"Kamu yakin mau di rumah sendirian?"Entah yang keberapa kalinya Rendi menanyakan hal tersebut kepada Naya, yang sudah rapi dengan dress selutut biru langit yang membungkus tubuh rampingnya. Rambutnya yang masih lembab dibiarkan terurai."Iya, aku mau masak. Mau beresin kamar ini juga. Lagian, aku nggak sendiri, Mas. Ada yang kerja juga kan?" Menyerahkan sehelai kemeja batik kepada Rendi."Justru itu aku ingin memastikan apakah kamu benar-benar ingin di rumah. Kalau tidak ada orang mungkin aku tidak perlu khawatir seperti ini."Naya mengulas senyum. Kini sadar kemana arah pembicaraannya dengan sang suami. Beberapa tukang masih mengerjakan kamar utama, tentu saja menghadirkan rasa khawatir yang cukup besar di hati Rendi. Sang istri ditinggalkan bersama beberapa orang pria tentu saja rasanya agak berat. Meskipun Rendi tahu baik Naya maupun para tukang tidak akan berbuat yang aneh-aneh."Kamu tidak perlu khawatir seperti itu. Percayalah, aku pasti akan baik-baik saja. Lagipula mereka jug
Meskipun memiliki status sebagai keluarga dekat Naya, tetap saja Rendi tidak ingin terlalu dekat dengan Ayana. Karena perasaan Naya lebih diutamakan saat ini."Aku mau bertemu dengan Naya. Bisakah kamu memintaku untuk bertemu dengannya?" Ayana menatap Rendi dengan tatapan penuh harap. Entah berharap bisa bertemu dengan keponakannya, atau bisa pergi bersama Rendi.Rendi mengangguk. "Tentu saja."Senyuman pun terukir di bibir Ayana. Senang Rendi mau mengantarkannya untuk bertemu dengan Naya."Tapi, sebelum kesana kita selesaikan ini semua. Kasihan mbak Adel terlalu lama menunggu." Menyerahkan nota pembelian kepada Ayana.Ayana merengut. Meraih nota dari Rendi dan membuka Mbanking. Ia segera mengirim uang sesuai dengan jumlah yang tertera di sana."Sama keluarga sendiri kamu masih saja takut, Mas." Ayana memperlihatkan bukti transfer kepada Rendi. "Nggak boleh gitu sebenarnya.""Boleh-boleh saja. Justru aku harus waspada melakukan transaksi dengan saudara sendiri. Karena belum lama ini a
Rasanya tidak ingin percaya dengan semua yang dikatakan Naya. Tapi, begitu adanya. Kakak yang selama ini dicari Ayana, telah terbaring berselimutkan tanah. Semua luka yang ia alami, sudah dibayar sang kakak dengan hidup menderita bersama Tio, pria yang selama ini ia anggap pria baik-baik dan pasti hidupnya lebih bahagia jika bersama Tio dibandingkan Herman."Disini, ibuku meregang nyawa." Naya menunjuk langit-langit kamar. Tempat terakhir kali ia menemukan sang ibu. "Dan rumah ini, saksi bisu bagaimana Tio memukul ibuku. Setiap saat, setiap waktu. Dan kamu tahu, bukan cuma raga ibuku yang disakiti, tapi hatinya juga. Tio, meminta uang padaku untuk membeli wanita."Ayana menatap nanar pada Naya. Dadanya bergemuruh, mendengar bagaimana hidup yang dialami sang kakak. Masih mending dirinya yang hanya tak diacuhkan dan dianggap Herman sebagai istri. Dan hanya menganggap sebagai mesin pembuat keturunan. Tapi, sayangnya kejadian nahas waktu itu membuat Ayana takkan mungkin bisa memiliki ketu
Setelah keluar dari ruangan besuk, barulah Naya menangis. Mengusap air matanya dan tetap saja menangis tanpa suara. Dadanya begitu sesak ketika tahu nasib sang ibu yang sangat-sangat buruk.Tidak pernah mencecap kebahagiaan, hingga akhir hayatnya. Entah siapa yang salah sebenarnya, Naya tidak tahu. Yang ia tahu semua kesulitan yang dilalui sang Ibu karena ketidaktegasan dalam bersikap. Dan Naya sendiri sudah merasakan bagaimana rasanya ketika lemah dan membiarkan orang lain menginjaknya.Apa yang Naya dapat? Sakit hati yang amat sangat dan dihancurkan tanpa belas kasih. Maka dari itu, ia tak lagi ingin hal buruk terus menerus menjadi jalan yang harus ditempuh. Ia harus kuat dan membuang semua sikap lemah dan diam yang selama ini dipakai. Jika terus dipertahankan, bisa dipastikan kebahagiaan yang kini tengah di dapat akan hilang begitu saja."Mas," gumam Naya. Segera menelan tangisnya ketika melihat sang suami tengah bersandar di mobil yang ada di parkiran. Naya menghapus air matanya,
"Her, coba panggil Kendra. Sepertinya dia ketiduran di kamar!" Pinta Rendi, melirik Herni yang sedari tadi sudah selesai dengan makannya. Karena Rendi masih duduk menunggu Naya, ia pun belum beranjak agar tak kalah dari madunya itu."Nggak,ah, habis makan nggak boleh jalan-jalan dulu, Mas." Tolak Herni. Meraih apel yang ada di depannya dan memakannya. Ia duduk santai, tanpa peduli dengan Rendi yang menatap sinis padanya.Rendi menarik nafas. "Itu anakmu punya masalah dengan lambung jika dia terlambat makan. Sebaiknya kamu bangunkan agar dia makan malam.""Iya, nanti, Mas. Dikit lagi." Masih sibuk mengunyah apel yang ada di tangannya."Suruh Naya saja sana. Mantan suami dia gini." Sambung Herni seraya meninggalkan meja makan."Bukan mantan istri." Naya turut bangkit. "Tapi mantan pembantu Kendra."Herni menghentikan langkahnya. "Sadar kamu?""Tentu saja. Aku tahu dan sadar bagaimana dulu posisiku di rumah ini, makanya aku selalu patuh atas semua perintah yang diberikan oleh majikan aku
"Nggak, enak saja!" Kardi menepis tangan Herni yang memintanya untuk lanjut. Rasanya tidak rela jagoannya harus masuk sekali lagi ke dalam tubuh Herni. Meski suka asal main, Kardi tetap memilih dalam menentukan tempat jagoannya bersarang."Kalau kamu tidak mau aku akan berteriak agar suami dan anakku bangun. Kalau sudah begitu, kamu tahu kan apa yang akan terjadi?" Herni menahan tangan Kardi yang ingin mengenakan celananya.Dengan berat hati Kardi mengangguk. Mengikuti keinginan Herni, meski dalam hati ia mengumpat Aira yang telah menjebaknya sehingga Herni lah teman mainnya malam ini. Padahal Aira menjanjikan Naya sebagai penghuni kamar belakang."Sialan!" umpat Kardi. Mendorong Herni ke ranjang dan memintanya untuk sedikit mengangkat pinggulnya agar ia bisa masuk tanpa melihat wajah Herni. Meski longgar dan tak ada rasa, tak apa, yang jelas ia bisa keluar dari sana tanpa ketahuan Rendi ataupun Kendra.Herni yang telah lama tak dapat nafkah batin benar-benar gelap mata rela menerima
Tidak sanggup lagi membujuk Kendra, Herni menemui Rendi yang masih ada di kamar bersama Naya. Berharap pria itu mau membantunya untuk berbicara dengan Kendra agar berhenti mengemasi barang-barang dan membatalkan niatnya untuk pergi."Mas, aku mohon buka dulu pintunya. Aku ingin bicara dan meminta tolong padamu, Mas. Memang kamu bukan ayah kandungnya Kendra, tapi kamu adalah pamannya. Aku mohon padamu buka pintunya!" teriak Herni di depan pintu kamar. Ia benar-benar butuh bantuan Rendi untuk menahan kepergian Kendra.Kalau Kendra turut pergi seperti yang dilakukan Lilly, Herni tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghadapi hidup seorang diri di rumah tersebut. Ia yakin tidak akan sanggup jika tanpa anaknya."Mas?!" Herni masih mengetuk pintu kamar dan menyeru agar Rendi mendengar suaranya."Ada apa?"Rendi membuka pintu. "Jangan lagi membuatku sibuk mengurus urusanmu, Her. Karena selama ini kamu telah mengajarkan aku untuk hidup tanpa ikut campur tangan darimu. Maka dari itu, aku m
"Mas," panggil Naya, seraya mendekati Rendi yang tengah berdiri di balkon toko. Menatap lapangan desa, yang kini dipenuhi banyak orang. Melakukan banyak persiapan untuk pasar malam yang akan digelar beberapa hari lagi.Disana Rendi tampak termenung, sendirian. Tatapannya begitu kosong, seakan nyawanya kini terbang entah kemana."Mas, kamu melamun?" tanya Naya, sembari memeluk sang Rendi dari belakang. Menyandarkan kepala di punggungnya Rendi. "Kalau boleh, aku ingin kamu membaginya denganku agar semua beban yang ada di pundakmu berkurang. Meskipun aku tidak bisa menghapus semua beban itu, setidaknya aku bisa ikut menampung semua luka itu."Mata Rendi terpejam. "Sungguh aku tidak pernah menyangka hidupku bisa berantakan seperti sekarang. Semua kebaikan yang aku lakukan telah dibalas dengan segala luka dan keburukan. Beruntung, kamu datang dan menjadi penerang bagi hidupku. Sehingga aku masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini.""Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika k