Sementara itu, di ujung sambungan telepon, tampak ponsel Kanaya berdering, tapi gadis itu belum bisa mengangkatnya. Kanaya sedang menatap tajam pada Alan. Setelah beberapa kali kali mencoba melepaskan dekapan dari lelaki itu, tapi tetap saja tak bisa.Kanaya sebenarnya begitu kesal, tapi tak dapat dipungkiri, ada rasa nyaman yang dirasakan Kanaya ketika berada di dalam dekapan Alan. "Papa, aku mau angkat teleponnya."Perkataan Kanaya tak dihiraukan oleh Alan. Lelaki itu masih belum melepaskan dekapannya pada Kanaya, meskipun gadis itu kini tengah meronta. Kanaya takut jika Arumi yang menghubunginya."Pa, tolong lepasin. Ada telepon.""Biarin aja ...," sahut Alan dengan tenang."Gimana kalo itu, Mama? Aku nggak mau Mama curiga, Pa.""Nggak ada yang curiga sama kita Kanaya. Terutama Mama kamu, dia justru seneng, kamu bisa gantiin tugas dia.""Pa, kenapa Papa jadi kaya gini sih? Kenapa Papa malah ngingkarin janji Papa? Bukannya aku udah nurutin keinginan Papa buat pulang ke rumah? Sekar
Kanaya mengamati foto itu sejenak, Kenan memang mengambil foto tersebut dari arah belakang. Jadi, hanya punggung Arumi, dan lelaki itu yang tertangkap kamera. Sedangkan wajahnya tak terlihat.Kanaya kemudian mengecek detail foto tersebut, dan memang benar kata Kenan dari tanggal yang tertera, foto itu, diambil kemarin malam saat dirinya dan Alan sedang berada di apartemenAkan tetapi, meskipun tak diketahui siapa sosok lelaki tersebut, foto itu bisa menjadi bukti, sekaligus dapat dipastikan jika Arumi memang memiliki laki-laki lain selain Alan. Kanaya terdiam, sembari mengingat percakapannya dengan Alan beberapa saat lalu. Jika lelaki itu pun ragu dengan kesetiaan Arumi. Atau, mungkin saja Alan sudah tahu Arumi bermain api di belakangnya..Kanaya pun menghela nafas berat, seolah ingin melepas beban yang sekarang terasa mengganjal di dadanya."Kak Naya, sekarang udah percaya 'kan sama aku kalau Mama itu jahat?" tanya Kenan sembari menatap Arumi dengan sorot mata polosnya.Hati Kanaya
Tak mau diketahui oleh Alan, Kanaya pun bergegas pergi dari ruang kerja tersebut menuju ke kamar Kenan. Lalu, kembali ke meja makan menemani Kenan untuk sarapan, setelah mengambil ponsel milik adiknya tersebut. Tak berapa lama, Alan pun bergabung sarapan dengan keduanya. "Tamu Papa udah pulang?" tanya Kanaya membuka percakapan dengan Alan.Alan yang cukup kaget, tiba-tiba Kanaya sudah mau berkomunikasi dengannya tampak terdiam. "Pa ...!""O-oh udah.""Nggak disuruh sarapan dulu, Pa?""Nggak usah, ongkos dari Papa udah lebih dari cukup." Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapannya."Pa, nanti siang aku anter makan siang ya buat Papa. Papa mau makan siang pake apa?"Alan tertegun sejenak, mendapati sikap lembut Kanaya. Gadis itu, tak lagi bersikap acuh, seperti akhir-akhir ini yang dia tunjukkan."Pa ...!" panggil Kanaya saat melihat Alan yang lagi-lagi hanya terdiam."Oh terserah kamu aja, Kanaya. Papa suka semua masakan kamu."Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapanny
"Makasih ya, Naya," ujar Oma Dahlia, sembari mengambil dompet yang diberikan Kanaya padanya."Iya Oma."Setelah itu, Kanaya menuju ke kamar. Sedangkan Oma Dahlia, menemani Kenan. Kanaya yang awalnya ingin beristirahat, dan memejamkan mata sejenak, kini justru pikirannya tertuju pada foto di dompet Oma Dahlia yang tadi dia lihat.Foto tersebut, seperti sebuah foto keluarga, sepasang suami istri, dengan dua orang anak perempuannya. Kanaya tahu, salah seorang wanita tersebut adalah Oma Dahlia ketika masih muda, dan satunya lagi wanita yang terlihat jauh lebih muda.Wajahnya tidak asing bagi Kanaya. Namun, Kanaya tak tahu dia siapa. Kanaya mencoba merangkai kepingan-kepingan masa lalu, tapi tetap saja dia tak mengingatnya.Tak mau banyak berpikir Kanaya memilih untuk memejamkan mata, dan beristirahat sejenak. Tubuhnya memang terasa begitu lelah.Setelah satu jam lamanya Kanaya tidur, dan tubuhnya terasa lebih segar. Kanaya bangun, untuk memasak. Siang ini, dia memang janji pada Alan untuk
"Gue mau ke bawah dulu ya, sambil edit foto!" pamit Rain pada teman sekamarnya di Shanghai, yang merupakan asisten Rain.Orang itu pun mengangguk, tanpa curiga sama sekali, karena Rain juga membawa laptop. Namun, tanpa seorang pun tahu, setelah keluar dari kamarnya, kini Rain justru berjalan ke arah kamar Arumi.Ketika mendengar bel kamar yang berbunyi, Boby bergegas membuka pintu kamar itu, agar Rain bisa cepat masuk, tanpa ada yang melihat."Gue keluar dulu ya. Inget, ggak boleh lebih dari jam makan siang loh. Soalnya kita harus prepare!" ujar Boby, memberi peringatan pada Rain.Rain pun terkekeh, sembari melambaikan tangan pada Boby. Setelah laki-laki gemulai itu keluar, Rain mendekat pada Arumi yang saat itu baru saja selesai mandi.Tanpa Rain tahu, Arumi mendengkus kesal. Namun, dia berusaha menahan kekesalannya."Wangi banget!" ujar Rain, sambil mengecup pipi Arumi.Arumi pun terpaksa tersenyum. Lalu, membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan Rain."Temenin aku sarapan yuk, sek
Kelopak mata Rain perlahan terbuka, disertai pening yang masih menjalar di kepala. Dia pun melihat ke sekeliling, dan ternyata dia masih berada di kamar Arumi.Akan tetapi, Rain merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh bagian atasnya, tak mengenakkan pakaian, dan saat ini, dia sudah berada di atas ranjang. Rain menoleh ke samping, dan di atas nakas samping ranjang tersebut, tampak laptop miliknya telah tertutup."Kenapa gue di sini? Apa mungkin, Arumi yang mengangkatku ke atas ranjang ini?"Rain memijit pelipisnya sebentar, lalu kembali berujar lirih, "Ah nggak mungkin. Paling si banci kaleng itu yang angkat gue ke sini? Terus kenapa gue sampe nggak pake baju? Ah jangan-jangan laki-laki abal-abal itu udah berbuat yang nggak senonoh sama gue?"Rain mengamati tubuhnya, tapi dia tak menemukan apapun di tubuh tersebut."Nggak ada apa-apa, aman. Ck, mungkin saja ini ulah Arumi, ternyata Arumi mulai nakal."Rain pun terkekeh sembari mencoba mengingat kejadian beberapa saat, sebelum dia pingsan.
Di Sisi Lain ...."Papa kangen sama, Naya."Selesai makan siang, Alan kembali memeluk Kanaya yang saat ini juga baru menyelesaikan makan siangnya. Keduanya saat ini masih berada di ruang kerja Alan."Naya, Papa kangen banget."Suara Alan terdengar begitu berat, disertai tatapan sayu yang tersirat."Pa, Papa kenapa ih?"Raut wajah Kanaya kian merona, tatkala Alan menatap Kanaya lekat. Tak hanya sampai di situ, kini Alan justru mendekatkan wajah, lalu mencium leher jenjang Kanaya.Reflek, hal tersebut membuat Kanaya seketika memejamkan mata. Bulu kuduknya pun meremang."Papa ...." Desahan lirih Kanaya kini mulai terdengar, tatkala bibir Alan, menjelajahi tengkuk dan lehernya. Tubuh Kanaya yang begitu sensitif, hanya pasrah menikmati, dan hanyut ke dalam sentuhan Alan.Jujur saja, tak hanya Alan, Kanaya pun sangat merindukan lelaki itu. Setelah selama beberapa hari ini terkurung dalam gejolak emosi yang membuat mereka menjauh. Kini, keduanya seolah ingin menyampaikan kerinduan yang terp
"Tante Chyntia kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?" tanya Kanaya ketika baru keluar dari ruang kerja Alan.Mendengar suara Kanaya, Chyntia pun mengangkat wajah. Lalu, tersenyum dan pura-pura bersikap ramah pada Kanaya."Ini, habis liat film lucu."Bibir Kanaya pun membulat. "Oh, ya udah mulai kerja lagi ya, waktu istirahat udah abis, 'kan? Jangan ketawa-ketawa mulu, ntar jadi kuntilanak loh.""Iya Non Kanaya," jawab Chyntia, sembari tersenyum, dan menatap Kanaya yang berlalu dari hadapannya. Setelah Kanaya berjalan cukup jauh, Chyntia mengumpat kesal padanya."Sok bossy banget sih!"Kanaya sedikit melirik, dan melihat Chyntia bibirnya tampak sedang komat-kamit. Kanaya tahu, Chyntia pasti kesal padanya."Ck, dasar wanita gatel!" gumam Kanaya, sembari terus berjalan, menuju ke basement parkir.Setengah jam kemudian, Kanaya pun sudah sampai di rumah, dan mendapati Oma Dahlia saat ini tengah bermain bersama Kenan di ruang tengah."Kak Naya habis dari mana?" pekik Kenan, sembari berlari, d
Kanaya mengangguk, sedikit bingung dengan sikap gadis yang ada di depannya yang terkesan sombong. Apalagi, cara menatap Kanaya pun begitu sinis."Nama gue Vanel, asal lo tahu semua mahasiswa yang ada di sini tunduk pada gue. Tapi, lo udah ngusik gue, karena lo sok caper sama Arga. Sebelum terlalu jauh, gue beri peringatan ke lo agar jangan sampai berani mendekati Arga lagi. Kalau nggak, lo rasakan sendiri akibatnya!"Kanaya tersenyum sinis, lalu berdiri sembari melipat tangan di dada. "Maaf Kak, saya sama sekali nggak tertarik sama Arga. Saya juga udah punya pacar, dan nggak berminat mendekati Arga. Jadi, sebaiknya Kak Vanel yang menasehati Arga agar tidak mendekatiku lagi."Setelah itu, Kanaya mengibaskan rambutnya. Lalu, berjalan menjauhi Vanel, dan mendekat pada teman sekelompoknya lagi yang saat ini sudah mulai melanjutkan kegiatan ospek."Sombong sekali, dia belum tahu siapa gue!"Gadis itu pun menoleh pada salah seorang temannya. "Anya, tolong lo cari tahu siapa gadis nggak tahu
Chyntia saat ini duduk di dalam ruang kerja Alan. Wanita itu tampak sudah tak sabar menunggu kedatangan bosnya. Di saat itulah tiba-tiba ponselnya berbunyi.'Ibu Arumi?' batin Chyntia saat melihat nama Arumi di layar ponselnya. Dia kemudian mengangkat panggilan telepon tersebut.[Halo Chyntia, apa kau sudah mengundurkan diri?][Tentu saja belum, Bu Arumi. Suami Anda saja sedang belum datang ke kantor] jawab Chyntia, sembari memainkan rambutnya. Chyntia memang menyetujui permintaan Arumi, untuk keluar dari perusahaan milik suaminya, setelah mereka selesai bertransaksi.[Tidak ada di kantor? Pasti dia sedang bersama wanita simpanannya itu!]Arumi menggerutu kesal, di ujung sambungan telepon.[Kalau masalah itu, bukan urusan saya, Ibu Arumi. Karena tugas saya hanya menutup mulut tentang hubungan Anda dengan Tuan Leo. Iya kan?][Diam! Jangan keras-keras! Kalau begitu kau tunggu saja sampai suamiku datang. Lalu cepat pergi secepatnya! Pergilah keluar kota sejauh mungkin.][Iya, baik Ibu A
Senja mulai merayap di langit ketika Kanaya melangkah keluar dari gedung kampusnya. Rambut panjangnya yang terurai, sedikit berantakan setelah seharian berkutat kegiatan ospek yang melelahkan."Kanaya ...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang memanggilnya.Kanaya, dan beberapa orang temannya pun menghentikan langkah."Naya, kami pulang dulu ya," pamit teman-teman Kanaya, saat seorang kakak angkatan sudah berdiri di depan mereka."Jangan, temani aku dulu!" pinta Kanaya, tapi mereka tampak terkekeh sembari melambaikan tangan, seolah sedang meledek dan tak bergeming dengan permintaan Kanaya."Naya, pulangnya aku antar ya.""Nggak usah aku udah dijemput Papa di depan. Aku pulang dulu ya, Kak Arga."Kanaya buru-buru berpamitan, tak peduli dengan Arga yang hendak mencegahnya. Namun, Kanaya sudah berlari ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang kampus.Mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu tampak sudah menunggu, sejak beberapa saat lalu. Kanaya menatap mobil itu s
"Jadi, Papa mikir kalo Kenan itu ...?"Belum sempat Kanaya menyelesaikan perkataannya, Alan sudah mengangguk."Pa, Papa nggak boleh ambil kesimpulan secepat itu. Mungkin saja, laki-laki itu berharap agar Papa, dan Mama berpisah. Jadi, dia sudah mempengaruhi Kenan, dengan mengatakan jika Kenan itu putranya."Alan terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Kanaya dengan akal sehatnya, dan memang benar. Apa yang dikatakan oleh Kanaya itu, memang cukup masuk akal."Kamu bener, Naya. Mungkin dia berkata seperti itu, untuk mendekati, sekaligus juga mempengaruhi Kenan."Kanaya pun mengangguk, meskipun di dalam hatinya kini mulai dipenuhi tanda tanya tentang jati diri Kenan. Namun, Kanaya tahu, Alan sangat menyayangi Kenan. Dia tak mau membuat hal tersebut mengganggu pikiran Alan. Apalagi, raut wajah sendu yang beberapa saat lalu tergambar di wajah Alan, kini perlahan mulai memudar. Berganti binar ceria di wajah."Pa, udah malem jangan terlalu banyak berpikir sesuatu hal yang nggak penting"
"Kenapa kamu diem, Mas? Ini bener kamu, 'kan?"Meskipun diselimuti kepanikan, takut jika Arumi tahu yang menjadi simpanannya adalah Kanaya. Namun, Alan tetap mendekat pada Arumi. "Ya, itu memang aku. Kau keberatan?""Aku istri kamu, Mas. Dan kamu berselingkuh di belakangku. Sekarang katakan siapa wanita itu? Siapa yang menjadi selingkuhanmu?"Mendengar perkataan Arumi, Alan pun cukup merasa lega. Itu artinya, dia tak tahu siapa wanita yang sedang berciuman dengannya."Kau pikir, aku bodoh, Arumi? Kau juga melakukan hal yang sama di belakangku, bukan? Kau sengaja mematikan CCTV di rumah ini, ketika aku sedang tidak berada di rumah untuk memasukkan laki-laki lain, 'kan?"Arumi seketika tergagap, dan hal tersebut tertangkap jelas oleh netra Alan, dan membuat laki-laki itu terkekeh."Ck, lihat dirimu sendiri? Kau yang sebenarnya memulai terlebih dulu, 'kan? Jadi, nggak usah berlagak sebagai korban, Arumi!""Jangan menuduhku sembarangan, Mas. Coba perlihatkan bukti kalau aku berselingkuh?"
[Ibu Arumi, kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, siapa yang saat ini menjadi simpanan Pak Alan. Lebih baik, Anda secepatnya menyediakan uang 10 miliar seperti yang saya minta.]Sebuah chat dari Chyntia yang masuk ke ponsel Arumi pun seketika membuatnya kian memanas berselimut amarah."Dasar brengs*k! Chyntia memang kurang ajar! Di saat kaya gini dia malah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Awas kau Chyntia. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalasmu!"Boby menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. "Daripada kerjaan lo kesel mulu sama Chyntia. Lebih baik persiapin diri lo buat pergi ke Puncak."Arumi hanya menghembuskan napas panjang. "Aku mau pulang ke rumah sekarang," sahut Arumi, sembari bangkit dari atas sofa. Lalu, keluar dari unit apartemen Boby."Dasar wanita seribu masalah. Doa lu ke orang tua kayaknya banyak deh, sampe hidup lo ribet mulu!" gerutu Boby.****Beberapa saat kemudian, Arumi sudah sampai di rumah, dan mendapati Alan belum pulang ke rumah tersebut, dan Ar
Chyntia tersenyum penuh kemenangan melihat video mesra Alan, dan Kanaya. Sebenarnya bukan untuk pertama kali mereka melakukan itu di ruang kerja Alan.Akan tetapi, saat pertama mereka melakukan hal tersebut di atas sofa, posisi kamara perekam itu tertutup sandaran tangan pada sofa sehingga tak terlihat dengan jelas."Mampus kau, Arumi. Kau tak hanya kehilangan suami. Tapi juga akan kehilangan banyak uang."Chyntia pun terkekeh. Lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, seolah tak tahu apa yang terjadi antara Kanaya dengan Alan.****Sementara itu di dalam private room, Alan yang membopong tubuh Kanaya, kemudian merebahkan tubuh itu ke atas ranjang.Setelah itu, Alan memeluk dan meremas kuat payudara Kanaya yang membuat gadis itu tersentak, dan tubuhnya melengkung menerima serangan tiba-tiba dari Alan.Alan kemudian membalikkan tubuh Kanaya, lalu melumat bibir mungil yang seakan menjadi candu baginya. Tangan Alan tak tinggal diam, tangan itu kini bergerak lincah masuk ke bawah pakaian Ka
"Ada apa, Arumi?" pekik Boby ketika Arumi masuk ke dalam unit apartemennya dengan begitu tergesa-gesa, disertai gurat panik di wajah.Akan tetapi, Arumi tak lekas menjawab. Wanita itu tampak mendudukan tubuh di sofa, sembari mengelus perutnya yang masih rata, dan mulai terasa tidak nyaman. Mungkin, Arumi terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya sedikit berdampak pada kehamilannya."Kenapa? Perut lo sakit?" tanya Boby panik melihat gelagat Arumi."Nggak, cuma nggak enak aja.""Lo lagi hamil, lebih baik jaga kesehatan kandungan lo deh. Nggak usah kebanyakan mikir yang berat-berat. Sini gue pijitin kaki lo."Boby mengangkat kaki Arumi ke atas sofa. Lalu memijit kaki Arumi. Sikap Boby tersebut, sebenarnya sudah biasa Boby lakukan jika Arumi mengeluh kelelahan, dan belum sempat pergi ke spa. "Hidup lo dibikin rileks aja kenapa sih, Arumi? Sekali-kali lo diem, hidup nyaman di rumah. Emang lo mau bayi lo kenapa-kenapa kalo terus-terusan gini?"Arumi menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Bob
Arumi memelototkan mata pada Chyntia, yang saat ini tersenyum kecut padanya. Seolah mengisyaratkan jika dia bisa membalas balik apa yang dilakukan oleh Arumi."Kenapa Bu Arumi melihat saya seperti itu?"Arumi mengamati sekeliling, lalu menarik tangan Chyntia, menuju ke area tangga darurat yang sepi."Apa-apaan sih? Lepas!" protes Chyntia, sembari menghempaskan genggaman tangan Arumi di lengannya."Pelankan suaramu, Chyntia! Apa kau mau reputasi suamiku hancur akibat fitnah darimu itu? Asal kamu tahu, Mas Alan sangat setia padaku.Chyntia pun terkekeh. "Memang itu kenyataannya. Pak Alan, punya wanita simpanan di luar sana. Anda pikir saya tidak tahu jika rumah tangga Bu Arumi, dan Pak Alan saat ini juga sedang tidak baik-baik saja?""Bohong! Kamu jangan memfitnah, dan mengada-ada. Suamiku nggak punya simpanan, dan rumah tangga kami dalam keadaan baik-baik saja!" bentak Arumi balik, disertai tatapan yang kian tajam. Arumi memang sangat yakin jika Alan tak memiliki hubungan dengan wanit