"Goooollllll!" seru para warga yang menonton permainan bola di tanah lapang Dusun Tapan, Bojonegoro.
Pemuda berkumis tipis itu melakukan selebrasi meninju udara atas gol yang dia lesakkan ke gawang tim lawannya.
"Mantep tendangane koen, Gus!" puji sobatnya Sronto sembari merangkul bahu Agus.
( (Mantap tendanganmu, Gus!)
"Lha iyo, To. Agus!" sahut pemuda berparas rupawan dengan rambut gondrong itu menepuk dadanya dengan bangga.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di tepi tanah lapang lalu pria berusia 50an tahun yang mengendarainya berlari tergopoh-gopoh mendekati Agus.
Masih ngos-ngosan menata napasnya, pria itu berkata, "Gawat, Gus! Koen digoleki morotuwomu, penting! Ndang mulio ... lek ndang!"
(Gawat, Gus! Kamu dicari mertuamu, penting! Segeralah pulang ... cepat!)
Pria paruh baya itu pelayan di rumah mertua Agus yang merupakan golongan konglomerat di kampung itu, nama panggilannya Lik Mukidi.
"Iyo, Lik. Aku tak mulih disik yo, To!" pamit Agus pada kawannya Sronto.
(Iya, Lik. Aku pulang duluan ya, To!)
Dengan segera Agus membonceng sepeda motor Lik Mukidi untuk pulang ke rumah mertuanya yang tidak jauh lokasinya dari tanah lapang.
Rumah mertuanya itu paling megah di Dusun Tapan karena memang nenek buyut keluarga Artosuwiryo itu dulunya tuan tanah zaman kompeni Belanda.
Sesampainya di rumah mertuanya, Agus pun bergegas ke pendopo. Ternyata istrinya, Ratih Sitoresmi juga duduk di kursi pendopo itu menemani ayah dan ibunya.
Agus tidak mengerti perkara apa yang membuat Lik Mukidi panik tergopoh-gopoh menjemputnya tadi di tanah lapang, mana pertandingan bolanya sedang seru-serunya pula.
"Kulonuwun, Pak ... Buk ...," ujar Agus seraya mencium tangan bapak dan ibu mertuanya lalu duduk di kursi sebelah istrinya.
Ki Agung Artosuwiryo berdecih menatap menantu miskin yang dia benci itu. Dia pun berkata, "Ratih, sampai kapan kamu akan berharap suamimu itu bisa memberi penghidupan yang layak buat kamu. Kerjaannya cuma main bola tiap hari!"
Mendengar kata-kata sindiran dari mulut mertuanya, Agus pun tertunduk. Selama ini memang dia belum bisa menafkahi istrinya itu. Di kampung pekerjaannya hanya menggarap sawah milik mertuanya dan hasil panennya tentunya langsung masuk saku mertuanya lagi. Di mata mertuanya, dia seolah hanya numpang makan dan tidur saja di rumahnya.
Istrinya pun angkat bicara membelanya. "Pak, Mas Agus itu 'kan juga kerja mbantu Bapak di sawah setiap hari. Dia menghidupi Ratih juga," ujarnya dengan logat Jawa yang halus nan medok.
Merasa ditentang puteri semata wayangnya itu, Ki Agung Artosuwiryo pun naik pitam, dia bertolak pinggang seraya menunjuk-nunjuk muka menantunya. "RATIH! ORA PERLU MBELANI BOJOMU! LANANGAN ORA JEGOS BAE MBOK BELANI!"
(Ratih! Tidak perlu membela suamimu! Lelaki tidak berguna saja kamu bela!)
"Ratih, ndak paham mau Bapak itu apa?" lanjut Ratih menundukkan kepalanya takut-takut di hadapan bapaknya yang mengamuk.
"PEGATAN!" seru Ki Agung Artosuwiryo.
(Cerai!)
Air mata bercucuran di kedua pipi Ratih mendengar kata itu meluncur dari mulut bapaknya. Dia merangkul tubuh suaminya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. "Kang Mas ... Ratih ndak mau pegatan. Ngomong tho, Kang Mas!" desak Ratih karena suaminya diam saja seolah tak berdaya di hadapan bapaknya.
"Pak, kami tidak mau bercerai. Tolong dipertimbangkan lagi ... saya cinta mati sama Ratih!" ujar Agus memeluk tubuh istrinya yang terguncang-guncang karena menangis tersedu-sedu.
"Tsskkk ... mantu kere koyok koen iku ora ono gunane! Wes ndang pegatan! Ratih arep tak rabike maneh karo Arman, putrane Raden Cokro Abimanyu, juragan mbako kampung wetane Dusun Tapan," jawab Ki Agung Artosuwiryo dengan tegas.
(Tsskkk ... menantu miskin seperti kamu itu tidak ada gunanya! Sudah segera cerai! Ratih mau kunikahkan lagi dengan Arman, putranya saudagar tembakau kampung sebelah timur Dusun Tapan)
Ibu kandung Ratih pun menarik tangan puterinya itu untuk masuk ke rumah tanpa memedulikan teriakan protes dari Ratih. "Lepasin Ratih, Bu! Ratih ndak mau pegatan," ucapnya sambil menangis."Mas! Mas Agus!" teriak Ratih memanggil-manggil suaminya saat diseret masuk oleh ibunya ke dalam rumah.
Melihat istrinya diseret paksa masuk ke dalam rumah, hati Agus pun mencelos. Sepertinya kali ini niat mertuanya untuk memaksanya bercerai memang serius.
Sambil berdiri tertunduk di hadapan mertuanya. "Pak, apa tidak ada jalan lain agar kami tidak perlu bercerai? Kalau perlu saya akan merantau ke ibu kota untuk mencari pekerjaan," bujuk Agus sambil meremas-remas telapak tangannya yang berkeringat dingin.
"Sudah cukup! Kalian cerai! Pulang sana ke rumah orangtuamu. Mulai hari ini kamu tidak diterima di kediaman Artosuwiryo lagi!" jawab Ki Agung Artosuwiryo lalu bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan Agus di pendopo seorang diri.
Pikiran Agus ruwet, dia bingung mimpi apa semalam hingga mertuanya memaksanya menceraikan istrinya. Padahal selama ini dia selalu 'nrimo', tidak pernah menuntut bagi hasil ini itu dari kerja kerasnya menggarap sawah dan ladang dari mulai tanam bibit hingga panen.
Dengan langkah gontai, Agus berjalan kaki keluar dari pendopo. Lik Mukidi mendekatinya sembari bertanya, "Ono opo tho, Gus, kok rame tenan ning pendopo?" (Ada apa sih, Gus, kok ramai sekali di pendopo?)
"Bapak pengin aku pegatan sama Ratih, Lik. Pamit ya, Lik. Aku nitip Ratih ...," jawab Agus tak ada semangat lalu berjalan melewati pelataran pendopo menuju ke gerbang keluar kediaman Artosuwiryo.
Lik Mukidi menstarter sepeda motor tuanya lalu menyusul Agus di pintu gerbang. "Yok tak terno mulih omahmu, Gus!"
(Ayo kuantar pulang ke rumahmu, Gus!)
Karena tubuhnya terasa lemas pasca ditalak paksa oleh mertuanya, Agus pun tidak menolak tawaran Lik Mukidi untuk mengantarnya pulang ke rumahnya.
Selama dalam perjalanan, Agus hanya bisa bengong. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya. Terus terang dia tidak punya uang simpanan sama sekali. Susah memang jadi pria yang lugu dan tidak punya ambisi.
Memang tepat predikat sebagai menantu kere alias miskin itu diberikan kepadanya. Mas kawin sekadarnya, pesta pernikahan dibiayai mertuanya, tempat tinggal sesudah menikah ikut mertua juga. Harga diri Agus sudah tergadaikan semenjak dia menikahi puteri Ki Agung Artosuwiryo.
Sebetulnya dia punya banyak keahlian, tetapi sayangnya mertuanya itu sudah dibutakan oleh kekayaan duniawi. Jadi mau mantunya jago main bola, bisa menyetir mobil, bisa membetulkan mesin kendaraan dan elektronik sepertinya tidak ada gunanya bagi Ki Agung Artosuwiryo. Bahkan, semua sawah dan ladangnya digarapkan oleh Agus tidak pernah masuk hitungan di mata mertuanya itu.
Selama ini hanya Ratih saja yang menghargainya di rumah mertuanya itu. Untungnya sekalipun tidak bisa memberi nafkah lahir, tapi nafkah batin selalu tertunaikan sempurna oleh Agus. Istrinya itu selalu menyanjung betapa perkasanya dirinya di atas ranjang. Tentu saja, pekerjaan sehari-hari yang dijalani oleh Agus melibatkan kekuatan fisik dengan tenaga besar. Dia tak ubahnya seperti kuli kasar di mata mertuanya.
Menikahi kembang desa di Dusun Tapan ternyata tidak cukup modal tampang dan cinta. Yang paling penting ternyata ... DUIT!
"Lho, Le ... sore-sore kok ke rumah? Ada apa?" tanya Bu Rodiyah menyambut kedatangan putra tunggalnya itu menjelang maghrib diantar Lik Mukidi.Dalam hatinya, Agus sendiri bingung harus mengatakan apa kepada ibunya. Ini hal yang memalukan, dia diusir mertuanya dan disuruh bercerai dari istrinya tanpa bisa melawan sedikit pun."Ehh ... nganu, Bu ...," ucap Agus terpatah-patah berusaha merangkai kata-kata di kepalanya yang semrawut saat ini.Dia pun duduk di rincak (kursi bambu panjang) bersebelahan dengan Bu Rodiyah. Setelah membulatkan tekadnya seraya menghela napas Agus pun menceritakan duduk permasalahannya dengan mertuanya, Ki Agung Artosuwiryo."Oalah, Le ... Ibu hanya bisa berharap kamu ndak perlu pegatan sama Ratih. Kalian berdua 'kan sama-sama masih cinta tho? Semoga Ki Agung hanya panas ati dan besok sudah baik lagi sama kamu, Gus," ujar Bu Rodiyah mengelus punggung putranya dengan penuh kasih.Namun, Agus tidak yakin dengan apa yang
Sesampainya di rumah, Pak Slamet mengajak istrinya untuk mengobrol tentang rencana putra tunggal mereka merantau ke ibu kota."Bu, sini ... Bu ...," panggil Pak Slamet ke ruang tengah.Bu Rodiyah muncul dari dalam kamar tidur dengan daster. Dia sebetulnya sudah bersiap-siap tidur karena memang sudah larut malam."Ada apa, Pak?" sahut Bu Rodiyah seraya duduk di sebelah suaminya itu.Pak Slamet mengusap wajahnya yang berkumis tebal itu sembari menghela napas. "Tadi di rapat dusun, mertuanya Agus bikin ulah. Ki Agung tidak setuju Agus jadi ketua panitia pembangunan dusun. Anak kita malah dituduh mau korupsi karena miskin, ndak punya duit. Begini lho, kalau Agus merantau ke Jakarta, gimana? Apa Ibu setuju?" ujarnya.Mendengar penuturan suaminya barusan, Bu Rodiyah hanya bisa nyebut dan mengelus dadanya. Dia pun berkata, "Gus, kalau hatimu sudah mantep, Ibu ridho ... kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Ibu pasti dukung.""Agus senang den
Seusai membayar makanannya, Agus pun melangkah meninggalkan warung makan itu untuk mencari kendaraan untuk mengantarkannya ke alamat Lik Supriyadi.Rencananya dia akan bekerja sebagai karyawan di salah satu gerai bakso dan mie ayam milik Lik Supriyadi untuk sementara sambil mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.Tanpa dia duga, seorang pria brewokan berkaca mata hitam menyerobot tas ranselnya lalu membawa kabur tas yang berisi baju dan uang dari ibunya."JAMBRET! JAMBRET!" teriak Agus meminta tolong untuk menghentikan pria brewokan tadi sembari mengejarnya.Namun, sayang sekali tas ranselnya dibawa kabur naik sepeda motor oleh komplotan penjambret itu hingga Agus kehilangan jejak dimana tas ranselnya itu. Hatinya mencelos, dia bingung harus bagaimana, semua barangnya ada di tas ransel yang dijambret itu.Beberapa orang yang bersimpati pada Agus pun mendekatinya. "Rumahnya dimana, Mas? Apa mau saya antar ke polsek buat bikin laporan?"
Anita Permatasari menghentikan mobilnya di depan lobi IGD lalu turun dari sedan Camry hitam itu. Dia segera berlari masuk ke meja pendaftaran pasien IGD."Sus, tolong ada pria tertabrak mobil. Dia di dalam mobil saya dan sekarang masih pingsan," ujar Anita dengan panik.Segera paramedis mendorong bed pasien beroda mendekati sisi penumpang mobil Camry hitam itu untuk menjemput pasien yang tak sadarkan diri itu. Paramedis itu berdua menggotong pemuda bertubuh besar itu lalu membaringkannya ke atas bed pasien beroda.Anita mengamati pria yang dia tabrak tadi masih memejamkan matanya di atas bed pasien didorong masuk ke salah satu bilik IGD oleh paramedis. Hatinya ketar-ketir menunggu pemeriksaan dokter sambil mondar-mandir di depan bilik IGD yang ditutup gorden itu.'Aduh, Mas Radit pasti ngamuk ini kalau sampai pria tadi kenapa-kenapa!' batin Anita gelisah."Ibu Anita, bisa masuk ke sini sebentar?" panggil dokter jaga IGD itu setelah membaca nama ide
Setelah menjalani perawatan 24 jam di rumah sakit. Agus pun dijemput pulang oleh Anita, bos barunya. Seharusnya dia yang menyetir karena pekerjaannya yang baru adalah menjadi sopir wanita cantik itu. Namun, Anita tidak mengizinkannya karena memang kondisi Agus belum pulih total.Usai membayar seluruh biaya perawatan dan obat resep yang harus ditebus di farmasi rumah sakit, Anita mendorong Agus di kursi roda menuju ke depan lobi dimana mobilnya terparkir di situ. Dia memang meminta izin pada sekuriti rumah sakit untuk memarkir sebentar mobilnya di situ dengan alasan menjemput pasien yang pulang rawat inap.Dengan penuh perhatian, wanita muda itu membantu Agus pindah dari kursi roda ke kursi samping pengemudi sedan Camry hitam yang dia kendarai."Mas Agus, apa kita langsung ke rumahku atau kemana dulu ini?" tanya Anita sambil melajukan perlahan mobilnya di jalan raya kota Jakarta yang padat kendaraan."Kalau boleh ... saya mau pamit dulu dengan teman sekampung saya di perumahan daerah b
Setelah beristirahat selama 5 hari penuh tanpa banyak beraktivitas, akhirnya pagi ini Agus mulai pekerjaannya sebagai karyawan Anita Permatasari. Dia mencuci mobil sedan Camry hitam yang biasa dipakai oleh wanita itu di depan garasi.Sebuah mobil Fortuner hitam dengan plat merah memasuki halaman rumah megah itu dan berhenti di halaman depan teras. Seorang pria muda berusia awal 30 an tahun berperawakan tinggi gagah berjalan ke arah garasi dan sekilas memandangi wajah Agus tanpa tersenyum.Pria itu langsung masuk ke dalam rumah seolah dia adalah pemilik rumah megah itu sendiri. Dalam hatinya, Agus menduga itu adalah Raditya Poncobuwono, suami majikannya. 'Lumayan ganteng,' batinnya menilai suami Anita.Agus meneruskan pekerjaannya mengelap kaca mobil sedan itu dengan kain kanebo hingga mengkilap tertimpa sinar matahari.Seorang pria menepuk punggungnya dari belakang, dia pun menoleh. "Kamu baru ya di sini, Mas?" tanya pria berkumis tebal berperawakan agak pendek dan kurus itu kepada A
Seusai mengambil jatah suami di rumah, Radit pun segera berangkat ke kantor Gubernur. Dia mengepalai Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tingkat ibu kota. Pekerjaannya memang sibuk setiap hari hingga sore dan kadang juga ada jam lembur di luar jam kantor bila terpaksa.Pagi ini ada kedatangan anak magang baru dari kampus yang akan bekerja di kantor yang dikepalai oleh Radit. "Permisi, Pak Radit. Selamat pagi," sapa salah seorang mahasiswi magang Kampus Taruna Gunadharma itu.Radit memandangi wajah manis mahasiswi-mahasiswi di hadapan meja kerjanya itu satu per satu, ada 5 orang di daftar absensi. Dia mengerutkan keningnya karena kurang satu yang menghadapnya. "Ini yang 'seekor' kemana? Hari pertama berani bolos?" cecarnya judes.Yulitha yang menjadi koordinator gelombang magang kampus itu pun menjawab, "Ke--kena macet di jalan, Pak. Mungkin sebentar lagi sampai. Mohon bersabar, Pak.""Wah, ini yang disuruh sabar kepala dinas ... kamu nggak salah?!" tuntut Radit dengan nada naik 1 ok
Anita melirik jam tangan Alexander Christie yang melingkari pergelangan tangannya yang ramping. Sepertinya hari sudah mulai siang, dia ada janji dengan pimpinan redaksi majalah Femina yang akan menggunakan butik miliknya sebagai wardrobe pemotretan edisi bulan ini.Dia pun berjalan ke belakang rumahnya dimana mess karyawan berada karena Anita ingin meminta Agus mengantarnya ke kantor redaksi majalah Femina di Jakarta Selatan. Dengan langkah kaki ringan yang anggun, Anita mendekati paviliun yang asri itu.Namun, sontak matanya membulat terperangah ketika melihat pemandangan tubuh pria yang hanya mengenakan celana pendek kain di teras mess karyawan. Otot-otot dada dan perut pria itu terpahat sempurna berlekuk dalam, berkulit sawo matang seperti roti sobek cokelat yang biasa Anita sering makan untuk camilan.Sementara si pria yang tak lain adalah Agus sedang berjemur sambil duduk bersandar santai di kursi kayu dengan posisi kaki mengangkang lebar. Dia memejamkan matanya dengan nyaman mer
Gustav Gonzales berdiri menatap piala Copa Del Rey yang berdiri tegak di rak kaca pajang di kantornya. Di dinding hall of fame ruangan itu terpajang momen-momen selebrasi kemenangan tak terlupakan yang telah dijalani oleh sang kapten Agus Sampurna.Sepuluh tahun sudah pemuda asal sebuah kampung di Indonesia membela timnya. Pria itu membawa kejayaan bagi FC Barcelona dalam setiap tetes peluh perjuangannya. Kini tiba saatnya untuk mengucap sebuah kata perpisahan dengannya."TOK TOK TOK.""Masuk!" sahut Gustav dari dalam ruang kantornya. Dia sudah menunggu kedatangan pria yang dia kasihinya selama 10 tahun belakangan, yang menjadi kesayangan Barcelonistas juga."Selamat siang, Señor Gustav," sapa Agus dengan tatapan sendu dibarengi hati yang tegar. Baginya saat ini sungguh berat, separuh jiwanya telah ada bersama Barça selama satu dasawarsa.Pria berdarah Spanyol itu bergegas mendekati Agus dan memberikan pelukan eratnya. Dia menepuk-nepuk punggung Agus dengan mata basah. Rasanya terlalu
Sebuah kejutan yang terjadi di Final Match Copa Del Rey (Piala Raja Spanyol) musim kali ini, klub FC Levante berhasil naik kelas dengan bertemu juara bertahan FC Barcelona di babak puncak perjuangan itu.Mantan kapten FC Barcelona yaitu William Aufbahn rupanya membuktikan performa terbaiknya bersama tim barunya, FC Levante. Pria asal Perancis itu bermain dengan sangat mengesankan, membuat gol-gol jitunya bersama rekan-rekannya dalam setiap pertandingan.Kekecewaannya terhadap Barça dalam hal ini mantan bosnya yang melecut semangatnya untuk bangkit. Bahkan, William Aufbahn masih belum bisa move on dengan perasaan cintanya kepada Paula Simona Gonzales, adik perempuan bos Barça yang justru menikahi striker baru asal Argentina itu yang kini merumput bersama tim Blaugrana di Barcelona.William Aufbahn sekali lagi berhadapan dengan Agus Sampurna memperebutkan bola tendangan pertama di garis tengah lapangan hijau setelah peluit wasit berbunyi."Priiittt!"Bola bergulir ke kaki Jorge Barrocel
"Pak ... mohon sedekah ... saya belum makan sejak kemarin ...," ucap Radit dengan tangan menengadah di depan kaca jendela mobil yang berhenti di lampu lalu lintas yang menyala merah.Tiba-tiba beberapa pria berseragam Satpol PP ibukota bergegas mendekat ke arah Radit dengan tatapan tak bersahabat."Hey, kamu! Dilarang mengemis di lampu merah, jangan kabur kamu! Ayo ikut ke kantor!" teriak petugas Satpol PP mengacungkan tongkat hitamnya yang keras ke arah Radit yang lari tunggang langgang menghindari kejaran Satpol PP itu.Sayangnya Radit tertangkap dan kedua petugas Satpol PP itu sudah bersiap memukulinya dengan tongkat hitam yang keras. "TIDAAAAKKKKK!!!" jerit Radit kencang yang membangunkan ketiga rekan satu selnya jelang pagi itu.Pak Untung Saripan dan Pak Bintoro Wasesa mendekati ranjang Radit lalu menepuk-nepuk badan Radit agar pria itu terbangun daru mimpi buruknya yang membuatnya sampai mengigau berteriak-teriak."Pak ... Pak ... bangun, Pak Radit!" ujar Pak Bintoro yang beru
"Hey Satria, papa kamu keren banget! Dia idolaku," ucap Jordan Ralleigh, teman sekolah Satria Sampurna di sekolah Taman Kanak-kanak di Barri Gothic."Aku juga ngefans dengan Kapten Agus, tendangannya jitu dan jarang sekali meleset dari gawang!" timpal anak yang lain.Sementara bocah yang ayahnya dipuji oleh teman-temannya itu tersenyum lebar. "Tentu saja, papaku memang keren. Larinya secepat kilat dan badannya seperti Hercules!" sahut Satria dengan bangga.Sesampainya di depan butik mamanya, Satria pun melambaikan tangannya kepada rombongan teman-teman sekolahnya yang berjalan kaki menjauh meneruskan perjalanan pulang ke rumah mereka masing-masing yang terletak tak jauh dari situ."TING." Bel pintu butik penanda ada tamu yang datang berbunyi."Mamaaa ...," panggil Satria manja lalu menubruk tubuh ramping mamanya yang cantik itu di belakang konter meja kasir.Sambil mengusap-usap kepala puteranya, Anita bertanya, "Apa sekolahnya asik, Sayang?"Bocah laki-laki kesayangan Anita itu menja
Yuni Sahara menggendong puterinya yang masih berusia 5 bulan saat menghadiri sidang vonis suaminya atas kasus suap perundangan megaproyek. "Terdakwa Raditya Poncobuwono terbukti bersalah terlibat dalam kasus suap PT. DPU, PT. SKC, PT. UBM, PT. GGA, PT. KPA. Sanksi yang akan diterima adalah sebagai berikut; denda senilai 1 milyar rupiah dan penjara selama 10 tahun. Ada pun barang bukti berupa hasil korupsi akan disita oleh negara. TOK TOK TOK!" Hakim ketua persidangan tipikor mengetuk palu 3 kali untuk mengesahkan putusan vonis untuk kasus yang menjerat Radit.Sang terdakwa yang mengenakan baju oranye pun tertunduk lesu di kursi pesakitan. Dalam benak Radit masa depannya terasa gelap, kebahagiaan yang seharusnya dia nikmati bersama istrinya yang beberapa bulan lalu melahirkan puterinya, Juwita seolah sirna.Petugas kepolisian menggelandang pria berperawakan tegap itu keluar dari ruang persidangan di antara serbuan kilat blitz kamera kuli tinta dan reporter pencari berita utama. Radit
"TING." Bunyi bel penanda ada tamu yang masuk ke butik Bohemian Twilight itu terdengar nyaring.Kepala Anita dan Claudia sontak menoleh ke arah pintu butik mereka. Keduanya pun tersenyum menyambut kedatangan kedua suami mereka masing-masing. Mereka berdua sedang melayani pelanggan yang membayar belanjaan."Terima kasih, Nyonya Anderson!" ucap Anita melepas kepergian klien langganannya.Kedua pemuda tampan berpakaian setelan jas necis itu mendekati pasangan mereka masing-masing di meja konter kasir."Hallo Liefje!" (Halo Sayangku!) sapa Pedro dalam bahasa Belanda lalu memeluk dan mengecup bibir Claudia dengan mesra.Claudia Bijlow pun bertanya, "Apa menang tadi pertandingannya, Bebe?" "Kapten dan Argentine Boy membuat gol. Barça menang lagi, Cloud," jawab Pedro santai lalu dia bertanya, "apa kau suka model rambutku yang baru?""Itu cute, Pedro," jawab Claudia terkikik geli menatap wajah suaminya yang kali ini berganti model rambut spike Harajuku, sedikit funky dan kekanak-kanakan.Sem
La Liga Espanol yang dimainkan sore ini adalah pertandingan tengah musim antara FC Barcelona versus Deportivo La Coruña di Stadion Riazor yang berkapasitas hingga 34.000 penonton. Beberapa pemain yang sudah memiliki anak menggandeng anaknya masuk ke lapangan sebelum pertandingan dimulai sambil menyanyikan lagu mars tim kesebelasan di tengah lapangan. Agus pun tak sabar menantikan Satria, puteranya bisa digandeng masuk ke lapangan hijau sebelum bertanding, pasti sangat membanggakan bila anak itu kelak dewasa dan mengenangnya.Sayangnya bayi itu masih berusia 3 bulan. Sedangkan, rekan satu timnya Pedro Van Bergen juga tengah menantikan kelahiran putera pertamanya bersama Claudia. Pasangan pengantin baru yang fenomenal Paula Simona Gonzales dan Diego Martinez juga kabarnya akan segera memiliki anak setelah menikah beberapa minggu, adik bos Barça itu hamil.Karena performa Diego Martinez yang bagus di setiap pertandingan, Senhor Jose Mourinho memilih untuk menaruh posisi pemuda Argentina
"Ouuhh ... Diego ... sube sube ... akkh!" racau señorita cantik itu meminta pemuda Argentina itu bergerak menaikkan bibirnya dari betis mulus hingga ke pangkal pahanya. (sube=naik)Permainan cinta Paula Simona Gonzales bersama pemain libero Barça itu selalu liar. Malam-malam panas di Barcelona membuat Diego Martinez terperangkap dalam gairah si nona muda adik bosnya.Tubuh kekar Diego bersimbah peluh hingga nampak seperti sehabis mandi. Dia main di atas berjam-jam dengan berbagai posisi dan Simona tak kunjung lelah melayani pemain sepak bola yang tangguh staminanya itu. "Señorita, Espero que disfrutes de nuestro amor!" (Nona, saya harap Anda menikmati percintaan kita!) Diego terengah dengan jantung berpacu memagut bibir ranum wanita binal itu yang kini tengah menindih tubuh Diego."Milikmu keras terus dan aku suka, Argentine Boy! Kupikir lebih baik kita menikah saja, kau membuatku kecanduan tubuh tangguhmu ini, Diego. Uhmm ... akkh!" Simona bergerak menghentakkan tubuhnya dengan liar
Pagi itu pesawat Malaysia Airlines yang membawa Bu Rodiyah dari Jakarta menuju ke Barcelona baru saja mendarat. Wanita desa berusia setengah abad lebih itu berusaha tetap tenang dan mengikuti panduan pramugari hingga berhasil keluar dari gerbang kedatangan penumpang internasional di Bandara International Barcelona El-Prat."Ibuuu!" sambut Anita bergegas mendekati Bu Rodiyah lalu saling bertukar cium peluk dengan ibu suaminya itu."Syukur kalau nggak nyasar, Bu! Hahaha," tukas Agus sembari tertawa berderai. Sebenarnya dia sudah cemas sedari semalam karena ibunya baru sekali pergi keluar negeri sendirian.Bu Rodiyah pun tertawa gembira dan menjawab, "Aslinya Ibu juga grogi, Gus. Di pesawat akeh londo-ne (banyak bule-nya), nggak paham omong apa. Ibu cuma senyum ngangguk-ngangguk aja kalau diajak ngomong.""Kita ke tempat tinggal Agus ya, Bu. Sini tas jinjingnya Agus bawakan saja," ujar puteranya lalu mengangkat tas berisi baju ganti yang berukuran sedang itu.Mereka bertiga berkendara de