Bab 8Brian jadi bingung kini, dia tidak menyangka Kinanti melihatnya hendak masuk ke dalam mobil mewah yang dibawa oleh anak buah Brian. “Berlan, kenapa kamu diam? Kamu mau kemana dan mereka itu siapa?” tangan Kinanti menunjuk ke arah lima mobil mewah yang berderet dan tujuannya untuk menjemput Brian. “Mereka? Aku tidak kenal dengan mereka, Kinanti. Ini salah satu dari mereka bertanya di mana rumah Pak Midun. Yah mana aku tahu? Lagian aku juga baru disini,” kata Brian berbohong, lanjut dengan Brian yang berkata, “Sana kalian pergi saja, tanyakan ke yang lain, aku tidak mengenal siapa orang yang sedang kalian cari.” Brian senyum-senyum sendiri memandang Kinanti, padahal senyuman itu hanya semata menyembunyikan kebohongan dan kecemasannya kini. Karena dalam hatinya Brian justru berkata, “Hampir saja ketahuan.” “Aneh, masak di tempat seperti ini masih ada yang namanya Midun? Memangnya orang luar itu ada yang namanya Midun yah, Berlan?” Brian mengedikkan bahunya menjawab ucapan Kinan
Bab 9Kinanti dengan senyum ramah menyambut kedatangan Brian, walaupun Kinanti sedikit terkejut melihat Brian yang datang dengan membawa sepeda motor. “Hai, apa kita berangkat sekarang?” tanya Brian. “Hmmmm, ngomong-ngomong sepeda motor ini milikmu, Berlan?” “Bukan, tapi aku pinjam punya teman. Dia punya dua dan ini gak dipakai, yah aku pinjam saja. Ayo kita berangkat.”“Hmmmm,” Kinanti langsung naik ke atas motor yang dikendarai oleh Brian, dia duduk sambil memegang badan Brian dari belakang.Merasakan genggaman tangan Kinanti di pinggangnya membuat perasaan Brian sangat senang, ini yang dia mau. Selalu dekat dan bisa bersama dengan Kinanti seperti ini. “Oh iya Berlan, ngomong-ngomong apa bosnya galak, Brlan?”Pertanyaan Kinanti sempat membuat Brian terdiam untuk beberapa saat, karena arah tujuan Brian sekarang mau ke perusahaan miliknya, dan dia sendirilah bos dari pemilik perusahaan itu, mendengar pertanyaan itu justru membuat Brian tersenyum. Namun sayangnya senyuman itu tidak
Bab 10Kinanti menangis histeris saat Brian menahan badan Kinanti agar Kinanti tidak kabur. “Tolong lepaskan aku, lepaskan akuuuu!” jerit ketakutan Kinanti. “Kinanti, tenangkan dirimu. Aku tidak akan melakukan apapun padamu Kinanti, jangan menangis lagi Kinanti.”“Lepaskan aku, aku mohon biarkan aku pergi. Aku gak mau.” Air mata Kinanti membasahi tangan Brian dan Kinanti benar-benar takut kini menatap Brian, apalagi tangan Brian dilumuri oleh darah segar pria yang habis ia bunuh. Kinanti melihat sendiri dengan mata kepalanya, bagaimana sadisnya Brian saat melenyapkan nyawa pria itu. Kinanti tidak menduga kalau Brian akan sekejam itu. Tega membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Sementara Marco lama memandang keduanya, memandang sang bos dalam menenangkan Kinanti. Hingga Brian menggerakkan tangannya dan meminta Marco datang membawa mobil ke hadapannya. Marco pun segera mungkin mengemudi mobil itu sendiri demi Brian, dan membuka pintu mobil itu untuk Brian. “Aku gak mau ikut
Bab 11“Kamu berkata apa sih, Kinanti? Siapa yang ingin membunuhmu ha? Aku menahanmu disini karena aku mencintaimu, aku ingin kamu menjadi milikku!” kata Brian tanpa basa-basi, dan bukan Brian namanya kalau tidak berkata dengan tegas seperti nada membentak, dan dengan nada seperti itu siapa wanita yang mau dengannya. Ditambah tatapan mata Brian begitu tajam seperti seseorang yang tengah marah besar, membuat wanita bukan suka melainkan takut. Itulah yang dirasakan oleh Kinanti kini.Dia justru ketakutan saat mendengar permintaan dari Brian. “Kenapa kamu diam saja ha? Aku bilang aku suka dengan kamu, dan seharusnya kamu katakan sesuatu padaku!” bentak Brian. Marco menggelengkan kepalanya melihat sang bos mengutarakan perasaannya pada wanita yang dia sukai, dan dalam hatinya Marco berkata, “Seumur hidupmu tidak akan ada wanita yang mau padamu Brian, kalau kamu meminta mereka dengan cara yang sangar seperti itu.”“Brian, Brian, bukan begitu caranya Brian. Lihatlah dia jadi ketakutan pad
Bab 12Jadi tawanan mafia kejam Kinanti memikirkan segala cara agar bisa kabur dari rumah Brian, dari dia yang mengakali para penjaga karena beralasan tiba-tiba sakit perut, dan sebenarnya dia sedang mencari jalan keluar di dalam kamar mandi. Hingga matanya menangkap sebuah lubang yang disediakan untuk saluran udara di kamar mandi. “Ini dia,” gumamnya sambil menatap lubang saluran udara. Kinanti mencoba membuka lubang saluran udara itu dengan begitu hati-hati, sebisa mungkin dia mengusahakan agar tidak menimbulkan bunyi, tapi saat saluran itu terbuka dia justru mengurungkan niatnya. Sebab, beberapa penjaga berdiri tidak jauh dari arah samping kamar mandi. “Apa yang harus aku lakukan? Aku harus pergi dari sini,” gumamnya kembali, tapi Kinanti tidak ada ide lain untuk meloloskan diri, karena tempatnya sekarang sedang dijaga ketat oleh para pengawal Arjun. Tok tok tok “Nona, Nona, apa Anda sudah selesai?’ tanya seorang asisten dari luar kamar mandi. Segera mungkin Kinanti keluar
Bab 13Brian mengulangi perkataannya, dia kembali bertanya ke Kinanti dengan berkata, “Kinanti, bagaimana? Apa kamu suka dengan makanannya? Kalau tidak kita makan di luar saja Kinanti. Apa kamu mau Kinanti?” Kinanti yang ditanya memilih diam, sama sekali dia tidak tertarik menggubris ucapan Brian, yang dia inginkan sekarang hanya pergi dari tempat itu. Meninggalkan kediaman Brian, tapi Kinanti tidak tahu bagaimana caranya. Para penjaga begitu ketat menjaga rumah Brian, hingga di setiap lorong yang ada di rumah itu diisi dengan para penjaga. Mereka bergantian untuk berjaga di rumah Brian. Hingga tidak ada celah untuk Kinanti melarikan dari tempat itu. “Kinanti, Kinanti!” Brian muak dan langsung menekan wajah Kinanti dengan cukup keras.“Jangan buat aku marah Kinanti, kalau aku bertanya kamu harus jawab Kinanti!” ujar Brian, hingga Brian melepaskan tangannya dari pipi Kinanti.“Hah,” Kinanti sedikit mengerang kesakitan, dia juga memegang pipinya yang terasa sakit karena ulah Brian.
Bab 14“Aku tidak mau disini, kenapa kamu menahan ku di sini? Biarkan aku pergi, aku gak mau di sini!” “Hah!”Plakkkk Brian gak tahan lagi, sampai dia benar-benar menampar Kinanti dengan begitu keras, tapi saat melihat Kinanti kesakitan sambil memegang pipinya membuat Brian justru merasa bersalah. “Maafkan aku, maafkan aku, Kinanti.” Brian ingin mengelus pipi Kinanti, tapi oleh Kinanti tidak mengizinkan Brian untuk menyentuhnya, sama sekali Kinanti tidak sudi dipegang oleh Brian. “Jangan buat aku marah Kinanti, aku paling tidak bisa dibuat seperti ini Kinanti. Aku sudah memintamu baik-baik untuk menjadi istriku, dan aku akan menjamin kebahagiaan padamu Kinanti. Tapi kamu … hah, jangan sampai aku marah dan meminta paman mu untuk memenjarakan mu Kinanti karena kasus mu yang sudah melukai sepupumu si Clara, Kinanti. Apa yang kamu lakukan itu sudah membuatnya cacat seumur hidup Kinanti!” “Kenapa dia bisa tahu itu?” tanya Kinanti dalam hatinya. “Apa kamu pikir aku tidak tahu Kinanti
Bab 15Tiga pelayan berjalan ke arah Arjun dengan menundukkan kepala mereka, dan Arjun langsung memberikan perintah untuk mendandani Kinanti secantik mungkin. “Buat dia seperti Cinderella malam ini, karena acara ini sangat penting untukku! Dan ingat, jangan sampai ada kesalahan sedikitpun!” “Baik Tuan,” jawab tiga pelayan itu. Kinanti tidak suka dengan cara Brian ini, kenapa harus pakai pelayan. Padahal dia bisa melakukannya sendiri, saat ingin protes satu dari pelayan itu langsung menurunkan lesting bajunya. “Hey, apa yang kamu lakukan? Aku bisa sendiri mengganti pakaianku!” bentak Kinanti. Brian tersenyum manja menatap Kinanti yang protes, dia tahu kalau Kinanti malu kalau tubuhnya dilihat oleh Brian, walaupun begitu Brian tidak mau beralih dari posisinya yang tengah duduk dan dia tetap memandang Kinanti yang tidak mau melepaskan pakaiannya di hadapan Brian. “Aku bisa sendiri, berikan aku baju gantinya!” ujar Kinanti dengan nada membentak. Pelayan itu tidak langsung mengabul
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d