5 Tahun Silam
Desa Bagaharuni, ruang hidup yang belum risak oleh tatanan kota. Masih asri dan belum terjamah. Senyum penduduk lokal yang masih kental terjaga. Manusia dan binatang hidup berdampingan layaknya berumah tangga dalam ekosistem. Penuh semenjana.
Bukan pemandangan langka, jika bertemu satwa liar di jalanan desa. Burung Rangkong Paruh Putih, Macan Tutul, Kasuari hingga Babirusa.
Listrik hanya tersedia hingga jam 5 sore, sisanya hanya obor dan lampu minyak yang dapat diandalkan. Tpi ada satu rumah yang punya akses listrik 24 jam. Kediaman milik Gunawan, juragan padi kaya raya, bergelimang harta. Ia punya genset pribadi di rumahnya.
Rumahnya bertingkat 2 dengan cat putih yang masih cukup baru karena belum lama selesai di bangun. Hampir separuh sawah yang ada di desa adalah kepunyaannya. Ia beristri dan memiliki seorang putra bernama Egy dan putri bungsunya Ega.
Meski punya rumah sebesar itu, bangunan mewah tersebut jarang di tempati. K
"Tolong anak saya pak?""Dia hilang!!" Gunawan berteriak teriak kebakaran jenggot."Tenang pak, tenang!! Gimana kronologinya?" tanya pak polisi hutan itu.Salah satu polisi hutan di sana berjalan menuju Gunawan, sambil membawa nampan."Duduk pak! Duduk dulu! Ini minum dulu," ucapnya menyodorkan segelas air putih.Gunawan segera menenggak habis air tersebut, dan mengelus dadanya pelan."Jadi gimana ceritanya pak? Gimana bisa hilang?""Tadi, waktu saya ke dapur. Anak saya, sendirian di halaman rumah,main ayunan. Tiba tiba waktu saya ngisi air di dalem, ada suara teriakan pak?""Menurut bapak siapa yang teriak?" tanyanya agak nyeleneh.Plakkk..."Ya anaknya lah, semprull!!" ucapnya seniornya menampol anak buah di sampingnya itu."Suaranya memang terdengar seperti anak saya pak, makanya saya langsung lari ke depan,""Di sana anak saya sudah tidak ada di tempat pak. Yang ada tinggal buku gambar yang berse
Toktoktok... Toktoktok...Suara ketukan terdengar, suarnya mengusik gendang telinga milik seorang kakek yang tengah nonton TV di ruang keluarga."Gunawan?" ucap lansia itu usai membukakan pintu."Ayah," ucapnya segera memluk pria itu."Kamu kenapa nak?" tanyanya mengusap rambut anaknya yang sudah menjadi ayah itu."Aku harus gimana yah? Aku bukan ayah yang baik?" ucapnya menangis di pundak ayahnya."Kamu kenapa? Ada masalah?" balasnya melonggarkan pelukan kemudian menatap anaknya yang baru pertama kalinya menangis sejak ia sudah menjadi suami."Gunawan salah yahh!!" lanjutnya masih menangis mengusap air matanya."Siapa yah?" suara seorang Ibu ikut bergabung mendekati mereka berdua."Loh Gunawan?" teriaknya melihat anaknya menangis di pelukan ayahnya, membuat ayahnya menoleh."Kamu kenapa nak? Ada masalah?" tambahnya lagi bertanya.Mereka bertiga duduk di ruang tengah, untuk melanjutkan menginterogasi anakny
Setengah hari Fani melakukan perjalanan ke rumah ayah Gunawan. Ia membawa Egy yang saat itu masih kelas 6 SD menuju Desa Bagaharuni.Brakkk...Sosok perempuan muncul dari balik pintu rumah yang menghantam tembok."Fani?" ucap Gunawan di ruang tamu."Dimana lokasi kejadiannya mas?" teriaknya seperti hewan buas."Kamu sudah datang Fan? Sudah makan?" tanyanya mendekati istrinya di pintu, dan menyeret Egy masuk agar di bawa ke kamar oleh neneknya."Antar aku ke sana sekarang mas!"Tanpa pikir panjang, Gunawan menarik pergelangan tangan istrinya menuju mobil. Mereka langsung menuju ke lokasi kejadian."Berikan barang bujti kemaren pak!" ucap Gunawan pada polisi yang berjaga di sana.Mata Fani mendelik tidak percaya saat melihat baju berwarna oren bunga bunga. Baju itu sudah compang- camping, sobek sana sini seperti terkoyak digigiti hewan. Ditambah darah segar yang mengering telah mengental dirumput, tepatnya di bawah garis p
Apa yang tak benar-benar Egy ketahui 5 tahun lalu kini sudah jelas. Hanya sebab kematian Ega yang belum terungkap."Setelah itu, Mamah sama papah barjauhan seperti yang kamu tau sekarang," ungkap Gunawan menatap Egy merasa bersalah."Maafkan papah Egy!" ucapnya lagi.Egy menangis dalam diam. Ia benar-benar terpukul mendengar kenyataan bahwa Ega tak pernah dimakamkan. Ia juga tak tahu penyebab Ega meninggal yang sebenarnya.Tapi Egy tahu, dia tidak bisa menyalahkan Ayahnya. Ini tak sepenuhnya salah ayahnya."Papah masih nyimpen baju milik Ega yang dulu ditemukan?" tanya Egy berharap bahwa Ayahnya masih menyimpannya."Papah masih menyimpannya kok," Gunawan beranjak dan berjalan menaiki anak tangga, berniat untuk mengambil baju Ega yang selama ini masih ia simpan dengan baik.Tidak lama setelah itu, Gunawan kembali menuruni anak tangga, di tangannya ada sebuah kotak. Gunawan kembali duduk di lantai tempat ia duduk tadi, lalu meletakan ko
"Jangan Rai! Aku mohon!!!" teriak Diva pada laki laki tampan di depannya.Raizel tetap melangkahkan kakinya mendekati kursi tempat Diva terikat. Ia sama sekali tak menggubris apa yang gadis itu ucapkan kepadannya. Ia meraih tapi yang mengikat kedua tangan Diva lebih dulu, dan berusaha melepaskan ikatannya."Plisss Rai stop! Berhenti gue bilang!!!""Gue mohon Rai, gue gak papa! Lho pergi sekarang dari sini!" teriaknya mengeluarkan air mata karena khawatir Raizel akan kenapa kenapa jika melepaskannya.Hati Raizel mengatakan bahwa Ia harus segera menyelematkan gadis yang ada di hadapannya itu. Urusan hasil dan bahaya adalah urutan yang kesekian. Ia tak akan benar benar mendengarkan apa yang Diva teriakan padanya."Raizel! Berhenti, gue mohon..." lirihnya."Lo waras?" bentak Raizel membuat gadis iti terdiam, namun tetap mempertahankan air matanya yang meratapi bahaya di sekitar Raizel."Apa lho udah gak waras? Lho nyuruh gue pergi dari si
Sambil mengusap darah dari hidungnya, karena bocah kota itu Hendrik duduk di kursi halaman depan rumah kakangnya. Ia juga sedikit kesal dengan kakangnya yang kurang cekatan dalam menyelesaikan masalah."Sial!" gumamnya merogoh kotak rokok dari saku celananya.Ia menyulut api dari korek gas yang dipegangnya. Menyodorkan api pada rokok yang sudah nangkring di mulutnya sekarang. Asap tercipta usai api membakar tembakau di ujung rokok itu.Hendrik adalah adik kesayangan Ki Daweh. Apapun yang ia inginkan akan Ki Daweh turuti. Sekalipun nyawanya yang diminta oleh adik laki-laki satu-satunya itu. Mereka besar berdua saja usai ibunya meninggal lebih dari sewindu yang lalu.Sebuah kisah tentang dendam Hendrik, Ia adalah kekasih Fani. Istri Gunawan yang gagal dinikahinya karena terhalang restu orangtua .'Jika hujan menumpahkan seluruh isinya kepada bumi secara cuma-cuma, maka aku dapat mencintaimu tanpa syarat.'Sebuah suara hati, yang tak mamp
Sampailah hendrik di sebuah gubug tua milik kakangnya, Ki Daweh. Ia berniat meminta bantuan dari dukun teluh itu. Hendrik yang dalam keadaan kesal menerobos masuk melalu pintu kayu bagian samping, tanpa memberi salam.Ia kemudian duduk bersimpuh, dengan raut wajah cemberut di hadapan kakangnya yang tengah bersemedi. Hendrik melirik kakangnya yang masih memejamkan mata dalam posisi bersila di ruang praktek perdukunannya."Kang!" ucapnya mencolek lutut kiri kakangnya, seraya bergelayut layaknya bocah SD.Ki Daweh masih fokus pada semedinya. Mulutnya tetap komat kamit merapal mantra yang tidak dimengerti oleh Hendrik. Ia tak merespon rengekkan adiknya itu.Plakkk...Hendrik dengan sengaja menepuk paha kakangnya itu dengan cukup kasar, membuat Ki Daweh sedikit terjingkat. Ia sedikit membuka kelopak matanya, dan melirik adiknya."Ada apa?" ucapnya kembali menutup matanya.
"Kang??" ucap Hendrik mengetuk pintu rumah kakangnya."Kang???" panggilnya sekali lagi, namun tak ada kabar burung yang menjawab panggilannya dari dalam rumah."Akangmu di rumah?" tanya Fani mulai sedikit merasakan cemas melekat di pundaknya."Tadi sore sih di rumah,""Apa dia, ada urusan diluar ya?" gumam Hendrik cukup keras didengar oleh wanita yang berdiri di sampingnya itu."Kita, pulang aja deh. Keliatannya kakangmu nggak di rumah!" serunya dengan nada gemetar, karena bulu romanya meremang tanpa sadar.Brakkk...Pintu rumah Ki Daweh yang full terbuat dari kayu, menabrakkan diri ke tembok. Yang aneh dan membuat Fani semakin panik kengerian karena tak ada seseorang pun yang menyentuh pintu itu, baik dari dalam rumah."Ayo masuk," ucap Hendrik memasang wajah dingin, dengan tatapan datar."Bentar," balas Fani menggaet len
"Mending sekarang kakang berbuat sesuatu deh!" ucap Hendrik bangkit dari duduknya."Bocah bocah ini gabisa di toloransi lagi! Harus segera di basmi!""Tenang, kamu tenang aja. Pasti akang urus kok!""Dasar Gunawan sialan itu!" bentak Hendrik uring-uringan.Daweh hanya mampu menuruti apa yang adeknya inginkan untuk membalas dendam. Dendam yang sama, sejak sepuluh tahun lalu. Speeti sudah mendarah daging pada jiwa adiknya itu. Daweh sebenarnya sudah terlalu lelah untuk hidup bayang bayang dendam adiknya itu.Tapi Daweh tak bisa berbuat banyak. Ia tahu, bahwa Hendrik adalah adik satu satunya yang ia miliki. Daweh susah ingin berhenti menjadi dukun teluh sejak setahun lalu sebenarnya. Ia sudah lelah."Biar akang coba, menganggu mereka lagi!" ucapnya memandang adiknya datar."Terserah! Mau diganggu kek, mau dibunuh juga boleh!" bentaknya sudah dipenuhi emosi ka
Raizel dan yang lainnya menaiki sepeda siang itu, menuju rumah Saleh. Ia tahu satu satunya orang yang mungkin bisa ditanyai soal Ki Daweh adalah Reza. Putra satu satunya Joko yang masih hidup sampai sekarang. Raizel yang berusaha mengorek informasi, hanya diam diam menjalankan rencananya. Ia sengaja menghamipiri Winda dan Reza yang selalu bersama, untuk diajak makan keluar. Sekaligus diam diam memancing Reza untuk bercerita soal ayah dan kakaknya yang pasti ada hubungannya dengan Ki Daweh. "Disini tempatnya?" tanya Egy sembari melihat rumah makan tempat mereka berhenti. "Iya kak, tapi tempatnya kecil kaya gini, gimana? Atau mau nyari yang lain aja?" tawar Winda takut pilihannya tidak sesuai. "Jangan pindah! Di sini aja" sahut Cindy. "Ya udah kalo gitu, kita disini aja" ujar Egy setuju. "Iya, lagian tempatnya nyaman kok" imbuh Caca. "Ya udah, m
Ajeng Sari tidak ada kabar sama sekali semenjak saat itu. Reza hidup sebatang kara dan dirawat oleh Saleh pamannya, saudara yang ia miliki satu satunya.Hampir sewindu Reza hidup dalam ketidaktahuan, kerinduan akan kasih sayang keluarganya. Ajeng Sari yang tak pernah kembali, ayahnya yang sudah gila dan tak bisa mengurusnya. Namun Reza masih hidup dengan baik karena kasih sayang dari Saleh pamannya dan juga istri dengan anak-anaknya. Sudah seperti anaknya sendiri, karena Saleh sendiri juga tak mempunyai anak laki laki.Reza tumbuh menjadi remaja yang baik hati, suka menolong dan berbakhti pada keluarga Saleh hingga sekarang.*****Semalam, usai kejadian melarikan diri yang dilakukan Raizel usai membebaskan Diva yang disekap Ki Daweh, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang sudah terlelap tidur , mereka ketiduran di teras depan rumah.Diva terbangun dalam keadaan memangku kepala Raizel yang kelelahan usai menyelamatkannya semalam. Ia menatap bul
Makhluk suruhan Daweh lainnya kini bertindak keras. Wujudnya seperti ular, tetapi tubuhnya mirip manusia pada umumnya, mulai dari bagian perut hingga kepala. Bisa di sebut siluman ular jika dipikir-pikir.Makhluk itu meruncingkan taring dari kedua sudut bibirnya, lidahnya sesekali menggeliat menjulur keluar masuk, benar benar mirip gelagat ular. Ia meringis buas usai membuat Ajeng Sari tersungkur ke semak semak."Kau mau ke mana gadis manis?" kekehnya dengan puas menatap gadis muda itu gelimbungan."Makhluk sialan!" teriak Ajeng Sari tak terima.Pandangannya masih tak terlalu menggubris makhluk tersebut, dan lebih memilih bangkit untuk menengok ayahnya yang nggelundung ke bawah sebelumnya."Arghhh, ayah?" ucap Ajeng Sari sedikit mengusap sikutnya yang tergores beberapakali oleh ranting semak semak, dan menengok ke arah bawah."Ayah?"Ajeng Sari masih
"Ayahh!!!" Ajeng Sari berteriak menatap ayahnya yang melayang terikat lidah Genderuwo itu.Wajahnya memerah, dengan isi kepala yang hampir meledak karena terus menghirup bau busuk dari lendir di lidah Ge IPnderuwo itu. Ia hanya mampu menoleh ke arah anak gadisnya, dan berteriak lirih."Ja-nggann..." ucapnya tak genap.Genderuwo yang awalnya hendak segera menyantap tubuh Joko, langsung menjatuhkan laki laki malang itu ke tanah lagi. Ia melihat mangsa lain yang lebih menggoda imannya. Ajeng Sari terhirup anyir amis, karena darah haid yang masih deras saat itu. Aromanya membuat jiwa buas makhluk itu berubah arah."Ayah!" ucapnya memeluk ayahnya yang hampir tak sadarkan diri terkapar di tanah."Sadar yah, ayah kenapa!" teriaknya lagi menepuk nepuk pelan wajah ayah tercintanya.Firasat Ajeng Sari tak salah, seperti dugaannya bahwa Daweh akan mencelakai ayahnya. Ajeng Sari tak menatap Genderuwo itu lebih bengis. Ia memang wanita, tapi ia tak perna
Pranggg...Sebuah gelas dijatuhkan begitu saja karena uap panas membuat tangan seorang gadis melepuh. Dia Ajeng sari, putri Joko. Gadis itu meniup ibu jarinya yang melepuh karena gelas teh yang terlalu panas oleh air mendidih."Sial!" umpatnya."Firasat buruk apa ini!" ucapnya merasakan sesak di dadanya karena tak enak hati.Ajeng Sari adalah kembang desa, wajahnya yang rupawan memikat pemuda seumurannya. Masih SMA, masih sangat muda. Dia adalah anak perempuan Joko yang sangat penurut dan baik hati. Ia juga sangat menyayangi ayahnya yang duda ditinggal mati, juga adeknya Reza yang belum lulus SD."Ayah?" pekiknya.Gadis itu menjinjing roknya yang berwarna abu abu karena hendak berangkat sekolah saat itu. Berlarilah dirinya menghampiri ayahnya. Ia ingat bahwa ayahnya sedang naik ke atas bukit. Ia juga tahu kalau Daweh bukan dukun baik baik. Hanya memastikan kalau kalau ada apa apa dengan ayah tercintanya.Sementara itu ayahnya masih be
"Kakang dari mana sih!" teriak Hendrik membentak kakaknya dengan kasar.Kesabarannya sekarang sudah tak mampu dibendung lebih lama lagi. Terlebih ini sudah kesekian kalinya rencana Ki Daweh gagal untuk membantu menyatukan Fani dan Hendrik. Ia memeinta pertanggungjawaban dari kakaknya itu."Liat nih kang, Hendrik jadi gagal kan menikahi Fani!" keluhnya pada laki laki yang yang baru memasuki pintu rumah itu."Kenapa lagi dengan Fani?" tanya Daweh yang tak tau apa apa mengenai kejadian yang terjadi di rumahnya tadi."Ayahnya tadi kemari, marah-marah.""Dia membawa Fani kembali, sambil terus memakiku! Aku tidak terima jika aku dibeginikan kang!" teriak Hendrik menggebu-gebu karena sakit hati dengan omongan ayahnya Fani."Udah kamu tenang dulu!" Daweh berkata dengan tatapan tenang, sambil mendekat mengusap punggung Hendrik pelan."Gimana bisa tenang sih kang! Kalau aku gabisa dapetin Fani, maka tidak ada orang yang boleh memiliki Fani!" te
"Sembah hamba padamu gusti!" ucap Ki Daweh menyatukan kedua telapak tangannya ke atas sambil menunduk hormat pada suara tersebut.Hendrik hanya mengikuti apa yang sedang kakaknya itu lakukan. Walaupun bulu romanya sudah menegang sedari tadi, dia berusaha mengabaikan rasa takutnya. Semua ini demi cintanya pada kekasihnya Fani."Hamba kemari meminta bantuanmu gusti,""Bantuan apa yang kau butuhkan Daweh?" suara beratnya cukup membuat telinga Hendrik bergidik ngeri."Perempuan di depan hamba ini, adalah kekasih adek saya! Dia menginginkan gadis itu menjadi miliknya selamanya!" Daweh bercerita keinginannya membawa gadis itu ke sana."Huahhaaahahah...""Ini bukan masalah, apalagi untuk pengikut setiaku seeprtimu Daweh,""Huahhahahaha..." tawanya menggema pada langit langit gua itu.Raja iblis yang di sembah Daweh adalah penguasa alam bawah. Lebih hantu dari pada iblis manapun. Menurut mitologi tanah jawa namanya Bathara Kala,
"Kau apakan kekasihku kang!" teriaknya.Hendrik sedikit terkejut sekaligus marah melihat kelakuan akangnya itu. Ia bangkit dari duduknya, seraya memprotes dukun teluh di depannya itu. Hendrik jelas tak terima meski itu akangnya sendiri. Ia tak rela kekasihnya itu disakiti oleh siapapun, termasuk kakak tercintanya."Tenang, aku hanya membuatnya diam!" ujar Ki Daweh mengelus pundak kiri Hendrik, yang tengah dalam kondisi marah."Kau tidak menyakitinya kan?" tanya Hendrik memastikan kembali apa yang dilakukan oleh kakaknya."Hmmm," Ki Daweh hanya mengangguk-angguk."Sekarang kau ingin aku melanjutkan hal ini tidak?" tanya Ki Daweh."Aku harus bagaimana!" Hendrik berbalik dan memasang wajah cemberutnya karena bingung."Kau ingin menikahinya kan?" dukun itu bertanya sembari berjalan ke tempat duduknya sebelumnya."Kan aku sudah bilang kang, aku ingin memiliki Fani seutuhnya!" jelas Hendrik sekali lagi untuk meyakinkan kakangny