat Gabriella duduk di tempat tidur Raka, dengan lembut membujuknya untuk makan. Sebuah pemandangan yang menyakitkan hati Lana lebih dari yang bisa dia gambarkan dengan kata-kata. Hati Lana terasa seperti pecah menjadi seribu potongan saat dia menyaksikan adegan itu, merasakan rasa sakit yang menusuk-nusuk di dalam dada.Dia berdiri di ambang pintu, tak mampu menyembunyikan kekecewaan dan kesedihannya yang mendalam. Rasanya sesak di dadanya, sulit untuk bernafas, seperti pemberat besar yang menekan di atasnya. Bagaimana mungkin Raka begitu hangat dan dekat dengan Gabriella, sementara dia, istrinya, terpinggirkan begitu saja?Lana ingin berteriak, ingin mengeluarkan semua kekesalannya yang terpendam, tetapi suaranya mati di tenggorokannya. Dia hanya bisa menatap dengan mata penuh kepedihan, menahan semua emosinya yang bergolak di dalamnya.Seharusnya dia yang duduk di sana, di samping Raka, memegang tangannya, memberinya dukungan dan c
"Demi Tuhan, kenapa aku merasa seperti ini?" gumam Raka dengan frustrasi, meremas-remas ujung selimut dengan penuh kebimbangan. Meskipun ingatannya tentang Lana masih belum kembali sepenuhnya, Raka merasakan getaran emosional ketika melihat istrinya menangis di hadapannya. Meskipun tidak bisa mengingat detail-detail dari hubungan mereka, dia tahu bahwa air mata Lana adalah hasil dari rasa sakit yang dia sebabkan. Pria itu bisa merasakan perasaan bersalah yang memenuhi dadanya, membuatnya merasa seperti pria terburuk di dunia.Namun, alih-alih menunjukkan belas kasihan atau penyesalan, rasa marah yang mendalam muncul di dalam diri Raka. Dia tidak suka melihat Lana menangis, terutama karena kesalahan yang dia lakukan. Rasa bersalah dan frustrasi menciptakan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sementara itu, pikiran Raka berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Siapakah wanita ini? Mengapa dia begitu terguncang melihatnya menangis? Mengapa dia merasa pera
Lana menatap Raka dengan pandangan penuh kekecewaan dan kebingungan. Hatinya terasa hancur oleh kata-kata yang tajam dan merendahkan yang baru saja diucapkan oleh pria yang dulu menjadi segalanya baginya. Bagaimana mungkin Raka, yang selama ini memperlakukannya dengan penuh hormat dan kasih sayang, sekarang bertanya dengan cara yang begitu pahit dan menyakitkan?Dia merasa terhina. Selama ini, dia telah memberikan segalanya untuk Raka, mencintainya dengan tulus dan memperjuangkan pernikahan mereka. Namun, pertanyaan itu seolah-olah menghancurkan segalanya, meruntuhkan fondasi kepercayaan dan kasih sayang yang sudah mereka bangun bersama."Tidak," suaranya terdengar tajam, penuh dengan kekecewaan dan kebencian yang terpendam. "Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Sama sekali tidak benar!"Dia merasakan semburat kepanikan di dalam dirinya, mencoba menekan kemarahan yang membara di dalam hatinya. Tapi kata-kata Raka telah menyentuh luka yang sangat dalam, dan kesalahpahaman yang terkan
Raka, setelah selesai mandi, keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat Lana sudah berbaring di ranjang. Tatapan Raka terpaku pada sosok Lana yang berada di bawah selimut. Dia berdiri di ambang pintu, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang sama: Apakah Lana akan tidur bersamanya?Dengan langkah yang ragu, Raka mendekati tempat tidur. Dia memperhatikan Lana yang berbaring di sana, dengan rambutnya yang terurai di atas bantal. Wajahnya tenang dalam cahaya samar yang menyala dari lampu tidur. Perasaan campuran antara rasa keheranan, ketidakpercayaan, dan penasaran melintas di dalam dirinya."Apa kamu... akan tidur di sini?" tanya Raka, suaranya terdengar ragu.“Di mana lagi aku harus tidur kalau bukan di samping suami aku sendiri?” “Gimana sama Aiden, dia nggak perlu ditemani?”"Aiden baik-baik saja, dia tertidur di kamarnya.”Dengan langkah ragu, Raka mendekati tempat tidur. Dia merasa canggung, tidak terbiasa dengan situasi ini. Tetapi ketika dia meraih selimut untuk menutupi dirin
Keesokan paginya, saat sinar matahari mulai menyusup masuk ke dalam kamar, Lana masih merasakan hangatnya pelukan suaminya. Matanya terbuka perlahan, dan di depannya, ada Raka yang masih tertidur dengan wajah damai. Sebuah senyuman kecil melintas di bibirnya saat ia menyadari bahwa semuanya tidaklah hanya mimpi.Rasanya seperti berada dalam alam semesta yang berbeda, di mana kehangatan dan cinta mengelilingi mereka. Raka ada di sana, dekat dengannya, dan hal itu membawa kedamaian dalam hati Lana. Dia menghirup aroma tubuh pria itu, mencoba menyimpan setiap detil dalam ingatannya.Tanpa sadar, Lana mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Raka, mendekatkan wajahnya pada dada suaminya. Dia merasakan detak jantung yang tenang dan teratur, seperti melodi yang menenangkan di dalam hening pagi itu.Dalam kesunyian yang menyenangkan, Lana menghabiskan beberapa saat hanya untuk merasakan kehadiran Raka, menikmati momen kedamaian itu bersamanya. Dalam diam, dia bersyukur atas keajaiban yang terj
Raka keluar dari kamar dengan langkah-langkah yang mantap, berusaha meredakan kegelisahan dalam dirinya. Dia berharap bahwa sarapan pagi ini akan menjadi awal yang baik untuk memulai hari.Saat melangkah ke arah meja makan, matanya tertuju pada sosok kecil yang duduk di sana. Aiden, anak kecil yang ceria itu, tampak sangat senang melihatnya. Senyumnya yang polos terpancar begitu tulus saat mata mereka bertemu."Pagi, Papa?" sapanya riang, membuat hati Raka tersentuh.Raka tersenyum singkat melihat kegembiraan Aiden. "Pagi," balasnya, berusaha membalas keceriaan anak kecil itu. Setiap kali melihat wajah ceria Aiden, dia merasa ada kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya.Sementara itu, Lana yang sedang sibuk di dapur tiba-tiba merasakan kehadiran Raka di sana. Dia menoleh dan tatapannya langsung bertemu dengan mata Raka. Ada kecanggungan yang terasa di antara mereka, tetapi di balik itu, ada kehangatan yang tidak terbantahkan."Selamat pagi," ucap Lana dengan suara lembut saat Raka m
Raka berdiri di ambang pintu kamar, matanya memancarkan keraguan dan keinginan yang mendalam. Dia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati sebelum akhirnya berbicara."Lana," panggil Raka, suaranya terdengar ragu.Lana yang sedang duduk di tepi tempat tidur, mengangkat kepalanya dan memperhatikan suaminya dengan penuh perhatian. Wajahnya berseri-seri meskipun dipenuhi dengan cahaya rembulan yang lembut."Ada apa, Raka?" tanya Lana dengan lembut.Raka menghela nafas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam kamar. Dia mendekati tempat tidur, namun tidak segera duduk. Matanya memandang ke luar jendela, seolah mencari keberanian dalam dirinya."Aku ingin mendapatkan ingatanku kembali," ujar Raka dengan tegas, suaranya penuh dengan keinginan yang tulus. “Aku mau mengingat kalian.”Lana terkejut mendengar pengakuan suaminya. Meskipun dia telah bersiap untuk membantu Raka melewati masa sulit ini, mendengar keinginan langsung dari mulutnya membuat hatinya berdebar-deb
Malam itu berlalu begitu saja, dan pagi-pagi buta menyapa dengan cahaya yang lembut menyusup masuk melalui jendela kamar. Lana terbangun lebih dulu, matanya terbuka untuk menatap wajah Raka yang masih tertidur. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat suaminya yang damai dalam tidurnya.Dia bergerak perlahan, mencium kening Raka dengan lembut sebelum menyentuh bibirnya ke jidat pria itu, menciptakan kontak yang penuh dengan rasa sayang. "Selamat pagi, sayang," bisiknya dengan suara lembut, berharap suaminya akan merasakan getaran kebahagiaan meskipun ingatan masa lalu belum kembali.Namun, Raka masih tertidur, tidak terganggu oleh kata-kata atau sentuhan Lana. Tatapan kosong di wajahnya mencerminkan ketidakmampuan untuk mengakses memori yang tersembunyi. Meskipun begitu, Lana tetap berusaha untuk menyemangati suaminya, menunjukkan dukungan dan cintanya tanpa syarat.Setelah menyempurnakan persiapannya, Lana beranjak dari tempat tidur dengan lembut agar tidak mengganggu tidur Ra