Dalam keheningan malam yang terasa teramat sunyi, Lana duduk sendiri di tepi ranjangnya yang dingin, merenung dalam hening. Ingatan tentang perjalanan cintanya bersama Raka kembali menghantuinya, membawa dia kembali ke saat-saat pahit yang telah mereka lalui bersama.Dia teringat akan masa-masa ketika Raka meninggalkannya karena salah paham dengan hubungannya dengan Rudi. Waktu itu, Lana merasa marah pada Rudi, marah pada Raka, dan marah pada dirinya sendiri karena segala kekacauan yang terjadi. Namun, di tengah segala ketidakpastian dan keputusasaan, Lana tidak pernah menyerah.Dia selalu berusaha menghubungi dan menemui Raka, mencoba menjelaskan semuanya meski pria itu tampaknya tidak lagi peduli. Meski rasa putus asa mulai merayapinya, Lana tetap bertahan, berjuang untuk mencapai hati Raka.Ketika akhirnya Raka setuju untuk bertemu dengannya, Lana merasa campuran antara lega dan gugup. Dia tahu saat itulah kesempatannya untuk menjelaskan semuanya."Raka, aku nggak akan pernah berhe
Lana merasakan tekanan yang semakin berat di dadanya setiap kali dia berpapasan dengan Gabriella. Wanita itu selalu tersenyum manis padanya, tetapi tatapan matanya menyiratkan ketidaksetujuan yang dalam. Setiap kali Lana mencoba mengabaikannya, rasa curiga dan ketidaknyamanan itu semakin menghantui pikirannya.Awalnya, Lana berusaha meyakinkan dirinya bahwa kecurigaannya terhadap Gabriella hanya khayalan kebencian yang tidak berdasar. Dia mencoba untuk melihat sisi baik dari wanita itu, terutama karena semua orang sepertinya menyukainya. Gabriella selalu terlihat begitu ramah dan baik hati di depan keluarga Raka, teman-teman, dan kolega mereka. Bahkan, Lana sendiri pernah merasa terkesan dengan sikapnya yang penuh semangat dan keramahan.Selama setahun terakhir, Lana merasa terjebak dalam labirin kecurigaan dan ketakutan yang disebabkan oleh kehadiran Gabriella dalam kehidupan rumah tangganya. Dia mencoba untuk menutup mata terhadap tanda-tanda peringatan yang muncul di benaknya. Dia
Dalam ruangan yang sunyi di rumah sakit, Lana duduk di samping tempat tidur Raka, menatap wajahnya yang damai saat dia terlelap. Cahaya remang-remang menyala redup, menciptakan atmosfer yang hening di sekitar mereka. Lana membiarkan pikirannya terombang-ambing oleh gelombang-gelombang emosi yang tak terbendung.Dia merasa menyesal atas cara dia menangani pertengkaran mereka. Seandainya dia bisa kembali dan melakukan segalanya dengan cara yang berbeda, dia pasti akan melakukannya. Dia seharusnya tidak meledak seperti itu, tidak membuang segala kekesalannya sekaligus tanpa memperhitungkan reaksi Raka. Tapi, pada saat itu, kekesalannya telah meledak di luar kendali.Namun, begitu dia mengatakan kata-kata 'aku ingin bercerai', reaksi Raka terhadapnya membuatnya berpikir. Ekspresi ketakutan di wajah suaminya saat itu memberinya sedikit harapan. Dia tahu bahwa Raka tidak ingin pernikahan mereka berakhir. Mungkin itu adalah tanda bahwa ada sedikit cinta yang tersisa di hatinya.Kecelakaan it
Keesokan harinya, Lana merasa pukulan baru ketika dokter yang merawat Raka memberitahunya bahwa suaminya mengalami amnesia. “Raka mengalami amnesia retroaktif, di mana ingatannya terbatas hanya pada kejadian beberapa tahun sebelum dia bertemu dengan Anda, Lana. Dia tidak mengenali siapa pun atau apa pun yang terjadi setelah itu."Ketika dokter menjelaskan kondisi Raka, Lana merasa dunianya runtuh lebih dalam lagi. Amnesia Raka menjadi penghalang baru dalam hubungan mereka, membuat segalanya semakin rumit dan sulit. Rasanya seperti sekarang, Raka adalah orang asing bagi Lana, sementara dia merindukan kebersamaan dan cinta mereka yang dulu."Amnesia?" Lana bergumam pelan, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan dan ketidakpastian tentang masa depan pernikahannya dengan Raka. Bagaimana mungkin dia akan menghadapi situasi seperti ini? Bagaimana jika Raka tidak pernah mengingatnya lagi?"Apakah itu berarti dia tidak akan pernah mengingatk
Lana menatap dengan mata terbelalak ketika dia melihat Gabriella duduk di tempat tidur Raka, dengan lembut membujuknya untuk makan. Sebuah pemandangan yang menyakitkan hati Lana lebih dari yang bisa dia gambarkan dengan kata-kata. Hati Lana terasa seperti pecah menjadi seribu potongan saat dia menyaksikan adegan itu, merasakan rasa sakit yang menusuk-nusuk di dalam dada.Dia berdiri di ambang pintu, tak mampu menyembunyikan kekecewaan dan kesedihannya yang mendalam. Rasanya sesak di dadanya, sulit untuk bernafas, seperti pemberat besar yang menekan di atasnya. Bagaimana mungkin Raka begitu hangat dan dekat dengan Gabriella, sementara dia, istrinya, terpinggirkan begitu saja?Lana ingin berteriak, ingin mengeluarkan semua kekesalannya yang terpendam, tetapi suaranya mati di tenggorokannya. Dia hanya bisa menatap dengan mata penuh kepedihan, menahan semua emosinya yang bergolak di dalamnya.Seharusnya dia yang duduk di sana, di samping Raka, memegang tangannya, memberinya dukungan dan c
"Demi Tuhan, kenapa aku merasa seperti ini?" gumam Raka dengan frustrasi, meremas-remas ujung selimut dengan penuh kebimbangan. Meskipun ingatannya tentang Lana masih belum kembali sepenuhnya, Raka merasakan getaran emosional ketika melihat istrinya menangis di hadapannya. Meskipun tidak bisa mengingat detail-detail dari hubungan mereka, dia tahu bahwa air mata Lana adalah hasil dari rasa sakit yang dia sebabkan. Pria itu bisa merasakan perasaan bersalah yang memenuhi dadanya, membuatnya merasa seperti pria terburuk di dunia.Namun, alih-alih menunjukkan belas kasihan atau penyesalan, rasa marah yang mendalam muncul di dalam diri Raka. Dia tidak suka melihat Lana menangis, terutama karena kesalahan yang dia lakukan. Rasa bersalah dan frustrasi menciptakan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sementara itu, pikiran Raka berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Siapakah wanita ini? Mengapa dia begitu terguncang melihatnya menangis? Mengapa dia merasa pera
Lana menatap Raka dengan pandangan penuh kekecewaan dan kebingungan. Hatinya terasa hancur oleh kata-kata yang tajam dan merendahkan yang baru saja diucapkan oleh pria yang dulu menjadi segalanya baginya. Bagaimana mungkin Raka, yang selama ini memperlakukannya dengan penuh hormat dan kasih sayang, sekarang bertanya dengan cara yang begitu pahit dan menyakitkan?Dia merasa terhina. Selama ini, dia telah memberikan segalanya untuk Raka, mencintainya dengan tulus dan memperjuangkan pernikahan mereka. Namun, pertanyaan itu seolah-olah menghancurkan segalanya, meruntuhkan fondasi kepercayaan dan kasih sayang yang sudah mereka bangun bersama."Tidak," suaranya terdengar tajam, penuh dengan kekecewaan dan kebencian yang terpendam. "Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Sama sekali tidak benar!"Dia merasakan semburat kepanikan di dalam dirinya, mencoba menekan kemarahan yang membara di dalam hatinya. Tapi kata-kata Raka telah menyentuh luka yang sangat dalam, dan kesalahpahaman yang terkan
Raka, setelah selesai mandi, keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat Lana sudah berbaring di ranjang. Tatapan Raka terpaku pada sosok Lana yang berada di bawah selimut. Dia berdiri di ambang pintu, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang sama: Apakah Lana akan tidur bersamanya?Dengan langkah yang ragu, Raka mendekati tempat tidur. Dia memperhatikan Lana yang berbaring di sana, dengan rambutnya yang terurai di atas bantal. Wajahnya tenang dalam cahaya samar yang menyala dari lampu tidur. Perasaan campuran antara rasa keheranan, ketidakpercayaan, dan penasaran melintas di dalam dirinya."Apa kamu... akan tidur di sini?" tanya Raka, suaranya terdengar ragu.“Di mana lagi aku harus tidur kalau bukan di samping suami aku sendiri?” “Gimana sama Aiden, dia nggak perlu ditemani?”"Aiden baik-baik saja, dia tertidur di kamarnya.”Dengan langkah ragu, Raka mendekati tempat tidur. Dia merasa canggung, tidak terbiasa dengan situasi ini. Tetapi ketika dia meraih selimut untuk menutupi dirin
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka