"Kenan ngomong apa sih? Kenan nggak boleh ngomong gitu loh sama Mama.""Emang Mama jahat kok, Kak. Kak Kanaya nggak tahu aja kalo ...."Kenan menghentikan perkataannya, membuat kening Kanaya mengernyit. Hari ini, tingkah Kenan benar-benar terlihat aneh. Apalagi, anak itu kini tampak menundukkan kepala, disertai raut sendu di wajah.Kenan menatap ponselnya sejenak. Ada keinginan untuk memberi tahu tentang apa yang dilakukan Arumi, yang dia dokumentasikan di ponselnya. Namun, Kenan takut, sekaligus ragu. Kenan belum memiliki keberanian untuk melakukan itu."Kenan, kamu sebenarnya kenapa sih?" tanya Kanaya cemas dengan perubahan sikap adiknya yang begitu drastis itu."Kak Naya, Kenan nggak mau ngomongin Mama lagi. Kenan nggak suka sama Mama. Soalnya Mama jahat!"Kenan berkata dengan lirih, sembari menundukkan kepala. Namun, entah mengapa, raut wajah polos Kenan, membuatnya Kanaya kali ini bukannya marah, tapi justru iba.Dalam ucapan, ataupun sorot mata anak itu, Kenan terlihat jujur men
"Siapa yang ngomong kaya gitu?" tanya Alan, ketika sedang membantu Kenan untuk mandi."Temen Mama pokoknya deh. Kenan juga nggak tau siapa. Baru pernah liat orang itu.""Paling temen Mama lagi becanda. Kenan itu anak Papa. Papa yang temenin Kenan di perut Mama, Papa yang temenin Mama waktu ngelahirin Kenan, Papa juga yang bantuin Mama jagain Kenan dari Kenan bayi sampe sekarang."Kenan pun memeluk Alan begitu erat. Tanpa Alan tahu, raut wajah anak itu kini terlihat begitu sendu. "Kenan sayang sama Papa. Jangan pernah tinggalin Kenan ya, Pa.""Kamu ngomong apa sih? Papa nggak mungkin tinggalin Kenan," sahut Alan sembari mengelus kepala Kenan."Sekarang mandi dulu ya. Abis mandi, kita makan malem. Kak Kanaya lagi masak di bawah."Kenan pun mengangguk, lalu melepaskan pelukannya dari tubuh Alan. Setelah itu, dia mulai menyikat gigi."Papa mandiin aja ya, kamu baru sakit. Nggak boleh mandi lama-lama."Alan pun mengambil waslap lalu mencucinya dengan sabun, dan mulai menyeka tubuh Kenan.
Alan bergegas keluar dari kamarnya, menuju ke kamar Kenan. Namun, ketika Alan membuka pintu kamar tersebut, tampak Kenan audah terkantuk-kantuk. Sedangkan Kanaya, masih membacakan buku cerita.Beberapa saat lalu, setelah selesai makan malam, Kenan memang sudah meminum obat. Mungkin, efek dari obat tersebut mulai bekerja, hingga membuat Kenan sudah mulai didera rasa kantuk.Saat melihat sosok Alan yang masuk, seketika Kanaya pun merasa gugup. Dia cemas jika Alan kembali mengungkit hubungan mereka. Kanaya bingung harus berbuat apa. Apalagi, di rumah tersebut tak ada Arumi. Kanaya yakin, sikap Alan pasti kian tak terkontrol. "Kenan udah tidur ya?" tanya Alan, saat sudah berdiri di dekat tempat tidur Kenan, dan melihat kelopak mata anak itu sudah tertutup. Kanaya pun mengangguk. "Udah, Pa." "Ya udah Papa keluar dulu."Alan pun membalikkan tubuh, lalu keluar dari kamar tersebut. Meskipun sebenarnya Alan kecewa, terpaksa malam ini dia harus mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Ken
Pak Leo pun mengangkat wajah. Lelaki itu, tampak mengernyitkan kening sembari menatap Arumi lekat."Nanti, kita bicara saat sudah sampai saja."Pak Leo pun mengangguk, disertai raut wajah datar. Lalu, Arumi kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Pak Leo yang masih menatapnya penuh tanda tanya.Sebagai seorang lelaki dewasa, dia sebenarnya cukup paham dengan apa yang dikatakan oleh Arumi. Namun, dia tak menyangka jika Arumi akan bersikap seperti itu. Karena selama ini, yang terjalin antara dirinya, dan Arumi, benar-benar hubungan bisnis semata, tidak lebih.Akan tetapi, Pak Leo belum mau mengambil kesimpulan lebih lanjut. Dia pun kembali larut dalam pekerjaannya. Lelaki itu memang dikenal sebagai seorang pekerja keras. Dia tak mau membuang waktu, meskipun saat ini sedang dalam perjalanan di pesawat.Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih enam setengah jam, akhirnya rombongan mereka pun tiba di Shanghai, salah satu kota yang menjadi destinasi wisata di Cina.Shanghai, juga ko
Sementara itu, di ujung sambungan telepon, tampak ponsel Kanaya berdering, tapi gadis itu belum bisa mengangkatnya. Kanaya sedang menatap tajam pada Alan. Setelah beberapa kali kali mencoba melepaskan dekapan dari lelaki itu, tapi tetap saja tak bisa.Kanaya sebenarnya begitu kesal, tapi tak dapat dipungkiri, ada rasa nyaman yang dirasakan Kanaya ketika berada di dalam dekapan Alan. "Papa, aku mau angkat teleponnya."Perkataan Kanaya tak dihiraukan oleh Alan. Lelaki itu masih belum melepaskan dekapannya pada Kanaya, meskipun gadis itu kini tengah meronta. Kanaya takut jika Arumi yang menghubunginya."Pa, tolong lepasin. Ada telepon.""Biarin aja ...," sahut Alan dengan tenang."Gimana kalo itu, Mama? Aku nggak mau Mama curiga, Pa.""Nggak ada yang curiga sama kita Kanaya. Terutama Mama kamu, dia justru seneng, kamu bisa gantiin tugas dia.""Pa, kenapa Papa jadi kaya gini sih? Kenapa Papa malah ngingkarin janji Papa? Bukannya aku udah nurutin keinginan Papa buat pulang ke rumah? Sekar
Kanaya mengamati foto itu sejenak, Kenan memang mengambil foto tersebut dari arah belakang. Jadi, hanya punggung Arumi, dan lelaki itu yang tertangkap kamera. Sedangkan wajahnya tak terlihat.Kanaya kemudian mengecek detail foto tersebut, dan memang benar kata Kenan dari tanggal yang tertera, foto itu, diambil kemarin malam saat dirinya dan Alan sedang berada di apartemenAkan tetapi, meskipun tak diketahui siapa sosok lelaki tersebut, foto itu bisa menjadi bukti, sekaligus dapat dipastikan jika Arumi memang memiliki laki-laki lain selain Alan. Kanaya terdiam, sembari mengingat percakapannya dengan Alan beberapa saat lalu. Jika lelaki itu pun ragu dengan kesetiaan Arumi. Atau, mungkin saja Alan sudah tahu Arumi bermain api di belakangnya..Kanaya pun menghela nafas berat, seolah ingin melepas beban yang sekarang terasa mengganjal di dadanya."Kak Naya, sekarang udah percaya 'kan sama aku kalau Mama itu jahat?" tanya Kenan sembari menatap Arumi dengan sorot mata polosnya.Hati Kanaya
Tak mau diketahui oleh Alan, Kanaya pun bergegas pergi dari ruang kerja tersebut menuju ke kamar Kenan. Lalu, kembali ke meja makan menemani Kenan untuk sarapan, setelah mengambil ponsel milik adiknya tersebut. Tak berapa lama, Alan pun bergabung sarapan dengan keduanya. "Tamu Papa udah pulang?" tanya Kanaya membuka percakapan dengan Alan.Alan yang cukup kaget, tiba-tiba Kanaya sudah mau berkomunikasi dengannya tampak terdiam. "Pa ...!""O-oh udah.""Nggak disuruh sarapan dulu, Pa?""Nggak usah, ongkos dari Papa udah lebih dari cukup." Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapannya."Pa, nanti siang aku anter makan siang ya buat Papa. Papa mau makan siang pake apa?"Alan tertegun sejenak, mendapati sikap lembut Kanaya. Gadis itu, tak lagi bersikap acuh, seperti akhir-akhir ini yang dia tunjukkan."Pa ...!" panggil Kanaya saat melihat Alan yang lagi-lagi hanya terdiam."Oh terserah kamu aja, Kanaya. Papa suka semua masakan kamu."Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapanny
"Makasih ya, Naya," ujar Oma Dahlia, sembari mengambil dompet yang diberikan Kanaya padanya."Iya Oma."Setelah itu, Kanaya menuju ke kamar. Sedangkan Oma Dahlia, menemani Kenan. Kanaya yang awalnya ingin beristirahat, dan memejamkan mata sejenak, kini justru pikirannya tertuju pada foto di dompet Oma Dahlia yang tadi dia lihat.Foto tersebut, seperti sebuah foto keluarga, sepasang suami istri, dengan dua orang anak perempuannya. Kanaya tahu, salah seorang wanita tersebut adalah Oma Dahlia ketika masih muda, dan satunya lagi wanita yang terlihat jauh lebih muda.Wajahnya tidak asing bagi Kanaya. Namun, Kanaya tak tahu dia siapa. Kanaya mencoba merangkai kepingan-kepingan masa lalu, tapi tetap saja dia tak mengingatnya.Tak mau banyak berpikir Kanaya memilih untuk memejamkan mata, dan beristirahat sejenak. Tubuhnya memang terasa begitu lelah.Setelah satu jam lamanya Kanaya tidur, dan tubuhnya terasa lebih segar. Kanaya bangun, untuk memasak. Siang ini, dia memang janji pada Alan untuk
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya