Dalam gemerlap lampu makan malam yang hangat, meja makan dipenuhi dengan aneka hidangan yang menggoda selera. Elise, dengan rasa heran yang mendalam, menatap kekayaan menu yang terhidang. Di sisi lain meja, Naka, menantunya, tersenyum lebar, seraya sesekali menawarkan bantuan untuk mengambilkan makanan."Mama makan yang banyak ya, mau apa lagi? Naka ambilkan," ucapnya dengan nada penuh semangat.Lika, putri Elise, hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Dia terheran-heran melihat betapa suaminya, Naka, terlalu memanjakan ibu mertuanya."Mama makan yang banyak. Mau apa, Naka ambilkan," lagi-lagi Naka menawarkan dengan antusias yang berlebihan.Elise, dengan sopan, menolak tawaran menantunya. "Tidak usah. Mama bisa ambil sendiri," ujarnya datar, mencoba tidak membuat Naka merasa tidak dihargai.Selesai makan, suasana semakin hangat namun tetap ada gelombang kecil yang tidak terlihat.Menarik istrinya ke kamar, Naka dengan semangat mengusulkan rencana lain. "Sayang, besok kamu temani Mama
Ivanka menatap Elise dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. Dia merasa kehangatan ibu yang selama ini kurang dia rasakan. "Nanti sore kita jalan keliling komplek. Sama Lika juga, biar hamil kamu jangan malas," ucap Elise dengan nada lembut, sambil menarik tangan Ivanka dan Lika untuk makan bersama dan merencanakan sore yang menyenangkan.Sementara itu, Lika, yang perutnya sudah membesar karena mengandung bayi kembar, tertawa kecil mendengar gurauan Elise. "Badan Lika tambah gede ini, mama masak terus," sahutnya sambil menepuk perutnya yang bulat.Elise hanya tersenyum mendengarnya, rasa puas terpancar dari wajahnya karena putrinya makan dengan baik selama masa kehamilan. Elise, dengan keahliannya yang mumpuni di dapur, seringkali menghidangkan berbagai masakan yang tidak hanya lezat tetapi juga bergizi tinggi, khusus untuk menunjang kesehatan Lika dan calon cucu-cucunya.Ivanka dan Lika sering kali terkagum-kagum dengan kepiawaian Elise mengolah bahan sede
“Lika!” teriak Naka kencang.Naka berlari kesana kemari, untuk melihat di mana Lika berada. Tapi nihil, ah sial. Jantung Naka tidak berhenti berdetak kencang, kemana istrinya. Jangan sampai hilang di tengah kerumunan orang begini.Mata Naka bergerak cepat mencari Lika di antara kerumunan orang. Mencoba mencari ke tempat yang mungkin saja di datangi istrinya.“Lika,” panggilnya terus menerus.Bertanya pada beberapa orang, apa melihat wanita muda yang sedang hamil besar. Tidak ada yang melihat, karena memang sedang padat pengunjung.Sial!“Lika,” panggilnya lagi ketika melihat tubuh mungil istrinya dengan perut yang membesar.Ternyata Lika terhimpit oleh kerumunan orang yang antri di wahana tidak jauh dari tempat dia duduk tadi. Tanpa berpikir panjang, Naka menerobos kerumunan, mendorong dengan lembut namun tegas untuk menjangkau istrinya.“Sayang, kamu nggak apa?” tanyanya panik.Lika yang tahu dari wajah sang suami yang cemas, mengangguk untuk menghilangkan rasa panik sang suami. “Ngg
Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, mengantarkan harum bunga-bunga di taman depan rumahnya. Ivanka sedang menikmati sore indahnya di taman yang dulu ia rawat sendiri.Sewaktu masih sehat dulu, Ivanka memang terbilang Nyonya rumah yang rajin dia membeli beberapa bibit dan ditanam sendiri. Ivanka suka berkebun, karena dia menyenangi bunga.Di tengah keindahan alam yang memikat itu, Ivanka, dengan kursi rodanya, didorong oleh Suster Mirna yang selalu setia menemani. Senyum merekah Ivanka punah saat mendengar teriakan dari luar gerbang. “Ivanka!”“Siapa itu, sus?” tanyanya pada Suster Mirna.Namun panggilan yang Namanya dan suara familiar membuat Ivanka tahu siapa itu. “Papa!”Ivanka meminta suster mendorong lebih dekat ke arah gerbang. Senyumnya kembali merekah saat ia melihat keluarganya datang mengunjungi, namun senyum itu segera pudar ketika penjaga gerbang menahan mereka dari kejauhan."Biarkan mereka masuk!" teriak Ivanka, berusaha keras agar suaranya terdengar sampai ke gerbang dep
Naka tentu mengamuk tahu keluarga mertuanya datang dan menghardik istrinya juga Mama Elise.“Aku tidak akan membiarkan mereka!” sentak Naka saat Lika menceritakan semuanya.“Mas, sabar dulu ih. Jangan teriak-teriak,” pekik Lika, Naka yang tahu istrinya kaget langsung menariknya dan mendudukkan dia disampingnya.“Maaf sayang.” Naka menghela napasnya, dia sudah sangat emosi sekali.Naka menonton rekaman CCTV, dapat dia dengar suami bentakan yang dilayangkan keluarga Daarwish pada Ivanka. Hati Naka sakit, melihat Ivanka yang menangis.“Sialan memang mereka,” umpat Naka.“Mas jangan mengumpat depan anak-anak,” peringat Lika. Ah Naka terlalu terbawa emosi sepertinya. Lagi-lagi dia meminta maaf pada istri dan jagoannya.Lika yang melihat ekspresi Naka hanya tersenyum getir, suaminya mengaku tidak cinta. Tapi melihat istri pertamanya di bentak, Lika tahu jika Naka juga merasakan sakitnya.“Temui Kak Iva dulu. Dia syok sekali,” kata Lika lembut.Naka mendongak, tersenyum tipis, istrinya begit
Lika hendak menghampiri kamar Ivanka, merasa dia juga perlu menenangkan istri pertama suaminya itu. Pasti Ivanak sedih sekali, mengetahui kedatangan keluarganya hanya untuk satu tujuan, harta.Ketika sudah sampai, Lika tidak langsung masuk karena keduanya sedang membahas perusahaan. Dia diam menunggu, jika waktunya tepat Lika akan masuk ke dalam.Namun betapa terkejutnya dia mendengar sebuah pengakuan yang berbeda dari sang suami.“Aku tidak akan pernah menceraikanmu!”Deg!Jika bagi Ivanka kalimat itu menenangkan, tidak bagi Lika yang merasa kecewa. Dia tidak mau Naka menceraikan Ivanka, karena kondisinya. Tapi dia juga tidak mau selalu menjadi yang kedua, dengan sebutan perebut suami orang. Posisi Lika salah, dia tahu itu. Namun sang suami selalu menegaskan padanya, jika dia hanya mencintai Lika dan menyayangi Ivanka, layaknya seorang adik. Bahkan merencanakan untu berpisah dengan Ivanka, meski Lika menahannya.Tapi apa ini yang dia saksikan sendiri. Keduanya bagaikana pasangan suam
Melihat putrinya yang tertidur dengan nyenyak, Elise jadi melamun. Kenapa putrinya harus hidup seperti ini. Memiliki anak, tapi dengan pria yang sudah menikah. Walau dia tahu Naka adalah pria baik yang mau bertanggungjawab, tetap saja ada rasa tidak rela melihat hidup sang putri satu-satunya seperti ini.Beruntung, bagi Elise, Ivanka sosok yang baik. Mungkin karena penyakitnya, bisa dibayangkan jika Ivanka sehat. Pasti rumah megah ini hanya akan di isi pertengkaran karena merebutkan satu pria. Jika hal itu terjadi, Elise bersumpah akan membawa anaknya pergi dari sini.**Naka berjalan gelisah di lorong rumah yang sunyi, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Lampu kamar tidur mereka yang masih terang tak menunjukkan tanda-tanda kehadiran Lika.“Lika,” panggilnya tadi di kamar. Dia mencari ke kamar mandi, balkon. Sepi, tidak ada istrinya di kamar mereka.Pria itu mencoba menenangkan diri, namun ketakutannya semakin menjadi saat ia membayangkan segala kemungkinan terburuk.Dengan langkah yang
Pagi itu, Naka melangkah gagah menuju kantor Elvan Daarwish. Ditemani asistennya, Bara, langkahnya terasa berat. Namun ia bertekad untuk mengakhiri semua masalah yang telah merundungnya.Sesampainya di sana, Naka langsung disambut dengan tatapan tajam Elvan yang sudah ada di ruang kerjanya. "Huh, datang juga kau!” sambut Elvan tidak ramah.Naka berjalan cepat menghampiri mertuanya itu. Dengan sekali sentakan dia membuat penegasan terhadap Elvan Daarwish. “Sudah kubilang jangan ganggu istriku!" teriak Naka dengan suara yang menggelegar, menjadikan suasana semakin tegang.Elvan, yang masih duduk dengan tenang, menatap Naka dengan sinis. "Istrimu yang mana, Naka? Kau punya dua istri dan mengkhianati putriku," balasnya dengan nada menyindir.Wajah Elvan memerah, urat-urat di lehernya terlihat menonjol akibat amarah yang memuncak. Naka tertawa sinis, sebuah tawa yang penuh dengan kegetiran. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau hanya peduli pada kerjasama dengan perusahaanku. Ivanka tidak lebih d
Elvan Daarwish memandang mantan menantunya dengan tatapan tidak terbaca.sebuah kunci rumah dalam genggamannya, ya, Naka memenuhi janji terakhirnya pada Ivanka.“Itu janjiku pada Ivanka,” kata Naka tegas.Elvan mendesah, “Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini.”“Aku adalah pria yang menepati janji,” cetusnya cepat.“Terima kasih, Naka.” Elvan hanya bisa mengucapkan terima kasih, tidak menyangka Naka akan memenuhi keinginan terakhir putrinya itu.“Tiap bulan aku akan mengirimu uang bulanan. Akan ada toko, dan kau bisa mengurusnya.” Naka memang memberikan usaha, tidak besar. Hanya mini market saja, untuk kesibukan Elvan yang sudah tua itu.“Aku senang bisa bekerja kembali,” ungkap Elvan, daripada dia diam saja di rumah.“Adela dan Sarah, urusanku. Jangan ikut campur, mereka hanya akan menyusahkanmu. Lagipula Sarah juga bukan putrimu, tidak ada kewajibanmu untuk memberikannya nafkah,” kata Naka dengan kejamnya.Elvan menghela napasnya panjang, Naka sudah menceritakan semua keburukan ke
Dua pekan sudah usai kepergian Ivanka, semua berusaha untuk berjalan seperti semula. Anulika dan Naka yang disibukkan dengan dua bayi kembar mereka, beruntung bantuan datang. Mama Elise yang masih di sana membantu Lika, Mama Nyra yang sudah berhubungan baik dengan menantunya, juga Papa Ben yang siap membantu.Huaaaa.. Hoek hoek hoek..Suara tangis si kembar memecah keheningan siang, Lika yang baru memejamkan mata sepuluh menit saja, langsung ditarik kesadarannya untuk bangun.Dengan cepat dia beranjak ke boks bayi di kamar si kembar, “Sayang mami kenapa?” tanya Lika dengan penuh kasih.Seketika kepalanya terasa pusing, efek kurang tidur dan dibangunkan dengan paksa.“Aduh kepala mami pusing, sayang.” Lika memegang kepalanya yang terasa sangat berat.Ceklek..Pintu dibuka, Mama Nyra yang sedang berkunjung masuk begitu mendengar suara tangis cucunya. Tadinya hanya satu yang menangis, kini menjadi dua bagi sekaligus yang menangis.“Bangun yah,” kata Mama Nyra dengan ramah.Lika menoleh,
Pemakaman Ivanka disiapkan dengan penuh penghormatan. Naka memastikan segala sesuatunya sempurna, dari bunga-bunga yang Ivanka sukai hingga foto-foto Ivanka yang menghiasi sisi-sisi peti mati. Saat prosesi pemakaman, Naka berdiri dengan kepala tertunduk, merenungi semua kenangan yang pernah mereka bagi, berharap dia bisa memberikan lebih banyak lagi untuk Ivanka, berharap ada lebih banyak waktu. Namun, semua hanya tinggal kenangan yang terpahat dalam hatinya, sebuah luka yang akan selalu dia bawa.“Kuatlah son, papa yakin Ivanka sudah tenang di sana,” kata Papa Ben menenangkan dan menguatkan putranya.Pemakaman itu terletak di sebuah bukit yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan rindang. Udara dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah yang baru digali dan bunga-bunga segar yang diletakkan di atas kuburan. Bebatuan nisan berdiri tegak, seolah-olah menjadi penjaga bagi mereka yang telah pergi.Sejumlah besar orang berkumpul, wajah-wajah mereka penuh dengan kesedihan
Kamar rumah sakit yang sunyi itu hanya terdengar desah napas yang berat dari Ivanka, istri pertama Naka yang sudah lama berjuang melawan kanker. Lika, istri kedua Naka, yang baru saja melahirkan anak kembar, terpaku di depan pintu, menatap lemahnya sosok wanita yang telah banyak berbagi cerita dengannya selama penyakit itu menggerogoti tubuhnya.Dengan langkah gontai, Lika mendekati tempat tidur Ivanka. "Kak Iva," suaranya serak, penuh emosi. Ivanka, mendengar suara Lika, perlahan membuka mata yang sudah sangat sayu, dan dengan sisa kekuatan yang ada, dia mencoba mengedipkan mata sebagai isyarat bahwa dia mendengar.“Kak Iva.. Ini Lika,” lirihnya. Ivanka bahkan menganggap Lika sebagai adiknya, karena memang Lika masih sangat muda.Dalam detik-detik terakhir, keinginan terbesar Ivanka adalah bertemu dengan Lika sekali lagi. Dia ingin memeluk Lika, memberikan seluruh cinta dan restunya, sebuah pelukan terakhir yang penuh dengan harapan dan doa untuk kebahagiaan keluarga yang akan diting
Benedito dan Nyra segera ke ruang rawat Ivanka, mereka menjenguk menantu pertama mereka itu.“Ivanka,” panggil Papa Ben dengan lembut.Ivanka hanya memberi tatapan sayunya, papa Ben memegang tangan menantunya dengan lembut, memberi usapan tanda penyemangat darinya.“Sembuh sayang, sehat..”“Papa..” lirih Ivanka mengedipkan matanya pelan.Nyra menatap menantunya, demi apapun sejak dulu dia tidak pernah menyukai Ivanka. Karena putri dari Adela, dia terpaksa menikahkannya dengan Naka, agar tidak lagi diancam Adela perihal jati diri Naka. Namun kini semua sudah terungkap, dan lagi Ivanka sedang terbaring lemah karena penyakitnya.“Ma,” panggil Papa Ben, meminta istrinya mendekat.Dengan mata berkaca-kaca, Nyra mendekat ke arah ranjang.“Mama,” lirih Ivanka, tangannya bergerak dan reflek Nyra mengenggamnya.“Ma..” Ivanka memanggil lagi.Nyra mengangguk pelan, “Maafkan mama ya,” gumam Nyra pelan sekali. Ivanka membalas dengan senyuman tipisnya.Dia sudah sangat siap untuk pergi, dulu dia pe
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya