Keluar dari kamar, Naka menuju kamar Ivanka. Ada suara, sepertinya Ivanka belum tidur. Dengan santai Naka berjalan, ketika tangan sudah mencapai gagang pintu. Suara itu semakin terdengar dengan jelas.“Mama, aku sudah berusaha membuat Naka mencintaiku. Tapi Naka memang tidak pernah mencintaiku,” isak Ivanka menangis.Naka mengerutkan keningnya, istrinya berbicara dengan siapa. Sedikit mengintip celah pintu, ternyata Ivanka sedang melakukan panggilan.Naka menduga itu keluarga Ivanka. Sudah Naka bilang berkali-kali, tidak perlu berhubungan dengan mereka jika dirasa sudah menganggu Kesehatan mental.Tapi masih saja Ivanka tidak menggubrisnya, ini juga yang membuat pintu hati Naka tertutup. Ivanka tidak pernah mendengar atau menurutinya, selalu menurut pada keluarga toxic-nya. berbeda dengan Lika, dia membangkang namun selalu punya cara untuk mengambil hati Naka.Meski usia Lika lebih muda dari Ivanka, tapi kadang Lika menurut pada suaminya. Menggeram Naka mendengar pembicaraan antara Iv
“Makan di luar yuk. Mas mau makanan Jepang nih.”Lika mendengar yang namanya makan, langsung mengangguk setuju.“Sayang mau makan apa.”“Jepang aja mas, nggak apa-apa.”“Beneran?”“Iya, aku mau.”Sejak hamil ini, Lika memang banyak mau makan yang aneh-aneh. Bawaan bayi sekali, tidak suka makanan tradisional malah, aneh. Karena Lika lebih suka masakan sunda.“Bayinya bule ya sayang.”“Mas keturunan bule kan?”“Iya, papa kan ada Belandanya.”“Kalau mama Nyra?”“Asli sini,” jawab Naka mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati. Karena dia membawa tiga orang yang paling dia sayangi.“Kapan sih sayang, boleh beli perlengkapan si kembar?” tanya Naka, memang sudah tidak sabar beli ini itu.“Kapan ya mas, kayanya sudah boleh deh.”“Apa habis makan, kita belanja.”Lika mencibir, tidak ada capeknya ini laki.“Nggak mau ah. Habis makan aku mau tidur lagi.”“Masih ngantuk yah?”“Masih!” seru Lika dengan galak.“Galak banget,” goda Naka.“Habis kamu, pagi malam ini jatah.”Naka tertawa, dia jug
“Mama!” seru Lika, begitu melihat sang mama ditemani Bik Nani ada halaman rumah megah sang suami.Elise tersenyum akan sambutan sang putri, ia peluk dengan erat menanyakan kabar Lika dan kandungannya.“Mama sama Bik Nani baik kan?” “Baik Non,” jawab Bik Nani.“Mama kok nggak bilang, kan bisa Lika jemput,” ujarnya, merasa bersalah karena sang mama naik kereta cepat. “Nggak apa, ini juga mendadak,” sahut Mama Elise.Lika menarik tangan Elise dengan antusias memasuki rumahnya yang besar dan mewah. Mata Elose berbinar-binar menatap tiap sudut rumah yang ditunjukkan Lika.“Bagus rumahnya,” kata Elise."Lihat, Ma, ini ruang keluarganya. Pakai warna pastel biar adem mata memandang," ujar Lika sambil mengarahkan Elise ke sofa yang empuk.Elise hanya mengangguk pelan, matanya menyisir setiap detail namun bibirnya tetap rapat tanpa senyuman. Sedikit rasa sungkan terbersit, mengingat ini rumah Naka bersama istri pertamanya.“Suami kamu mana?” tanya Elise dengan raut datarnya.“Lagi kerja, ma.
Dalam gemerlap lampu makan malam yang hangat, meja makan dipenuhi dengan aneka hidangan yang menggoda selera. Elise, dengan rasa heran yang mendalam, menatap kekayaan menu yang terhidang. Di sisi lain meja, Naka, menantunya, tersenyum lebar, seraya sesekali menawarkan bantuan untuk mengambilkan makanan."Mama makan yang banyak ya, mau apa lagi? Naka ambilkan," ucapnya dengan nada penuh semangat.Lika, putri Elise, hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Dia terheran-heran melihat betapa suaminya, Naka, terlalu memanjakan ibu mertuanya."Mama makan yang banyak. Mau apa, Naka ambilkan," lagi-lagi Naka menawarkan dengan antusias yang berlebihan.Elise, dengan sopan, menolak tawaran menantunya. "Tidak usah. Mama bisa ambil sendiri," ujarnya datar, mencoba tidak membuat Naka merasa tidak dihargai.Selesai makan, suasana semakin hangat namun tetap ada gelombang kecil yang tidak terlihat.Menarik istrinya ke kamar, Naka dengan semangat mengusulkan rencana lain. "Sayang, besok kamu temani Mama
Ivanka menatap Elise dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. Dia merasa kehangatan ibu yang selama ini kurang dia rasakan. "Nanti sore kita jalan keliling komplek. Sama Lika juga, biar hamil kamu jangan malas," ucap Elise dengan nada lembut, sambil menarik tangan Ivanka dan Lika untuk makan bersama dan merencanakan sore yang menyenangkan.Sementara itu, Lika, yang perutnya sudah membesar karena mengandung bayi kembar, tertawa kecil mendengar gurauan Elise. "Badan Lika tambah gede ini, mama masak terus," sahutnya sambil menepuk perutnya yang bulat.Elise hanya tersenyum mendengarnya, rasa puas terpancar dari wajahnya karena putrinya makan dengan baik selama masa kehamilan. Elise, dengan keahliannya yang mumpuni di dapur, seringkali menghidangkan berbagai masakan yang tidak hanya lezat tetapi juga bergizi tinggi, khusus untuk menunjang kesehatan Lika dan calon cucu-cucunya.Ivanka dan Lika sering kali terkagum-kagum dengan kepiawaian Elise mengolah bahan sede
“Lika!” teriak Naka kencang.Naka berlari kesana kemari, untuk melihat di mana Lika berada. Tapi nihil, ah sial. Jantung Naka tidak berhenti berdetak kencang, kemana istrinya. Jangan sampai hilang di tengah kerumunan orang begini.Mata Naka bergerak cepat mencari Lika di antara kerumunan orang. Mencoba mencari ke tempat yang mungkin saja di datangi istrinya.“Lika,” panggilnya terus menerus.Bertanya pada beberapa orang, apa melihat wanita muda yang sedang hamil besar. Tidak ada yang melihat, karena memang sedang padat pengunjung.Sial!“Lika,” panggilnya lagi ketika melihat tubuh mungil istrinya dengan perut yang membesar.Ternyata Lika terhimpit oleh kerumunan orang yang antri di wahana tidak jauh dari tempat dia duduk tadi. Tanpa berpikir panjang, Naka menerobos kerumunan, mendorong dengan lembut namun tegas untuk menjangkau istrinya.“Sayang, kamu nggak apa?” tanyanya panik.Lika yang tahu dari wajah sang suami yang cemas, mengangguk untuk menghilangkan rasa panik sang suami. “Ngg
Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, mengantarkan harum bunga-bunga di taman depan rumahnya. Ivanka sedang menikmati sore indahnya di taman yang dulu ia rawat sendiri.Sewaktu masih sehat dulu, Ivanka memang terbilang Nyonya rumah yang rajin dia membeli beberapa bibit dan ditanam sendiri. Ivanka suka berkebun, karena dia menyenangi bunga.Di tengah keindahan alam yang memikat itu, Ivanka, dengan kursi rodanya, didorong oleh Suster Mirna yang selalu setia menemani. Senyum merekah Ivanka punah saat mendengar teriakan dari luar gerbang. “Ivanka!”“Siapa itu, sus?” tanyanya pada Suster Mirna.Namun panggilan yang Namanya dan suara familiar membuat Ivanka tahu siapa itu. “Papa!”Ivanka meminta suster mendorong lebih dekat ke arah gerbang. Senyumnya kembali merekah saat ia melihat keluarganya datang mengunjungi, namun senyum itu segera pudar ketika penjaga gerbang menahan mereka dari kejauhan."Biarkan mereka masuk!" teriak Ivanka, berusaha keras agar suaranya terdengar sampai ke gerbang dep
Naka tentu mengamuk tahu keluarga mertuanya datang dan menghardik istrinya juga Mama Elise.“Aku tidak akan membiarkan mereka!” sentak Naka saat Lika menceritakan semuanya.“Mas, sabar dulu ih. Jangan teriak-teriak,” pekik Lika, Naka yang tahu istrinya kaget langsung menariknya dan mendudukkan dia disampingnya.“Maaf sayang.” Naka menghela napasnya, dia sudah sangat emosi sekali.Naka menonton rekaman CCTV, dapat dia dengar suami bentakan yang dilayangkan keluarga Daarwish pada Ivanka. Hati Naka sakit, melihat Ivanka yang menangis.“Sialan memang mereka,” umpat Naka.“Mas jangan mengumpat depan anak-anak,” peringat Lika. Ah Naka terlalu terbawa emosi sepertinya. Lagi-lagi dia meminta maaf pada istri dan jagoannya.Lika yang melihat ekspresi Naka hanya tersenyum getir, suaminya mengaku tidak cinta. Tapi melihat istri pertamanya di bentak, Lika tahu jika Naka juga merasakan sakitnya.“Temui Kak Iva dulu. Dia syok sekali,” kata Lika lembut.Naka mendongak, tersenyum tipis, istrinya begit
Elvan Daarwish memandang mantan menantunya dengan tatapan tidak terbaca.sebuah kunci rumah dalam genggamannya, ya, Naka memenuhi janji terakhirnya pada Ivanka.“Itu janjiku pada Ivanka,” kata Naka tegas.Elvan mendesah, “Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini.”“Aku adalah pria yang menepati janji,” cetusnya cepat.“Terima kasih, Naka.” Elvan hanya bisa mengucapkan terima kasih, tidak menyangka Naka akan memenuhi keinginan terakhir putrinya itu.“Tiap bulan aku akan mengirimu uang bulanan. Akan ada toko, dan kau bisa mengurusnya.” Naka memang memberikan usaha, tidak besar. Hanya mini market saja, untuk kesibukan Elvan yang sudah tua itu.“Aku senang bisa bekerja kembali,” ungkap Elvan, daripada dia diam saja di rumah.“Adela dan Sarah, urusanku. Jangan ikut campur, mereka hanya akan menyusahkanmu. Lagipula Sarah juga bukan putrimu, tidak ada kewajibanmu untuk memberikannya nafkah,” kata Naka dengan kejamnya.Elvan menghela napasnya panjang, Naka sudah menceritakan semua keburukan ke
Dua pekan sudah usai kepergian Ivanka, semua berusaha untuk berjalan seperti semula. Anulika dan Naka yang disibukkan dengan dua bayi kembar mereka, beruntung bantuan datang. Mama Elise yang masih di sana membantu Lika, Mama Nyra yang sudah berhubungan baik dengan menantunya, juga Papa Ben yang siap membantu.Huaaaa.. Hoek hoek hoek..Suara tangis si kembar memecah keheningan siang, Lika yang baru memejamkan mata sepuluh menit saja, langsung ditarik kesadarannya untuk bangun.Dengan cepat dia beranjak ke boks bayi di kamar si kembar, “Sayang mami kenapa?” tanya Lika dengan penuh kasih.Seketika kepalanya terasa pusing, efek kurang tidur dan dibangunkan dengan paksa.“Aduh kepala mami pusing, sayang.” Lika memegang kepalanya yang terasa sangat berat.Ceklek..Pintu dibuka, Mama Nyra yang sedang berkunjung masuk begitu mendengar suara tangis cucunya. Tadinya hanya satu yang menangis, kini menjadi dua bagi sekaligus yang menangis.“Bangun yah,” kata Mama Nyra dengan ramah.Lika menoleh,
Pemakaman Ivanka disiapkan dengan penuh penghormatan. Naka memastikan segala sesuatunya sempurna, dari bunga-bunga yang Ivanka sukai hingga foto-foto Ivanka yang menghiasi sisi-sisi peti mati. Saat prosesi pemakaman, Naka berdiri dengan kepala tertunduk, merenungi semua kenangan yang pernah mereka bagi, berharap dia bisa memberikan lebih banyak lagi untuk Ivanka, berharap ada lebih banyak waktu. Namun, semua hanya tinggal kenangan yang terpahat dalam hatinya, sebuah luka yang akan selalu dia bawa.“Kuatlah son, papa yakin Ivanka sudah tenang di sana,” kata Papa Ben menenangkan dan menguatkan putranya.Pemakaman itu terletak di sebuah bukit yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan rindang. Udara dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah yang baru digali dan bunga-bunga segar yang diletakkan di atas kuburan. Bebatuan nisan berdiri tegak, seolah-olah menjadi penjaga bagi mereka yang telah pergi.Sejumlah besar orang berkumpul, wajah-wajah mereka penuh dengan kesedihan
Kamar rumah sakit yang sunyi itu hanya terdengar desah napas yang berat dari Ivanka, istri pertama Naka yang sudah lama berjuang melawan kanker. Lika, istri kedua Naka, yang baru saja melahirkan anak kembar, terpaku di depan pintu, menatap lemahnya sosok wanita yang telah banyak berbagi cerita dengannya selama penyakit itu menggerogoti tubuhnya.Dengan langkah gontai, Lika mendekati tempat tidur Ivanka. "Kak Iva," suaranya serak, penuh emosi. Ivanka, mendengar suara Lika, perlahan membuka mata yang sudah sangat sayu, dan dengan sisa kekuatan yang ada, dia mencoba mengedipkan mata sebagai isyarat bahwa dia mendengar.“Kak Iva.. Ini Lika,” lirihnya. Ivanka bahkan menganggap Lika sebagai adiknya, karena memang Lika masih sangat muda.Dalam detik-detik terakhir, keinginan terbesar Ivanka adalah bertemu dengan Lika sekali lagi. Dia ingin memeluk Lika, memberikan seluruh cinta dan restunya, sebuah pelukan terakhir yang penuh dengan harapan dan doa untuk kebahagiaan keluarga yang akan diting
Benedito dan Nyra segera ke ruang rawat Ivanka, mereka menjenguk menantu pertama mereka itu.“Ivanka,” panggil Papa Ben dengan lembut.Ivanka hanya memberi tatapan sayunya, papa Ben memegang tangan menantunya dengan lembut, memberi usapan tanda penyemangat darinya.“Sembuh sayang, sehat..”“Papa..” lirih Ivanka mengedipkan matanya pelan.Nyra menatap menantunya, demi apapun sejak dulu dia tidak pernah menyukai Ivanka. Karena putri dari Adela, dia terpaksa menikahkannya dengan Naka, agar tidak lagi diancam Adela perihal jati diri Naka. Namun kini semua sudah terungkap, dan lagi Ivanka sedang terbaring lemah karena penyakitnya.“Ma,” panggil Papa Ben, meminta istrinya mendekat.Dengan mata berkaca-kaca, Nyra mendekat ke arah ranjang.“Mama,” lirih Ivanka, tangannya bergerak dan reflek Nyra mengenggamnya.“Ma..” Ivanka memanggil lagi.Nyra mengangguk pelan, “Maafkan mama ya,” gumam Nyra pelan sekali. Ivanka membalas dengan senyuman tipisnya.Dia sudah sangat siap untuk pergi, dulu dia pe
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya