Pagi itu, Naka melangkah gagah menuju kantor Elvan Daarwish. Ditemani asistennya, Bara, langkahnya terasa berat. Namun ia bertekad untuk mengakhiri semua masalah yang telah merundungnya.Sesampainya di sana, Naka langsung disambut dengan tatapan tajam Elvan yang sudah ada di ruang kerjanya. "Huh, datang juga kau!” sambut Elvan tidak ramah.Naka berjalan cepat menghampiri mertuanya itu. Dengan sekali sentakan dia membuat penegasan terhadap Elvan Daarwish. “Sudah kubilang jangan ganggu istriku!" teriak Naka dengan suara yang menggelegar, menjadikan suasana semakin tegang.Elvan, yang masih duduk dengan tenang, menatap Naka dengan sinis. "Istrimu yang mana, Naka? Kau punya dua istri dan mengkhianati putriku," balasnya dengan nada menyindir.Wajah Elvan memerah, urat-urat di lehernya terlihat menonjol akibat amarah yang memuncak. Naka tertawa sinis, sebuah tawa yang penuh dengan kegetiran. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau hanya peduli pada kerjasama dengan perusahaanku. Ivanka tidak lebih d
Lika sendiri memutuskan memboyong mamanya ke apartemen dia dan Naka. Mama Elise sudah tidak tahan lagi untuk tidak bertanya.“Kenapa kita kesini?” tanyanya.“Aku hanya mau menunjukkan ke mama, apartemen aku sebelumnya mama,” kata Lika, berusaha tenang.Mama Elise mendesah, menarik tangan putrinya untuk duduk sebentar. “Ada apa, hum?”“Apa?”“Mama tahu aku lagi nggak baik-baik saja. Cerita sama mama, Lika.” Elise berusaha tegas, jika sang putri ada masalah mungkin dia bisa membantu Lika.Lika menggeleng, menolak bercerita karena tidak mau membebani sang mama. “Aku baik kok, ma. Hanya ingin bermalam di sini saja.”Tetap dia tidak mau mengatakan apapun pada sang mama.**“Malam, ma.” Naka menyapa Mama Elise dengan sopan. Hanya dibalas anggukan dan senyuman tipis saja oleh mertuanya itu.“Lika di mana, Ma?”“Di kamarnya,” jawab Mama Elise.Naka mengangguk dan hendak berjalan masuk, namun di tahan Mama Elise. “Naka,” panggilnya.“Iya Ma,” sahut Naka sopan.“Ada apa kamu dengan Lika?”Naka
Lika belum bangun, sedangkan Naka sudah keluar dari kamarnya.“Lika masih tidur?” tanya Mama Elise berdua dengan Bik Nani.“Masih ma,” jawab Naka.Naka merasa hatinya berat, mengingat sedang terlibat pertengkaran yang mungkin tidak kecil antara dia dan Lika. Mama Elise, dengan bijaknya, duduk di samping Naka, memberikan sedikit petuahnya sebagai orang tua. "Lika itu sekarang sedang lemah. Dia juga sedang hamil, Naka. Dia membutuhkanmu lebih dari sebelumnya," ujar Elise dengan suara yang lembut namun tegas. Cahaya pagi yang menerobos jendela menyinari wajahnya yang penuh kelembutan.Naka menghela napas, matanya tertuju pada lantai. Dia tahu dia harus memperbaiki hubungannya dengan Lika, tapi terkadang emosinya terlalu sulit untuk dikendalikan. "Aku akan mencobanya, Ma," jawab Naka, suaranya serak. "Tapi terkadang, Lika..."Elise mengangkat wajah Naka dengan tangan yang lain, memaksanya menatap matanya. "Apa pun masalahnya, kamu harus ingat, dia sedang mengandung anakmu," tegas Elise. "
“Sudah aku katakan, aku lebih mencintai kamu ketimbang Ivanka. Tapi apa ini, Lika. Beraninya kamu bilang mau ciuman sama pria lain. Kamu anggap aku apa Lika?”“Terus kalau dia istri mas, mas boleh semaunya. Sedang aku nggak boleh?” tantang Lika.“Dari awal kamu sudah tahu situasi aku, Lika.”“Dan ternyata aku nggak bisa,” kata Lika.Deg!Naka menghela napasnya yang semakin berat.“Kita sudah sejauh ini, sayang.”“Belum.. Mas, masih bisa memperbaiki hubungan mas dengan Kak Iva, dan aku lebih baik mengalah,” ucap Lika membuat Naka menjadi geram.“Seenaknya kamu berkata kaya gitu, setelah aku cinta sama kamu.”“Cinta juga bisa datang sama mas dan Kak Iva. Buktinya, kemarin malam kalian mesra. Cium-ciuman, pelukan!”“Hanya menempelkan bibir, Lika. Nggak kaya mas ke kamu, itu juga mas bia menolak karena dia sedih.”“Terus kalau dia sedih dan mengajak mas, macam-macam. Mas mau gitu?”“Nggak gitu sayang.. Mas tahu, mas salah. Tapi sumpah demi apapun, mas ngerasa bersalah banget sama kamu. An
“Sudah di sini saja,” kata Naka memeluk Lika.Habis berantem hebat, Naka memutuskan bersama Lika saja di apartemen daripada pulang ke rumah.Lika memang lebih banyak diam, tidak mau bicara. Masih kesal dan pertengkaran mereka berakhir dengan perdamaian.“Sayang kok diam.. Masih mau pulang?” tanya Naka karena istrinya hening.“Mas masih mau di sini?” Lika bertanya balik.“Mas di mana saja, asal sama kamu.” Naka mengeratkan pelukannya pada Lika. Tadi mau coba cium, tapi ditolak katanya bekas wanita lain, ah Naka jadi merasa bersalah.Tadinya mereka berencana bermalam lagi, namun Mama Elise meminta mereka untuk pulan ke rumah.“Sayang mau beli sesuatu dulu nggak?” naka mengingatkan, karena setelah tiba di rumah biasanya istrinya baru teringat beli ini itu.“Nggak!” singkat padat jelas jawaban Lika.Naka menghela napasnya, lalu menyalakan mesin mobil dan mereka pun pulang ke rumah.Tiba di rumah sudah disambut Mama Elise, melihat kedatangan mereka bersama, Elise yakin mereka sudah berdama
Di dalam toko perlengkapan bayi yang penuh dengan warna dan desain yang menarik, Naka dan Lika bersama Mama Elise juga Bik Nani berjalan beriringan. Cahaya lampu toko yang terang menyorot wajah Lika yang semringah, namun sesekali terlihat kebingungan ketika melihat Naka yang terlalu antusias berbelanja.“Warna pink itu lucu sekali,” kata Naka tertawa memegang dress bayi perempuan.Lika tergelak melihat kelakuan suaminya, daritnya adi memang Naka selalu memegang perlengkapan bayi perempuan disbanding bayi laki-laki.“Anakmu laki-laki, hei!” pekik Lika.“Aku mau anak perempuan, sayang. Yang mirip sama kamu, cantik,” bisiknya membuat Lika merona. “Habis ini nambah perempuan ya sayang,” lanjutnya lagi bikin Lika merona.Dengan manja Lika memukul pelan lengan suaminya. “Ini dua, mas. keluar juga belum.”“Iya nanti, dua atau tiga tahun lagi.” Naka mengucapkan itu tanpa beban, karena dia tidak mengandung. Tapi Lika yang mengandung.Mama Elise sibuk memilih pakaian bayi baru lahir, sesekali b
“Papaku, apa mama yakin dia papaku.”Ucapan Sarah Bagai bom atom yang siap mengancurkan Adela, detik itu juga. Dia memindai sekeliling, jangan sampai suaminya mendengar apa yang dikatakan Sarah. Habis dia, jika Elvan tahu selama ini dia membohongi pria itu.Darimana Sarah mengetahui semuanya. Iya, Sarah bukan putri dari Elvan Daarwish. Dulu dia memadu kasih dengan Elvan, karena pria itu sudah memiliki istri, Adela juga menjalin hubungan dengan pria lain. Sialnya, dia malah hamil anak pria itu. Setelah diberitahu, bukannya dinikahi Adela malah ditinggalkan.Elvan yang bodoh tapi kaya, mampu dia bohongi. Semua kebohongan ini tertutup rapat, tidak ada yang tahu meski Sarah sendiri.“Kenapa mama diam?” tanya Sarah, Adela enggan membahasnya karena dirasa percuma. Dia juga tidak di mana keberadaan pria itu, ayah kandung Sarah. Apa masih hidup atau sudah mati.“Mama tidak mau membicarakan ini!” tegas Adela.Sarah mencibir, begitu dibuka rahasia besarnya sang mama sok acuh.“Aku juga tidak ma
Udara pagi yang dingin di halaman rumah sakit tidak mengurangi ketegangan yang dirasakan oleh Ivanka. Hari ini dia memang chek up kesehatan ditemani Suster Mirna dan salah satu pelayan.Dokter berdiri di samping ranjang rumah sakit, alisnya berkerut sambil memeriksa laporan terbaru tentang kondisi Ivanka. "Ivanka, kondisi kamu belum membaik. Dirawat yah,” kata Dokter Robbi dengan nada serius, dokter paruh baya yang memang menangani kesehatan Ivanka sejak awal.Ivanka, yang terbaring usai menjelani pemeriksaan, menghela napas berat. "Saya ingin pulang, Dok. Saya lebih baik di rumah," tolaknya dengan suara serak. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh kanker yang menggerogoti tubuhnya membuatnya lebih memilih kenyamanan rumahnya sendiri.Dokter Robbie memahami itu, seharusnya Ivanka lebih baik dirawat. Namun suaminya, Naka, memastikan jika di rumah mereka, Ivanka akan terjaga kesehatannya. Semakin hari tidak membaik, dan lebih baik memang menuruti semua kemauan pasien. Dia sendiri seolah tahu
Elvan Daarwish memandang mantan menantunya dengan tatapan tidak terbaca.sebuah kunci rumah dalam genggamannya, ya, Naka memenuhi janji terakhirnya pada Ivanka.“Itu janjiku pada Ivanka,” kata Naka tegas.Elvan mendesah, “Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini.”“Aku adalah pria yang menepati janji,” cetusnya cepat.“Terima kasih, Naka.” Elvan hanya bisa mengucapkan terima kasih, tidak menyangka Naka akan memenuhi keinginan terakhir putrinya itu.“Tiap bulan aku akan mengirimu uang bulanan. Akan ada toko, dan kau bisa mengurusnya.” Naka memang memberikan usaha, tidak besar. Hanya mini market saja, untuk kesibukan Elvan yang sudah tua itu.“Aku senang bisa bekerja kembali,” ungkap Elvan, daripada dia diam saja di rumah.“Adela dan Sarah, urusanku. Jangan ikut campur, mereka hanya akan menyusahkanmu. Lagipula Sarah juga bukan putrimu, tidak ada kewajibanmu untuk memberikannya nafkah,” kata Naka dengan kejamnya.Elvan menghela napasnya panjang, Naka sudah menceritakan semua keburukan ke
Dua pekan sudah usai kepergian Ivanka, semua berusaha untuk berjalan seperti semula. Anulika dan Naka yang disibukkan dengan dua bayi kembar mereka, beruntung bantuan datang. Mama Elise yang masih di sana membantu Lika, Mama Nyra yang sudah berhubungan baik dengan menantunya, juga Papa Ben yang siap membantu.Huaaaa.. Hoek hoek hoek..Suara tangis si kembar memecah keheningan siang, Lika yang baru memejamkan mata sepuluh menit saja, langsung ditarik kesadarannya untuk bangun.Dengan cepat dia beranjak ke boks bayi di kamar si kembar, “Sayang mami kenapa?” tanya Lika dengan penuh kasih.Seketika kepalanya terasa pusing, efek kurang tidur dan dibangunkan dengan paksa.“Aduh kepala mami pusing, sayang.” Lika memegang kepalanya yang terasa sangat berat.Ceklek..Pintu dibuka, Mama Nyra yang sedang berkunjung masuk begitu mendengar suara tangis cucunya. Tadinya hanya satu yang menangis, kini menjadi dua bagi sekaligus yang menangis.“Bangun yah,” kata Mama Nyra dengan ramah.Lika menoleh,
Pemakaman Ivanka disiapkan dengan penuh penghormatan. Naka memastikan segala sesuatunya sempurna, dari bunga-bunga yang Ivanka sukai hingga foto-foto Ivanka yang menghiasi sisi-sisi peti mati. Saat prosesi pemakaman, Naka berdiri dengan kepala tertunduk, merenungi semua kenangan yang pernah mereka bagi, berharap dia bisa memberikan lebih banyak lagi untuk Ivanka, berharap ada lebih banyak waktu. Namun, semua hanya tinggal kenangan yang terpahat dalam hatinya, sebuah luka yang akan selalu dia bawa.“Kuatlah son, papa yakin Ivanka sudah tenang di sana,” kata Papa Ben menenangkan dan menguatkan putranya.Pemakaman itu terletak di sebuah bukit yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan rindang. Udara dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah yang baru digali dan bunga-bunga segar yang diletakkan di atas kuburan. Bebatuan nisan berdiri tegak, seolah-olah menjadi penjaga bagi mereka yang telah pergi.Sejumlah besar orang berkumpul, wajah-wajah mereka penuh dengan kesedihan
Kamar rumah sakit yang sunyi itu hanya terdengar desah napas yang berat dari Ivanka, istri pertama Naka yang sudah lama berjuang melawan kanker. Lika, istri kedua Naka, yang baru saja melahirkan anak kembar, terpaku di depan pintu, menatap lemahnya sosok wanita yang telah banyak berbagi cerita dengannya selama penyakit itu menggerogoti tubuhnya.Dengan langkah gontai, Lika mendekati tempat tidur Ivanka. "Kak Iva," suaranya serak, penuh emosi. Ivanka, mendengar suara Lika, perlahan membuka mata yang sudah sangat sayu, dan dengan sisa kekuatan yang ada, dia mencoba mengedipkan mata sebagai isyarat bahwa dia mendengar.“Kak Iva.. Ini Lika,” lirihnya. Ivanka bahkan menganggap Lika sebagai adiknya, karena memang Lika masih sangat muda.Dalam detik-detik terakhir, keinginan terbesar Ivanka adalah bertemu dengan Lika sekali lagi. Dia ingin memeluk Lika, memberikan seluruh cinta dan restunya, sebuah pelukan terakhir yang penuh dengan harapan dan doa untuk kebahagiaan keluarga yang akan diting
Benedito dan Nyra segera ke ruang rawat Ivanka, mereka menjenguk menantu pertama mereka itu.“Ivanka,” panggil Papa Ben dengan lembut.Ivanka hanya memberi tatapan sayunya, papa Ben memegang tangan menantunya dengan lembut, memberi usapan tanda penyemangat darinya.“Sembuh sayang, sehat..”“Papa..” lirih Ivanka mengedipkan matanya pelan.Nyra menatap menantunya, demi apapun sejak dulu dia tidak pernah menyukai Ivanka. Karena putri dari Adela, dia terpaksa menikahkannya dengan Naka, agar tidak lagi diancam Adela perihal jati diri Naka. Namun kini semua sudah terungkap, dan lagi Ivanka sedang terbaring lemah karena penyakitnya.“Ma,” panggil Papa Ben, meminta istrinya mendekat.Dengan mata berkaca-kaca, Nyra mendekat ke arah ranjang.“Mama,” lirih Ivanka, tangannya bergerak dan reflek Nyra mengenggamnya.“Ma..” Ivanka memanggil lagi.Nyra mengangguk pelan, “Maafkan mama ya,” gumam Nyra pelan sekali. Ivanka membalas dengan senyuman tipisnya.Dia sudah sangat siap untuk pergi, dulu dia pe
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya