"Pembunuh!"
Arini berdiri sembari memegangi kendaraan matiknya. Ia menggeleng dengan cepat tanda membantah tuduhan itu.
"Kau, pembunuh!" Lagi Dan lagi kata itu terus berulang keluar dari mulut seorang laki-laki.
Lelaki itu menatap Muchi yang telah berlumuran darah dan tergeletak di aspal. Bola mata yang tak lagi berada di tempat serta organ-organ tubuh lain yang telah bercecer.
"Pak, eh, Mas aduh Om ... saya minta maaf." Ia segera turun dari sepeda motornya. Menatap ke kiri dan kanan. Jalanan sepi, bisa saja dirinya langsung melarikan diri.
"Tapi sungguh, bukan saya yang menabraknya." Bibirnya telah pucat, tubuh dengan tinggi di bawah rata-ratanya pun bergetar. Peluh juga sudah membasahi pelipis.
"Jika semua penjahat jujur, mungkin penjara akan penuh." Setelah mengatakan itu, dirinya segera merengkuh tubuh Muchi, lalu melangkah memasuki gerbang.
Arini menepikan motor. Ia melepas helm, lalu mengikuti langkah lelaki yang tengah dirundung duka. Kenapa harus dibawa ke rumah? Mengapa tak langsung ke rumah sakit saja? Ah, itu hanya buang-buang uang, hingga pada akhirnya dia akan dikubur juga.
Langkahnya terhenti saat lelaki itu sudah berdiri di bawah pohon kamboja dan membawa cangkul.
Kain putih itu berlumuran darah.
"Kau membunuh Muchi, dia yang selalu menemaniku setiap waktu, teman tidur dan yang menyambutku sepulang kerja. Apa salahnya hingga kau sampai hati menabraknya?"
Apa salahnya? Bahkan Arini dan lelaki itu saja baru bertemu serta Muchi pun.
"Bukan aku yang menabraknya, Pak. Sungguh."
"Teruslah mengelak."
Arini menghela napas gusar. Dirinya harus mengatakan apa lagi, jika apa yang telah diungkapkan itu semuanya adalah kebenaran yang ada.
"Lalu Bapak, ingin saya bertanggungjawab? Katakan ...." Arini sangat yakin di zaman sekarang orang-orang yang dipikirkan hanyalah perihal rupiah.
Lelaki itu diam, lalu menggeleng.
"Serahkan nama, nomor telepon dan alamat rumahmu."
"Saya Arini, eh, untuk apa nomor telepon dan alamat? Saya tidak akan lari, kok. Walaupun, itu memang bukan salah saya," tutur Arini.
Arini heran mengapa lelaki itu meminta alamatnya juga, memangnya dari wajah sudah tersirat jika dirinya memiliki sifat-sifat penjahat?
"Cepat sebutkan nomormu atau saya teriak dan Anda bisa dihabisi massa."
Arini menyebutkan nomor teleponnya beserta alamat rumah dan ciri-ciri spesifiknya. Setelah itu dirinya segera pergi. Bertemu lelaki gila adalah hal yang paling memuakkan untuknya. Ia memilih aman daripada mati muda karena salah paham. Terlebih lagi dirinya belum menikah, banyak yang mengatakan jika orang meninggal sebelum menikah maka arwahnya akan menjadi arwah penasaran itulah yang dikatakan tetangganya.
***
"Aku, enggak menabraknya!" seru Arini.
Mimpi buruk yang sudah tiga kali hadir secara berturut-turut. Ia tidak menabraknya, tetapi hanya berniat menolong. Namun, justru dirinya yang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan.
Gedoran pintu bersahutan dengan bunyi bel. Ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00. Siapa yang bertamu? Padahal dirinya tidak ada janji dengan siapapun, apalagi dirinya sudah mengecek tidak ada jadwal paket yang datang.
"Tunggu sebentar." Arini menjawab sembari mencepol rambutnya asal. Ia menghela napas dan mengumpulkan nyawanya secara utuh.
"Bapak ...." Tubuh gadis itu bergetar hebat saat mengetahui siapakah tamu yang bertandang pada kontrakan sepetak miliknya.
"Mau apa Bapak, ke sini?" tanya Arini pelan.
"Meminta pertanggungjawaban."
Netra gadis yang baru saja bangun tidur itu membulat seketika. Biasanya kaum wanita yang menuntut pertanggungjawaban, tetapi di sini beda. Lelakilah yang meminta hal itu. Dunia benar-benar sudah tua.
"Ayo, Pak, masuk." Arini membuka pintu dengan lebar. Ia segera duduk di karpet rafsur. Ya, diluar dapat mengundang banyak tetangga datang.
"Saya ingin pertanggungjawaban."
Arini mengangguk. Dirinya sudah bosan mendengar kalimat tersebut.
"Saya tidak pernah lari dari hal apa pun. Walau, sebenarnya saya bukan pelaku yang menabrak." Arini menghela napas panjang. Dari pakaian dan rumah lelaki itu sudah dapat menjamin. Dia dari golongan atas. Untuk apa sampai mengejarnya? Pemerasan?
"Untuk ganti rugi uang, saya ada sedikit tabungan hasil kerja di warung soto bu Ayu." Arini mengatakannya sembari meraih tas selempang yang berada di bawah bantal.
"Berapa jumlah tabunganmu?"
"Ada dua juta lima ratus ribu," jawab Arini. uang itu adalah hasil dari keringatnya sendiri selama bekerja di warung makanb selama ini.
Lelaki itu menggeleng. Ia tersenyum sombong, uang tabungan dari gadis itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan harta yang telah dirinya miliki.
"Saya tidak butuh uangmu. Dia lebih berharga dari itu. Gara-gara kamu Muchi, mati! Padahal kami baru saja merayakan ulang tahunnya yang keempat."
Mendapat bentakan dari orang yang tidak ia kenal membuat Raline bungkam. Harusnya waktu itu dirinya langsung pergi saat melihat truk di depannya melindas, bukan berhenti dan sok jadi pahlawan yang akhirnya menjadi korban.
"Terus saya harus apa?" tanya Arini. Kali ini gadis itu sudah mulai lelah, percuma saja membela diri jika akhirnya tetap disalahkan.
"Kau harus menggantikannya. Menemaniku setiap waktu dalam keadaan apa pun!"
Netra gadis itu membulat. Dirinya benar-benar tidak menyangka dengan permintaan pertanggungjawaban dari lelaki itu hal yang sangat di luar nalar.
'Enggak waras.'
"Dasar Om-om yang doyan nyari kesempatan. Sukanya nindas orang kecil aja!" seru Arini. Memang sekarang ini kebanyakan laki-laki seperti itu menganggap semua wanita sama saja murahan yang bisa dibeli dengan uang ataupun tas branded.
"Apa katamu?" Lelaki itu menatap Arini dengan sengit.
"Udah sukanya nyari kesempatan, tuli lagi," sahut Arini.
"Masih muda, etika itu dijaga. Jangan mencoba lari dari tanggungjawab, ya."
"Bapak, butuh temen curhat? Kesepian? Makannya nikah cari pasangan," ujar Arini.
"Jangan asal bicara saya sudah punya istri."
Arini menghela napas. Opini pertama bila lelaki itu kesepian salah, berarti yang kedua jika lelaki itu memiliki gangguan kejiwaan.
"Terus saya harus gimana?" tanya Arini.
Gadis itu mencoba untuk melakukan negosiasi dengan sang lelaki agar bisa menemukan solusi.
"Seperti yang saya katakan tadi."
Arini menggeleng. Apa yang tadi dikatakan sebuah hal gila untuknya.
"Saya memang bukan wanita saleha, belum bisa menutup aurat, tapi enggak usah disamain kayak mbak-mbak yang suka mangkal juga dong. Kalau Bapak butuh teman curhat mending ke Mamah Dedeh aja, deh, biar jawabannya benar bukan ke saya," papar Arini.
Dadanya telah sesak oleh api amarah yang terus berkobar.
"Bukan dia yang menyebabkan Muchi mati!"
"Ayo, menikah."
Netra Arini membulat. Ia menggeleng. Dirinya menaruh jari telunjuk di kening dengan posisi miring. Kenal saja baru beberapa hari yang lalu.
"Nikah? Nama, Bapak saja saya tidak tahu," ujar Arini.
"Saya, Elsyam Hanafiah," ucap Elsyam.
"Terus saya jadi istri kedua gitu? Ogah!" seru Arini.
Arini menggeleng dengan tegas pertanda ia menolak pinangan itu.
Cukup ia yang tidak tahu asal-usul dirinya dan keluarganya. Lari dari panti asuhan karena selalu mendapat ketidakadilan dari ibu dan anak panti lainnya. Jangan sampai terjadi pada anaknya kelak. Dirinya ingin memiliki keluarga utuh bukan hasil merusak rumah tangga wanita lain. Dirinya juga percaya jika karma itu ada kepada setiap orang dan hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Dirinya juga tidak ingin menuai karma tersebut.
"Istri siri atau simpanan, saya," ucap Elsyam.
Arini menggeleng. Ia tak mau menjadi bahan omongan orang lagi. Dari sekian sinetron yang dirinya lihat dapat diambil kesimpulan. Bila dirinya menikah dengan pria beristri akan kecil kemungkinan untuk bahagia bisa saja ditinggalkan karena bosan atau ancaman istri pertama, lalu viral dan dirinya akan dihakimi netizen yang maha benar.
"Enggak."
"Siap-siaplah. Kita akan menikah secepatnya," ucap Elsyam.
***
Tawaran Elsyam membuatnya bingung. Ia seorang perawan, tetapi tidak bodoh membedakan antara siri dan simpanan sah. Lelaki itu telah mengirimkan perias dan perlengkapan lain. Butuh waktu tiga hari untuk merealisasikan semuanya."Bunuh diri karena terdesak boleh nggak, sih?" tanya Arini pada sang perias.Ya, hanya karena Muchi seekor kucing korban tabrak lari, dirinya harus menjadi seorang simpanan? Bagaimana bisa dirinya tergadai karena kucing? Elsyam benar-benar lelaki gila yang pernah ia temui selama 21 tahun hidup. Lelaki beristri yang berusaha menggait hati wanita muda."Cantik."Arini menoleh, wajahnya ia tekuk. Tak ada raut kebahagiaan sedikit pun. Acara ijab kabul berlangsung cukup singkat. Pernikahan hanya berpayungkan agama dan tak berlindungkan hukum. "Sabtu dan Minggu, aku akan datang menemuimu," tutur Elsyam. Arini mengangguk. Datang atau tidaknya Elsyam takkan berpengaruh untuknya.Selepas acara ia segera mengganti seluruh pakaian. Tak seperti kisah novel, wanita yang m
Elsyam yang baru saja memejamkan mata, ia harus kembali terbangun saat mendengar pintu berderit. Langkah kaki pun semakin terdengar, jika di rumah ini dirinya seperti seorang bangkai hidup yang hanya mampu berbaring seharian di tempat tidur tanpa melakukan apapun.Haruni seperti biasa selalu pulang larut malam, wanita itu hanya melirik sekilas ke arah ranjang di mana Elsyam tengah terbaring.Ketukan pintu, membuat haruni yang tengah menghapus make up segera bangkit untuk membukakan pintu."Eh, Sayang. Bagaimana jika ada yang lihat akan bahaya untuk kita."Seorang laki-laki baru saja masuk, lelaki itu segera menutup pintu kamar Elsyam."Aku baru saja pulang dari perjalanan bisnis, apa kau tidak merindukan aku?"Lelaki itu terus membelai wajah Haruni dan memberikan beberapa kecupan di dahi sang wanita. Mereka berdua tidak memedulikan Elsyam yang tengah menatapnya.Melakukan adegan gila di hadapan suaminya sendiri. Dokter bahkan sudah memvonis Elsyam akan menjadi manusia lumpuh seumur hi
“Tumben, dia belum dateng.”Sabtu ini Elsyam tidakdatang ke kontrakannya. Mungkinkah saat ini lelaki itu sudah membuangnya? Arinisudah bersiap untuk berangkat bekerja. Sekarang kendaraan beroda duanya itusudah terasa begitu nyaman, karena minggu kemarin lelaki itu sudah membawa motornyauntuk diservis."Apa aku teleponsaja, ya?"Arini sudah mencari nomor lelaki itu, tetapi dirinya segera mengundurkanniat. Mengapa sekarang dirinya terkesan yang mencari-cari dan mengharapkanlelaki itu untuk datang. Padahal jika tidak ada lelaki itu hidupnya terasanyaman dan jika bersama dengan Elsyam dirinya merasa seperti terjajah.Ada atau tidaknya lelaki itu di dalam kehidupannya akan tetap sama dantidak akan merubah apapun. Arini kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.Tak butuh waktu lama hanya sekitar 10 menit dirinya sudah sampai diwarung makan. Baru saja masuk, dirinya sudah dipanggil oleh bude Lasmi sangpemilik warung."Arini, ini gajimu untuk bulan ini," ujar Bude Lasmi.Arini bin
"Aku heranbisa-bisanya dirimu tidak mengenali suami sendiri?"Elsyam melepaskanbungkaman tangannya di mulut Arini usai yakin wanita itu tidak akan berteriak."Ya itu memang kelemahanku. Aku tidak bisa menghafal seseorang dariwajahnya, aku hanya bisa hafal dari suaranya."Entahlah sudah dari dulu dirinya memang seperti itu, sangat sulitmenghafal orang baru hanya dari wajahnya walaupun keduanya berpapasan di jalan.Ia juga bisa dengan mudah lupa nama seseorang yang tidak penting untuknya."Aku benar-benar sial. Pertama, aku menikahi wanita yang memilikihati iblis, lalu menikahi wanita kedua yang benar-benar bodoh sampai-sampaitidak bisa mengenali wajah suaminya sendiri!" Baru saja hari ini hendak mendebat, tetapi langkah kaki kepala pelayansudah mulai mendekat. Elsyam kembali lagi ke tempat tidur dibantu dengan Ariniyang membenarkan selimut lelaki itu."Ini pakaianmu dan kamarmu sedang disiapkan. Mulai sekarang kamusudah bisa menjaga tuan El di sini." Setelah menyerahkan paka
“E-El??” Haruni baru saja pulang dari liburan berdua bersama dengan Hendri. Wanita itu dengan tenang bepergian karena berpikir sudah ada pelayan baru yang merawat Elsyam. Namun, kepulangannya hari ini disambut hal yang tak pernah ia sangka-sangka. Wanita itu sangat terkejut saat membuka pintu kamar karena ia melihat Elsyam tengah berdiri menatap ke arah jendela. “Kejutan, Haruni.” Elsyam memang sengaja telah menunggunya dan ingin membuat wanita itu terkejut. Wajah Haruni berubah menjadi pucat, seperti dirinya baru saja melihat hantu. Ia tidak menyangka jika suaminya bisa kembali pulih seperti sedia kala, padahal hari Sabtu kemarin lelaki itu masih terbaring di ranjang. “Ba-bagaimana mungkin?” "Kenapa kau nampak tidak senang melihatku sudah sembuh Haruni?" Elsyam melangkahkan kaki, mengekati Haruni yang terpaku. Aura Elsyam begitu menyeramkan, seolah siap membunuh. Haruni mundur, saat lelaki itu semakin mendekat. Namun, Elsyam segera menarik lengannya dan menyeret wanita itu menu
"Jangan pernah kau menyombongkan kekuasaanmu saat ini El. Ingat, kau hanyalah pewaris bukan perintis tak sepantasnya kau sombong seperti itu." Elsyam tersenyum mendengar Hendri akhirnya buka suara. Ia melangkah mendekati adiknya tersebut dengan tangan terulur meminta semua hal yang disebutkannya tadi. "ATM, kunci mobil serta semua fasilitas yang selama ini kamu nikmati juga." Dirinya tersenyum puas setelah melihat wajah enggan dari Hendri saat menyerahkan apa yang sebelumnya telah mereka nikmati. Baginya ini hanyalah sebuah awal. "Istrimu saja bisa aku miliki apalagi perihal kekuasaanmu, El," ujar Hendri penuh penekanan. Dirinya bertekad untuk terus mengalahkan Elsyam dalam keadaan apa pun juga. Elsyam hanya menatap dingin ke arah adiknya itu. Selama satu tahun ini dirinya berusaha untuk mengontrol emosi, jadi dirinya tidak akan mudah terpancing emosi oleh celotehan Hendri. Ia tersenyum, lalu mengarahkan jari ke pintu. "Pintu keluar berada di sana, silahkan keluar sebelum aku pa
"Iya." Arini mengangguk, melihat amarah dari Elsyam yang meluap-luap tadi, dirinya juga tidak ingin mencari masalah baru. Wanita itu sebisa mungkin menunjukkan raut wajah yang sangat ramah. Jika lelaki tersebut sudah memperkenalkan dirinya kepada seluruh anggota rumah, maka Arini juga harus mengikuti sandiwara yang tengah dibuat oleh Elsyam. Tuan Hadi pun mengangguk, ia tidak banyak bicara. Setelah menghabiskan sepotong roti dan juga telur goreng, lelaki itu segera pamit. Usia yang semakin tua membuat dirinya tidak mampu bekerja berat seperti dahulu dan dirinya harus banyak istirahat. "Papa, mau istirahat sekalian membujuk ibumu untuk sarapan." Lelaki itu mengangguk pada sang ayah, kemudian menatap ke arah Arini yang masih memperhatikan menu makanan di meja. Kini, di hadapannya, wanita itu tengah menatap ke arah nasi goreng seafood dengan pandangan berbinar. Satu centong nasi goreng seafood pun berpindah sudah ke atas piringnya. Seolah belum cukup, Arini kembali mengambil udang g
"Emang ada camilan apa," jawab Arini. Sebagai nyonya besar yang baru di rumah ini dirinya ingin mencoba segala sesuatu yang ada di sini. Sewa apakah rumah suaminya ini sampai-sampai pelayan menanyakan hal apa yang dirinya inginkan."Nyonya Arini memang mau dibuatkan apa? Di rumah ini ada koki yang bisa membuat apa saja," ungkap Nency. Wanita itu menjelaskan dengan ramah.Berada di rumah ini dirinya seperti berada di dalam kantong Doraemon yang memiliki apapun yang dibutuhkan tanpa harus repot-repot ke luar biaya dan juga jauh-jauh pergi. Dulu impiannya hanya satu dirinya hanya menginginkan untuk memiliki kantong Doraemon agar bisa memenuhi semua keinginannya, sekarang dirinya merasakan hal tersebut."Mau salad buah, tapi banyakin keju, mayonaisenya sedikit saja. Buahnya apa saja boleh aku suka semua buah," papar Arini."Baik, Nyonya." Nency segera memerintahkan pelayan dapur untuk menyiapkan permintaan Arini. Wanita itu asyik menonton Drakor, di atas ranj
"Selamat, ya," ujar Arini. Wanita itu merentangkan tangan kepada sang kakak dan juga Santira.Abraham benar-benar merasa heran dengan reaksi yang diberikan oleh adiknya itu. Walaupun demikian, dirinya tetap saja membalas ucapan selamat dari adiknya tersebut.Arini juga langsung saja memberikan pelukan kepada Santira.Bu Widuri yang sejak tadi terheran-heran dengan kehadiran wanita yang dahulu hampir saja bertunangan dengan anaknya itupun, tidak tahan lagi dan akhirnya bertanya sebenarnya ada apa semua ini.Abraham langsung saja menjelaskan semuanya, perihal peristiwa dahulu tentang penculikan Elsyam dan tentang penangkapan Yordan yang semua itu dibantu oleh Santira. Dirinya memang ingin membersihkan cap buruk tentang calon istrinya itu di mata orang-orang. Mereka hanya mampu melihat Santira yang dulu saja, padahal Santira yang sekarang sudah sangat jauh berbeda."Mungkin semua orang memiliki masa lalu buruk, tetapi semua orang juga bisa berubah. Kita hanya manusia biasa, bukan Tuhan y
Arini yang baru saja meninggalkan kursi, ia langsung berpapasan dengan kakaknya Abraham yang tengah menggendong sang putri."Kenapa maksain harus menggendong, sedangkan tangan Kakak saja masih sakit seperti ini." Arini langsung saja merebut Elea dari gendongan kakaknya, ia takut jika sakit di tangan kakaknya semakin parah dan juga dirinya takut juga sang anak terjatuh.Abraham, hanya menyengir saja walaupun tangannya memang masih sakit. Namun, dirinya sudah sangat merindukan sang keponakan. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa rindunya maka dirinya tadi langsung saja menggendong Elea walaupun tangannya memang masih sangat sakit. "Aku hanya merindukannya, aku ya jamin dia tidak akan jatuh kok Arini."Elsyam dan juga Ridho, tiba-tiba muncul dari belakang. Mereka berdua tengah asyik mengobrol satu sama lain. Keduanya juga langsung berhenti tepat di sisi Arini dan juga Abraham."Ada apa Sayang, kenapa marah-marah seperti itu?" tanya Elsyam.Arini langsung saja menatap ke ara
Elea, gadis berpipi gembil itu tampil dengan cukup menawan. Balutan gaun putih, lalu rambut yang diikat dua benar-benar membuatnya nampak begitu seperti boneka hidup. Orang-orang yang melihat putri dari Arini itu pun mereka terlihat sangat gemas. Apalagi Elea anak itu selalu tersenyum ramah kepada siapapun orang yang menyapanya."Anaknya Pak Elsyam benar-benar sangat cantik."Arini dan juga suaminya memang tengah menghadiri sebuah acara besar tahunan. Di mana, di sana banyak sekali rekan-rekan bisnis dari Elsyam. "Sini biar aku yang gendong." Elsyam merentangkan tangannya, ia langsung saja mengambil putrinya ke dalam gendongan. Tak mungkin dirinya melepaskan Elea, di tengah-tengah keramaian seperti ini.Elea memang sering diajak untuk menghadiri acara-acara penting perusahaan dari ayahnya. Karena si kembar sudah sering menolak, mereka memiliki kegiatan lain dan lebih senang bersama dengan kakek neneknya karena selalu mau menuruti keinginan mereka berdua. Sedangkan, Elea lebih memilih
"Bagaimana keadaannya?"Arini bertanya kepada seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan kakaknya itu. Tadi memang suaminya ditelepon oleh pihak rumah sakit jika Abraham mengalami sebuah insiden kecelakaan. Mereka berdua langsung saja menuju ke rumah sakit, karena memang hanya mereka berdualah pihak keluarga dari Abraham.Dokter mencoba menenangkan Arini yang terlihat begitu panik, memang saat suaminya menjelaskan jika pihak rumah sakit menelpon dirinya karena Abraham kecelakaan. Wanita itu langsung saja menjadi begitu sangat khawatir kepada kakaknya tersebut."Pasien sudah boleh dijenguk, mungkin untuk beberapa hari ini dia hanya perlu waktu untuk istirahat saja."Arini menggangguk begitu juga dengan Elsyam mereka langsung saja memilih untuk masuk ke ruangan di mana Abraham dirawat.Wajah panik dari Arini berubah seketika menjadi masam lagi, saat melihat seorang wanita yang tengah berdiri di samping kakaknya itu.Abraham pun langsung saja menoleh ia melihat Arini dan juga suam
Setelah Arini berhasil menidurkan sang putri, yang memilih untuk bermain dengan ponselnya. Di seberang dirinya ada Elsyam yang tengah berkutat dengan laptopnya.Lelaki itu memang sudah paham bagaimana cara menangani amarah sang istri, ia memilih untuk diam karena jika dirinya terus berkata pasti hari ini akan semakin marah dan kesal saja. Dirinya yakin jika esok pagi pasti amarah dari istrinya sudah reda maka dari itu ia memilih untuk diam.Arini pun memilih untuk melihat-lihat aplikasi orange tempat di mana dirinya berbelanja bahkan 1 bulan ia bisa menghabiskan puluhan juta karena menurutnya. Lebih baik berbelanja online karena ia tidak perlu harus repot-repot datang ke toko dan memilih, mungkin bedanya jika berbelanja online kita harus sabar menunggu.Ia tidak mempedulikan tentang pesan-pesan yang dikirimkan oleh kakaknya itu. Dirinya masih sangat marah dan ia juga tidak bisa berpikir dengan jernih untuk saat ini. Maka dari itu hal ini memilih untuk diam daripada ia berkata dan just
Elsyam memegangi Arini, ia takut jika sampai istrinya itu justru berbuat yang tidak-tidak kepada kakaknya. Tatapan dari Arini benar-benar terlihat begitu murka kepada kakaknya itu, sejak tadi Ia terus saja menuntut sang kakak untuk menceritakan semuanya."Aku tidak menyangka jika selama ini Kakak bisa membohongi adiknya sendiri sampai sebegitu lamanya," ungkap Arini.Abraham yang sejak tadi terus saja diberondong pertanyaan oleh Arini pun, ia benar-benar perangainya sebagai orang yang tegas langsung sirna seketika di hadapan Arini. Memang sejak dirinya mengetahui jika Arini adalah adiknya, ia benar-benar menganggap Arini seperti ibunya sendiri, apalagi saat adiknya marah wanita itu pasti akan sangat sulit untuk dibujuk.Lelaki itu sejak tadi berusaha memberikan isyarat kepada Elsyam, ia berharap jika adik iparnya itu dapat membantu.Arini masih menatap tajam ke arah mereka berdua. Ia tidak menyangka jika ternyata mereka bisa menyimpan rahasia yang begitu besar, pantas saja selama ini
Abraham benar-benar merasa begitu gelisah. Sudah satu minggu, Santira mengabaikannya bahkan wanita itu tidak mau berbicara dengannya dan di kantor pun saat berpapasan bahkan Santira langsung saja membuang wajah tidak mau menatap ke arahnya.Ketukan di pintu membuat lamunan dari Abraham pun buyar, ia langsung saja menatap di mana orang yang sedang dirinya nanti sudah berada di ambang pintu."Ada apa Pak Abraham memanggil saya?" Memang seperti biasa jika di kantor Santira akan bersikap formal dan mereka pun seolah-olah tidak saling mengenal satu sama lain. Semua itu karena mereka berdua menjunjung tinggi profesionalitas saat bekerja.Abraham benar-benar sangat merindukan wanita itu, bahkan Santira pun sudah tidak mau lagi mengangkat dan membalas chat serta panggilan telepon dari dirinya. Lelaki itu langsung saja melangkah menuju pintu dan langsung mengunci pintu dari dalam, ia tidak mau lagi jika sampai Santira melarikan diri karena menurutnya sangat sulit sekali untuk berbicara dengan
Elsyam benar-benar seperti tengah mendengarkan seorang ABG yang sedang bercerita mengenai kisah asmaranya. Lelaki itu terus saja menahan tawa, mendengar cerita Abraham yang dituntut meminta kepastian oleh Santira.Dirinya juga benar-benar merasa heran kepada kakak iparnya tersebut, bagaimana bisa ia menggantungkan perasaan seorang wanita hampir 2 tahun. Padahal selama ini mereka seperti layaknya sepasang kekasih yang tengah backstreet saja karena memang tidak ada orang yang mengetahuinya selain dirinya itu.Elsyam juga memang sering mengatakan kepada Abraham agar dia mau memberikan penjelasan dan juga kebenaran ini kepada istrinya Arini, dirinya takut jika sampai Arini tahu dari orang lain justru akan marah."Oh, jadi sekarang kalian berdua sudah resmi pacaran?"Abraham melirik ke arah Elsyam dengan tatapan yang begitu aneh. Mereka berdua memang berada di ruang kerja dari lelaki itu, untung saja tadi elea menangis jadi Arini tidak ikut nimbrung bersama dan memilih untuk kembali lagi k
Walaupun Abraham sudah mengatakan jika dirinya memang mencintai Santira dan juga ingin menikahinya, tetapi tetap saja wanita itu masih merajuk kepada Abraham atas apa yang selama ini dilakukan oleh dirinya. Mungkin rumus matematika memang sulit untuk dipahami, dihafal. Namun, memahami hati wanita jauhlah lebih sulit daripada itu.Abraham benar-benar merasa sangat pusing, karena sejak pulang dari restoran itu Santira tidak memberikan jawaban apapun dan wajahnya masih sangat masam.Dirinya sudah meminta maaf berulang kali kepada Santira, tetapi tetap saja wanita itu masih kesal dan juga marah. Dirinya juga sangat merasa bingung, sebenarnya apa yang diinginkan oleh seorang wanita. Tadi Santira meminta dirinya sebuah kepastian, lalu ia sudah memberikan kepastian. Lantas di saat ia sudah memberikan jawaban apa yang diinginkan oleh Santira mengapa wanita itu justru berbalik merajuk kepadanya."Santira, kamu tahu jika aku sangat tidak suka didiamkan kenapa kamu melakukan itu?" Dirinya bukan