Bab 4
"Aku lelah banget, capek dan aku lapar. Pa, Ma. Kinanti menderita sekarang Ma. Kinanti sering merasa kelaparan Ma, Pa. Dan Kinanti tidak berani mengambil makanan tanpa seizin Bibi. Karena nanti bibi akan marah dan menghukum Kinanti. Apa yang harus Kinanti lakukan? Haruskah Kinanti pergi dari rumah ini?"
Kinanti teringat dengan pemberian sang mama di kala dulu, yang mana waktu itu mamanya Kinanti pernah memberikan sesuatu pada Kinanti, dan Kinanti masih ingat persis dengan ucapan mamanya. "Kalung ini kalung pemberian papamu pada mama Kinanti, mama sangat sayang dengan kalung ini. Dan kalung ini juga tanda cinta papamu pada mama, dan sekarang mama ingin kamu menyimpan kalung ini dengan baik Nak. Karena kalung ini sudah saatnya ada di tanganmu Nak."
"Kenapa tidak mama simpan saja, Ma?"
"Gak Kinanti, Mama ingin kamu menyimpannya. Kelak kalau Mama tidak ada dan kamu butuh uang. Maka kamu boleh menjual kalung ini Kinanti. Mama ingin kalung ini bisa bermanfaat untukmu Nak."
Seminggu kemudian mamanya Kinanti meninggal, dan itu hari yang paling sedih di dalam hidup Kinanti. Kehilangan sosok mama di dalam hidupnya.
Dan mengingat itu semua membuat Kinanti meneteskan air mata, tapi Kinanti sekarang sedang butuh uang. Setidaknya dia ada uang untuk keluar dari rumah itu.
Kinanti sudah tidak tahan dengan kelakuan bibi dan sepupunya itu padanya, hingga akhirnya Kinanti kepikiran untuk pergi kemana saja, yang penting bisa lepas dari keluarga bibinya.
"Aku simpan di mana yah waktu itu kalungnya? Aku cari dulu lah,' Kinanti bermonolog sendiri, sambil ia berjalan ke arah kamar, dan Kinanti sedikit terkejut melihat kondisi pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.
"Perasaan tadi aku kunci, tapi ya sudahlah." Kinanti memilih mengacuhkan soal pintu, tapi sekarang dia terdiam mematung untuk beberapa detik. Setelah melihat ada Clara di dalam kamarnya.
Clara sedang memegang kotak perhiasan pemberian almarhum mama Kinanti, dan Kinanti baru saja ingin mengambil kotak itu. Tapi sesuatu terjadi di dalam kamarnya. Clara terlebih dahulu menemukan kotak perhiasan itu. "Apa yang kamu lakukan, Clara? Itu punyaku, kembalikan padaku Clara."
"Kalau sudah di tanganku berarti milikku, dan aku tidak akan memberikannya lagi padamu," jawaban Clara membuat kesal Kinanti, sehingga Kinanti berlari ke arah Clara.
"Kembalikan, itu milikku Clara!" Kinanti berusaha mengambil kotak perhiasan itu dari tangan Clara, tapi oleh Clara di tepis dan meninggikan kotak perhiasan itu di atas kepalanya, dan terkadang menyembunyikannya di belakang badannya. Clara tidak mengizinkan Kinanti meraih kotak perhiasan yang ada di tangannya.
"Ini milikku, Kinanti. Semua yang ada di kamarmu ini milikku Kinanti. Karena sekarang kamu hanya menumpang di rumah ini Kinanti, jadi kamu tidak berhak menyimpan ini Kinanti!"
"Tapi itu milikku Clara, kembalikan padaku!" bentak Kinanti dengan nada suaranya yang begitu marah.
Sangking kesalnya Kinanti, sampai-sampai Kinanti tanpa sadar mendorong badan Clara ke belakang, yang membuat kepala Clara terbentur ke dinding kamar.
"Ahhh aduh, sakit …."
"Clara," panggil Kinanti.
Kinanti merasa menyesal sudah mendorong badan Clara, yang menyebabkan kepala belakang Clara terbentur ke dinding kamar dan mengeluarkan darah.
"Mampus gue, dia pingsan lagi. Kamu bangun Clara, Clara bangun … bangun Clara maafkan aku. Maafkan aku, Clara."
Kinanti mencoba menggoyang-goyangkan badan Clara, berharap Clara membuka mata, tapi ternyata semua sia-sia. Clara masih jatuh pingsan.
"Apa yang harus aku lakukan kini? Aku tidak mungkin tetap di sini, yang ada bibi akan marah dan memukulku. Apalagi kalau dia tahu anaknya terluka karena aku. Bagaimana ini? Aku tidak berani menghadapi bibi. Mendingan aku pergi sebelum bibi datang."
Sebelum pergi Kinanti mengambil perhiasan yang ada di dalam kotak itu, tidak lupa Kinanti mengambil beberapa helai pakaiannya yang dimasukkan ke dalam tas kecil. "Apalagi yah?" gumam Kinanti, tapi tiba-tiba terdengar suara sang bibi dari luar yang tengah memanggil nama Clara.
"Clara, Clara. Temani Mama shoping yuk. Clara, Clara. Kamu di mana sih Clara?"
"Mampus, ada Bibi."
Kinanti yang ketakutan langsung loncat dari jendela kamarnya, dan suara Kinanti yang terjatuh ke bawah terdengar oleh Martha. "Suara apa itu?" Karena penasaran dengan suara bedebug yang cukup kencang itu membuat Martha memeriksanya langsung, dengan dia yang masuk ke dalam kamar Kinanti.
"Kinanti suara apa itu? Clara! Clara anakku. Kamu kenapa Nak?"
Betapa terkejutnya Martha melihat anak tercintanya tengah terbaring di atas lantai dengan kondisi pingsan.
"Kamu kenapa Clara, Papa, Pa, Papa!" pekik Martha dari dalam kamar Kinanti.
Martha sempat melihat ke luar jendela, sekedar mencari pelaku yang sudah menyebabkan anaknya pingsan. "Tidak ada siapapun, tapi siapa yang sudah membuat kamu seperti itu Clara. Papa, papa di mana lagi. Papaaaaa!" pekik Martha yang lepas, hingga yang dipanggil datang berlari.
"Ada apa Martha, Clara? Clara kenapa Martha? Apa yang terjadi pada Clara, Martha?" Rachel panik melihat kondisi anaknya yang kepalanya berlumuran darah.
"Ayo Pa, bawa ke rumah sakit Pa. Mama tidak mau kehilangan Clara anak kita Pa. Ayo Pa."
Rachel langsung menggendong Clara, dan membawa Clara masuk ke dalam mobilnya.
"Buruan Pa, ayo buruan Pa."
"Iya Ma, tapi apa yang sebenarnya terjadi pada Clara, Ma. Kenapa bisa Clara pingsan Ma. Ada apa ini Ma?"
"Mama juga tidak tahu Pa, yang Mama lihat tadi Clara sudah seperti itu Pa. Mama tidak tahu siapa yang melukai anak kita Pa. Mama juga bingung Pa."
Rachel tidak berkata apapun lagi, yang ada di benaknya kini bagaimana caranya dia membawa Clara ke rumah sakit dengan cepat. Agar Clara segera mendapatkan pertolongan.
Sementara Kinanti yang panik tengah menyusuri jalan setapak, dia tidak ada tujuan untuk pergi kemanapun saat ini, yang ada hanya rasa takut di hatinya. Takut jika bibi dan pamannya menemukannya dan Clara menceritakan semuanya. Maka tamatlah riwayat Kinanti saat itu juga.
"Mereka tidak boleh sampai menemukanku, tapi aku kemana? Aku tidak mungkin tetap di kota ini, apa sebaiknya …."
Kinanti kepikiran dengan kalung yang ada di tangannya, sampai-sampai Kinanti berkata kembali, "Apa sebaiknya dijual saja kalung ini? Nanti uangnya bisa aku pakai untuk modal kabur dari sini. Baiklah tidak ada jalan keluar lain. Lebih baik kalung ini aku kual saja. Maafkan Kinanti Ma. Kinanti terpaksa harus menjual kalung ini Ma. Kinanti harus kabur dari sini Ma."
Setelah keputusannya untuk menjual kalung pemberian mamanya yang laku seharga 9 JT, lantas uang itu dipakai oleh Kinanti untuk pergi ke luar kota. Tapi ditengah jalan Kinanti tetap cemas. Takut kalau kepolisian di daerah tempat tinggalnya bekerja sama dengan kepolisian di luar kota.
Apalagi Kinanti yakin bibi dan pamannya tidak akan tinggal diam, mereka berdua pasti memenjarakan Kinanti.
Sebelum hal itu terjadi membuat Kinanti memutuskan untuk mendatangi tempat penampungan TKW.
"Ini salah satunya cara agar aku bisa bebas dari kejaran paman dan bibi, baiklah. Mungkin aku harus mencari kehidupan di luar negeri dan melupakan tempat tinggalku. Apalagi kedua orang tuaku tidak ada lagi … hah, kamu jangan sedih Kinanti. Kamu harus kuat," Kinanti menegarkan hatinya sendiri.
"Kinanti," panggil seorang pengurus administrasi TKW.
"Iya Pak, saya,' jawab Kinanti sambil berjalan mendekati pria itu.
Kinanti diberikan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah. "Apa kamu fasih berbahasa Inggris?"
"Iya Pak, saya fasih berbahasa Inggris."
"Baiklah, kalau begitu kamu bisa berangkat malam ini juga."
"Terima kasih Pak," sahut Kinanti dengan girang, dan Kinanti berharap ini awal untuk kebaikannya.
Di sisi lain orang suruhan Brian mendatangi rumah peninggalan orang tua Kinanti, tapi di rumah hanya ada sang bibi dan bibi itu menceritakan apa yang terjadi pada anak majikannya.
Bahkan bibi itu juga menceritakan penderitaan Kinanti selama dia tinggal dengan sang bibi.
"Maaf yah Pak, Bapak ini siapa yah? Aku mohon Pak, jangan katakan ini dengan Bu Martha. Aku takut dia marah padaku Pak," kata sang bibi, setelah sadar kalau pria itu pengen tahu banyak hal tentang Kinanti.
"Aku bukan orang jahat kok Bu, oh iya Bu. Apa aku boleh masuk dan melihat rekaman cctv rumah ini, Bu?"
"Jangan Pak, nanti kalau ketahuan Bu Martha dia marah padaku, Pak."
"Gak bakalan Bu, aku datang kesini karena kasihan dengan anak majikan Ibu Kinanti. Dan aku janji tidak akan membawa nama ibu kok."
"Bukan seperti itu Pak, tapi aku takut. Bagaimana kalau Bu Martha tahu dan aku justru di usir dari rumah Pak."
Pria suruhan Brian geram melihat sang bibi, sebab sang bibi tidak bisa diajak kerja sama. Dan sebagai sekuensinya sang bibi dibuat pingsan oleh salah satu teman anak buah Brian dengan cara memukul pundak belakang sang bibi hingga jatuh pingsan.
"Ribet banget sih," decak kesal pria itu. Sang teman justru berkata, "Gak wanita namanya kalau tidak ribet, Michael."
"Iya juga yah," jawab pria yang bernama Michael itu.
Michel dan temannya mencari ruang pengendali cctv, dan keduanya berhasil mengirimkan semua rekaman cctv itu ke dalam ponselnya. Setelah semuanya selesai keduanya lantas pulang dan kembali memberikan laporan pada Brian.
"Iya bagaimana?" tanya Brian dari sambung telepon seluler.
[Pak Bos, kami sudah mengirimkan rekaman cctv yang ada di rumah nona Kinanti ke nomor Pak Bos. Dan mendengar informasi yang didapat dari salah satu asisten pribadi nona Kinanti mengatakan kalau Kinanti kabur dari rumah karena takut pada bibi dan pamannya.]
"Cari tahu dia kemana? Aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya."
Tut Tut Tut
Panggilan itu diakhiri secara sepihak oleh Brian, dan Brian tidak sabar melihat rekaman cctv yang dikirimkan oleh anak buahnya.
"Apa, hahhh …." Tangan Brian diam-diam mengepal berbentuk tinju, melihat penyiksaan yang dialami oleh Kinanti.
Di dalam rekaman video itu Brian melihat wanita yang dicintainya tidak diizinkan untuk makan, hingga melihat Kinanti meminum air kran sebagai pengganjal perutnya.
Brian juga melihat saat Clara sengaja mengotori lantai yang sudah dibersihkan oleh Kinanti, membuat Kinanti harus mengepelnya ulang.
Melihat Kinanti yang beberapa kali memegang perutnya karena lapar, dan melihat Kinanti yang harus memakan makanan sisa. Dan yang terakhir melihat Kinanti meloncat dari jendela kamar Kinanti.
Brian penasaran kenapa Kinanti kabur dengan wajah pucat dan ketakutan, dengan keahliannya Brian berhasil mendapatkan adegan kejadian yang terjadi di dalam kamar Kinanti.
Brian melihat akan keributan yang sempat terjadi antara Clara dan Kinanti, sampai-sampai Kinanti mendorong badan Clara ke belakang.
Setelah melihat semua video itu membuat Brian semakin simpatik ke Kinanti, bahkan cemas memikirkan keadaan Kinanti saat ini.
"Aku tidak akan membiarkan wanita yang aku cintai kenapa-napa, aku harus segera menemukannya sebelum paman dan bibinya berhasil menemukannya," gumam Brian yang bermonolog sendiri. Lalu beberapa detik kemudian Brian memanggil Marco.
"Apa kamu memanggilku, Brian?" tanya Marco yang menghampiri Brian ke ruang kerjanya.
"Hmmmm, aku ingin kamu turun tangan langsung untuk mencari keberadaan Kinanti, aku tidak mau dia sampai kenapa-napa. Apa kamu paham?"
"Baik Brian, tapi bagaimana dengan meeting nanti malam, Brian? Apa kamu bisa pergi dengan mereka?"
"Soal itu kamu tidak usah kuatir, cukup lakukan apa yang aku minta saja. Aku ingin kamu menemukan Kinanti dan jangan sampai sedikitpun ada yang terjadi padanya. Pastikan kalau dia dalam keadaan baik-baik saja!"
"Baik Brian, aku akan pergi sekarang."
Terkadang Marco heran melihat sahabat sekaligus menjadi bosnya itu, dia begitu menginginkan dan mencintai Kinanti. Padahal saat ini saja Brian dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang siap memberikan kesenangan padanya.
Namun dari semua wanita itu tidak ada satupun yang mampu memikat hati Brian, sampai-sampai Frans sang papa berkata, "Kamu mau cari yang kayak mana lagi Brian? Semua bentuk di bawah itu sama Brian, gak ada yang beda dan rasanya juga sama Brian. Lantas kenapa kamu belum memberikan papa menantu juga, Brian?"
"Kalau tujuan kedatangan papa datang menemuiku untuk membahas ini, tolong lupakan Pa. Aku tidak akan menikah terkecuali dengan wanita itu, Pa."
"Wanita itu? Siapa wanita itu, Brian? Apa Papa juga mengenalnya, Brian?"
Bab 5"Papa tidak mau tahu bagaimana caranya Brian, kamu harus segera menikah dan berikan papa keturunan. Usiamu sudah tidak lagi muda Brian, apa yang kamu tunda lagi? Atau jangan-jangan …." Frans melempar tatapan matanya ke arah Marco, yang kebetulan Marco masih ada di ruangan yang sama dengan Brian. Lalu Frans melanjutkan ucapannya dengan berkata, "Kalian berdua tidak ada hubungan serius kan?" Sontak Brian dan Marco saling lempar tatapan, dan dengan spontan keduanya tertawa berbarengan. Kenapa tidak lucu dirasa oleh Brian, saat Frans sang papa justru menebaknya ada hubungan dengan asisten pribadi yang tidak lain sahabatnya sendiri. Hahahaha"Papa ini, sudahlah Pa. Aku pasti akan memberikanmu cucu," kata Brian pada akhirnya. "Baiklah, Papa pegang ucapanmu itu Brian." "Hmmmm, aku harus pergi Pa. Hari ini aku mendapat kiriman beberapa wanita untuk dijadikan wanita penghibur Pa. Apa Papa mau wanita seperti itu yang aku jadikan istri, Pa?" "Kamu jangan bercanda Brian, bagaimana bis
Bab 6Brian jadi tidak begitu semangat hari ini, setelah dia tahu apa yang terjadi dengan Kinanti, hampir saja Kinanti menjadi korban perdagangan manusia. Di jual untuk menjadi wanita penghibur. Sedikit saja Brian terlambat, entah apa yang terjadi pada Kinanti. Memikirkan itu semua membuat Brian sangat emosional, beberapa anak buahnya menjadi sasaran kemarahannya. "Bodoh, bodoh-bodohhhh! Kalian sangat bodoh sekali!" PletakPlakkkk.BugBedebug Ada yang kepalanya didorong dengan tangan Brian, ada pula yang mendapat tamparan, pukulan dan tendangan yang cukup keras. Sampai-sampai pria yang merupakan anak buah Brian itu tersungkur ke belakang. "Maafkan kami, Bos," ujar seorang anak buah. Yang mereka takutkan kini, mereka takut kalau tiba-tiba Brian mengeluarkan pistolnya dan menembaki para anak buahnya. Mereka tahu seberapa gilanya Brian kalau sudah marah, tidak akan ada yang bisa mengendalikan emosi Brian. Dalam hati mereka berdoa untuk keselamatan mereka, "Aku belum mau mati Tuhan
Bab 7MenyamarBrian terpengaruh dengan ucapan Marco, yang mana Marco mengusulkan Brian untuk melakukan pendekatan dengan cara menyamar, dan penyamaran itu pun dimulai dari kini. Brian yang mengenakan tompel di wajahnya itu mampu membuat Kinanti tidak mengenalnya, dan keduanya berbicara soal pekerjaan. "Apa kamu juga sedang mencari pekerjaan?" tanya Brian. "Iya, aku sedang butuh pekerjaan. Oh iya, perkenalkan aku Kinanti, namamu siapa?" Dengan senyum manis Brian menyambut uluran tangan Kinanti sambil berkata, "Aku Bria … maksudku. Aku Berlan." "Hampir saja," gumam Brian dalam hatinya, tentunya Brian sengaja memalsukan namanya, agar Kinanti tidak tahu kalau orang yang di sebelahnya adalah orang yang sangat terobsesi padanya. "Oh, nama yang bagus. Oh iya Berlan. Kira-kira tempat kerjanya di mana yah? Sebelumnya aku minta maaf nih, aku tidak memiliki tempat tinggal … tunggu dulu, kamu jangan berpikir macam dulu. Aku bisa menjelaskannya. Jadi ceritanya gini, aku berencana datang ke
Bab 8Brian jadi bingung kini, dia tidak menyangka Kinanti melihatnya hendak masuk ke dalam mobil mewah yang dibawa oleh anak buah Brian. “Berlan, kenapa kamu diam? Kamu mau kemana dan mereka itu siapa?” tangan Kinanti menunjuk ke arah lima mobil mewah yang berderet dan tujuannya untuk menjemput Brian. “Mereka? Aku tidak kenal dengan mereka, Kinanti. Ini salah satu dari mereka bertanya di mana rumah Pak Midun. Yah mana aku tahu? Lagian aku juga baru disini,” kata Brian berbohong, lanjut dengan Brian yang berkata, “Sana kalian pergi saja, tanyakan ke yang lain, aku tidak mengenal siapa orang yang sedang kalian cari.” Brian senyum-senyum sendiri memandang Kinanti, padahal senyuman itu hanya semata menyembunyikan kebohongan dan kecemasannya kini. Karena dalam hatinya Brian justru berkata, “Hampir saja ketahuan.” “Aneh, masak di tempat seperti ini masih ada yang namanya Midun? Memangnya orang luar itu ada yang namanya Midun yah, Berlan?” Brian mengedikkan bahunya menjawab ucapan Kinan
Bab 9Kinanti dengan senyum ramah menyambut kedatangan Brian, walaupun Kinanti sedikit terkejut melihat Brian yang datang dengan membawa sepeda motor. “Hai, apa kita berangkat sekarang?” tanya Brian. “Hmmmm, ngomong-ngomong sepeda motor ini milikmu, Berlan?” “Bukan, tapi aku pinjam punya teman. Dia punya dua dan ini gak dipakai, yah aku pinjam saja. Ayo kita berangkat.”“Hmmmm,” Kinanti langsung naik ke atas motor yang dikendarai oleh Brian, dia duduk sambil memegang badan Brian dari belakang.Merasakan genggaman tangan Kinanti di pinggangnya membuat perasaan Brian sangat senang, ini yang dia mau. Selalu dekat dan bisa bersama dengan Kinanti seperti ini. “Oh iya Berlan, ngomong-ngomong apa bosnya galak, Brlan?”Pertanyaan Kinanti sempat membuat Brian terdiam untuk beberapa saat, karena arah tujuan Brian sekarang mau ke perusahaan miliknya, dan dia sendirilah bos dari pemilik perusahaan itu, mendengar pertanyaan itu justru membuat Brian tersenyum. Namun sayangnya senyuman itu tidak
Bab 10Kinanti menangis histeris saat Brian menahan badan Kinanti agar Kinanti tidak kabur. “Tolong lepaskan aku, lepaskan akuuuu!” jerit ketakutan Kinanti. “Kinanti, tenangkan dirimu. Aku tidak akan melakukan apapun padamu Kinanti, jangan menangis lagi Kinanti.”“Lepaskan aku, aku mohon biarkan aku pergi. Aku gak mau.” Air mata Kinanti membasahi tangan Brian dan Kinanti benar-benar takut kini menatap Brian, apalagi tangan Brian dilumuri oleh darah segar pria yang habis ia bunuh. Kinanti melihat sendiri dengan mata kepalanya, bagaimana sadisnya Brian saat melenyapkan nyawa pria itu. Kinanti tidak menduga kalau Brian akan sekejam itu. Tega membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Sementara Marco lama memandang keduanya, memandang sang bos dalam menenangkan Kinanti. Hingga Brian menggerakkan tangannya dan meminta Marco datang membawa mobil ke hadapannya. Marco pun segera mungkin mengemudi mobil itu sendiri demi Brian, dan membuka pintu mobil itu untuk Brian. “Aku gak mau ikut
Bab 11“Kamu berkata apa sih, Kinanti? Siapa yang ingin membunuhmu ha? Aku menahanmu disini karena aku mencintaimu, aku ingin kamu menjadi milikku!” kata Brian tanpa basa-basi, dan bukan Brian namanya kalau tidak berkata dengan tegas seperti nada membentak, dan dengan nada seperti itu siapa wanita yang mau dengannya. Ditambah tatapan mata Brian begitu tajam seperti seseorang yang tengah marah besar, membuat wanita bukan suka melainkan takut. Itulah yang dirasakan oleh Kinanti kini.Dia justru ketakutan saat mendengar permintaan dari Brian. “Kenapa kamu diam saja ha? Aku bilang aku suka dengan kamu, dan seharusnya kamu katakan sesuatu padaku!” bentak Brian. Marco menggelengkan kepalanya melihat sang bos mengutarakan perasaannya pada wanita yang dia sukai, dan dalam hatinya Marco berkata, “Seumur hidupmu tidak akan ada wanita yang mau padamu Brian, kalau kamu meminta mereka dengan cara yang sangar seperti itu.”“Brian, Brian, bukan begitu caranya Brian. Lihatlah dia jadi ketakutan pad
Bab 12Jadi tawanan mafia kejam Kinanti memikirkan segala cara agar bisa kabur dari rumah Brian, dari dia yang mengakali para penjaga karena beralasan tiba-tiba sakit perut, dan sebenarnya dia sedang mencari jalan keluar di dalam kamar mandi. Hingga matanya menangkap sebuah lubang yang disediakan untuk saluran udara di kamar mandi. “Ini dia,” gumamnya sambil menatap lubang saluran udara. Kinanti mencoba membuka lubang saluran udara itu dengan begitu hati-hati, sebisa mungkin dia mengusahakan agar tidak menimbulkan bunyi, tapi saat saluran itu terbuka dia justru mengurungkan niatnya. Sebab, beberapa penjaga berdiri tidak jauh dari arah samping kamar mandi. “Apa yang harus aku lakukan? Aku harus pergi dari sini,” gumamnya kembali, tapi Kinanti tidak ada ide lain untuk meloloskan diri, karena tempatnya sekarang sedang dijaga ketat oleh para pengawal Arjun. Tok tok tok “Nona, Nona, apa Anda sudah selesai?’ tanya seorang asisten dari luar kamar mandi. Segera mungkin Kinanti keluar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d
**Bab 97**Malam telah menyelimuti kota ketika Marco mengantar Sarah ke hotel kecil yang aman. Setelah BabSetelah memastikan Sarah baik-baik saja dan sudah masuk ke dalam kamarnya, Marco merasa lega. Namun, rasa tanggung jawabnya memanggilnya kembali ke rumah Brian. Dia tahu ada hal yang lebih penting yang harus dihadapi—pabrik Brian yang terbakar. Dengan hati yang masih resah, Marco memacu mobilnya menuju rumah besar keluarga Brian.Sesampainya di sana, suasana terlihat tenang, jauh dari apa yang Marco bayangkan setelah mendengar kabar kebakaran pabrik. Biasanya, Brian akan sangat murka jika bisnisnya terganggu. Tapi malam ini, rumah itu dipenuhi kehangatan. Marco segera menuju ruang kerja Brian, merasa tak nyaman dengan situasi yang terkesan aneh.Ketika dia membuka pintu, Brian duduk di kursi besar di belakang meja, tampak tenang dan bahkan tersenyum sedikit. "Brian..." Marco memulai dengan nada hati-hati, "Aku baru dengar soal pabrik... Aku minta maaf, aku baru kembali dan terla