"Tolong anak saya pak?"
"Dia hilang!!" Gunawan berteriak teriak kebakaran jenggot.
"Tenang pak, tenang!! Gimana kronologinya?" tanya pak polisi hutan itu.
Salah satu polisi hutan di sana berjalan menuju Gunawan, sambil membawa nampan.
"Duduk pak! Duduk dulu! Ini minum dulu," ucapnya menyodorkan segelas air putih.
Gunawan segera menenggak habis air tersebut, dan mengelus dadanya pelan.
"Jadi gimana ceritanya pak? Gimana bisa hilang?"
"Tadi, waktu saya ke dapur. Anak saya, sendirian di halaman rumah,main ayunan. Tiba tiba waktu saya ngisi air di dalem, ada suara teriakan pak?"
"Menurut bapak siapa yang teriak?" tanyanya agak nyeleneh.
Plakkk...
"Ya anaknya lah, semprull!!" ucapnya seniornya menampol anak buah di sampingnya itu.
"Suaranya memang terdengar seperti anak saya pak, makanya saya langsung lari ke depan,"
"Di sana anak saya sudah tidak ada di tempat pak. Yang ada tinggal buku gambar yang berse
Toktoktok... Toktoktok...Suara ketukan terdengar, suarnya mengusik gendang telinga milik seorang kakek yang tengah nonton TV di ruang keluarga."Gunawan?" ucap lansia itu usai membukakan pintu."Ayah," ucapnya segera memluk pria itu."Kamu kenapa nak?" tanyanya mengusap rambut anaknya yang sudah menjadi ayah itu."Aku harus gimana yah? Aku bukan ayah yang baik?" ucapnya menangis di pundak ayahnya."Kamu kenapa? Ada masalah?" balasnya melonggarkan pelukan kemudian menatap anaknya yang baru pertama kalinya menangis sejak ia sudah menjadi suami."Gunawan salah yahh!!" lanjutnya masih menangis mengusap air matanya."Siapa yah?" suara seorang Ibu ikut bergabung mendekati mereka berdua."Loh Gunawan?" teriaknya melihat anaknya menangis di pelukan ayahnya, membuat ayahnya menoleh."Kamu kenapa nak? Ada masalah?" tambahnya lagi bertanya.Mereka bertiga duduk di ruang tengah, untuk melanjutkan menginterogasi anakny
Setengah hari Fani melakukan perjalanan ke rumah ayah Gunawan. Ia membawa Egy yang saat itu masih kelas 6 SD menuju Desa Bagaharuni.Brakkk...Sosok perempuan muncul dari balik pintu rumah yang menghantam tembok."Fani?" ucap Gunawan di ruang tamu."Dimana lokasi kejadiannya mas?" teriaknya seperti hewan buas."Kamu sudah datang Fan? Sudah makan?" tanyanya mendekati istrinya di pintu, dan menyeret Egy masuk agar di bawa ke kamar oleh neneknya."Antar aku ke sana sekarang mas!"Tanpa pikir panjang, Gunawan menarik pergelangan tangan istrinya menuju mobil. Mereka langsung menuju ke lokasi kejadian."Berikan barang bujti kemaren pak!" ucap Gunawan pada polisi yang berjaga di sana.Mata Fani mendelik tidak percaya saat melihat baju berwarna oren bunga bunga. Baju itu sudah compang- camping, sobek sana sini seperti terkoyak digigiti hewan. Ditambah darah segar yang mengering telah mengental dirumput, tepatnya di bawah garis p
Apa yang tak benar-benar Egy ketahui 5 tahun lalu kini sudah jelas. Hanya sebab kematian Ega yang belum terungkap."Setelah itu, Mamah sama papah barjauhan seperti yang kamu tau sekarang," ungkap Gunawan menatap Egy merasa bersalah."Maafkan papah Egy!" ucapnya lagi.Egy menangis dalam diam. Ia benar-benar terpukul mendengar kenyataan bahwa Ega tak pernah dimakamkan. Ia juga tak tahu penyebab Ega meninggal yang sebenarnya.Tapi Egy tahu, dia tidak bisa menyalahkan Ayahnya. Ini tak sepenuhnya salah ayahnya."Papah masih nyimpen baju milik Ega yang dulu ditemukan?" tanya Egy berharap bahwa Ayahnya masih menyimpannya."Papah masih menyimpannya kok," Gunawan beranjak dan berjalan menaiki anak tangga, berniat untuk mengambil baju Ega yang selama ini masih ia simpan dengan baik.Tidak lama setelah itu, Gunawan kembali menuruni anak tangga, di tangannya ada sebuah kotak. Gunawan kembali duduk di lantai tempat ia duduk tadi, lalu meletakan ko
"Jangan Rai! Aku mohon!!!" teriak Diva pada laki laki tampan di depannya.Raizel tetap melangkahkan kakinya mendekati kursi tempat Diva terikat. Ia sama sekali tak menggubris apa yang gadis itu ucapkan kepadannya. Ia meraih tapi yang mengikat kedua tangan Diva lebih dulu, dan berusaha melepaskan ikatannya."Plisss Rai stop! Berhenti gue bilang!!!""Gue mohon Rai, gue gak papa! Lho pergi sekarang dari sini!" teriaknya mengeluarkan air mata karena khawatir Raizel akan kenapa kenapa jika melepaskannya.Hati Raizel mengatakan bahwa Ia harus segera menyelematkan gadis yang ada di hadapannya itu. Urusan hasil dan bahaya adalah urutan yang kesekian. Ia tak akan benar benar mendengarkan apa yang Diva teriakan padanya."Raizel! Berhenti, gue mohon..." lirihnya."Lo waras?" bentak Raizel membuat gadis iti terdiam, namun tetap mempertahankan air matanya yang meratapi bahaya di sekitar Raizel."Apa lho udah gak waras? Lho nyuruh gue pergi dari si
Sambil mengusap darah dari hidungnya, karena bocah kota itu Hendrik duduk di kursi halaman depan rumah kakangnya. Ia juga sedikit kesal dengan kakangnya yang kurang cekatan dalam menyelesaikan masalah."Sial!" gumamnya merogoh kotak rokok dari saku celananya.Ia menyulut api dari korek gas yang dipegangnya. Menyodorkan api pada rokok yang sudah nangkring di mulutnya sekarang. Asap tercipta usai api membakar tembakau di ujung rokok itu.Hendrik adalah adik kesayangan Ki Daweh. Apapun yang ia inginkan akan Ki Daweh turuti. Sekalipun nyawanya yang diminta oleh adik laki-laki satu-satunya itu. Mereka besar berdua saja usai ibunya meninggal lebih dari sewindu yang lalu.Sebuah kisah tentang dendam Hendrik, Ia adalah kekasih Fani. Istri Gunawan yang gagal dinikahinya karena terhalang restu orangtua .'Jika hujan menumpahkan seluruh isinya kepada bumi secara cuma-cuma, maka aku dapat mencintaimu tanpa syarat.'Sebuah suara hati, yang tak mamp
Sampailah hendrik di sebuah gubug tua milik kakangnya, Ki Daweh. Ia berniat meminta bantuan dari dukun teluh itu. Hendrik yang dalam keadaan kesal menerobos masuk melalu pintu kayu bagian samping, tanpa memberi salam.Ia kemudian duduk bersimpuh, dengan raut wajah cemberut di hadapan kakangnya yang tengah bersemedi. Hendrik melirik kakangnya yang masih memejamkan mata dalam posisi bersila di ruang praktek perdukunannya."Kang!" ucapnya mencolek lutut kiri kakangnya, seraya bergelayut layaknya bocah SD.Ki Daweh masih fokus pada semedinya. Mulutnya tetap komat kamit merapal mantra yang tidak dimengerti oleh Hendrik. Ia tak merespon rengekkan adiknya itu.Plakkk...Hendrik dengan sengaja menepuk paha kakangnya itu dengan cukup kasar, membuat Ki Daweh sedikit terjingkat. Ia sedikit membuka kelopak matanya, dan melirik adiknya."Ada apa?" ucapnya kembali menutup matanya.
"Kang??" ucap Hendrik mengetuk pintu rumah kakangnya."Kang???" panggilnya sekali lagi, namun tak ada kabar burung yang menjawab panggilannya dari dalam rumah."Akangmu di rumah?" tanya Fani mulai sedikit merasakan cemas melekat di pundaknya."Tadi sore sih di rumah,""Apa dia, ada urusan diluar ya?" gumam Hendrik cukup keras didengar oleh wanita yang berdiri di sampingnya itu."Kita, pulang aja deh. Keliatannya kakangmu nggak di rumah!" serunya dengan nada gemetar, karena bulu romanya meremang tanpa sadar.Brakkk...Pintu rumah Ki Daweh yang full terbuat dari kayu, menabrakkan diri ke tembok. Yang aneh dan membuat Fani semakin panik kengerian karena tak ada seseorang pun yang menyentuh pintu itu, baik dari dalam rumah."Ayo masuk," ucap Hendrik memasang wajah dingin, dengan tatapan datar."Bentar," balas Fani menggaet len
"Kau apakan kekasihku kang!" teriaknya.Hendrik sedikit terkejut sekaligus marah melihat kelakuan akangnya itu. Ia bangkit dari duduknya, seraya memprotes dukun teluh di depannya itu. Hendrik jelas tak terima meski itu akangnya sendiri. Ia tak rela kekasihnya itu disakiti oleh siapapun, termasuk kakak tercintanya."Tenang, aku hanya membuatnya diam!" ujar Ki Daweh mengelus pundak kiri Hendrik, yang tengah dalam kondisi marah."Kau tidak menyakitinya kan?" tanya Hendrik memastikan kembali apa yang dilakukan oleh kakaknya."Hmmm," Ki Daweh hanya mengangguk-angguk."Sekarang kau ingin aku melanjutkan hal ini tidak?" tanya Ki Daweh."Aku harus bagaimana!" Hendrik berbalik dan memasang wajah cemberutnya karena bingung."Kau ingin menikahinya kan?" dukun itu bertanya sembari berjalan ke tempat duduknya sebelumnya."Kan aku sudah bilang kang, aku ingin memiliki Fani seutuhnya!" jelas Hendrik sekali lagi untuk meyakinkan kakangny