Sesampainya di rumah, Pak Slamet mengajak istrinya untuk mengobrol tentang rencana putra tunggal mereka merantau ke ibu kota.
"Bu, sini ... Bu ...," panggil Pak Slamet ke ruang tengah.
Bu Rodiyah muncul dari dalam kamar tidur dengan daster. Dia sebetulnya sudah bersiap-siap tidur karena memang sudah larut malam.
"Ada apa, Pak?" sahut Bu Rodiyah seraya duduk di sebelah suaminya itu.
Pak Slamet mengusap wajahnya yang berkumis tebal itu sembari menghela napas. "Tadi di rapat dusun, mertuanya Agus bikin ulah. Ki Agung tidak setuju Agus jadi ketua panitia pembangunan dusun. Anak kita malah dituduh mau korupsi karena miskin, ndak punya duit. Begini lho, kalau Agus merantau ke Jakarta, gimana? Apa Ibu setuju?" ujarnya.
Mendengar penuturan suaminya barusan, Bu Rodiyah hanya bisa nyebut dan mengelus dadanya. Dia pun berkata, "Gus, kalau hatimu sudah mantep, Ibu ridho ... kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Ibu pasti dukung."
"Agus senang dengan dukungan Bapak dan Ibu, tapi ada satu masalahnya ... Agus tidak punya uang buat berangkat ke Jakarta, sepeserpun tak punya ...," ujar Agus malu.
Semua kebutuhannya selama ini memang dipenuhi oleh Ratih dan keluarga mertuanya. Terkadang Ratih menyelipkan beberapa lembar uang yang tak seberapa nilainya ke dompetnya yang selalu kosong untuk sekadar membeli rokok.
"Tidak perlu dibuat susah, Le. Ibu punya mas-masan, warisan dari mbah kamu dulu, Gus. Besok antarkan Ibu ke toko emas, biar Ibu jual saja untuk bekal kamu merantau ke ibu kota," ujar Bu Rodiyah.
Agus pun mengangguk-anggukkan kepalanya sembari tersenyum getir. Dia merasa bersalah telah merepotkan orangtuanya dengan hidupnya yang malang.
"Agus janji, Bu. Kalau Agus sukses nanti, perhiasan Ibu pasti akan Agus ganti dengan yang lebih bagus," janjinya sembari menatap bapak dan ibunya bergantian yang dibalas dengan senyum hangat serta anggukan yakin.
Keesokan harinya, Agus mengantar ibunya ke toko emas di pasar untuk menjual perhiasan emas warisan dari nenek Agus. Pemuda itu termenung melamun di atas sepeda motor. Akhirnya setelah 25 tahun hidup di kampung halamannya, tiba pula waktunya dia meninggalkan tempat kelahirannya itu.
Bu Rodiyah menepuk punggung putranya. "Gus!"
"Ehh ... ohh ... sudah selesai, Bu?" sahut Agus kelabakan karena kaget.
"Sudah, ayo pulang ke rumah, Gus," jawab Bu Rodiyah seraya tersenyum lalu membonceng di belakang Agus.
Agus pun menstarter sepeda motornya berkendara menuju ke rumah orangtuanya.
Sesampainya di rumah, Bu Rodiyah membuka tas tangannya lalu mengeluarkan dompetnya yang sudah pudar warna coklatnya. "Gus, ini uangnya hasil jual emas ada 5 juta, semoga cukup untuk transport dan sewa tempat tinggal sampai kamu dapat kerjaan di Jakarta," ujarnya seraya menyerahkan 50 lembar uang merah ke tangan putranya itu.
Agus terisak-isak memeluk ibunya. Lidahnya kelu karena terharu dengan segala kebaikan ibunya. Dia malu sudah berusia 25 tahun, tapi masih merepotkan ibunya yang sudah tua.
"Sudah, Le. Ibu ikhlas ... yang penting kamu nanti bisa jadi orang sukses," ucap Bu Rodiyah menepuk-nepuk punggung Agus yang terguncang-guncang karena isak tangisnya.
Sore itu sebelum berangkat merantau, Agus menyempatkan dirinya berpamitan dengan istrinya yang segera akan menjadi mantan istrinya karena memang mereka tidak dapat bersatu lagi terhalang restu orangtua Ratih. Mereka bertemu di belakang dinding rumah keluarga Artosuwiryo.
"Dik Ratih, Kang Mas pamit merantau ke Jakarta ya," ujar Agus menggenggam tangan Ratih.
"Mas Agus, aku ndak rela harus pegatan sama Kang Mas. Apa kita kawin lari aja, Mas?" ucap Ratih berurai air mata lalu mendekap erat tubuh suaminya yang biasa menyentuh mesra tubuhnya.
Hati Agus serasa dikalungi batu kilangan yang begitu berat. Dia masih sangat mencintai Ratih, kembang desa di Dusun Tapan.
Istrinya itu sangat cantik, rambut hitamnya halus lurus sepunggung, raut wajahnya begitu lembut tidak sengak seperti mertuanya. Bibirnya merah ranum dan berhidung mancung, bulu matanya rimbun lentik menaungi mata lebarnya yang cemerlang.
"Jangan, Dik. Bapakmu pasti akan menangkap kita dan malah masa depan kita akan lebih suram. Kalau memang kita berjodoh, kelak pasti bisa bersatu lagi. Mungkin ini sudah jalan takdir yang di atas, Mas Agus harus merantau ke Jakarta biar bisa sukses seperti Lik Supriyadi," jawab Agus dengan tenang sekalipun hatinya terasa seperti diremas-remas.
Tangan Ratih terulur membelai wajah suami yang dicintainya itu lalu dia pun menautkan bibirnya ke bibir Agus untuk memberikan ciuman untuk terakhir kalinya.
"Terima kasih, Mas, sudah jadi suami terbaik buat Ratih selama ini. Maafkan segala caci maki dan perlakuan buruk Bapakku ya, Mas. Jangan dijadikan dendam biar tidak menjadi penghalang jalan kesuksesan Mas Agus ke depannya," tutur wanita cantik itu.
Agus mengecup kening istrinya itu. "Siap, Dik. Mas bukan pendendam kok," sahut Agus.
Kemudian mereka pun berpisah arah. Ratih masuk ke dalam rumah megah keluarganya, sedangkan Agus pulang ke rumah orangtuanya.
Malam harinya, Pak Slamet dan Bu Rodiyah mengantarkan putra semata wayangnya itu ke terminal untuk berangkat dengan bus antar provinsi ke Jakarta.
Agus memeluk erat ayah dan ibunya untuk terakhir kalinya dengan penuh rasa haru di dadanya.
"Ati-ati, Le. Jaga diri di ibukota, jangan lengah sama barang bawaan kamu ya," pesan Bu Rodiyah sebelum melepas kepergian putranya.
Setelah Agus naik ke bus dan sopir menjalankan kendaraannya, Agus melambaikan tangannya dari balik kaca jendela bus kepada ayah dan ibunya.
Bus malam antar provinsi itu melaju meninggalkan terminal Bojonegoro menuju ke Jakarta. Agus memeluk erat tas ranselnya, dia menyimpan uang pemberian ibunya di dalam situ. Karena mengantuk, Agus pun tertidur sepanjang perjalanan.
Setelah hampir 12 jam perjalanan lebih, Agus pun sampai di Terminal Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia pun turun dari bus malam itu lalu mencari toilet karena sudah berjam-jam menahan kencing.
Usai buang air kecil di toilet umum Terminal Tanah Abang, Agus menenteng tas ranselnya menuju ke warung nasi untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena belum makan sejak semalam.
Agus celingukan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Dia masih bingung dengan tempat asing itu. Sementara lautan manusia bersliweran di kanan kirinya seolah sudah terbiasa berada di terminal. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke sebuah warung makan sederhana di terminal itu.
"Bu, pesan nasi rames satu sama es teh," ujar Agus memesan menu makanannya.
Dengan cepat penjaga warung itu menyajikan menu pesanan Agus. Ibu berusia 40an tahun itu bertanya, "Darimana Mas? Baru pertama ke Jakarta ya?"
Agus pun mengunyah makanannya seraya menjawab, "Iya, Bu. Saya dari Bojonegoro, niatnya mau cari kerja di Jakarta."
Dua pasang mata mengamati Agus dari pojok warung sambil minum kopi. Mereka saling memberi kode dengan mata. Sepertinya mereka mendapat mangsa empuk siang itu. Orang desa pasti membawa bekal uang lumayan dari keluarganya untuk bertahan hidup di kota besar.
Mereka berdua pun mengamati Agus dengan seksama dan menunggu pemuda itu membayar makanannya sebelum beraksi. Dan memang benar selembar uang merah dibayarkan Agus ke ibu penjual nasi rames itu. Senyum jahat tersungging di wajah mereka berdua.
Seusai membayar makanannya, Agus pun melangkah meninggalkan warung makan itu untuk mencari kendaraan untuk mengantarkannya ke alamat Lik Supriyadi.Rencananya dia akan bekerja sebagai karyawan di salah satu gerai bakso dan mie ayam milik Lik Supriyadi untuk sementara sambil mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.Tanpa dia duga, seorang pria brewokan berkaca mata hitam menyerobot tas ranselnya lalu membawa kabur tas yang berisi baju dan uang dari ibunya."JAMBRET! JAMBRET!" teriak Agus meminta tolong untuk menghentikan pria brewokan tadi sembari mengejarnya.Namun, sayang sekali tas ranselnya dibawa kabur naik sepeda motor oleh komplotan penjambret itu hingga Agus kehilangan jejak dimana tas ranselnya itu. Hatinya mencelos, dia bingung harus bagaimana, semua barangnya ada di tas ransel yang dijambret itu.Beberapa orang yang bersimpati pada Agus pun mendekatinya. "Rumahnya dimana, Mas? Apa mau saya antar ke polsek buat bikin laporan?"
Anita Permatasari menghentikan mobilnya di depan lobi IGD lalu turun dari sedan Camry hitam itu. Dia segera berlari masuk ke meja pendaftaran pasien IGD."Sus, tolong ada pria tertabrak mobil. Dia di dalam mobil saya dan sekarang masih pingsan," ujar Anita dengan panik.Segera paramedis mendorong bed pasien beroda mendekati sisi penumpang mobil Camry hitam itu untuk menjemput pasien yang tak sadarkan diri itu. Paramedis itu berdua menggotong pemuda bertubuh besar itu lalu membaringkannya ke atas bed pasien beroda.Anita mengamati pria yang dia tabrak tadi masih memejamkan matanya di atas bed pasien didorong masuk ke salah satu bilik IGD oleh paramedis. Hatinya ketar-ketir menunggu pemeriksaan dokter sambil mondar-mandir di depan bilik IGD yang ditutup gorden itu.'Aduh, Mas Radit pasti ngamuk ini kalau sampai pria tadi kenapa-kenapa!' batin Anita gelisah."Ibu Anita, bisa masuk ke sini sebentar?" panggil dokter jaga IGD itu setelah membaca nama ide
Setelah menjalani perawatan 24 jam di rumah sakit. Agus pun dijemput pulang oleh Anita, bos barunya. Seharusnya dia yang menyetir karena pekerjaannya yang baru adalah menjadi sopir wanita cantik itu. Namun, Anita tidak mengizinkannya karena memang kondisi Agus belum pulih total.Usai membayar seluruh biaya perawatan dan obat resep yang harus ditebus di farmasi rumah sakit, Anita mendorong Agus di kursi roda menuju ke depan lobi dimana mobilnya terparkir di situ. Dia memang meminta izin pada sekuriti rumah sakit untuk memarkir sebentar mobilnya di situ dengan alasan menjemput pasien yang pulang rawat inap.Dengan penuh perhatian, wanita muda itu membantu Agus pindah dari kursi roda ke kursi samping pengemudi sedan Camry hitam yang dia kendarai."Mas Agus, apa kita langsung ke rumahku atau kemana dulu ini?" tanya Anita sambil melajukan perlahan mobilnya di jalan raya kota Jakarta yang padat kendaraan."Kalau boleh ... saya mau pamit dulu dengan teman sekampung saya di perumahan daerah b
Setelah beristirahat selama 5 hari penuh tanpa banyak beraktivitas, akhirnya pagi ini Agus mulai pekerjaannya sebagai karyawan Anita Permatasari. Dia mencuci mobil sedan Camry hitam yang biasa dipakai oleh wanita itu di depan garasi.Sebuah mobil Fortuner hitam dengan plat merah memasuki halaman rumah megah itu dan berhenti di halaman depan teras. Seorang pria muda berusia awal 30 an tahun berperawakan tinggi gagah berjalan ke arah garasi dan sekilas memandangi wajah Agus tanpa tersenyum.Pria itu langsung masuk ke dalam rumah seolah dia adalah pemilik rumah megah itu sendiri. Dalam hatinya, Agus menduga itu adalah Raditya Poncobuwono, suami majikannya. 'Lumayan ganteng,' batinnya menilai suami Anita.Agus meneruskan pekerjaannya mengelap kaca mobil sedan itu dengan kain kanebo hingga mengkilap tertimpa sinar matahari.Seorang pria menepuk punggungnya dari belakang, dia pun menoleh. "Kamu baru ya di sini, Mas?" tanya pria berkumis tebal berperawakan agak pendek dan kurus itu kepada A
Seusai mengambil jatah suami di rumah, Radit pun segera berangkat ke kantor Gubernur. Dia mengepalai Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tingkat ibu kota. Pekerjaannya memang sibuk setiap hari hingga sore dan kadang juga ada jam lembur di luar jam kantor bila terpaksa.Pagi ini ada kedatangan anak magang baru dari kampus yang akan bekerja di kantor yang dikepalai oleh Radit. "Permisi, Pak Radit. Selamat pagi," sapa salah seorang mahasiswi magang Kampus Taruna Gunadharma itu.Radit memandangi wajah manis mahasiswi-mahasiswi di hadapan meja kerjanya itu satu per satu, ada 5 orang di daftar absensi. Dia mengerutkan keningnya karena kurang satu yang menghadapnya. "Ini yang 'seekor' kemana? Hari pertama berani bolos?" cecarnya judes.Yulitha yang menjadi koordinator gelombang magang kampus itu pun menjawab, "Ke--kena macet di jalan, Pak. Mungkin sebentar lagi sampai. Mohon bersabar, Pak.""Wah, ini yang disuruh sabar kepala dinas ... kamu nggak salah?!" tuntut Radit dengan nada naik 1 ok
Anita melirik jam tangan Alexander Christie yang melingkari pergelangan tangannya yang ramping. Sepertinya hari sudah mulai siang, dia ada janji dengan pimpinan redaksi majalah Femina yang akan menggunakan butik miliknya sebagai wardrobe pemotretan edisi bulan ini.Dia pun berjalan ke belakang rumahnya dimana mess karyawan berada karena Anita ingin meminta Agus mengantarnya ke kantor redaksi majalah Femina di Jakarta Selatan. Dengan langkah kaki ringan yang anggun, Anita mendekati paviliun yang asri itu.Namun, sontak matanya membulat terperangah ketika melihat pemandangan tubuh pria yang hanya mengenakan celana pendek kain di teras mess karyawan. Otot-otot dada dan perut pria itu terpahat sempurna berlekuk dalam, berkulit sawo matang seperti roti sobek cokelat yang biasa Anita sering makan untuk camilan.Sementara si pria yang tak lain adalah Agus sedang berjemur sambil duduk bersandar santai di kursi kayu dengan posisi kaki mengangkang lebar. Dia memejamkan matanya dengan nyaman mer
Tanpa perlu disuruh, Agus membantu Anita membawakan gantungan baju yang cukup banyak. Total ada 10 baju yang dibawa oleh Agus di tangannya. "Berat nggak, Mas? Apa aku bantu bawain sebagian ya?" ucap Anita sungkan karena Agus membawakan semua baju-baju untuk pemotretan model majalah Femina itu sendirian."Nggak usah, Mbak. Saya bisa kok ...," jawab Agus sembari melempar senyum tipisnya.Mereka berjalan berdampingan menuju ke parkiran basement mall lalu naik ke mobil sedan Camry hitam itu.Siang itu cuaca begitu cerah tanpa awan mendung sedikitpun. Anita menyalakan radio mobilnya mencari siaran stasiun yang memutar lagu yang sedang populer. Akhirnya dia berhenti memindah saluran radio setelah mendapat lagu My Universe yang dinyanyikan Coldplay dan BTS."Mbak Anita suka lagu barat yang heboh begini ya?" tanya Agus sambil menyetir ke arah Kota Bunga di Cianjur, Jawa Barat.Anita menoleh ke sebelahnya lalu menjawab, "Nggak juga, Mas. Sukanya yang asik aja, lagu Indonesia juga suka kok kay
Sesampainya di rumah, Anita segera turun dari mobil Camry hitam miliknya dan langsung bergegas ke kamar tidurnya. Pasalnya, mobil Radit sudah terparkir rapi di garasi. Dia senang suaminya pulang sore dan tidak ada rapat hingga malam seperti biasanya."Mas Radit!" panggil Anita manja lalu menubruk tubuh suaminya dari belakang dan memeluknya.Radit sedang berdiri di tepi ranjang menata pakaian bersih ke dalam koper. Dia pun tersenyum mengetahui istrinya sudah pulang."Hai, Nita Sayang! Ini dateng kok langsung peluk-peluk, kangen apa sama aku?" godanya sambil membalikkan badannya. Anita mendongakkan kepalanya menatap suaminya yang ganteng itu sembari tersenyum lebar. "Kangenlah, jarang di rumah juga ... Mas Radit sibuk melulu! Ini lagi, sudah muat baju ke koper pula. Mas Radit mau kabur kemana lagi sih?! Nita ditinggalin melulu iihh!" cerocos wanita itu dengan gemas.Dengan tiba-tiba, Radit membanting tubuh Anita ke atas ranjang, dia menyurukkan wajahnya ke lekuk leher istrinya yang men
Gustav Gonzales berdiri menatap piala Copa Del Rey yang berdiri tegak di rak kaca pajang di kantornya. Di dinding hall of fame ruangan itu terpajang momen-momen selebrasi kemenangan tak terlupakan yang telah dijalani oleh sang kapten Agus Sampurna.Sepuluh tahun sudah pemuda asal sebuah kampung di Indonesia membela timnya. Pria itu membawa kejayaan bagi FC Barcelona dalam setiap tetes peluh perjuangannya. Kini tiba saatnya untuk mengucap sebuah kata perpisahan dengannya."TOK TOK TOK.""Masuk!" sahut Gustav dari dalam ruang kantornya. Dia sudah menunggu kedatangan pria yang dia kasihinya selama 10 tahun belakangan, yang menjadi kesayangan Barcelonistas juga."Selamat siang, Señor Gustav," sapa Agus dengan tatapan sendu dibarengi hati yang tegar. Baginya saat ini sungguh berat, separuh jiwanya telah ada bersama Barça selama satu dasawarsa.Pria berdarah Spanyol itu bergegas mendekati Agus dan memberikan pelukan eratnya. Dia menepuk-nepuk punggung Agus dengan mata basah. Rasanya terlalu
Sebuah kejutan yang terjadi di Final Match Copa Del Rey (Piala Raja Spanyol) musim kali ini, klub FC Levante berhasil naik kelas dengan bertemu juara bertahan FC Barcelona di babak puncak perjuangan itu.Mantan kapten FC Barcelona yaitu William Aufbahn rupanya membuktikan performa terbaiknya bersama tim barunya, FC Levante. Pria asal Perancis itu bermain dengan sangat mengesankan, membuat gol-gol jitunya bersama rekan-rekannya dalam setiap pertandingan.Kekecewaannya terhadap Barça dalam hal ini mantan bosnya yang melecut semangatnya untuk bangkit. Bahkan, William Aufbahn masih belum bisa move on dengan perasaan cintanya kepada Paula Simona Gonzales, adik perempuan bos Barça yang justru menikahi striker baru asal Argentina itu yang kini merumput bersama tim Blaugrana di Barcelona.William Aufbahn sekali lagi berhadapan dengan Agus Sampurna memperebutkan bola tendangan pertama di garis tengah lapangan hijau setelah peluit wasit berbunyi."Priiittt!"Bola bergulir ke kaki Jorge Barrocel
"Pak ... mohon sedekah ... saya belum makan sejak kemarin ...," ucap Radit dengan tangan menengadah di depan kaca jendela mobil yang berhenti di lampu lalu lintas yang menyala merah.Tiba-tiba beberapa pria berseragam Satpol PP ibukota bergegas mendekat ke arah Radit dengan tatapan tak bersahabat."Hey, kamu! Dilarang mengemis di lampu merah, jangan kabur kamu! Ayo ikut ke kantor!" teriak petugas Satpol PP mengacungkan tongkat hitamnya yang keras ke arah Radit yang lari tunggang langgang menghindari kejaran Satpol PP itu.Sayangnya Radit tertangkap dan kedua petugas Satpol PP itu sudah bersiap memukulinya dengan tongkat hitam yang keras. "TIDAAAAKKKKK!!!" jerit Radit kencang yang membangunkan ketiga rekan satu selnya jelang pagi itu.Pak Untung Saripan dan Pak Bintoro Wasesa mendekati ranjang Radit lalu menepuk-nepuk badan Radit agar pria itu terbangun daru mimpi buruknya yang membuatnya sampai mengigau berteriak-teriak."Pak ... Pak ... bangun, Pak Radit!" ujar Pak Bintoro yang beru
"Hey Satria, papa kamu keren banget! Dia idolaku," ucap Jordan Ralleigh, teman sekolah Satria Sampurna di sekolah Taman Kanak-kanak di Barri Gothic."Aku juga ngefans dengan Kapten Agus, tendangannya jitu dan jarang sekali meleset dari gawang!" timpal anak yang lain.Sementara bocah yang ayahnya dipuji oleh teman-temannya itu tersenyum lebar. "Tentu saja, papaku memang keren. Larinya secepat kilat dan badannya seperti Hercules!" sahut Satria dengan bangga.Sesampainya di depan butik mamanya, Satria pun melambaikan tangannya kepada rombongan teman-teman sekolahnya yang berjalan kaki menjauh meneruskan perjalanan pulang ke rumah mereka masing-masing yang terletak tak jauh dari situ."TING." Bel pintu butik penanda ada tamu yang datang berbunyi."Mamaaa ...," panggil Satria manja lalu menubruk tubuh ramping mamanya yang cantik itu di belakang konter meja kasir.Sambil mengusap-usap kepala puteranya, Anita bertanya, "Apa sekolahnya asik, Sayang?"Bocah laki-laki kesayangan Anita itu menja
Yuni Sahara menggendong puterinya yang masih berusia 5 bulan saat menghadiri sidang vonis suaminya atas kasus suap perundangan megaproyek. "Terdakwa Raditya Poncobuwono terbukti bersalah terlibat dalam kasus suap PT. DPU, PT. SKC, PT. UBM, PT. GGA, PT. KPA. Sanksi yang akan diterima adalah sebagai berikut; denda senilai 1 milyar rupiah dan penjara selama 10 tahun. Ada pun barang bukti berupa hasil korupsi akan disita oleh negara. TOK TOK TOK!" Hakim ketua persidangan tipikor mengetuk palu 3 kali untuk mengesahkan putusan vonis untuk kasus yang menjerat Radit.Sang terdakwa yang mengenakan baju oranye pun tertunduk lesu di kursi pesakitan. Dalam benak Radit masa depannya terasa gelap, kebahagiaan yang seharusnya dia nikmati bersama istrinya yang beberapa bulan lalu melahirkan puterinya, Juwita seolah sirna.Petugas kepolisian menggelandang pria berperawakan tegap itu keluar dari ruang persidangan di antara serbuan kilat blitz kamera kuli tinta dan reporter pencari berita utama. Radit
"TING." Bunyi bel penanda ada tamu yang masuk ke butik Bohemian Twilight itu terdengar nyaring.Kepala Anita dan Claudia sontak menoleh ke arah pintu butik mereka. Keduanya pun tersenyum menyambut kedatangan kedua suami mereka masing-masing. Mereka berdua sedang melayani pelanggan yang membayar belanjaan."Terima kasih, Nyonya Anderson!" ucap Anita melepas kepergian klien langganannya.Kedua pemuda tampan berpakaian setelan jas necis itu mendekati pasangan mereka masing-masing di meja konter kasir."Hallo Liefje!" (Halo Sayangku!) sapa Pedro dalam bahasa Belanda lalu memeluk dan mengecup bibir Claudia dengan mesra.Claudia Bijlow pun bertanya, "Apa menang tadi pertandingannya, Bebe?" "Kapten dan Argentine Boy membuat gol. Barça menang lagi, Cloud," jawab Pedro santai lalu dia bertanya, "apa kau suka model rambutku yang baru?""Itu cute, Pedro," jawab Claudia terkikik geli menatap wajah suaminya yang kali ini berganti model rambut spike Harajuku, sedikit funky dan kekanak-kanakan.Sem
La Liga Espanol yang dimainkan sore ini adalah pertandingan tengah musim antara FC Barcelona versus Deportivo La Coruña di Stadion Riazor yang berkapasitas hingga 34.000 penonton. Beberapa pemain yang sudah memiliki anak menggandeng anaknya masuk ke lapangan sebelum pertandingan dimulai sambil menyanyikan lagu mars tim kesebelasan di tengah lapangan. Agus pun tak sabar menantikan Satria, puteranya bisa digandeng masuk ke lapangan hijau sebelum bertanding, pasti sangat membanggakan bila anak itu kelak dewasa dan mengenangnya.Sayangnya bayi itu masih berusia 3 bulan. Sedangkan, rekan satu timnya Pedro Van Bergen juga tengah menantikan kelahiran putera pertamanya bersama Claudia. Pasangan pengantin baru yang fenomenal Paula Simona Gonzales dan Diego Martinez juga kabarnya akan segera memiliki anak setelah menikah beberapa minggu, adik bos Barça itu hamil.Karena performa Diego Martinez yang bagus di setiap pertandingan, Senhor Jose Mourinho memilih untuk menaruh posisi pemuda Argentina
"Ouuhh ... Diego ... sube sube ... akkh!" racau señorita cantik itu meminta pemuda Argentina itu bergerak menaikkan bibirnya dari betis mulus hingga ke pangkal pahanya. (sube=naik)Permainan cinta Paula Simona Gonzales bersama pemain libero Barça itu selalu liar. Malam-malam panas di Barcelona membuat Diego Martinez terperangkap dalam gairah si nona muda adik bosnya.Tubuh kekar Diego bersimbah peluh hingga nampak seperti sehabis mandi. Dia main di atas berjam-jam dengan berbagai posisi dan Simona tak kunjung lelah melayani pemain sepak bola yang tangguh staminanya itu. "Señorita, Espero que disfrutes de nuestro amor!" (Nona, saya harap Anda menikmati percintaan kita!) Diego terengah dengan jantung berpacu memagut bibir ranum wanita binal itu yang kini tengah menindih tubuh Diego."Milikmu keras terus dan aku suka, Argentine Boy! Kupikir lebih baik kita menikah saja, kau membuatku kecanduan tubuh tangguhmu ini, Diego. Uhmm ... akkh!" Simona bergerak menghentakkan tubuhnya dengan liar
Pagi itu pesawat Malaysia Airlines yang membawa Bu Rodiyah dari Jakarta menuju ke Barcelona baru saja mendarat. Wanita desa berusia setengah abad lebih itu berusaha tetap tenang dan mengikuti panduan pramugari hingga berhasil keluar dari gerbang kedatangan penumpang internasional di Bandara International Barcelona El-Prat."Ibuuu!" sambut Anita bergegas mendekati Bu Rodiyah lalu saling bertukar cium peluk dengan ibu suaminya itu."Syukur kalau nggak nyasar, Bu! Hahaha," tukas Agus sembari tertawa berderai. Sebenarnya dia sudah cemas sedari semalam karena ibunya baru sekali pergi keluar negeri sendirian.Bu Rodiyah pun tertawa gembira dan menjawab, "Aslinya Ibu juga grogi, Gus. Di pesawat akeh londo-ne (banyak bule-nya), nggak paham omong apa. Ibu cuma senyum ngangguk-ngangguk aja kalau diajak ngomong.""Kita ke tempat tinggal Agus ya, Bu. Sini tas jinjingnya Agus bawakan saja," ujar puteranya lalu mengangkat tas berisi baju ganti yang berukuran sedang itu.Mereka bertiga berkendara de