Bab 20“Dia mulai mendekat ke aku, bagaimana dong? Apa aku pura-pura tidur saja? Atau aku pura-pura pingsan, oh my God. Tangannya sudah mulai memegang kakiku. Bagaimana dong ini? Aku tidak mau, aku tidak mau melakukan hubungan itu dengannya. Aku gak mau,” gumam Kinanti yang mulai ketakutan kian. Brian sampai melihat dua tangan Kinanti yang mencengkeram kuat alas kasur yang ia tiduri, sangking takutnya dia kini. Padahal Brian belum ngapa-ngapain, Brian baru memanggil nama Kinanti dan hendak bertanya apa Kinanti tidak mengganti pakaian pengantin yang dia pakai kini. Cuman itu yang baru ingin ditanyakan oleh Brian. Tapi Kinanti sampai menggigil saat tangan Brian menyentuh kaki Kinanti. “Apa dia setakut itu padaku?” tanya Brian dalam hatinya. Padahal tidak ada niat di hati Brian harus melakukan malam pertama itu sekarang, apalagi Kinanti belum siap. Brian rencananya ingin menunggu kesiapan dari Kinanti dulu. Barulah Brian mau melakukan hubungan suami istri itu. Tapi Kinanti sudah setak
Bab 21Gara-gara Kinanti ketakutan dan belum mau menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, membuat Brian harus mencari pelampiasan ke wanita lain. Dia melepaskan semua hasratnya pada wanita bayaran yang sama sekali tidak Brian kenal. Tapi Brian puas dengan pelayanan wanita itu. Karena wanita itu mampu memberikan kenikmatan yang diharapkan oleh Brian, di mampu membuat Brian keluar berulang kali. “Terima kasih, Tuan. Jika Anda menginginkanku lagi. Aku akan bersedia datang ke Tuan kapanpun itu Tuan,” kata sang wanita. Brian tanpa basa-basi langsung meminta wanita itu meninggalkannya, dia tidak mau memakai wanita yang sama dalam setiap kali bercinta. Tapi Brian berharap agar Kinanti segera menerimanya. Dengan begitu Brian tidak akan mencari wanita lain untuk memberikan kebutuhan seksnya. “Kamu kenapa, Brian? Kenapa dengan Kinanti?” goda Marco. Sambil memperbaiki pakaiannya Brian menatap ke Marco, lalu berkata ke Marco. “Besok pagi aku ingin mengajaknya breakfast, jadi sediakan temp
Bab 22“Apa yang sudah aku perbuat, aku baru saja melakukan kesalahan besar di dalam hidupku, aku hampir membunuh seseorang hanya karena ucapanku. Padahal aku cuman ingin Brian membawaku dari sini. Tapi kenapa dia?” Kinanti yang tengah bergumam dalam hatinya itu menatap pria yang terluka patah akibat pukulan Brian. Mulutnya dipenuhi oleh darah, sekujur tubuhnya mengeluarkan darah, dan bola mata pria itu memar akibat pukulan keras Brian. “Ini gila, benar-benar gila,” masih gumam Kinanti dalam hatinya. Saat sedang bergumam itulah Marco bertanya ke Kinanti. “Apa itu benar Kinanti? Apa masakan pria itu sudah menyakitimu Kinanti?” Melihat tatapan mata Kinanti yang ketakutan dan sekaligus merasa iba pada pria itu, membuat Marco mengeluarkan pistolnya di hadapan Kinanti sambil bilang, “Jawab Kinanti, kalau benar aroma masakannya sudah menyakiti hidung mu. Maka aku tidak akan segan-segan menebak pria itu sekarang juga Kinanti.”“Please, jangan bunuh aku. Aku mohon jangan bunuh aku. Maafka
Bab 23Baru tangan Brian yang menyentuh paha Kinanti, Kinanti sudah menangis ketakutan. Sesuatu yang tidak biasa dilihat oleh Brian. “Apa selama ini dia belum pernah disentuh oleh cowok?” tanya Brian dalam hatinya, dan dia semakin penasaran menatap Kinanti. “Aku mohon jangan, aku gak mau. Itu sakit,” rengek Kinanti dengan menangis, dan kaki Kinanti yang mencoba memberontak setiap kali Brian ingin menyentuhnya. “Jangan bilang kalau kamu masih perawan, Kinanti?” pertanyaan yang diajukan oleh Brian, walaupun dia merasa bodoh dengan pertanyaannya. Alasannya karena mustahil zaman sekarang masih ada wanita yang masih perawan, apalagi sudah bekerja. Jadi Brian sedikit ragu dengan pertanyaannya itu. “Aku belum siap, jangan sekarang. Aku mohon,” rengek Kinanti kembali. Mustahil kalau Brian mau mengabulkan permintaan Kinanti itu, sebab Kinanti yang sudah membuatnya kecewa. Tanpa berkata apapun Brian langsung memasukkan dua jari tangannya ke bagian yang bawah pusar itu, tidak peduli sekali
Bab 24Kinanti tersentak tengah malam, setelah dia mendengar suara pintu terbuka. Matanya langsung menoleh siapa gerangan yang datang dan ternyata orang itu Brian. “Kamu belum tidur, Kinanti?” tanya Brian yang tidak ada jawaban, sebab Kinanti langsung memalingkan wajahnya dan langsung memunggungi Brian. “Hah, sampai kapan kamu bersikap dingin padaku Kinanti? Padahal kita sekarang sudah menjadi sepasang suami istri,” Brian bermonolog sendiri, sekalipun Kinanti mendengar celotehan Brian, tapi tetap saja Kinanti memilih diam dan tidak menanggapi ucapan Brian. Padahal Brian sangat ingin merasakan apa yang dirasakan oleh papanya, saat papanya pergi kerja mamanya selalu mengantar sampai depan pintu, saat papanya pulang mamanya juga langsung menyambut kedatangan papanya. Jauh berbanding terbalik dengan yang Arjun rasakan kini, wanita yang sangat dia cintai justru merasa tertekan hidupnya saat ini dengan Arjun. “Apa dia sedang mandi jam sekarang?” Kinanti bertanya dalam hatinya. Mendeng
Bab 25Kinanti tidak bisa tidur, padahal hari sudah larut malam. Setiap bentar dia menoleh ke arah jarum jam dinding. Yang mana jam itu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan setiap kali matanya menoleh ke arah jarum jam. Setiap itu juga Kinanti selalu berkata, “Di mana dia? Kenapa dia belum pulang? Apa dia sudah membunuh seseorang lagi? Oh Tuhan, kalau dia memang takdirku. Aku ikhlas Tuhan. Tapi aku ingin kamu membolak-balikkan hatinya. Agar dia menjadi pria yang baik Tuhan. Aku ingin dia berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang pembunuh.”Hanya doa yang bisa di lantunkan oleh Kinanti kini, tatkala harapannya agar Brian bisa menjadi sosok suami yang baik untuknya. Kinanti juga mau belajar mencintai Brian, asalkan Brian berhenti dari pekerjaannya. Tapi itu tidak mungkin. Hampir setiap hari Brian berurusan dengan yang namanya masalah, dan hampir setiap hari Brian membunuh musuhnya. Jadi mustahil kalau Kinanti meminta Brian menjadi suami yang baik. Klekk Mata Kinanti langsung tertuju
Bab 26“Kamu sudah bangun, Brian? Aku sudah menyiapkan pakaian ganti mu jika kamu ingin mandi Brian,” sahut Kinanti. Gak ada hujan gak ada badai, tiba-tiba saja Kinanti bersikap baik pada Brian. “Ada apa dengannya?” gumam Brian bertanya dalam hati. Sikap Kinanti dari malam tadi hingga pagi ini membuat Brian penasaran, padahal biasanya menyapa Brian saja Kinanti tidak mau. Tapi malam tadi dan pagi ini. Kinanti justru terlebih dahulu menyapa Brian. “Brian, kamu tidak akan tidur lagi kan?” tanya Kinanti ulang. “Hmmmm, aku mau mandi dulu.” Brian berdiri dan lanjut berjalan menuju arah dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi itu Brian bermonolog sendiri. “Ada apa dengan Kinanti? Tumben-tumbenan dia menyapaku. Ada apa dengannya? Sampai menyiapkan pakaian ganti ku segala. Tapi bukankah ini yang aku inginkan. Hah, syukurlah kalau Kinanti sudah belajar menerimaku sebagai suaminya.” Tok tok tok “Brian, aku keluar duluan. Aku tunggu kamu di ruang makan,” ujar Kinanti dari luar pintu kamar
Bab 27Mengharapkan seseorang yang tidak mencintai kita itu mustahil, apalagi memaksanya menerima kita. Itulah yang dialami oleh Brian kini. Dia kembali mendengar kata penolakan dari Kinanti dan meminta Brian untuk melepaskan Kinanti, apa iya Brian akan mau mengabulkan keinginan Kinanti itu? Sangat mustahil. Mendengar ucapan Kinanti yang kembali menolaknya saja langsung membuat Brian justru berkata, “Ini terakhir kalinya aku mendengar ucapanmu ini Kinanti, jangan buat aku terpaksa harus bersikap kasar dengan kamu Kinanti.”Jawaban Brian menyakiti hati Kinanti, tidak ada kelembutan atau sekedar rasa simpatik Brian pada Kinanti. Tapi justru yang ada amarah Brian tatkala Kinanti berusaha untuk berkata jujur akan perasaannya. “Kamu camkan ini baik-baik Kinanti, ini terakhir kalinya aku mendengar kamu tidak menyukai ku lagi Kinanti. Dan aku harap kamu menarik ulur ucapanmu itu Kinanti. Sebelum kamu menyesal.”Tok tok tok…“Brian, apa kita pergi sekarang?” Suara ketukan dan panggilan Mar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d
**Bab 97**Malam telah menyelimuti kota ketika Marco mengantar Sarah ke hotel kecil yang aman. Setelah BabSetelah memastikan Sarah baik-baik saja dan sudah masuk ke dalam kamarnya, Marco merasa lega. Namun, rasa tanggung jawabnya memanggilnya kembali ke rumah Brian. Dia tahu ada hal yang lebih penting yang harus dihadapi—pabrik Brian yang terbakar. Dengan hati yang masih resah, Marco memacu mobilnya menuju rumah besar keluarga Brian.Sesampainya di sana, suasana terlihat tenang, jauh dari apa yang Marco bayangkan setelah mendengar kabar kebakaran pabrik. Biasanya, Brian akan sangat murka jika bisnisnya terganggu. Tapi malam ini, rumah itu dipenuhi kehangatan. Marco segera menuju ruang kerja Brian, merasa tak nyaman dengan situasi yang terkesan aneh.Ketika dia membuka pintu, Brian duduk di kursi besar di belakang meja, tampak tenang dan bahkan tersenyum sedikit. "Brian..." Marco memulai dengan nada hati-hati, "Aku baru dengar soal pabrik... Aku minta maaf, aku baru kembali dan terla