Bab 3
"Papa, Mama. Kalian mau kemana? Tunggu Kinanti, papa, mama!" Kinanti mencoba mengejar bayangan kedua orang tuanya, tapi semakin dikejar bayangan itu semakin hilang.
Bahkan sebuah cahaya memisahkan Kinanti dari kedua orang tuanya. "Mama, papa. Kinanti mau ikut," ujar Kinanti yang tengah menangis sendiri.
Usahanya mengejar kedua orang tuanya sia-sia, yang ada tubuhnya seperti terangkat ke sebuah tempat. "Bangun kamu Kinanti, bangun!" suara itu disertai dengan seseorang yang menggoyangkan badannya. Meminta Kinanti untuk segera membuka mata.
"Siram saja, Ma!" usul Clara, karena kesal melihat Kinanti yang tidak kunjung bangun.
Martha menyetujui saran dari Clara, hingga Martha mengambil segelas air yang tergeletak di atas nakas sebelah ranjang Kinanti.
Byurrr
Segelas air putih itu membasahi wajah Kinanti, membuat Kinanti terpanjat dari atas ranjang.
Kinanti mengusap wajahnya yang basah dengan baju yang dipakainya sambil berkata, "Bi, kenapa aku disiram?"
"Untung cuman disiram Kinanti, untung gak Bibi pukul kamu Kinanti? Kamu lupa yah apa yang Bibi katakan semalam ha? Bibi bilang kalau kamu boleh tinggal di sini dengan satu syarat kamu harus kerja di rumah ini Kinanti. Jangan merasa ratu kamu di rumah ini Kinanti. Karena mulai detik ini dan seterusnya kamu babu di rumah ini Kinanti!"
Kinanti yang dimarahi hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya, dia tidak lupa dengan ucapan Martha semalam, hanya saja sekarang masih terlalu pagi untuk Kinanti bangun.
Kinanti bahkan sempat menoleh ke arah jam dinding, pukul 05:30 menit, sementara Kinanti terbiasa bangun pukul 06:10 menit, itu pun paling cepat. Kadang Kinanti bangun jam 08:00 pagi selama sang papa masih ada.
Namun kini Kinanti dipaksa untuk langsung kerja, dari membersihkan rumah, mengepel lantai, membersihkan jendela, menyapu halaman dan mencuci mobil yang biasa Clara pakai.
Itu semua harus dikerjakan oleh Kinanti, tapi yang sedihnya saat Kinanti melihat keluarga pamannya sedang sarapan bersama, ingin rasanya Kinanti ikut bergabung. Apalagi perutnya terasa lapar, namun dia tidak berani mendekat. Hingga terpaksa Kinanti harus menahan rasa laparnya.
"Kapan semua ini selesai? Aku capek, aku lapar," gumam Kinanti sambil mengelap keringatnya.
"Kinanti, Kinanti!" suara sang bibi yang berteriak memanggil Kinanti, dan Kinanti segera mungkin menghampiri sang bibi.
"Ada apa, Bi?"
"Kamu habiskan sisa makan Bibi ini, Bibi kenyang."
Kinanti melihat sisa nasi yang sudah bercampur dengan sambalnya, dan lauknya yang hanya tinggal kepala ikan dan tulang. Bagaimana bisa Kinanti memakan sisa nasi yang seperti makanan kucing? Entah penghinaan apa yang didapatkan oleh Kinanti lagi.
"Apa yang kamu lihat lagi, Kinanti? Jangan bilang kalau kamu tidak mau menghabiskan sisa makanan Bibi?"
"Bukan begitu Bibi, apa aku boleh menambah nasi dan lauk pauknya Bibi?"
"Jangan melonjak kamu Kinanti, sudah untung Bibi tidak menjualmu untuk membayar semua hutang-hutang almarhum papamu itu Kinanti!"
Kinanti kembali menundukkan kepalanya, belum habis rasa sedih di hatinya karena kehilangan sosok yang ia sayangi, sekarang dia harus menderita di rumahnya sendiri.
"Kenapa tidak dijual aja, Ma? Kan lumayan uangnya Ma, jual aja Kinanti ke sugar Daddy Mama. Kebetulan Clara ingin beli mobil baru, Ma."
"Clara, diam mulutmu!" bentak Rachel. "Kamu jangan ikut campur kalau mamamu bicara, Clara!" sambung Rachel.
Rachel bahkan mengambil piring bekas Martha. "Kamu mau apa, Mas?"
Rachel tidak menghiraukan ucapan istrinya, tangannya disibukkan untuk mengisi piring bekas Martha.
"Mas, apa yang kamu lakukan Mas? Jangan bilang kalau kamu mau menyenangkan perut keponakanmu itu, Mas! Aku tidak setuju Mas!" Martha ingin mengambil piring yang sudah terisi makanan itu, namun oleh Rachel di tepis.
Rachel bahkan berkata, "Kalau Kinanti sakit yang ada kita juga yang susah Martha, kamu mau keluar uang untuk biaya berobat Kinanti, Martha?"
Martha sang istri menggelengkan kepala, mana mau dia keluar uang sepeserpun untuk Kinanti. Dan Kinanti paham betul dengan sikap bibinya yang super pelit sedari dulu.
Kalau bukan begitu Martha dan Rachel tidak akan kaya sampai sekarang, dan ngomong-ngomong keluarga bibinya ini memiliki usaha untuk memberanakkan uang. Bisa dibilang Martha seorang rentenir. Dan itulah kenapa hutang papanya Kinanti sangat banyak ke Martha.
Berawal dari pokoknya yang tidak seberapa dan bunganya yang selangit, hingga jaminannya harta benda yang dimiliki.
Jadi tidak heran kalau hal ini terjadi pada Kinanti sang keponakan sendiri.
"Kamu jangan senang dulu Kinanti, kamu boleh menghabiskan semua makanan itu, tapi ingat … nanti siang dan malam kamu tidak boleh makan lagi! Ingat itu!"
Bisa bilang apa kini, semua kendali ada di tangan sang bibi.
_________
Kawasan Brian.
Brian sedang berada di ruang kerjanya sambil memeriksa semua laporan penjualan dari bawahannya. "Kenapa bisa omset penjualan ku turun bulan ini?" tanyanya.
Sang asisten yang bernama Marco itu pun menjelaskan semuanya dengan berkata, "Maaf Bos, pasar kita sedang diacak-acak oleh gang Jecky. Dia menurunkan harga pasar dari biasa kita jual Bos!"
Bedebug
Brian kesal dengan musuhnya itu, sedari dulu Jecky selalu mencari gara-gara dengan Brian, bahkan Jecky ingin menyaingi Brian.
"Kurang ajar, aku tidak akan membiarkannya menang dariku, kalau begitu turunkan harga dari harga pasarnya. Aku ingin melihat, apa dia masih bisa menyayangiku? Ha hahahaha!"
Brian tertawa terbahak-bahak tapi suaranya terdengar sangar, dan Marcho juga ikut mengiringi tawa sang bos.
"Kamu hancurkan harga penjualannya, aku ingin lihat bagaimana dia datang padaku dan mengaku kalah dariku!"
Tok tok tok
"Permisi Bos!" Seorang pria yang merupakan anak buah Brian berdiri di ambang pintu, menunggu dapat perintah untuk diizinkan masuk.
"Ada apa?" tanya Brian dari posisinya yang tengah duduk.
"Maaf Bos, aku membawa informasi tentang wanita itu Bos."
Brian yang tadinya duduk di depan meja kerjanya langsung berdiri dan pindah ke sofa sambil berkata, "Kamu kemari."
"Baik Bos."
Pria itu berjalan menghampiri Brian, dan berdiri di hadapan Brian. Sambil menunjukkan sebuah foto yang ada Kinanti.
Di dalam foto itu Kinanti tengah menangis di pemakaman, dan satunya lagi ada foto Kinanti yang tengah duduk sendiri sambil menangis.
"Apakah ini alasan kenapa matanya sembab saat aku melihatnya untuk terakhir kalinya?" Brian bermonolog sendiri.
"Maaf Bos, menurut kabar yang aku dapat kalau wanita itu bernama Kinanti dan papanya baru meninggal dalam sebuah kecelakaan beberapa waktu yang lalu, Bos."
"Kinanti, nama yang cantik. Secantik orangnya. Cari tahu di mana dia tinggal. Aku akan kesana dan membawanya bersamaku."
"Baik Bos."
"Hah hahahaha, aku sangat bahagia. Akhirnya aku tahu juga namamu cantik. Aku akan datang menjemputmu dan mengusik sedihmu itu." Brian kembali bergumam sambil tertawa, rasa tidak sabar mulai menghantui pikirannya, dia bahkan langsung terbayang dengan posisinya yang sedang bermesraan dengan Kinanti.
Di dalam bayangan itu Kinanti sedang duduk di pangkuannya, dan Brian sedang mengusap lembut rambut Kinanti sambil berkata, "Aku mencintaimu, Kinanti!"
Disaat bersamaan Frans sangp apa muncul dari depan pintu dan langsung menyambar ucapan Brian dengan berkata, "Apa dia calon menantuku, Brian?"
Bab 4"Aku lelah banget, capek dan aku lapar. Pa, Ma. Kinanti menderita sekarang Ma. Kinanti sering merasa kelaparan Ma, Pa. Dan Kinanti tidak berani mengambil makanan tanpa seizin Bibi. Karena nanti bibi akan marah dan menghukum Kinanti. Apa yang harus Kinanti lakukan? Haruskah Kinanti pergi dari rumah ini?" Kinanti teringat dengan pemberian sang mama di kala dulu, yang mana waktu itu mamanya Kinanti pernah memberikan sesuatu pada Kinanti, dan Kinanti masih ingat persis dengan ucapan mamanya. "Kalung ini kalung pemberian papamu pada mama Kinanti, mama sangat sayang dengan kalung ini. Dan kalung ini juga tanda cinta papamu pada mama, dan sekarang mama ingin kamu menyimpan kalung ini dengan baik Nak. Karena kalung ini sudah saatnya ada di tanganmu Nak.""Kenapa tidak mama simpan saja, Ma?" "Gak Kinanti, Mama ingin kamu menyimpannya. Kelak kalau Mama tidak ada dan kamu butuh uang. Maka kamu boleh menjual kalung ini Kinanti. Mama ingin kalung ini bisa bermanfaat untukmu Nak."Seminggu
Bab 5"Papa tidak mau tahu bagaimana caranya Brian, kamu harus segera menikah dan berikan papa keturunan. Usiamu sudah tidak lagi muda Brian, apa yang kamu tunda lagi? Atau jangan-jangan …." Frans melempar tatapan matanya ke arah Marco, yang kebetulan Marco masih ada di ruangan yang sama dengan Brian. Lalu Frans melanjutkan ucapannya dengan berkata, "Kalian berdua tidak ada hubungan serius kan?" Sontak Brian dan Marco saling lempar tatapan, dan dengan spontan keduanya tertawa berbarengan. Kenapa tidak lucu dirasa oleh Brian, saat Frans sang papa justru menebaknya ada hubungan dengan asisten pribadi yang tidak lain sahabatnya sendiri. Hahahaha"Papa ini, sudahlah Pa. Aku pasti akan memberikanmu cucu," kata Brian pada akhirnya. "Baiklah, Papa pegang ucapanmu itu Brian." "Hmmmm, aku harus pergi Pa. Hari ini aku mendapat kiriman beberapa wanita untuk dijadikan wanita penghibur Pa. Apa Papa mau wanita seperti itu yang aku jadikan istri, Pa?" "Kamu jangan bercanda Brian, bagaimana bis
Bab 6Brian jadi tidak begitu semangat hari ini, setelah dia tahu apa yang terjadi dengan Kinanti, hampir saja Kinanti menjadi korban perdagangan manusia. Di jual untuk menjadi wanita penghibur. Sedikit saja Brian terlambat, entah apa yang terjadi pada Kinanti. Memikirkan itu semua membuat Brian sangat emosional, beberapa anak buahnya menjadi sasaran kemarahannya. "Bodoh, bodoh-bodohhhh! Kalian sangat bodoh sekali!" PletakPlakkkk.BugBedebug Ada yang kepalanya didorong dengan tangan Brian, ada pula yang mendapat tamparan, pukulan dan tendangan yang cukup keras. Sampai-sampai pria yang merupakan anak buah Brian itu tersungkur ke belakang. "Maafkan kami, Bos," ujar seorang anak buah. Yang mereka takutkan kini, mereka takut kalau tiba-tiba Brian mengeluarkan pistolnya dan menembaki para anak buahnya. Mereka tahu seberapa gilanya Brian kalau sudah marah, tidak akan ada yang bisa mengendalikan emosi Brian. Dalam hati mereka berdoa untuk keselamatan mereka, "Aku belum mau mati Tuhan
Bab 7MenyamarBrian terpengaruh dengan ucapan Marco, yang mana Marco mengusulkan Brian untuk melakukan pendekatan dengan cara menyamar, dan penyamaran itu pun dimulai dari kini. Brian yang mengenakan tompel di wajahnya itu mampu membuat Kinanti tidak mengenalnya, dan keduanya berbicara soal pekerjaan. "Apa kamu juga sedang mencari pekerjaan?" tanya Brian. "Iya, aku sedang butuh pekerjaan. Oh iya, perkenalkan aku Kinanti, namamu siapa?" Dengan senyum manis Brian menyambut uluran tangan Kinanti sambil berkata, "Aku Bria … maksudku. Aku Berlan." "Hampir saja," gumam Brian dalam hatinya, tentunya Brian sengaja memalsukan namanya, agar Kinanti tidak tahu kalau orang yang di sebelahnya adalah orang yang sangat terobsesi padanya. "Oh, nama yang bagus. Oh iya Berlan. Kira-kira tempat kerjanya di mana yah? Sebelumnya aku minta maaf nih, aku tidak memiliki tempat tinggal … tunggu dulu, kamu jangan berpikir macam dulu. Aku bisa menjelaskannya. Jadi ceritanya gini, aku berencana datang ke
Bab 8Brian jadi bingung kini, dia tidak menyangka Kinanti melihatnya hendak masuk ke dalam mobil mewah yang dibawa oleh anak buah Brian. “Berlan, kenapa kamu diam? Kamu mau kemana dan mereka itu siapa?” tangan Kinanti menunjuk ke arah lima mobil mewah yang berderet dan tujuannya untuk menjemput Brian. “Mereka? Aku tidak kenal dengan mereka, Kinanti. Ini salah satu dari mereka bertanya di mana rumah Pak Midun. Yah mana aku tahu? Lagian aku juga baru disini,” kata Brian berbohong, lanjut dengan Brian yang berkata, “Sana kalian pergi saja, tanyakan ke yang lain, aku tidak mengenal siapa orang yang sedang kalian cari.” Brian senyum-senyum sendiri memandang Kinanti, padahal senyuman itu hanya semata menyembunyikan kebohongan dan kecemasannya kini. Karena dalam hatinya Brian justru berkata, “Hampir saja ketahuan.” “Aneh, masak di tempat seperti ini masih ada yang namanya Midun? Memangnya orang luar itu ada yang namanya Midun yah, Berlan?” Brian mengedikkan bahunya menjawab ucapan Kinan
Bab 9Kinanti dengan senyum ramah menyambut kedatangan Brian, walaupun Kinanti sedikit terkejut melihat Brian yang datang dengan membawa sepeda motor. “Hai, apa kita berangkat sekarang?” tanya Brian. “Hmmmm, ngomong-ngomong sepeda motor ini milikmu, Berlan?” “Bukan, tapi aku pinjam punya teman. Dia punya dua dan ini gak dipakai, yah aku pinjam saja. Ayo kita berangkat.”“Hmmmm,” Kinanti langsung naik ke atas motor yang dikendarai oleh Brian, dia duduk sambil memegang badan Brian dari belakang.Merasakan genggaman tangan Kinanti di pinggangnya membuat perasaan Brian sangat senang, ini yang dia mau. Selalu dekat dan bisa bersama dengan Kinanti seperti ini. “Oh iya Berlan, ngomong-ngomong apa bosnya galak, Brlan?”Pertanyaan Kinanti sempat membuat Brian terdiam untuk beberapa saat, karena arah tujuan Brian sekarang mau ke perusahaan miliknya, dan dia sendirilah bos dari pemilik perusahaan itu, mendengar pertanyaan itu justru membuat Brian tersenyum. Namun sayangnya senyuman itu tidak
Bab 10Kinanti menangis histeris saat Brian menahan badan Kinanti agar Kinanti tidak kabur. “Tolong lepaskan aku, lepaskan akuuuu!” jerit ketakutan Kinanti. “Kinanti, tenangkan dirimu. Aku tidak akan melakukan apapun padamu Kinanti, jangan menangis lagi Kinanti.”“Lepaskan aku, aku mohon biarkan aku pergi. Aku gak mau.” Air mata Kinanti membasahi tangan Brian dan Kinanti benar-benar takut kini menatap Brian, apalagi tangan Brian dilumuri oleh darah segar pria yang habis ia bunuh. Kinanti melihat sendiri dengan mata kepalanya, bagaimana sadisnya Brian saat melenyapkan nyawa pria itu. Kinanti tidak menduga kalau Brian akan sekejam itu. Tega membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Sementara Marco lama memandang keduanya, memandang sang bos dalam menenangkan Kinanti. Hingga Brian menggerakkan tangannya dan meminta Marco datang membawa mobil ke hadapannya. Marco pun segera mungkin mengemudi mobil itu sendiri demi Brian, dan membuka pintu mobil itu untuk Brian. “Aku gak mau ikut
Bab 11“Kamu berkata apa sih, Kinanti? Siapa yang ingin membunuhmu ha? Aku menahanmu disini karena aku mencintaimu, aku ingin kamu menjadi milikku!” kata Brian tanpa basa-basi, dan bukan Brian namanya kalau tidak berkata dengan tegas seperti nada membentak, dan dengan nada seperti itu siapa wanita yang mau dengannya. Ditambah tatapan mata Brian begitu tajam seperti seseorang yang tengah marah besar, membuat wanita bukan suka melainkan takut. Itulah yang dirasakan oleh Kinanti kini.Dia justru ketakutan saat mendengar permintaan dari Brian. “Kenapa kamu diam saja ha? Aku bilang aku suka dengan kamu, dan seharusnya kamu katakan sesuatu padaku!” bentak Brian. Marco menggelengkan kepalanya melihat sang bos mengutarakan perasaannya pada wanita yang dia sukai, dan dalam hatinya Marco berkata, “Seumur hidupmu tidak akan ada wanita yang mau padamu Brian, kalau kamu meminta mereka dengan cara yang sangar seperti itu.”“Brian, Brian, bukan begitu caranya Brian. Lihatlah dia jadi ketakutan pad
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d